SAPERE AUDE!
BERANILAH BERPIKIR (BIJAK):
ROMO MAGNIS MEMANG "MAGIS"
BERANILAH BERPIKIR (BIJAK):
ROMO MAGNIS MEMANG "MAGIS"
Dilaporkan Eggi Sudjana, Romo Magnis Tolak Tarik Ucapannya!!
Orang bijak berbicara karena mempunyai sesuatu untuk dikatakan; orang bodoh berbicara karena harus mengatakan sesuatu - Wise man speaks because he has something to say; fool because he has to say something..... (Filsuf Plato, "Philo sophia" - "Pecinta kebijaksanaan")
Franz Magnis-Suseno angkat bicara soal laporan Eggi Sudjana terhadap dirinya. Budayawan bersahaja itu menyatakan tak akan menarik ucapannya soal Eggi Sudjana yang menjadi pemicu laporan tersebut.
Agaknya Eggi terburu-buru bereaksi konyol. Jaringan Romo Magnis itu lintas agama, lintas generasi dan lintas kelas sosial karena teladan akademis sekaligus sikap agamis pun humanisnya. Itu yang juga saya lihat dan jumpai pada tahun 90an ketika ikut kuliah filsafat bersama beliau dan merasakan pendampingan khas beliau dalam menyelesaikan skripsi saya seputar Teori Kritis Jurgen Habermas, dimana beliau hadir sungguh dengan bersahaja sebagai pendamping sekaligus penguji sidang skripsi waktu itu.
Lebih lanjut, adapun Eggi Sudjana hari itu, Selasa (10/10), melaporkan balik orang-orang yang melaporkan dirinya ke Bareskrim Polri. Laporan Eggi diterima dengan nomor laporan LP/103/X/2017/Bareskrim tertanggal 10 Oktober 2017.
Arvid Saktyo, kuasa hukum Eggi mengatakan kliennya melaporkan karena merasa nama baiknya dilecehkan. Para pelapor tersebut, menurut Arvid, gagal memahami perkataan Eggi di Mahkamah Konstitusi soal keesaan Tuhan yang menjadi dasar sekaligus bukti laporan para pelapor Eggi.
Tercandra soal Romo Magnis, yang bersangkutan dilaporkan terkait dengan pernyataannya di sebuah media massa yang menyebut Eggi bodoh (walaupun banyak orang juga yang memang menganggap ES itu memang "bodoh").
Merespons itu, Romo Magnis dengan tenang mengatakan tidak akan menarik kata-kata yang dia ucapkan terkait Eggi Sudjana. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan ucapannya mengenai Eggi Sudjana.
"Saya tidak peduli. Terserah jika Pak Eggi lapor ke polisi. Yang saya katakan sudah jelas dan akan saya pertahankan. Saya anggap (pernyataan saya) itu sudah tepat," kata Romo Magnis lugas dan bernas (sesuai dengan arti namanya: Kata Latin ‘magnus” berarti besar. Kata “magnis” adalah bentuk genetivus dari kata sifat Latin tersebut yakni ‘magnus-magna-magnum’).
Pendiri Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta ini mengaku tak tahu apa motif lain dari laporan Eggi terhadap dirinya: "Tetapi kalau maksudnya untuk mengintimidasi, dia tak akan berhasil melakukan itu," ujarnya tegas.
Lebih jauh, Romo Magnis juga mengatakan tidak memiliki persiapan khusus menyikapi laporan Eggi ke polisi. Dia menyatakan siap mengikuti proses hukum jika laporan itu ditindaklanjuti.
Romo Magnis adalah budayawan yang cukup dikenal publik. Pada 13 Agustus 2015, Romo Magnis mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Joko Widodo.
Penghargaan itu merupakan bentuk pengakuan pemerintah atas kontribusi Romo Magnis di bidang kebudayaan.
Selain dikenal sebagai budayawan, Romo Magnis juga merupakan seorang rohaniwan Katolik, cendekiawan, dan aktivis sosial. Sebagai cendekiawan, Romo Magnis telah menghasilkan sejumlah buku dengan beragam tema. Tulisannya juga tersebar di berbagai media massa dan jurnal ilmiah.
Romo Magnis juga aktif mendukung kampanye dan gerakan yang terkait dengan kemanusiaan. Dia lahir di Eckersdorf, Silesia, Polandia, 26 Mei 1936 dan datang ke Indonesia pada 1961 dan sungguh mendalami kritik terhadap marxisme dan pelbagai teori dan praksis filsafat.
=====
Menurut Franz Magnis-Suseno, ucapan Eggi—bahwa tidak ada keesaan Tuhan di luar agama Islam—menunjukkan kesombongan serius.
Franz Magnis-Suseno mengkritik pernyataan pengacara Eggi Sudjana yang menyebut agama-agama selain Islam bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Pria yang akrab disapa Romo Magnis ini menilai ada dua kekeliruan dalam pernyataan Eggi.
“Ada dua kebodohan besar dari Eggi Sudjana,” kata Romo Magnis.
Kekeliruan pertama, menurut Magnis, adalah Eggi tidak memahami bahwa Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945 sebagai pembukaan UUD merupakan hasil rumusan untuk menampung agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, para pendiri bangsa telah memahami bahwa Pancasila tidak hanya untuk satu agama saja: “Jadi yang dikatakan Pak Eggi bertentangan dengan maksud mereka [pendiri negara] yang menetapkan Pancasila dan UUD,” ujar Magnis.
Kekeliruan lain, lanjutnya, terjadi ketika Eggi mengomentari keyakinan agama yang berbeda dengan keyakinannya. Menurut Magnis, argumentasi Eggi bahwa tidak ada keesaan Tuhan di luar agama yang dianutnya menunjukkan kesombongan yang serius. Apalagi tidak ada yang lebih tahu sifat-sifat Tuhan selain Tuhan itu sendiri: “Seakan-akan Pak Eggi punya pengetahuan khusus tentang keesaan Tuhan," katanya.
Magnis kemudian menunjukkan kekeliruan kedua dari ucapan Eggi, yakni salah memahami konsep Trinitas. Menurutnya, Trinitas dalam Kristen bukan berarti ada tiga Tuhan sebagaimana disampaikan oleh Eggi. Trinitas dalam Kristen adalah satu Tuhan yang memiliki tiga wujud: Allah, roh kudus, Yesus.
“Jadi, bukan tiga dewa, [melainkan] satu Tuhan yang menyatakan diri dalam tiga wujud,” ujarnya.
Pernyataan Eggi berpotensi menimbulkan keresahan di kalangan umat beragama. Profesor filsafat ini berpesan Eggi sebaiknya tidak membicarakan keyakinan agama lain kecuali dalam konteks dialog dengan pemeluk agama yang dibicarakan. Ia juga mengingatkan penguasaan seseorang soal agamanya bukan berarti ia berhak mengomentari agama orang lain.
“[Letak] kesombongannya adalah [ketika] dia merasa tahu agama sendiri, lalu merasa bisa menilai agama lain,” katanya.
Namun, Romo Magnis percaya pernyataan Eggi tidak mewakili umat Islam. Menurutnya masih banyak umat Islam yang menghargai dan menghormati keyakinan umat Kristen. “Saya kenal banyak muslim yang sangat menghormati pandangan Kristiani,” ujarnya.
=======
Romo Magnis juga menyatakan, gesekan antar-golongan umat beragama yang terjadi akhir-akhir ini dapat membahayakan keharmonisan dalam merajut nilai-nilai keberagaman di Indonesia.
"Kita menghadapi sesuatu yang bisa membahayakan kita semua, yaitu bahasa 'kita bersama' menjadi bahasa 'kami' dan 'mereka'. Kalau hanya melihat kami dan mereka, yang dilihat hanya perbedaan, persaingan, mungkin sentimen. Kita ditantang untuk betul-betul menghayati (makna) 'kita bersama'," ucap Romo Magnis.
Menurut dia, bangsa Indonesia punya modal besar untuk kembali merajut dan membangun rasa kebangsaan. Indonesia bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan negara lain.
"Indonesia begitu mantap bersatu sampai sekarang karena bersedia melakukan sesuatu yang di banyak negara lain tidak berhasil dilakukan, yaitu menerima dalam kekhasan," tutur Romo Magnis.
Dia mencontohkan, bagaimana suku dan agama di Indonesia bersatu yang dibangun dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Dia kagum dengan tokoh Islam terdahulu yang menyetujui dan tak menuntut kedudukan istimewa dalam membentuk Undang-Undang Dasar. Dengan sikap seperti itu, Indonesia mempunyai modal besar untuk saling bersatu.
"Meski ada semacam gesekan, intoleransi, dan sebagainya, sebetulnya konsensus dasar sampai sekarang masih tetap utuh," jelas dia.
Oleh karena itu, Romo Magnis meminta agar semua pihak bisa menampilkan sikap saling kasih seperti Tuhan Yang Maha Esa. Dirinya pun meminta agar tidak menunjukkan seolah-olah agama menakutkan.
"Agama tidak boleh menakutkan. Kalau menakutkan, masalahnya bukan agama tapi manusia yang sudah menyalahgunakannya. Agama mesti memberikan damai dan mencerminkan rahmat kasih," tandas Romo Magnis.
Karena itu, dia mengingatkan agar para pemuka agama sadar akan arti agama sebenarnya, sehingga bisa bersikap rendah hati, dan menunjukkan kebesaran akan kasih Tuhan.
"Kalau kita sadar betapa Tuhan jauh melampaui kita, agamawan yang bicara tentang Tuhan, mesti sangat rendah hati, hati hati dan sadar sepenuh hati bicaranya," pungkas Romo Magnis.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Figur Romo Magnis : Selayang Pandang.
A.
Figur Romo Magnis : Selayang Pandang.
Alkisah, seorang kiai dan pastor hendak masuk surga. Malaikat, langsung membukakan pintu buat mereka berdua.
"Ada apa?" tanya malaikat.
"Kami ingin masuk surga," kata mereka.
"Boleh masuk surga, tapi selesaikan dulu urusan administrasinya," kata malaikat.
"Ada apa?" tanya malaikat.
"Kami ingin masuk surga," kata mereka.
"Boleh masuk surga, tapi selesaikan dulu urusan administrasinya," kata malaikat.
Dua manusia itu terpaksa menyelesaikan berkas-berkas administrasi berlembar-lembar. Setengah jam berlalu, urusan administrasi itu belum juga kelar. Justru ada orang baru nyelonong masuk surga.
Orangnya kumuh, ada bau alkohol, dan bercak darahnya. Tampaknya habis kecelakaan. Malaikat langsung mempersilakan orang itu masuk surga. Tanpa urusan administrasi.
Keduanya kaget.
"Malaikat, siapa orang itu, kok bisa langsung masuk surga?" tanya pastor.
"Dia sopir Metro Mini, dari Jakarta," jawab malaikat.
"Lho, kok bebas administrasi?" keduanya protes.
"Malaikat, siapa orang itu, kok bisa langsung masuk surga?" tanya pastor.
"Dia sopir Metro Mini, dari Jakarta," jawab malaikat.
"Lho, kok bebas administrasi?" keduanya protes.
Malaikat lalu memutar rekaman visual saat mereka hidup di dunia. Tampak sang Kiai berkhotbah. Juga Romo yang sedang ceramah. Hasilnya, umat mengantuk dan terlelap. "Mereka justru lupa Tuhan," kata malaikat.
Lalu layar berganti dengan kehidupan sopir Metro Mini. Pria itu memacu pedal gas di belakang kemudi. Penumpang langsung menyebut nama Tuhan berulang-ulang. "Sopir itu justru membuat orang ingat Tuhan," kata malaikat.
"Berbuat baik lebih penting daripada jadi rohaniawan," ujar Romo Franz Magnis-Suseno memetik lelucon dari Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, presiden RI keempat.
Saat ditemui di kantornya, Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarta, Jakarta, Rabu, Magnis menceritakan kedekatannya dengan Gus Dur.
Dua orang itu memang lekat. Keduanya dikenal sebagai tokoh dalam urusan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Dua orang itu memang lekat. Keduanya dikenal sebagai tokoh dalam urusan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Nama lahirnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis. Ia mendapat status warga negara Indonesia pada 1977, setelah 16 tahun tinggal di Indonesia.
Lahir di di Eckersdorf, Silesia, Jerman bagian timur (kini wilayah Polandia), keluarga Magnis pernah sengsara karena perang. Ayahnya, Dr Ferdinand Graf von Magnis sempat bertahun-tahun ditahan tentara Uni Sovyet. Keluarganya, harus terusir dari tanah kelahirannya.
Magnis kecil adalah keturunan bangsawan. Anak sulung dari enam bersaudara ini lahir pada 26 Mei 1936 dari rahim Maria Anna Grafin von Magnis. Mereka tinggal di kastil Eckersdorf. "Kami memiliki tanah 10 ribu hektar," ujar Magnis.
Pada 1945, mereka mengungsi ke Cekoslowakia barat, di tempat neneknya. Tapi, mereka lalu harus pindah ke kamp pengungsian. Hingga akhirnya pindah ke Jerman barat. Keluarganya bisa kumpul lagi pada 1948 di Jerman barat, setelah ayahnya dilepaskan dari tahanan perang.
Dengan keluarga yang kental dengan Katolik, mendorong Magnis muda untuk bergabung dengan Jesuit.
Saat bergabung ke dalam Jesuit, artinya ia harus keluar dari keluarga. "Saya juga membuat pernyataan, bahwa saya tak akan mengklaim apapun dari keluarga," kata Magnis. Orang tuanya sangat menerima pilihan Magnis.
Ada tiga negara yang sebenarnya bisa menjadi lahan pengabdiannya saat itu. Indonesia, Jepang, atau Zimbabwe. "Tapi saya tertarik dengan Indonesia," ujar Magnis.
Berawal dari surat-surat yang dikirimkan ke pendahulunya, Magnis mengetahui cerita tentang Indonesia.
Maka, pada Januari 1961, Magnis mendarat di bandara Kemayoran, Jakarta. Di matanya, Jakarta saat itu laiknya desa besar. Jalanan masih lengang.
Seturut ingatannya, hanya ada satu gedung tinggi di Jakarta. "Gedung PLN setinggi dua lantai di timur lapangan Gambir," ujarnya mengenang.
Empat purnama kemudian, ia menuju Kulon Progo, Yogyakarta. Di komunitas Jesuit mengharuskan ia belajar bahasa Jawa dulu sebelum bahasa Indonesia.
Walau sempat kesusahan belajar bahasa Jawa, tapi Magnis muda merasakan keramahan di desa Boro, Kalibawang. Dalam tiga belas bulan, ia bisa menguasai bahasa Jawa. Dalam sehari, ia bersosialisasi tiap sore dengan warga sekitar "Dalam bahasa Jawa, semua pertanyaan bisa dijawab dengan inggih (iya)," ujarnya sambil tersenyum.
Lewat sosialisasi itu, ia mulai mengenal budaya orang-orang biasa. "Saya sangat senang," ujarnya. Tak diduga, ia menemui Katolik di Jawa yang berpadu dengan budaya lokal. Misalnya shalawatan Katolik, orang-orang menyanyikan soal Abraham, soal penciptaan dalam bahasa Jawa.
Kebiasaannya jalan-jalan dan bersosialisasi ini seturut hobinya mendaki gunung. Gunung Gede, Jawa Barat sudah ia daki 20 kali. Suatu malam, ia pernah mendaki gunung Gede sendirian.
Di depannya, ada rombongan pendaki. Magnis lalu menyalip rombongan itu. Mereka kaget dan megap-megap susah napas. Dengan postur tinggi dan putih, Magnis menjadi makhluk asing di gunung. "Saya dikira hantu. Tapi tetap saya salami mereka," kata Magnis.
Pada 1977, Magnis muda mengantongi status Warga Negara Indonesia, Magnis ingin mengganti nama agar menjadi Indonesia. Ia buang 'von'. Karena ia masuk lewat Jawa, ia ingin nama yang terdengar Jawa. Magnis ingin mengambil nama dengan awalan Su (berarti Baik).
Lewat rekannya, Romo Kuntara Wiryamartana, Magnis minta dicarikan nama. Salah satunya Suseno ."Kok enak didengar," kata Magnis. Mulai saat itu, namanya berubah menjadi Franz Magnis-Suseno.
Belakangan, setelah bertemu dengan dalang Ki Manteb Sudarsono, Magnis mendapat cerita, jika nama itu merujuk nama wayang Karna Basuseno, tokoh kurawa. "Itu nama wayang kesukaan saya," ujar Magnis.
Magnis tak hanya berkutat dengan kehidupan Katolik dan Jawa. Ia dekat juga dengan kalangan pemikir Islam seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur). "Gus Dur adalah salah satu manusia yang paling penting dalam hidup saya," kata Magnis.
Magnis bertemu Gus Dur di sebuah seminar pada 1983, di Semarang, Jawa Tengah . Kebetulan mereka mendapat satu kamar. Selama dua jam, Gus Dur menjelaskan kepada Magnis, harusnya Konferensi Wali Geraja Indonesia menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Mereka bahkan sempat tergabung bersama dalam Forum Demokrasi saat iklim intelektual Orde Baru didominasi oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Kedekatan Islam dan Katolik menurut Magnis terjalin sudah lama. Pada masa genting 1965, Islam dan Katolik cukup dekat melawan komunis.
Menurut Magnis, komunis tak pernah bersedia berkoalisi memajukan bangsa. Magnis, yang menulis disertasi tentang ideologi Marxisme yang mendasari komunisme melihat, sejak dari ideologi dan praktik, komunis hendak merebut kekuasaan dan mendirikan diktator partai.
"Saya gembira saat komunis jatuh," ujarnya.
Tapi, Magnis tak sependapat dengan penilaian Marxisme yang berdasar stigma . Marxisme menurutnya adalah salah satu pemikiran filosofis yang paling berpengaruh dalam abad 20. Komunisme juga pernah menjadi kenyataan di Indonesia.
Menurutnya, penilaian komunis harus berdasar informasi. Maka, Magnis menulis tiga buku tentang Marxisme. Pemikiran Karl Marx; Dari Lenin sampai Tan Malaka; dan Dari Mao Sampai Marcuse. "Saya mau memberikan informasi di mana orang bisa melihat apa itu Marxisme," ujarnya.
Dalam pandangan Magnis, rentang 30 tahun terahir, Islam arus utama membuktikan diri sebagai tulang punggung stabilitas nasional. NU dan Muhammadiyah secara nyata menerima NKRI dengan Pancasila.
"Artinya menerima Indonesia milik semua bukan hanya milik mayoritas," kata dia.
Kini memang ada gelombang politik identitas di seluruh dunia dan menjangkiti di Indonesia. Bagi Magnis, politik identitas ini tak agresif.
Islam arus utama masih merasa dengan kebangsaan Indonesia. Tak ada konflik loyalitas agama dan loyalitas warga bangsa. "Ini modal yang amat penting, dan bisa dikembangkan dan tak perlu khawatir," ujarnya.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah korupsi dalam politik. Karena bisa menghancurkan semua. "Mereka yang bicara Pancasila tapi korup, jangan heran jika Pancasila tak dianggap," ujarnya.
Walau sudah lebih 80 tahun usianya, Magnis tak ketinggalan zaman. Ia tetap akrab dengan teknologi. Isu di media massa ia ikuti dengan tiga gawai; ponsel, ponsel pintar dan tablet. Juga satu komputer meja untuk menulis. "Semuanya sumbangan dari umat," kata dia.
Sebagai seorang pastor Jesuit, Magnis tak punya harta pribadi. Seumur hidupnya, bahkan ia belum pernah memiliki rekening bank.
Tak heran, ia tak tergiur dengan hadiah dan harta. Saat diganjar Bakrie Award 2007, Magnis menolak. Hadiah sebesar Rp250 juta tak ia terima karena solidaritasnya kepada warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Hidup tanpa memiliki harta, justru membuatnya dilimpahi semacam kebebasan di komunitas Jesuit. "Kami hidup bersama, sama sekali tak kekurangan, juga tak berlebihan," kata dia.
Kini, di usia lewat delapan dasa warsa, Magnis tetap bugar badannya. Ia tetap kuat naik tangga. Dalam sepekan, ia beroleh raga 4-5 kali naik sepeda statis.
Urusan santapan, ia tak punya pantangan. "Kuncinya, jangan banyak makan," ujar penyuka bakso dan nasi goreng ini.
Tapi ia tetap waspada dengan penyakit. Di usia senja, pendengaran telinga kanannya mulai butuh bantuan. Jika berbincang, lawan bicara kerap ia ajak duduk di sebelah kiri.
Usia, mungkin juga akan menuntaskannya dari jabatan struktural sebagai dosen dan Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta.
Walau hayatnya panjang, Romo Magnis tetap merasa kekurangan waktu. Ia ingin tetap menulis buku dan berbicara di berbagai forum. Ia ingin melanjutkan bukunya Menalar Tuhan.
Selain menulis, kesibukan Magnis adalah berbicara dalam forum-forum. Dalam setahun, diundang dalam 90-100 acara. Artinya, dalam dua pekan sekali, ada saja undangan untuk berceramah. Tak heran jika dari tangannya lahir ratusan artikel, dan 30-an buku.
Enam puluh enam tahun tinggal di Indonesia, Magnis tak pernah terpikir melepas status warga negara Indonesia. "Saya bangga dan senang sebagai orang Indonesia," kata dia.
B.
Romo Magnis:
Pendidikan Budaya di Indonesia Dihabisi Oleh Formalisme Agama
Romo Magnis:
Pendidikan Budaya di Indonesia Dihabisi Oleh Formalisme Agama
Melemahnya wawasan kebudayaan dan menguatnya formalisme agama sulit melahirkan manusia-manusia berkualitas seperti era 1950-an. Itulah salah satu kesimpulan dari perbincangan antara DW dan Romo Magnis di sela-sela acara Pasar Hamburg awal September 2017 lalu.
Perbincangannya seputar perkembangan demokrasi, kondisi partai-partai politik dan apa saja pencapaian Indonesia menjelang 20 tahun reformasi. Berikut wawancaranya:
1.
Indonesia sering dipuji di kancah internasional sebagai negara Islami yang menerapkan demokrasi. Tapi partai-partai politiknya belum punya agenda dan programatik yang untuk memperkokoh demokrasi. Yang sering terjadi hanyalah pertarungan berebut jabatan dan kekuasaan. Ada masalah apa dengan partai politik di Indonesia, yang sebenarnya menikmati kebebasan besar setelah Suharto mundur?
Indonesia sering dipuji di kancah internasional sebagai negara Islami yang menerapkan demokrasi. Tapi partai-partai politiknya belum punya agenda dan programatik yang untuk memperkokoh demokrasi. Yang sering terjadi hanyalah pertarungan berebut jabatan dan kekuasaan. Ada masalah apa dengan partai politik di Indonesia, yang sebenarnya menikmati kebebasan besar setelah Suharto mundur?
Itu yang sekarang banyak dipertanyakan di Indonesia. Partai-partai politik saat ini sebetulnya tidak lebih dari sebuah perkumpulan kepentingan, seringnya hanya berpusat di sekitar satu orang. Jadi parpol tidak menunjukkan satu identitas ideologis seperti di Jerman. Di sini, misalnya partai SPD dan CDU, meskipun sekarang mereka berkoalisi, tetapi masing-masing ada sosok ideologisnya. Di Indonesia tidak seperti itu.
Barangkali, ini karena di Indonesia masih ada kecenderungan kuat mengikuti orang, sistem patron-client masih sangat kuat. Sebetulnya, satu partai bisa saja mendapatkan sosok (ideologis), kalau si pemimpin berhasil mewujudkannya. Tapi sampai sekarang kita tidak melihat itu.
Mungkin satu-satunya partai yang punya semacam sosok (ideologis) adalah malah Golkar. (Anggota) Golkar itu macam-macam, tapi sosok partainya lebih jelas. Tetapi partai yang lain-lain, bahkan misalnya PDIP, sebetulnya hanya menjadi partainya Megawati. Mereka belum berhasil mengaktualisasikan situasi dan kondisi masyarakat sebagai suatu sosok ideologis.
2.
Walaupun sekarang banyak mantan aktivis pro demokrasi yang terjun dan menjadi tokoh-tokoh partai politik. Apa mereka lalu terseret arus dan menjadi tidak ideologis?
Walaupun sekarang banyak mantan aktivis pro demokrasi yang terjun dan menjadi tokoh-tokoh partai politik. Apa mereka lalu terseret arus dan menjadi tidak ideologis?
Saya tidak tahu pasti. Tapi saya sering bertemu dengan mereka, seperti Budiman Sudjatmiko, yang sekarang menjadi tokoh di PDIP. Menurut saya, memang penting dia ada di sana. Walaupun saya tidak tahu, sekarang dia sudah jadi tokoh mereka, tetapi seberapa besar pengaruh dia dalam politik partai. Di Gerindra juga ada mantan aktivis dan di partai-partai lain juga.
Memang ada juga kemungkinan mereka kemudian terseret dalam kebiasaan partai. Banyak yang terbawa arus, ketika mereka tidak muda lagi seperti dulu. Jadi tidak ada pembaruan. Itu memang tidak mudah.
3.
Di Indonesia sekarang banyak universitas yang punya jurusan ilmu politik. Sampai di mana peran dunia ilmiah dalam memberi kontribusi bagi pengembangan demokrasi dan sistem bernegara?
Di Indonesia sekarang banyak universitas yang punya jurusan ilmu politik. Sampai di mana peran dunia ilmiah dalam memberi kontribusi bagi pengembangan demokrasi dan sistem bernegara?
Itu tentu juga masih sangat lemah, ya. Kita kadang-kadang membaca tulisan di koran, terutama harian Kompas, lalu Suara Pembaruan dan Republika, tetapi memang harus diakui bahwa antara dunia ilmiah dan dunia politik itu adalah dua dunia yang lain, jadi ada celahnya. Di Jerman juga begitu.
4.
Tahun 2018 kita akan memperingati 20 tahun reformasi. Kalau Anda membuat kilasan, kira-kira apa yang sudah dicapai Indonesia selama 20 tahun reformasi ini?
Tahun 2018 kita akan memperingati 20 tahun reformasi. Kalau Anda membuat kilasan, kira-kira apa yang sudah dicapai Indonesia selama 20 tahun reformasi ini?
Kalau menurut saya, yang jelas-jelas berhasil dicapai ada dua hal.
Yang pertama, amandemen-amandemen terhadap UUD 45. Amandemen itu menghasilkan perubahan. Yaitu memasukkan unsur-unsur demokrasi ke dalam UUD. Salah satu yang penting misalnya pembatasan masa jabatan presiden. Tetapi yang mungkin lebih penting lagi´adalah, bahwa Hak Asasi Manusia dimasukkan ke dalam UUD. Amandemen-amandemen itu juga menegaskan lagi peran kunci Islam mainstream di Indonesia. Islam mainstream itulah yang menjamin bahwa dalam situasi yang begitu gawat pun, sesudah jatuhnya Suharto, tidak terbentuk negara Islam. Jadi, tokoh-tokoh Islami lah, seperti Habibie, Gus Dur, Amien Rais dan cukup banyak tokoh lain, yang berperan besar. Dan mereka mendukung suatu demokrasi Pancasila.
Hasil yang kedua, kalau kita melihat jalannya reformasi, adalah bahwa dengan segala macam kekalutan politik, kelemahan dan keragu-raguan, Indonesia pada dasarnya berhasil menjadi negara yang stabil, yang damai. Jumlah orang miskin memang masih terlalu tinggi, dan dulu juga masih ada krisis ekonomi. Namun bagaimanapun juga, perkembangan Indonesia itu masih mantap. Kita masih bisa berkembang dalam damai dari Sabang sampai Merauke. Dan semua itu dengan administrasi yang berjalan agak lambat dan sedikit buruk. Tapi yang penting, pada dasarnya Indonesia berhasil membangun sebuah sistem negara modern yang berfungsi. Itu harus diakui.
5.
Sekarang tentang aspek politik pendidikan dan kebudayaan secara umum. Kalau kita lihat debat-debat politik tahun 1950an, kelihatannya ketika itu ada kematangan politik pada para politisi, sehingga mereka bisa berdebat dengan ulet, tanpa kehilangan rasa saling menghormati. Mengapa sekarang terasa ada kemunduran yang begitu jauh, kalau dibandingkan dengan debat-debat politik saat ini?
Sekarang tentang aspek politik pendidikan dan kebudayaan secara umum. Kalau kita lihat debat-debat politik tahun 1950an, kelihatannya ketika itu ada kematangan politik pada para politisi, sehingga mereka bisa berdebat dengan ulet, tanpa kehilangan rasa saling menghormati. Mengapa sekarang terasa ada kemunduran yang begitu jauh, kalau dibandingkan dengan debat-debat politik saat ini?
Karena pada waktu itu, memang orang-orangnya sangat bermutu. Misalnya, orang-orang yang dulu mendukung terbentuknya Negara Islam dulu itu bukan orang-orang yang fanatik. Mereka bisa berbicara dengan semua pihak, seperti Mohammad Natsir. Sekarang, hal itu hampir tidak terjadi.
6.
Mengapa terjadi kemunduran besar seperti itu? Apakah karena pendidikan dan pemahaman budaya mengalami kemunduran?
Mengapa terjadi kemunduran besar seperti itu? Apakah karena pendidikan dan pemahaman budaya mengalami kemunduran?
Kalau ditanyakan mengenai pendidikan budaya, saat ini pendidikan budaya itu sangat lemah. Dimakan habis oleh isu agama, yaitu agama yang formalistik. Jadi wacana budaya terdesak oleh pengaruh pemikiran sempit agama yang sangat formalistik. Dan di sana tidak ada unsur budaya lagi. Pemikiran formalistik juga tidak mengajarkan agama dengan baik. Hanya formalisme saja. Jadi pendidikan budaya memang masih sangat lemah.
Misalnya, mengapa tidak secara intensif dilakukan kegiatan baca sastra Indonesia? Indonesia kaya sekali dengan karya sastra, banyak sekali sastrawan muda. Tulisan-tulisan mereka, seperti Okky Madasari, diterjemahkan misalnya ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Tetapi di Indonesia, mereka justru tidak dibaca, tidak diajarkan. Padahal, dengan membaca buku, budaya, hati dan wawasan bisa diperluas.
Sebenarnya, kalau ada orang bertanya Indonesia itu apa, baca saja sastranya. Di situ ada semua aspek kehidupan. Jadi, apa yang disebut kepekaan budaya, itu yang tidak ada dalam pendidikan budaya di indonesia.
C.
Sepenggal Kisah
Sepenggal Kisah
Semengenal kita, seorang Filsuf ialah manusia super serius, jarang tersenyum, dan enggan menyediakan waktu untuk bercanda.
Pun ketika mendengar nama Frans Magnis Suseno SJ, yang terbayang mungkin tiga jilid bukunya tentang Marxisme.
Romo Magnis (begitu beliau sering dipanggil) banyak menuliskan karya mengenai filsafat, selain itu beliau beraktivitas sebagai pengajar di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Drijakarja. Namun kejadian berikut bisa mengubah pandangan ulang kita bahwa Filsuf juga bisa melucu.
Seperti yang diketahui banyak saudaranya di Jesuit , Romo Magnis terbiasa hidup sederhana dan sangat disiplin. Kesederhananya ini sangat tampak ketika ia lebih gemar memakai Vespa untuk bepergian, meskipun sesekali ia memakai mobil kijang itupun tatkala ia sakit.
Suatu Hari, sekitar tahun 1988, seorang Yesuit muda (biasa disebut frater) yang dibina Romo Magnis hendak ikut nebeng (bonceng) ke STF Driyakarya, Yesuit Muda yang tinggal serumah denganya di Jl. Kramat VII/25 diizinkan ikut. Saat itu Frater itu telah bersiap membonceng, Romo Magnis menghidupkan mesin Vespa dan langsung tancap gas. Romo Magnis terbiasa berkendara dengan fokus, sehingga jarang mengajak bicara saat berkendara.
Alangkah kagetnya sang filsuf, ketika tiba di kampus, boncenganya telah kosong. Dasar Filsuf, terbiasa hidup serius langsung saja ia kontak beberapa rumah sakit yang ada di Jl. Kramat Raya, Jl. Salemba Raya, dan Jl. Percetakan Negara yang berada di jalur yang dilaluinya, apakah ada korban kecelakaan lalu lintas atau tidak, Romo Magnis tambah panik ketika rumah sakit tidak mengabarkan apapun. Ia sangat kuatir pada Fraternya tersebut.
Romo Magnis menghela nafas panjang dan merasa lega, ketika Frater yang hendak nebeng datang belakangan dengan senyum ceria, tanpa luka sedikitpun. Rupanya, ketika sang frater sudah bersiap membonceng, Romo Magnis sudah berjalan terlebih dahulu, sehingga sang frater terbengong bengong, melihat sang Filsuf cuek berkendara meninggalkan dirinya.
Frans Magnis Suseno bernama asli Frans Von Magnis, lahir Ecksedorf, Silesia, Jerman (sekarang Polandia), saat bersekolah di Humanistiches Gymnasium (Setingkat SMA) ia sering mendengar nama Indonesia dari kakak tingkatnya, ia membulatkan tekad suatu hari berangkat ke Indonesia.
Tahun 1961 ia tiba di Indonesia, kecintaanya kepada Indonesia dibuktikan dengan menanggalkan identitas Jerman dan berganti kewarganegaraan menjadi Indonesia. Ia pun mencantumkan nama Suseno sebagai bukti kecintanya. Nama Suseno ia ambil dari nama Seno yang merupakan nama lain dari Bima (seorang tokoh dalam pewayangan) sebagai simbol keberanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar