REPOST
Romo Magnis: "Kasman" (bekas Jerman)
"Man for Others and Man of God"
Romo Magnis: "Kasman" (bekas Jerman)
"Man for Others and Man of God"
Kebencian pada komunisme—yang tak teridentifikasikan itu—kembali muncul satu bulan terakhir ini.
Beberapa tahun lalu juga muncul dengan Aliansi Anti Komunisme (AAK) yang meniupkannya. Tidak tanggung-tanggung, AAK melakukan sweeping terhadap buku-buku yang mereka nilai mengajarkan komunisme. Lebih jauh, AAK telah mendaftar beberapa orang yang dianggap mengembangkan komunisme. Untuk apa? Mau di-sweeping juga!
Menarik, karena waktu itu AAK muncul di tengah perseteruan antara DPR dan Presiden Gus Dur yang pernah mendesak agar Tap MPRS XXV/1966 tentang pelarangan ideologi komunisme dan marxisme-leninnisme dicabut. Pembakaran amal usaha Muhammadiyah dan gedung Partai Golkar di Jawa Timur oleh massa pendukung Gus Dur pasca memorandum I juga dijadikan sebagai indikasi bangkitnya kembali komunisme.
Apakah AAK gerakan ideologis atau politis? Entahlah. Waktu itu, AAK menggelar diskusi dengan tema "Bedah Politik Komunisme Gaya Baru". Tidak kalah menarik, karena AAK juga mengundang Romo Franz Magnis Suseno sebagai pembicara.
Untuk dicatat, dalam deklarasi dulu, AAK membakar buku Romo Magnis yang berjudul “Pemikiran Karl Marx”. Padahal dalam buku itu Romo Magnis justru menelanjangi, paling tidak mendefinisikan kembali, pemikiran Karl Marx.
Bagaimana reaksi Romo Magnis di kandang lawan?
Sambil menenteng sebuah map putih, sosiolog yang juga rohaniwan, Franz Magnis Suseno SJ yang akrab di sapa Romo Magnis, keluar dari ruang VIP lantai tujuh Hotel Wisata.
Sambil menenteng sebuah map putih, sosiolog yang juga rohaniwan, Franz Magnis Suseno SJ yang akrab di sapa Romo Magnis, keluar dari ruang VIP lantai tujuh Hotel Wisata.
Di depan Romo Magnis yang hari itu mengenakan t-shirt abu-abu putih vertikal, berjalan Ketua Umum Presidium Aliansi Anti Komunis (AAK) Abdul Muis. Dan di belakang Romo Magnis menyusul bekas Ketua Soksi yang juga pernah menjadi Gubernur Lemhanas Suhardiman.
Seperti biasa, Romo Magnis yang seluruh rambutnya sudah berwarna putih ini berjalan dengan langkah cepat. Selalu seperti terburu-buru. Namun belum lagi sampai ke kursi pembicara, di mulut pintu seorang peserta diskusi menghampirinya. Untuk beberapa menit Romo Magnis menjawab satu dua pertanyaan yang disampaikan peserta itu.
Si penanya agaknya masih belum puas, ketika Romo Magnis meninggalkannya. Tetapi Romo Magnis memang tidak punya pilihan lain kecuali memenuhi permintaan pembawa acara agar Romo Magnis menempati kursi yang sudah disediakan untuknya. Tinggal kursi paling kiri yang belum bertuan. Ke arah kursi itulah Romo Magnis melangkah.
Dari balik kacamatanya, sesaat Romo Magnis memperhatikan alas kursi kayu berukiran ala Jepara itu. Lalu duduk perlan-lahan, seperti menahan sesuatu dan sangat hati-hati. Begitu pantatnya mendarat mulus, Romo Magnis menyilangkan kaki kanannya, menimpa kaki kiri. Kepalanya tegak, menatap peserta diskusi yang memenuhi ruangan Agung Utama. Senyumnya diobral ke sana ke kemari lebih dahulu. Kepalanya mengangguk-angguk. Dalam hitungan detik, diskusi dengan tema seksi, Bedah Politik Komunisme Gaya Baru yang difasilitasi AAK segera dimulai.
Romo Magnis menyempatkan diri untuk memperhatikan karangan bunga di sebelahnya, ketika pembawa acara mempersilakan Abdul Muis menyampaikan sambutan. Kedua tangannya digantung pada sandaran kursi. Puas mengamati karangan bunga, Romo Magnis menolehkan kepalanya ke arah podium di sisi kanan deretan kursi pembicara, Abdul Muis sedang bicara di sana. Menyipit, matanya menatap Abdul Musi tajam. Romo Magnis mengangguk-angguk kecil lagi. Tangannya segera sibuk mencatat beberapa point yang disampaikan Abdul Muis.
Setelah lima menit, Abdul Muis turun. Moderator diskusi Alex Paat, yang juga pentolan SOKSI mengambil sebuah microphone. Sedikit bercanda, Alex menyinggung rambut putih Romo Magnis. Lambang kesempurnaan hidup, kata Alex. Romo Magnis tersenyum lebar. Senyum lebar pertama siang itu.
Romo Magnis kembali mencatat beberapa hal yang disampaikan Alex. Maklumlah, bagi Romo Magnis diskusi siang itu sangat penting untuknya. Agaknya, Romo Magnis akan mengklarifikasi kerja ilmiahnya dalam buku “Pemikiran Karl Marx” yang dibakar oleh AAK.
Tidak berpanjang-panjang, Alex memberikan kesempatan pertama pada Romo Magnis.
“Saya menghargai undangan yang disampaikan AAK. Sebelum ini saudara Abdul Muis dan Naufal datang ke tempat saya untuk membicarakan soal pembakaran buku saya,” Romo Magnis membuka suara. Lalu berhenti sebentar. Nafasnya ditarik. Badannya semakin ditegakkan. Peserta diskusi ikut-ikutan menahan nafas.
“Dalam minggu-minggu terakhir ini saya berbicara cukup keras untuk ukuran saya. Mengapa? Karena saya heran, mengapa sedikit-sedikit ada Karl Marx, bakar,” suaranya meninggi.
Romo Magnis terus berbicara, memanfaatkan forum untuk mencurahkan keprihatinan sekaligus kekesalannya atas pembakaran buku yang dilakukan AAK, yang mengatasnamakan gerakan anti komunisme.
Sejak beberapa waktu lalu, tambah Romo Magnis, dirinya menerima selebaran yang berisikan daftar orang-orang komunis. Yang mengherankan penggemar nasi goreng ini, namanya tercantum di dalam daftar itu. Demikian juga dengan rekannya, Sandyawan Sumardi (Institut Sosial Jakarta dan "TRUK" - Team Relawan Untuk Kemanusiaan).
“Saya tidak tahu apakah AAK ada hubungan dengan selebaran itu. Tapi ini menggelikan,” tegasnya lagi. Selama bicara Romo Magnis tak mengubah sedikitpun posisi duduknya.
Terakhir, masih dengan nada suara yang terpaksa ditinggikan, Romo Magnis menggugat AAK. “Saya keberatan terhadap AAK. Siapa yang memberi hak pada Anda untuk menentukan apa yang boleh saya pelajari atau tidak. Realitas intelektual ditanggapi dengan intelektual. Kalau Anda ingin komunisme tidak kembali besar, saya tidak keberatan. Gunakan cara-cara yang demokratis sehingga kita menolaknya dengan keyakinan. Terima kasih.” Tepat dipuncak, Romo Magnis menghentikan orasinya. Peserta terdiam.
Romo Magnis membungkuk, meletakkan gagang microphone pada sarangnya. Masih dengan tangan kanan, Romo Magnis meraih gelas di hadapannya. Seteguk air putih menyegarkan tenggorokannya setelah bicara berapi-api.
======
Romo Franz Magnis Suseno yang dilahirkan di Eckersdorf Jerman 23 Mei 1936 ini mengaku punya hobi unik untuk ukuran seorang rohaniwan. Apa itu? Mendaki gunung, jawab Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara ini
Romo Franz Magnis Suseno yang dilahirkan di Eckersdorf Jerman 23 Mei 1936 ini mengaku punya hobi unik untuk ukuran seorang rohaniwan. Apa itu? Mendaki gunung, jawab Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara ini
Ketika masih menjadi warga negara Jerman, Romo Magnis yang mengubah kewarganegaraannya menjadi WNI tahun 1968 ini sering mendaki pegunungan Alpen di Swiss. Ntah sudah berapa kali pegunungan indah itu ia taklukan. Ia juga akrab mendaki beberapa pegunungan di Indonesia, “Gunung Semeru, Agung, Ciremei, Gede, Pangrango, Kerinci, Welirang dan lain-lain yang mungkin saya lupa.
Tanya (T): Kenapa nama famili Romo malah berbau Latin dan bukan Jerman?
Jawab (J): Keluarga leluhur saya aslinya berasal dari kawasan Danau Como di Italia Utara yang waktu itu termasuk wilayah kekuasaan Kekaisaran Jerman-Austria. Para nenek-moyang saya menjadi pegawai kekaisaran; kemudian mereka pindah ke Bohemia. Karena jasanya dalam Perang 30 Tahun, seorang nenek moyang saya lalu diangkat menjadi “Graf”.
Sejak itu, keluarga saya yang sudah lama berbahasa Jerman, lalu tinggal di Straznice (Bohemia) yang kastilnya hingga kini masih terawat dalam keadaan baik. Di abad ke-18, karena perkawinan, keluarga saya lalu mewarisi Eckersdorf di Silesia yang waktu itu masuk wilayah Austria Utara di mana lebih dari 200 tahun kemudian barulah saya lahir.
T: Kapan dan dimana Romo menerima tahbisan imamat dan siapa Monsinyur yang menahbiskan Romo?
J: Saya ditahbiskan menjadi imam Jesuit pada tanggal 31 Juli 1967 bertepatan dengan Pesta Nama Santo Ignatius Loyola, pendiri Ordo Serikat Jesus (SJ). Yang menahbiskan saya adalah mendiang Kardinal Justinus Darmojuwono Pr, Uskup Agung Semarang waktu itu.
T: Bersama frater-frater Jerman siapa saja, Romo datang ke Tanah Jawa menjadi misionaris Jerman ke Indonesia?
J: Saya datang ke Indonesia bersama para frater Jesuit Jerman lainnya yakni Frater Paul Ammann SJ, Fr. Josef Stuffer SJ, Fr. Siegfried Zahnweh SJ, Fr. Hermann Wuehr, dan Pater Fritz Knetsch SJ serta Pater Franz Daehler SJ. Yang hingga kini masih hidup adalah Romo Zahnweh SJ di Kolese Stanislaus Girisonta dan Romo Knetsch SJ di Jerman. Romo Joseph Stuffer SJ telah meninggal dunia ketabrak motor saat menjadi pastor paroki di Magelang Utara tahun 1980-an.
T: Kenapa Romo ditugaskan ke Indonesia dan bukan ke India seperti zaman dulu para Jesuit Jerman dikirim ke tanah misi di India dan Afrika seperti yang kami pernah dengar dari Romo Wernet SJ?
J: Alasan pribadi, karena sudah sangat lama pula saya memang ingin pergi ke Indonesia. Saya tertarik mengunjungi Indonesia dan berkarya di sini. Kecuali itu, Provinsi Serikat Jesus Jerman Selatan dimana saya resmi masuk bergabung dan menjadi anggotanya (waktu itu ada Provinsi SJ Jerman Utara darimana Pastor Adolf Heuken SJ berasal—Red.) resmi diminta Generalat di Roma untuk bisa mengirim tenaga-tenaga muda menjadi misionaris ke Indonesia. Hal ini terjadi, karena para misionaris Belanda sudah tidak bisa mendapatkan visa masuk Indonesia. Lalu, India juga sudah tertutup bagi misionaris asing.
T: Tentang sejarah berdiri Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) Jakarta. Darimana muncul ide pendirian STF Driyarkara itu? Siapa saja para founding fathers STF? Apakah hanya para Jesuit saja yang berinisiatif mendirikan STF atau sudah sedari awal mula ide mendirikan STF itu juga melibatkan pihak lain yakni Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dan Ordo Fratrum Minorum (OFM)?
J: STF Driyarkara berdiri karena tiga alasan, yakni:
Ketiga lembaga gerejani di Jakarta yakni Ordo Serikat Jesus (SJ/Jesuit), Ordo Fratrum Minorum (OFM/Fransiskan), dan KAJ memang merasa memerlukan berdirinya lembaga tempat studi filsafat di Jakarta. Sebagaimana kita ketahui bersama, studi filsafat merupakan tahapan awal untuk jenjang pendidikan imamat katolik di Indonesia, sebelum akhirnya menempuh studi lanjutan bidang teologi. KAJ sudah lama mendesak agar Jakarta sebagai Ibukota RI mendapat tempat dimana para frater calon imam bisa belajar filsafat atau teologi. Pada waktu itu, pusat studi teologi sudah lama ada di Yogyakarta, maka keputusannya studi filsafat harus berdiri di Jakarta.
Ini juga berkat kerjaaan dua orang penting waktu itu yakni Prof. Dr. Imam Santoso yang waktu itu menjabat Dekan Fakultas Filsafat UI dan anggota kelompok pecinta filsafat seperti alm. Romo Prof. Dr. N. Drijarkara SJ.
Pada tahun 1967, mendiang Romo Nicolaus Soehirman “Djenthu” Driyarkara mengirim surat kepada Provinsial SJ Provinsi Indonesia –waktu itu Romo Antonius Soenarja SJ—tentang ide ingin mendirikan suatu lembaga studi filsafat di Jakarta. Kata Romo Drijarkara waktu itu, ini soal urgensi dan telah menjadi kebutuhan bersama antara pihak SJ, OFM, dan KAJ.
Karena OFM mau ikut dan juga KAJ juga sudah mendesakkan hal sama, maka Serikat Jesus Provinsi Indonesia (Provindo) akhirnya merasa diri sanggup untuk mendirikan lembaga pendidikan filsafat ini yang kemudian bernama STF Driyarkara. Nama ini dipilih untuk mengenang jasa pastor Jesuit pribumi Indonesia sang pelopor studi filsafat: alm. Mendiang Prof. N. Drijarkara SJ yang juga ikut memelopori berdirinya IKIP (kini Universitas) Sanata Dharma di Yogyakarta.
Karena OFM mau ikut dan juga KAJ juga sudah mendesakkan hal sama, maka Serikat Jesus Provinsi Indonesia (Provindo) akhirnya merasa diri sanggup untuk mendirikan lembaga pendidikan filsafat ini yang kemudian bernama STF Driyarkara. Nama ini dipilih untuk mengenang jasa pastor Jesuit pribumi Indonesia sang pelopor studi filsafat: alm. Mendiang Prof. N. Drijarkara SJ yang juga ikut memelopori berdirinya IKIP (kini Universitas) Sanata Dharma di Yogyakarta.
NB:
Tambahan Info: Comot Sana Sini.
Tambahan Info: Comot Sana Sini.
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ terlahir 26 Mei 1936 dengan menyandang nama asli lengkap sebagai Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis atau dulu biasa disingkat sebagai Franz Graf von Magnis.
Lahir di Eckersdorf, Silesia, di bagian selatan Prussia dan kini Bożków, Nowa Ruda, di Polandia, Romo Franz Magnis-Suseno adalah seorang filosof, ahli etika umum, sosial, dan politik. Pastor Jesuit berdarah bangsawan Jerman ini juga termasuk pastor penulis produktif dengan catatan telah melahirkan lebih dari 30 buku dan ratusan artikel ilmiah yang mengulas isu-isu filsafat, etika umum dan etika politik, filsafat Jawa dan wayang.
Ketertiban hidup hariannya mungkin sama seperti misalnya alm. Romo Prof. Dr. PJ Zoetmoelder. Berkat ketekunannya dan keseriusannya yang luar biasa, maka alm. Romo Zoetmoelder mampu melahirkan buku sangat bermutu tentang khasanah Sastra Jawa Kalangwan (1974) dan kemudian Old Javanese-English Dictionary (1982). Juga ada alm. Romo Dick Hartoko yang menyandang nama Belanda sebagai Theodorus Geldorp. Alm. Romo Dick Hartoko selama bertahun-tahun lamanya setia menggawangi rubrik Tanda-tanda Zaman di Majalah Basis, sebelum akhirnya menyerahkan tongkat komando kepemimpinan majalah intelektual ini kepada Dr. GP Sindhunata, sang penulis buku Anak Bajang Menggiring Angin.
Kembali ke figur Rm Magnis, pada usia sangat belia, ketika baru berumur 25 tahun sebagai frater muda Jesuit, Romo Magnis rela menerima tugas pengutusan dari Ordo Serikat Jesus Provinsi Jerman Selatan untuk pergi ke Indonesia.
Pada tahun 1961, Frater Graf von Magnis (saat itu masih memakai nama tersebut) akhirnya berhasil mendarat di Tanah Jawa dan mulai belajar filsafat dan teologi di Kolese Ignatius (Kolsani) Yogyakarta sekalian mendapat tugas tambahan dari Serikat Jesus untuk juga mulai belajar bahasa Jawa.
Usai menerima tahbisan imamatnya, ia mendapat tugas belajar lanjut di bidang filsafat di Universitas Muenchen. Pada tahun 1973, Romo Franz Magnis-Suseno berhasil memperoleh gelar doktor filsafat dengan disertasi tentang pemikiran Karl Marx muda.
Lahir sebagai bangsawan Jerman, Romo Magnis akhirnya meninggalkan kewarganegaraan Jermannya pada tahun 1977 dan memeluk status baru sebagai WNI. Saking cintanya kepada sosok tokoh wayang Werkudara atau Bima, maka ia menambahkan ‘nama Jawa’ di belakang nama ringkasnya hingga menjadi Franz Magnis-Suseno SJ. Gelar kebangsawanan sebagai ‘Graf von Magnis’ pun nyaris tidak pernah dia perlihatkan selama ini.
Bersama para Jesuit lainnya dan kemudian Keuskupan Agung Jakarta dan Ordo Fratrum Minorum (OFM), Romo Magnis SJ ikut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Jakarta yang kuliah-kuliah awalnya terjadi di kamar-kamar pastoran Gereja St. Theresia di Menteng, Jakarta Pusat.
Sebagai pastor Jesuit, Romo Magnis adalah sosok yang sangat tekun melakukan segala sesuatu dengan teliti dan cermat. Romo Magnis sungguh menampakkan diri sebagai pribadi yang juga sangat keras terhadap diri sendiri. Ia sering melakukan matiraga dan berdoa rosario setiap petang menjelang malam dengan mengelilingi pelataran halaman Kolese Hermanum dan Wisma SJ Rawasari (waktu itu) sebelum akhirnya gedung residensi rumah SJ dan frateran SJ ini digilas rata dengan tanah untuk dijadikan perluasan kampus STF Driyarkara.
Dulu, sebagai Rektor Kolese Hermanum, ia sungguh menjalani keseharian hidup dengan sangat sederhana. Romo Magnis juga dikenal lurus dan sangat tertib diri dalam menjaga perilaku sosialnya dalam pergaulan, sekalipun bahkan memiliki jaringan pergaulan yang sangat luas dari segala kalangan dan latar belakang agama apa pun.
Selepas menikmati tahun sabatikal dengan menjadi pastor paroki di sebuah kawasan sangat udik (pada waktu itu) yakni di Paroki Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Romo Magnis lalu menulis buku Etika Jawa. Di kemudian hari lahirlah buku Etika Politik. Buku ini kini menjadi acuan banyak kalangan, ketika harus berurusan dengan isu bagaimana mempraktikkan kehidupan politik secara sehat, benar, dan bertanggungjawab.
Sebagai pastor Jesuit senior dari tlatah Jerman ke tanah misi di Indonesia (Tanah Jawa), Romo Magnis boleh dibilang masuk di barisan para pastor Jesuit Jerman yang masih bersedia tinggal menetap di Indonesia. Sebagian besar kawan-kawan Jesuit Jerman lainnya sudah lama meninggalkan Indonesia untuk menikmati masa tuanya di negeri darimana mereka lahir dan berasal.
Selain Romo Magnis SJ sendiri, kini para Jesuit Jerman yang masih tetap berkarya di Indonesia adalah penulis produktif Romo Adolf Heuken SJ (dulu dari Provinsi SJ Jerman Utara), Romo Theo Wolf SJ, dan Romo Zhanweh SJ, Romo Knetsch SJ. Sementara, rekan-rekan pastor Jerman lainnya sudah lama pergi meninggalkan Indonesia dan kembali ke Jerman atau sebab lain. Sebut saja misalnya Romo Horst Wernet Hari Wartono SJ, Romo Bock Kastowo SJ, Romo Hans Wysgickl SJ, Romo Heinz Gundhart Gunarto SJ, Romo Ferdinand Hamma SJ, alm. Romo Binzler SJ (telah meninggal karena ditabrak motor saat jogging di kawasan Monas sebagai pastor di Katedral Jakarta), alm. Romo Albrecht Karim Arbi SJ (telah meninggal sebagai korban kerusuhan massal di Dili, Timtim), dan masih banyak lagi lainnya.
Ketika zaman Orde Baru masih berkuasa di Indonesia (1967-1998), Romo Magnis secara kontinyu memberi kuliah filsafat politik dengan salah satu materi pokok bahasan tentang filsafat sosial Hegel, Feuerbach, dan Karl Marx. Ia mencatat sendiri setiap diktat dengan kode-kode khusus sehingga siapa pun akan ketahuan bilamana berani membuat fotokopi atas diktat tersebut. Pada waktu itu, semua buku atau naskah tentang Karl Marx dianggap tabu dan dilarang dipelajari apalagi disebarkan.
Ketika hari-hari terakhir ini isu mengenai bangkitnya ideologi Marxisme dan PKI kembali mengemuka, Romo Magnis ikut bersuara lantang bahwa komunisme itu sudah lama runtuh dan tidak ada bukti negara-negara beraliran komunisme seperti Uni Soviet dan Eropa Timur era Perang Dingin itu mampu memberikan kemakmuran kepada rakyat, selain hanya pada kelompok elit partai saja. Maka, sebagaimana kita lihat di beberapa media, isu ‘hantu bergentayangan’ itu sudah tidak relevan lagi untuk diomongkan dan apalagi dijadikan dasar untuk memberangus nafsu baca orang untuk belajar sejarah.
Melalui artikel-artikel ilmiah dengan ragam bahasa lugas dan langsung pada sasaran dan pada kesempatan tampil menjadi nara sumber diskusi di televisi, radio maupun berbagai acara diskusi, Romo Magnis SJ selalu aktif bicara dan mempromosikan nilai-nilai keadaban publik yang mesti dijunjung tinggi. Ia tanpa henti selalu menekankan pentingnya para pemangku otoritas pemerintahan dan para politisi itu harus tahu apa itu etika politik. Romo Magnis juga tanpa henti memperjuangkan terjadinya bonum commune (keadilan sosial) di masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 13 Agustus 2015, Romo Magnis SJ dianugerahi Bintang Mahaputra Utama oleh Pemerintah RI atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan dan filsafat berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/TaHUN 2015 tanggal 7 Agustus 2015.
Namun, jauh hari sebelumnya di tahun 2001, Romo Magnis sudah lebih dulu menerima Bintang Jasa Kehormatan ‘Das Große Verdienstkreuz des Verdienstordens’ dari Pemerintah Jerman.
Romo Magnis juga mendapat gelar doktor kehormatan di bidang teologi dari Universitas Luzern, Swiss.
Di lain segi, karena berlawanan dengan isi hati nuraninya, maka dengan tegas pula Romo Magnis pernah berani menolak penghargaan Bakrie Awards yang semula akan diberikan pengusaha-politisi Partai Golkar Aburizal ‘Ical’ Bakrie atas jasa-jasa Romo Magnis di bidang sosial.
Selama menjadi dosen etika umum dan etika politik, Romo Magnis selalu mengajarkan kepada para mahasiswanya untuk tidak pernah mengabaikan apa yang dia sebut sebagai ‘matahati’ manusia yakni hati nurani atau suara hati karena di situlah nilai moralitas baik-tidaknya sebagai manusia antara lain bisa diukur: “Hati nurani atau suara hati tidak bisa berbohong.”
Salah satu alasan yang dia kemukakan adalah seperti ini. Bagaimana ia akan bisa ‘menipu diri’ dan membungkam dalam-dalam suara hati nuraninya ketika seharusnya malah berteriak menyerukan keadilan bagi sekalian korban bencana Lapindo Brantas, sementara di satu sisi dia dikasih penghargaan dan mungkin juga uang dari kelompok usaha Bakrie cs. Dua hal yang tidak bisa diperdamaikan, dan karenanya Romo Magnis lalu mengikuti suara hati nuraninya yang selalu dia katakan: “tidak bisa bohong pada suara hati!”.
Pada tahun 2007 itulah, Romo Franz Magnis-Suseno dengan sangat tegas namun santun menyatakan ketidaksediaannya menerima penghargaan Bakrie Awards untuk dirinya, sekalipun beberapa tokoh agama lain juga telah berkenan menerimanya. Namun, tidak bagi Romo Magnis. “Jika menerima, saya akan selalu merasa bersalah menerima penghargaan dari orang yang perusahaannya mengakibatkan rakyat Porong di Jawa Timur menderita,” kata Romo Magnis membeberkan alasan ‘suara hati nuraninya’ mengapa harus menolak penghargaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar