HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
HARAPAN IMAN KASIH.
Sang Begawan:
Pater Franz von Magnis Suseno SJ.
Pater Franz von Magnis Suseno SJ.
Di bawah ini adalah sepenggal tulisan dari Pater Franz von Magnis Suseno SJ yang genap berusia 81 tahun pada 26 Mei 2017 yang lalu.
Kita doakan Indonesia-nis ini. Semoga jiwa dan semangat kenegarawanannya menjadi teladan dan inspirasi bagi kita yang orang-orang asli Indonesia.
IDEOLOGI
(Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno)
(Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno)
"Ideologi" merupakan salah satu kata kunci dalam alam politik sejak dua ratus tahun terakhir. Akan tetapi apakah ideologi adalah sesuatu yang perlu dan positif, atau malah merupakan sesuatu yang harus "dikritik" dan "dibongkar" masih tetap dipertentangkan.
Marxisme-Leninisme pernah dengan bangga menamakan diri "ideologi proletariat" dan di Indonesia anggapan bahwa "Indonesia memerlukan sebuah ideologi" masih sering disuarakan. Padahal dalam filsafat politik kata ideologi umumnya dianggap bernada negatif.
Kata ideologi lalu dilihat bersamaan dengan sikap "ideologis". Kata "ideologis" dalam segala konteks selalu bernada negatif. Menamakan pikiran ideologis adalah sama dengan menuduhnya tidak benar atau tidak jujur.
Sebuah argumentasi disebut "ideologis" apabila mendasarkan diri pada suatu pikiran atau teori yang tampak luhur, tetapi sebenarnya menjadi wahana kepentingan kekuasaan tersembunyi.
Pemikiran ideologis adalah pemikiran yang secara objektif, bahkan kadang-kadang secara subjektif menyesatkan. "Ideologis" berarti benar hanya karena melegitimasikan kepentingan kekuasaan yang bersangkutan. Kalau sebuah teori atau cita-cita universal dituduh ideologis, yang mau dikatakan adalah bahwa ciri universal cita-cita itu hanyalah kamuflase sebuah maksud tersembunyi yang tidak universal dan tidak luhur.
A.
Kata Ideologi
Kata Ideologi
Paham ideologi dalam arti pemikiran ideologis berasal dari Karl Marx. Marx mengajar bahwa selama masyarakat masih dikuasai oleh kelas-kelas atas, jadi selama manusia belum betul-betul sosial, sistem-sistem pemikiran besar yang menyediakan makna dan pengertian menyeluruh kepada masyarakat mesti bersifat ideologis.
Jadi bahwa pandangan-pandangan moral, agama, nilai-nilai budaya, cita-cita keadilan dan lain sebagainya sebenarnya menunjang kepentingan kelas-kelas atas untuk mempertahankan kekuasaan. Cita-cita itu di permukaan kelihatan indah dan universal.
Artinya, cita-cita itu menjanjikan kebaikan bagi segenap manusia kalau diikuti. Tetapi sebenarnya cita-cita itu berfungsi untuk membuat kelas-kelas bawah mau menerima keadaan mereka sebagai kelas bawah sebagai sesuatu yang baik dan luhur, yang akhirnya, barangkali di surga, akan mendapat ganjarannya.
Hal itu berarti, bahwa karena cita-cita moral, ajaran agama dan nilai-nilai budaya kelas-kelas yang terhisap dan terpuruk bersedia melakukan apa yang oleh tatanan masyarakat itu ditetapkan sebagai kewajiban mereka daripada memberontak dan menuntut pembagian hasil kerja masyarakat yang lebih adil.
Dalam arti ini agama, moralitas dan nilai-nilai budaya bagi Marx merupakan ideologi, sistem-sistem berpikir yang menyediakan legitimasi kepada struktur-struktur kekuasaan yang tidak adil, tidak manusiawi dan tidak bermoral.
Maka kalau bahasa sehari-hari bicara tentang pelbagai pandangan dunia sosial-politis sebagai ideologi, selalu terbawa juga nada kecurigaan jangan-jangan teori-teori bagus itu sebenarnya memainkan fungsi yang tersembunyi sebagai sarana untuk memperkokoh kekuasaan golongan-golongan atas dalam penghayatan masyarakat itu. Dalam filsafat, "ideologi" dilawankan dengan "pengetahuan sungguh-sungguh."
Jadi, ideologi dipahami sebagai "pengetahuan yang terdistorsi", sebagai keseluruhan cita-cita, nilai-nilai dan pikiran-pikiran yang tidak pertama-tama mau memenangkan kebenaran, melainkan mengamankan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa. Pendek kata, pikiran-pikiran itu sebenarnya bukannya "benar", melainkan mau melegitimasikan hubungan kekuasaan tertentu.
Ada juga paham ideologi yang lebih luas, namun tetap dengan nada negatif. Dalam sosiologi pengetahuan, dan sebagai akibat positivisme dan empirisme, kata "ideologi" dipakai untuk segala pandangan, keyakinan, kepercayaan, sistem normatif dan lain sebagainya yang tidak dapat dikembalikan pada pengamatan empiris atau pernyataan-pernyataan deskriptif.
Dalam model pandangan ini, “ideologi” lalu dimengerti sebagai segala macam pemikiran yang tidak ilmiah, yang tidak berdasarkan suatu kenyataan objektif, yang bersifat subjektif belaka. Segala cita-cita, harapan, ajaran moral, pandangan tentang baik dan buruk menurut gaya bahasa ini termasuk "ideologi".
Di sini bukan tempatnya untuk menguji pandangan positivistik itu. Cukup dicatat bahwa positivisme sekarang umumnya ditolak dalam filsafat. Sebagian filsuf sekarang berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat didukung dengan argumentasi yang sah. Di sini hanya mau diperlihatkan bahwa ideologi dalam filsafat dan sering juga dalam politik dikaitan dengan pengetahuan yang kurang objektif, subjektif, tak ilmiah, yang terdistorsi oleh kepentingan dan lain sebagainya.
Namun, berlawanan dengan pengertian di atas, dalam pengertian umum, kata ideologi dipakai justru dalam arti yang netral, sebagai teori sosial dan politik menyeluruh yang memuat program perubahan dan penataan kembali masyarakat, jadi yang memberikan arah dan tujuan pada suatu perjuangan politik.
Dalam arti ini ideologi oleh mereka yang mengikutinya dianggap sebagai sesuatu yang positif, sebagai sesuatu yang dibanggakan. Gerakan-gerakan radikal suka menyebut teori perjuangan mereka "ideologi". Contoh utama tentu adalah Marxisme-Leninisme, ajaran teoretis komunisme yang oleh kaum komunis resmi disebut "ideologi" atau pandangan dunia ilmiah proletariat. Dalam arti netral ini kata "ideologi" lalu dipakai bagi paham-paham besar modernitas seperti liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan nasionalisme.
B.
Ideologi dan Modernitas.
Ideologi dan Modernitas.
Ada beberapa hal yang pantas diperhatikan. Yang pertama: Semua ideologi, tanpa kecuali, baru muncul selama tiga ratus tahun terakhir. Rupa-rupanya munculnya ideologi-ideologi berhubungan erat dengan sekularisasi dan keruntuhan struktur-struktur kekuasaan serta kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Dalam semua masyarakat tradisional di dunia, seluruh kehidupan masyarakat – pola cocok tanam dan bertukang, perekonomian pada umumnya, pemerintahan yang biasanya di bawah seorang raja, keagamaan dengan pelbagai struktur kependetaan dan keulamaan, dan cara berperang – berlangsung dalam kerangka pandangan dunia, kepercayaan-kepercayaan, dunia nilai dan pandangan normatif yang sama, yang bagi masyarakat bersangkutan berfungsi sebagai latar belakang pengertian diri dalam dunia dan oleh karena itu tidak pernah dipersoalkan.
Yang dipersoalkan adalah apakah kelakuan individual atau suatu penataan sosial sesuai dengan kerangka itu. Pandangan-pandangan religius, nilai-nilai, pandangan tentang struktur alam tertentu itu menjadi latar belakang mengapa orang-orang dalam masyarakat-masyarakat itu merasakan tata hidup, cara berkomunikasi dan bekerja mereka sebagai bermakna.
Jürgen Habermas menyebut latar belakang segala makna itu sebagai "dunia kehidupan" ("Lebenswelt"). Dalam dunia di mana semua warga masyarakat dengan sendirinya memahami diri pada latar belakang makna yang sama tidak ada ruang spiritual untuk sebuah ideologi.
Mengapa? Karena ideologi selalu menawarkan makna, memuat cita-cita, tujuan-tujuan dan tuntutan-tuntutan yang berdasarkan suatu makna yang khusus. Tetapi dunia makna dalam masyarakat tradisional masih mantap diduduki oleh "dunia kehidupan" tradisional itu.
Nilai utama liberalisme misalnya adalah kebebasan. Liberalisme menuntut kebebasan dan karena itu menolak segala ketaatan, baik terhadap raja maupun terhadap lembaga agama, yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional. Kebebasan sampai hari ini menjadi salah satu nilai paling penting yang dapat menggerakkan bangsa-bangsa. Di Indonesia hari raya nasional terbesar adalah hari raya Kemerdekaaan Republik Indonesia. Tetapi dalam masyarakat tradisional kebebasan atau kemerdekaan tidak pernah merupakan nilai istimewa. Bebas barangkali bisa berarti pembebasan dari status perbudakan, bebas dari hama tikus, dan sebagainya. Tetapi, misalnya di Jawa, nilai-nilai yang lebih mendalam adalah tata tentrem adil makmur kerta raharja (tertata [baik], tenteram, adil, sejahtera, kaya, bahagia). Baru sesudah alam makna tradisional itu runtuh pertanyaan tentang suatu makna baru bisa muncul.
C.
Individualisme.
Individualisme.
Salah satu latar belakang kunci munculnya ideologi-ideologi adalah individualisme. Individualisme memang merupakan salah satu ciri paham diri manusia pasca tradisional paling mencolok. Individualisme baik suatu kesadaran maupun sebuah kenyataan sosial-sosiologis.
Individualisme adalah kesadaran diri manusia bahwa ia seorang diri yang bebas untuk menentukan sikap dan tindakannya, serta untuk bertanggungjawab atasnya, pun pula apabila tidak sesuai dengan kehendak atau adat-istiadat kelompok.
Secara tradisional seseorang selalu menghayati diri sebagai anggota kelompok sosial dalam pelbagai lingkaran intensitasnya: Ia anggota suatu keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga lebih luas (marga), ia warga desa, anggota umat beragama tertentu dan barangkali anggota sebuah profesi (misalnya pande besi). Ia menganggap baik yang dianggap baik oleh kelompoknya dan buruk apa yang dicela oleh kelompoknya. Tak mungkin bahwa ia menolak nilai-nilai dan norma-norma kelompoknya. Ia bisa saja melanggar sebuah norma kelompok, misalnya dengan berzinah, tetapi ia tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu pelanggaran dan tidak baik.
Tetapi di modernitas bisa terjadi bahwa seseorang bukan hanya berzinah, melainkan juga menyatakan bahwa berzinah itu haknya dan bukan sesuatu yang buruk. Ia tidak hanya melanggar norma yang berlaku, ia menyangkal bahwa norma itu sendiri berlaku. Individu modern – sebagaimana dirumuskan dengan paling jernih oleh Immanuel Kant - merasa berhak untuk mengetahui sendiri apa yang benar dan baik dan apa yang salah, dan ia akan merasa wajib bertindak sesuai dengan kesadarannya itu, juga apabila kesadarannya bertentangan dengan norma-norma kelompoknya.
Immanuel Kant menarik kesimpulan bahwa moralitas yang benar adalah moralitas otonom, otonom dalam arti bahwa sikap moral yang benar bukanlah asal mengikuti aturan kelompok, melainkan bertindak sesuai dengan apa yang diyakini oleh orang yang bersangkutan sendiri sebagai benar.
Pendekatan individualistik itu merupakan suatu perubahan luar biasa terhadap seluruh tradisi. Namun perlu diperhatikan bahwa sebenarnya individualisme sudah merupakan implikasi keagamaan Abrahamistik.
Menurut kepercayaan tiga agama keturunan Abraham : Yahudi, Kristen dan Islam, setiap orang di saat kematiannya akan menghadap Tuhan Penciptanya secara individual dan akan dinilai secara individual juga apakah masuk surga atau tidak.
Diyakini bahwa Tuhan tidak akan menerima kalau ia mengatakan bahwa ia ikut-ikutan berbuat jahat bersama orang-orang sekelompok, melainkan Tuhan akan bertanya: "Mengapa engkau ikut melakukan apa yang kauketahui tidak benar?"
Keluhuran individu dalam pandangan dunia agama-agama Abrahamistik kelihatan dari fakta kepercayaan bahwa kematian manusia individual tidak – seperti halnya di beberapa agama Asia Selatan dan Timur - dimengerti sebagai kembalinya setetes air ke dalam samudra alam raya, apalagi sebagai padamnya lilin kehidupan sebagaimana halnya kematian binatang. Melainkan individu masing-masing, secara personal, diciptakan untuk bereksistensi untuk selama-lamanya. Jadi setiap orang bernilai dalam kekhasan individualnya dalam pandangan Tuhan.
Keyakinan akan arti mutlak eksistensi individual ini sebenarnya berimplikasi bahwa setiap orang harus bertindak menurut suara hatinya sendiri dan bukan sekedar mengikuti kelompoknya. Akan tetapi, meskipun misalnya filsuf dan teolog besar dari Abad Pertengahan bernama Thomas Aquinas (1225-1274) sudah mengajarkan bahwa setiap orang wajib untuk selalu mengikuti suara hatinya, toh kesadaran itu tadi sebenarnya baru mulai dihayati lebih luas sejak zaman Pencerahan, sejak saat fajar budaya modernitas menyingsing. Perubahan kesadaran manusia ini – sebuah perubahan paradigma sungguh-sungguh – tidak lepas dari keambrukan struktur-struktur sosial-politik tradisional.
Pada abad ke-17, kapitalisme purba – kapitalisme yang belum dimotori oleh revolusi industri – sudah mendobrak tatanan sosial tradisional kaku abad pertengahan. Kapitalisme menuntut agar petani dibebaskan dari kewajiban untuk tetap di desanya, agar pembatasan-pembatasan untuk berusaha, untuk bertukang, untuk mencari pekerjaan dihapus. Kapitalisme menutut kebebasan orang untuk bekerja di mana ia mau, berproduksi sesuai dengan kemauannnya, bebas berdagang.
Dengan demikian individu menjadi lebih bebas bergerak, dengan akibat bahwa struktur-struktur sosial tradisional yang juga menjamin kehidupan dan keamanan individu kehilangan artinya. Manusia harus berjuang secara individual untuk survive, segala kemungkinan jadi terbuka baginya (kita kenal ceritera-ceritera tentang orang yang mulai dengan cuci piring di New York, dan akhirnya bisa menjadi jutawan), tetapi begitu pula segala risiko (itulah salah satu latar belakang sosial munculnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia). Mudah dilihat bahwa individualisasi itu sudah ke mana-mana.
Di Indonesia hanya sedikit orang yang masih bisa hidup dari gotong-royong di desa, sebagian besar warga masyarakat harus mencari pekerjaan secara individual kalau ia dan keluarganya mau makan.
Dalam pendidikan di sekolah, orang dinilai menurut ranking individualnya, menurut prestasi individualnya, dan bukan menurut asal-usul sosialnya. Individualisasi paling jelas kelihatan dalam fakta bahwa taraf kehidupan seseorang tidak lagi tergantung dari kelompoknya, melainkan semata-mata dari apakah ia secara individual memiliki uang. Begitu pula orang perlu KTP, SIM, dan lain-lain yang sifatnya individual kalau ia mau hidup.
Individualisasi sosial dan kesadaran individualistik mempunyai akibat bahwa wawasan intelektual dan emosional seseorang tidak lagi secara otomatis mesti tertampung dalam dunia kehidupan keluarganya, kampungnya, umatnya.
Oleh karena itu seseorang mungkin merasa kehidupannya tidak lagi bermakna, maka ia mencarinya. Nah, ideologi-ideologi menawarkan makna itu. Ideologi-ideologi mengisi ruang yang sudah ditinggalkan oleh tradisi dan yang sudah tersekularisasi dalam arti bahwa makna-makna keagamaan yang dulu melekat pada segenap unsur kehidupan dari pagi sampai malam, sudah menguap. Ideologi-ideologi mengisi ruang kosong nir-makna cakrawala manusia pasca-tradisional.
D.
Intensitas Ideologis Berbeda.
Intensitas Ideologis Berbeda.
Akan tetapi, kalau kita bicara tentang ideologi kita harus memperhatikan bahwa corak dan intensitas ideologi-ideologi itu sangat berbeda.
Ada ideologi-ideologi yang keras, dengan ajaran lengkap mengenai hampir semua segi kehidupan politik, sosial dan ekonomi, di mana ideologi dirumuskan dalam buku-buku resmi, diajarkan kepada para pengikutnya, atau, di mana ideologi itu berkuasa, kepada masyarakat, dan orang yang mengritik ideologi ditindak.
Ideologi-ideologi keras itu selalu diperjuangkan oleh suatu gerakan politik yang mempunyai program perebutan kekuasaan dan mencoba membentuk masyarakat sesuai dengan ideologinya itu.
Tiga contoh paling jelas ideologi keras itu adalah
(1) Marxisme-Leninisme, ideologi gerakan komunis sedunia,
(2) Fasisme, yang dengan paling ekstrem terwujud dalam Nasionalsosialisme (Nazi), dan (3) Islamisme Imam Khomeini di Iran.
(1) Marxisme-Leninisme, ideologi gerakan komunis sedunia,
(2) Fasisme, yang dengan paling ekstrem terwujud dalam Nasionalsosialisme (Nazi), dan (3) Islamisme Imam Khomeini di Iran.
Tiga ideologi itu tentu sangat berbeda satu sama lain. Tetapi masing-masing menjadi dasar perjuangan untuk merebut kekuasaan, dan sesudah gerakan ideologis itu merebut kekuasaan mereka mendirikan sistem kekuasaan keras berdasarkan ideologi mereka. Mereka semua menolak demokrasi atas dasar pertimbangan, bahwa kebenaran tidak tergantung dari pandangan mayoritas, dan karena itu pemerintahan justru harus dipegang atau, seperti di Iran, dikontrol oleh para penjaga kemurnian ideologis (dalam komunisme itu adalah Komite Sentral Partai Komunis, dalam Nazisme itu pemimpin sendiri dan jajaran partai Nazi, di Iran itu adalah Majelis Para Penjaga Islam di bawah Kepala Spiritual Imam Ali Khameini).
Pendidikan dikontrol ketat secara ekslusif sesuai dengan ideologi negara, ada aparat yang mengontrol masyarakat dan menindak segala cara hidup, usaha, pekerjaan profesional dan pola rekreasi yang tidak sesuai dengan ideologi itu. Perlawanan tidak diizinkan dan penjara-penjara penuh dengan orang-orang yang ditemukan menyeleweng dari kemurnian ideologi.
Liberalisme, tetapi juga kapitalisme sangat berbeda dari ideologi-ideologi keras itu. Dua ideologi itu hanya memperjuangkan kebebasan terhadap kuasa-kuasa feodal dan diktatoris, yaitu kebebasan politik-sosial-kultural dan (kapitalisme) kebebasan untuk berusaha.
Dua ideologi itu tidak memiliki ajaran tertentu. Mereka hanya memperjuangkan sebuah nilai, yaitu kebebasan itu. Liberalisme – nama ideologi ini baru dipakai di abad ke-19 – adalah paham yang pertama memperjuangkan nilai kebebasan.
Tokoh liberalisme adalah filosof Inggris John Locke yang hidup di abad ke-17 dan menjadi konseptor negara monarki konstitusional pertama, kerajaan Inggris, sesudah "Revolusi Mulia" 1689.
Secara sampingan dapat dicatat bahwa liberalisme kemudian juga mengembangkan anggapan-anggapan lebih keras daripada hanya kebebasan, terutama dalam bentuk sekularisme, yaitu penolakan terhadap pengaruh Gereja (sekarang: agama) atas kehidupan publik.
Maka, secara historis liberalisme memperlihatkan juga sikap-sikap yang sebenarnya justru tidak liberal, seperti melarang sekolah-sekolah beragama, membubarkan biara-biara, melarang tarekat-tarekat religius tertentu (seperti Ordo Yesuit di Perancis dan Jerman pada akhir abad ke-19). Akan tetapi ideologi-ideologi "lunak" tidak mengenal paksaan ideologis, mereka justru mendukung demokrasi di mana segala sikap diizinkan kecuali yang mau membongkar demokrasi sendiri.
Nasionalisme adalah sebuah ideologi khusus. Di satu pihak nasionalisme barangkali merupakan kekuatan ideologis paling besar selama abad ke-19 dan sebagian abad ke-20.
Nasionalisme bisa betul-betul menggerakkan hati orang. Orang bersedia untuk berjuang dan bahkan mati atas nama kebangsaan. Tetapi kalau kita bertanya apa ajaran nasionalisme, langsung kelihatan bahwa nasionalisme itu bukan sebuah ajaran sama sekali.
Nasionalisme adalah suatu keterlibatan hati, suatu perasaan, tetapi tidak mempunyai paham-paham teoretis sama sekali. Karena itu Nasionalisme adalah khas bagi masing-masing bangsa, sedangkan Liberalisme, Marxisme-Leninsime, Sosialisme, Islamisme dan Feminisme di seluruh dunia dan di semua masyarakat pada hakekatnya sama dan karena itu bisa memakai buku ajaran atau doktrin, dan sebagainya, yang sama. Tetapi nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme Malaysia dan bukan nasionalisme Amerika Serikat.
Kita dapat juga membedakan antara ideologi-ideologi universalistik dan ideologi kelompok, umat, bangsa tertentu. Ideologi-ideologi universalistik mengklaim keberlakuan bagi segenap manusia, jadi segenap bangsa, masyarakat dan negara.
Di antara ideologi-ideologi universalistik termasuk liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Marxisme-komunisme, dan juga keyakinan demokratis. Nasionalisme, meski ditemukan di semua negara dan karena itu merupakan gejala universal, tidak termasuk ideologi universalistik.
Orang dari semua bangsa dan negara bisa berjuang di bawah bendera sosialisme, tetapi tidak di bawah bendera satu nasionalisme. Fasisme dan Nasionalsosialisme (NAZI), meskipun mempunyai kemiripan, justru mengunggulkan bangsa tertentu dan tanpa ragu-ragu akan menyingkirkan bangsa-bangsa penghalang. Islamisme dan Feminisme, meskipun mempunyai tujuan-tujuan spesifik, bersifat universal karena berpendapat bahwa apa yang mereka perjuangkan berlaku bagi seluruh umat manusia.
Sebaliknya gerakan-gerakan dengan ideologi regional mau memenangkan atau membebaskan kelompok, daerah, suku atau etnik tertentu, biasanya atas dasar pengandaian bahwa kelompok atau golongan itu tertindas dan harus dibebaskan, dan karena itu tidak mengangkat klaim keberlakuan universal (tetapi mereka memperjuangkan sasaran-sasaran mereka atas nama keberlakuan universal hak-hak asasi manusia).
Yang mencolok adalah bahwa pada akhir abad ke-20 ideologi-ideologi sekuler besar kehilangan daya juangnya. Liberalisme (politik) semakin tidak relevan, justru karena tujuan-tujuan politik yang diperjuangkannya semua sudah tercapai: Negara hukum demokratis, negara berdasarkan undang-undang dasar yang membatasi kesewenang-wenangan pemerintah, pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan pemastian konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia.
Pokok-pokok ini semua sekarang sudah secara universal diyakini sebagai tonggak-tonggak etika politik struktural. Fasisme dan Nasionalsosialisme, meskipun sebagai tendensi tetap masih ada, rupa-rupanya mati sebagai gerakan massal karena secara amat kentara membawa bangsa-bangsa yang menganutnya ke dalam kehancuran (terbukti dalam perang dunia kedua).
Komunisme dan pelbagai bentuk sosialisme terdiskreditasi pada akhir abad ke-20, tidak hanya karena brutalitas kekuasaannya, melainkan terutama karena gagal menciptakan kesejahteraan umum dan kalah jauh terhadap negara-negara dengan sistem perekonomian pasar.
Di Cina, komunisme hanya mempertahankan kekuasaan, karena menggantikan sosialisme dengan kapitalisme. Sebaliknya, ideologi-ideologi yang bersifat agamis maupun regionalis (Tamil Elam dan lain sebagainya), jadi yang justru tidak universal, kelihatan semakin menyatakan diri dan menyaingi nasionalisme.
D.
Penutup.
Penutup.
Lalu bagaimana kita harus bersikap terhadap ideologi-ideologi? Uraian di atas kiranya membuat jelas bahwa pertanyaan ini tidak bisa dijawab.
Sekurang-kurangnya tidak sebelum orang menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan ideologi. Kalau orang mengikuti cara bicara positivisme dan menyebutkan segala sistem nilai sebagai "ideologi", tentu setiap orang mempunyai ideologi.
Tetapi menurut saya cara bicara positivistik – yang mengandaikan bahwa cita-cita dan nilai-nilai merupakan sesuatu yang irasional belaka – tidak tepat. Lebih baik bicara tentang nilai-nilai, cita-cita, makna-makna berdasar.
Seperti misalnya kalau kita bicara Pancasila. Pancasila jelas bukan sebuah ajaran eksplisit, melainkan sejumlah nilai yang amat mendasar. Menyebutkan Pancasila ideologi tidak memberi manfaat apa-apa. Tetapi memang betul. Kita tidak dapat menjalankan kehidupan politik-sosial kecuali mempunyai nilai-nilai, cita-cita, keyakinan-keyakinan tertentu, misalnya tentang solidaritas bangsa.
Tetapi kalau ideologi dimengerti sebagai sebuah sistem pemikiran politik yang lengkap, sesuatu yang bisa ditulis dalam buku panjang dan diajarkan dalam kursus-kursus indoktrinasi, menurut saya kita justru tidak memerlukan ideologi.
Ideologi semacam itu selalu cenderung menjadi ideologis, cenderung membelenggu keterbukaan berpikir dan menyingkirkan integritas orang yang mempertanggungjawabkan kelakuannya tidak terhadap sebuah ajaran pikiran para ideologi, melainkan terhadap suara hati, cerminan suara Tuhan dalam hatinya. Ideologi-ideologi itu hampir semua memiliki segi penindas dan pembungkam.
Yang kita perlukan adalah kritik terhadap segala macam ideologi dan keberakaran dalam nilai-nilai dan keyakinan dasar yang positif, terbuka, sosial dan jujur.
NB:
Ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia dua tahun lalu terasa istimewa. Selain Romo van Lith, dua imam juga menerima penghargaan dari pemerintah. Dua imam itu yakni Romo Franz Magnis-Suseno SJ dan almarhum Romo Petrus Josephus Zoetmulder SJ.
Ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia dua tahun lalu terasa istimewa. Selain Romo van Lith, dua imam juga menerima penghargaan dari pemerintah. Dua imam itu yakni Romo Franz Magnis-Suseno SJ dan almarhum Romo Petrus Josephus Zoetmulder SJ.
Sosok Romo Magnis sudah terlampau dikenal berbagai kalangan. Tapi, siapa Romo Zoetmulder? Mengapa ia layak mendapat Bintang Budaya Paramadharma?
Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (lahir di Utrecht, Belanda, 29 Januari 1906 – meninggal di Yogyakarta, 8 Juli 1995 pada umur 89 tahun) adalah seorang pakar Sastra Jawa dan budayawan Indonesia. Ia terkenal dengan disertasinya mengenai penelitian tentang sebuah aspek agama Kejawen yang dalam edisi Indonesianya berjudul "Manunggaling Kawula Gusti".
Ya, nama Zoetmulder memang tidak dapat dilepaskan dari telaah sastra Jawa Kuno Kalangwan dan kamus Jawa Kunanya yang terbit dalam dua edisi, yaitu edisi Bahasa Inggris (1982) dan edisi Bahasa Indonesia (1995).
Ia lahir di Belanda, 29 Januari 1906. Sejak tahun 1950-an, Romo Zoetmulder memilih menjadi warga negara Indonesia. Seperti para imam dari Eropa yang lain, Romo Zoetmulder merasa nyaman tinggal di Indonesia hingga akhir hayat dengan perawakannya sebagai Pastor Londo yang tinggi besar dan jika berbicara menggunakan bahasa Jawa yang sangat halus.
Romo Zoetmulder terkenal juga dalam kedisiplinan hariannya. Ia menjalankan aktivitas di Gereja Hati Santa Maria Tak Bercela Kumetiran, Yogyakarta, sebuah paroki dimana saya juga pernah bertugas di akhir studi saya sebagai frater teologan di Yogyakarta.
Menurut kesaksian banyak orang, dari bangun, sarapan, pergi ke kantor, pulang, makan malam, baca majalah atau koran, hingga tidur malam, nyaris selalu tepat waktu. Sangat presisi!
Dalam bekerja, Romo Zoetmulder ditemani sopir yang merangkap menjadi asisten. Jika tak salah bernama Mukibat. Si sopir hanya tamatan sekolah dasar. Alhasil, semua karya intelektual Romo Zoetmulder mendapat sentuhan tangan sang sopir. Mulai dari mencari referensi, mengumpulkan kliping, mengetik, sampai menjadi naskah paripurna. Si sopir bertindak sebagai asisten yang piawai.
Romo Zoetmulder juga amat sederhana dalam hal makanan. Ia menyukai tahu dan tempe, serta sayur-mayur khas Yogyakarta. Ia sangat menikmati makanan tradisional. Ia menghayati hidup ugahari; sederhana dan membumi.
Kepingan-kepingan kecil tentang Romo Zoetmulder ini yang kemudian menjadi gambaran tentang sosok Romo Zoetmulder secara utuh.
Pertama, disiplin yang telah melekat erat dalam diri Romo Zoetmulder. Tidak hanya menyoal tentang disiplin waktu saja, Romo Zoetmulder juga disiplin dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Selama berkarya sebagai imam dan cendekiawan di kampus, tidak pernah terdengar desas-desus tentang kecerobohan Romo Zoetmulder.
Kedua, pemuridan. Dalam konteks ini, Romo Zoetmulder meneladan junjungannya, Yesus Kristus. Tumbuh kembang kristianitas lantaran strategi Yesus yang mengangkat dua belas murid untuk mewartakan Kabar Gembira.
Mirip seperti Yesus, Romo Zoetmulder juga melakukan pemuridan, mulai dari yang sederhana seperti sang sopir yang menjadi asisten, hingga para mahasiswa yang kelak menjadi cendekiawan utama dalam budaya Jawa.
Alhasil, walaupun Romo Zoetmulder sudah mangkat pada 1995, hasil karya dan pemikirannya tetap “abadi”, karena diteruskan para muridnya.
Ketiga, ugahari. Kaul kemiskinan ia jalankan dengan konsekuen. Prinsip hidup Romo Zoetmulder jika diterjemahkan adalah sederhana dalam penampilan, kaya dalam pengetahuan. Ugahari yang dijalani Romo Zoetmulder akhirnya melahirkan karya yang tidak lekang ditelan zaman.
Tanda Kehormatan Bintang Budaya Paramadharma dari Pemerintah RI sudah disematkan di dada Romo Zoetmulder. Dan kita, entah imam maupun awam, pantas meneladan hidup Romo Petrus Josephus Zoetmulder SJ.
B.
Belajar dari LB.Moerdani
Belajar dari LB.Moerdani
Bukan rahasia lagi, trend menjadi muallaf karena iming-iming pangkat dan jabatan sudah terjadi secara masif.
Karenanya, ada orang yg rela menukar keyakinannya demi sebuah pangkat dan jabatan. Ini terjadi juga di dunia artis, artis karbitan ingin tenar dadakan dengan bermuallaf ria.
LB Moerdani, tidak mau menjual keyakinannya demi sebuah jabatan. Hal tsb tertuang dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru : Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014).
Fikri Jufri bertanya pada Benny Moerdani "kenapa anda tidak mau masuk Islam supaya kami bisa memilih Anda sebagai Presiden Republik Indonesia ?
Dituliskan, "Semua yang hadir terdiam. Benny menatap tajam Fikri dan bilang :" Apa kamu pikir saya semurah itu? Dengan nada marah.
'Meninggalkan keyakinan saya hanya untuk mendapatkan suatu jabatan? Never!' "
Sampai akhir hayatnya Pak Benny tetap setia pada keyakinannya. Ia wafat sbg seorang Katholik yang taat.
#jangan tukar imanmu demi urusan perut dan bawah perut#
C.
Pada hari Kamis tanggal 13 Agustus 2015, Pemerintah RI menganugerahi dua bintang penghargaan bagi dua pastor Jesuit moncer yang dianggap berjasa bagi bangsa Indonesia. Kedua pastor Jesuit itu adalah alm. Pastor Prof. Dr. Petrus “Piet” Josephus Zoetmulder SJ (1906-1995) dan Pastor Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ.
Pada hari Kamis tanggal 13 Agustus 2015, Pemerintah RI menganugerahi dua bintang penghargaan bagi dua pastor Jesuit moncer yang dianggap berjasa bagi bangsa Indonesia. Kedua pastor Jesuit itu adalah alm. Pastor Prof. Dr. Petrus “Piet” Josephus Zoetmulder SJ (1906-1995) dan Pastor Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ.
Alm. Pastor Zoet –demikian begawan untuk studi sastra Jawa klasik ini biasa dipanggil– dianggap berjasa atas karya intelektualnya yang cemerlang dengan menulis kamus Bahasa Jawa Kuna dalam dua edisi: Bahasa Inggris (1982) dan Bahasa Indonesia (1995). Pastor Zoet juga menulis buku masterpiece tentang sastra Jawa yakni Kalangwan.
Diutus sebagai misionaris ke Tanah Jawa masih sebagai novis Jesuit, Pater Zoet melanjutkan studinya di Yogyakarta dan kemudian kuliah di Universitas Leiden atas saran Pastor J. Willekens SJ yang kelak menjadi Uskup Batavia.
Usai mendapatkan gelar doktor bidang Sastra Jawa Klasik di Universitas Leiden di Belanda (1935), Romo Zoet langsung melanjutkan studi imamatnya di Maastrict. Sebagai Jesuit, ia menjalani masa tersiatnya di Belgia.
Ia kembali ke Tanah Jawa dengan lika-liku perjalanan yang menegangkan karena saat itu Eropa mulai dikuasai oleh ekspansi Nazi Jerman. Ia mesti mengungsi ke Perancis dan kemudian ke Inggris dan selanjutnya naik kapal menuju Indonesia melalui Hong Kong. Salah satu teman perjalanannya meninggal dunia ketika hendak naik kapal namun kemudian kapal itu ditorpedo oleh Angkatan Laut Nazi Jerman.
Sepanjang hayatnya, Pater Zoet mengajar Sastra Jawa Klasik di UGM sampai pensiun. Pater Zoet meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di kerkop Muntilan.
====
Pater Franz Magnis-Suseno menerima penghargaan dari Pemerintahan RI atas jasanya ikut ‘mencerahkan’ alam pikir bangsa Indonesia melalui karya-karya intelektualnya yang dipublikasi melalui buku dan esainya di media massa. Lahir di sebuah kota kecil yang kini menjadi bagian Polandia, Romo Magnis –demikian bangsawan Jerman ini biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia– mengawali hidupnya sebagai misionaris ketika sebagai Jesuit muda diutus ke tanah misi: Jawa.
Pastor Jesuit yang suka nonton wayang dan banyak menulis essai tentang etika umum, etika politik dan filsafat ini ikut berjasa membesarkan STF Driyarkara Jakarta –tempatnya mengajar sejak muda hingga sekarang.
Tahun 2007, Romo Magnis dengan gagah berani menolak pemberian Bakrie Award karena merasa penghargaan itu bertentangan dengan suara hatinya. Langkah penolakan ini kemudian diikuti oleh banyak penerima Bakrie Award lainnya yang kemudian mengambil sikap sama: menolak penghargaan award ini.
Lebih lanjut, pastor Jesuit ahli Marxisme, Etika Umum dan Etika Politik ini mengatakan:
“Pekan lalu saya diberitahu bahwa saya diusulkan oleh Menteri Pendidikan Nasional bersama delapan orang lainnya –tujuh di antaranya sudah meninggal dunia– untuk menerima bintang penghargaan ini. Saya merasa terhormat dengan penghargaan ini yakni Bintang Mahaputera yang saya juga baru dengar setelah menerima pemberitahuan dari Sekretariat Negara hari ini (baca; Rabu, tanggal 12 Agustus 2015 yang lalu).”
“Pekan lalu saya diberitahu bahwa saya diusulkan oleh Menteri Pendidikan Nasional bersama delapan orang lainnya –tujuh di antaranya sudah meninggal dunia– untuk menerima bintang penghargaan ini. Saya merasa terhormat dengan penghargaan ini yakni Bintang Mahaputera yang saya juga baru dengar setelah menerima pemberitahuan dari Sekretariat Negara hari ini (baca; Rabu, tanggal 12 Agustus 2015 yang lalu).”
Ia kemudian melanjutkan, “terutama juga bahwa orang yang kadang-kadang mengritik pun juga mereka hargai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar