Ads 468x60px

Romo Magnis 4



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
ROMO MAGNIS YANG 'MAGIS'
SANG FILSUF "KASMAN"
..yang punya KASih dan iMAN....
A.
Belajar dari Gus Dur
Alkisah, seorang kiai dan pastor hendak masuk surga. Malaikat, langsung membukakan pintu buat mereka berdua.
"Ada apa?" tanya malaikat.
"Kami ingin masuk surga," kata mereka.
"Boleh masuk surga, tapi selesaikan dulu urusan administrasinya," kata malaikat.
Dua manusia itu terpaksa menyelesaikan berkas-berkas administrasi berlembar-lembar. Setengah jam berlalu, urusan administrasi itu belum juga kelar. Justru ada orang baru nyelonong masuk surga.
Orangnya kumuh, ada bau alkohol, dan bercak darahnya. Tampaknya habis kecelakaan. Malaikat langsung mempersilakan orang itu masuk surga. Tanpa urusan administrasi.
Keduanya kaget.
"Malaikat, siapa orang itu, kok bisa langsung masuk surga?" tanya pastor.
"Dia sopir Metro Mini, dari Jakarta," jawab malaikat.
"Lho, kok bebas administrasi?" keduanya protes.
Malaikat lalu memutar rekaman visual saat mereka hidup di dunia. Tampak sang Kiai berkhotbah. Juga Romo yang sedang ceramah. Hasilnya, umat mengantuk dan terlelap. "Mereka justru lupa Tuhan," kata malaikat.
Lalu layar berganti dengan kehidupan sopir Metro Mini. Pria itu memacu pedal gas di belakang kemudi. Penumpang langsung menyebut nama Tuhan berulang-ulang. "Sopir itu justru membuat orang ingat Tuhan," kata malaikat.
"Berbuat baik lebih penting daripada jadi rohaniawan," ujar Romo Franz Magnis-Suseno menyitir humor ala Gus Dur sahabat karibnya.
B.
Sang Pendaki
Kebiasaannya jalan-jalan dan bersosialisasi seturut hobinya mendaki gunung. Gunung Gede, Jawa Barat sudah ia daki 20 kali. Suatu malam, ia pernah mendaki gunung Gede sendirian.
Di depannya, ada rombongan pendaki. Magnis lalu menyalip rombongan itu. Mereka kaget dan megap-megap susah napas. Dengan postur tinggi dan putih, Magnis menjadi makhluk asing di gunung. "Saya dikira hantu. Tapi tetap saya salami mereka," kata Magnis.
C.
"Kasman"
Pada 1977, Magnis muda mengantongi status Warga Negara Indonesia, Magnis ingin mengganti nama agar menjadi Indonesia. Ia buang 'von'. Karena ia masuk lewat Jawa, ia ingin nama yang terdengar Jawa. Magnis ingin mengambil nama dengan awalan Su (berarti Baik).
Lewat rekannya, Romo Kuntara Wiryamartana, Magnis minta dicarikan nama. Salah satunya Suseno ."Kok enak didengar," kata Magnis. Mulai saat itu, namanya berubah menjadi Franz Magnis-Suseno.
Belakangan, setelah bertemu dengan dalang Ki Manteb Sudarsono, Magnis mendapat cerita, jika nama itu merujuk nama wayang Karna Basuseno, tokoh kurawa. "Itu nama wayang kesukaan saya," ujar Magnis.
Nama Suseno ia ambil dari nama Seno yang merupakan nama lain dari Bima (seorang tokoh dalam pewayangan) sebagai simbol keberanian dan paripurnalah ia menjadi "KASMAN", 'beKAS' jerMAN, yang jelas punya KASih dan iMAN.
D.
Sang Begawan yang Menawan
Walau sudah lebih 80 tahun usianya, Magnis tak ketinggalan zaman. Ia tetap akrab dengan teknologi. Isu di media massa ia ikuti dengan tiga gawai; ponsel, ponsel pintar dan tablet. Juga satu komputer meja untuk menulis. "Semuanya sumbangan dari umat," kata dia.
Sebagai seorang pastor Jesuit, Magnis tak punya harta pribadi. Seumur hidupnya, bahkan ia belum pernah memiliki rekening bank.
Tak heran, ia tak tergiur dengan hadiah dan harta. Saat diganjar Bakrie Award 2007, Magnis menolak. Hadiah sebesar Rp250 juta tak ia terima karena solidaritasnya kepada warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Hidup tanpa memiliki harta, justru membuatnya dilimpahi semacam kebebasan. "Kami hidup bersama, sama sekali tak kekurangan, juga tak berlebihan," kata dia.
Kini, di usia lewat delapan dasa warsa, Magnis tetap bugar badannya. Ia tetap kuat naik tangga. Dalam sepekan, ia beroleh raga 4-5 kali naik sepeda statis.
Urusan santapan, ia tak punya pantangan. "Kuncinya, jangan banyak makan," ujar penyuka bakso dan nasi goreng ini. Tapi ia tetap waspada dengan penyakit. Di usia senja, pendengaran telinga kanannya mulai butuh bantuan. Jika berbincang, lawan bicara kerap ia ajak duduk di sebelah kiri.
Walau hayatnya panjang, Romo Magnis tetap merasa kekurangan waktu. Ia ingin tetap menulis buku dan berbicara di berbagai forum. Ia ingin melanjutkan bukunya Menalar Tuhan.
Selain menulis, kesibukan Magnis adalah berbicara dalam forum-forum. Dalam setahun, diundang dalam 90-100 acara. Artinya, dalam dua pekan sekali, ada saja undangan untuk berceramah. Tak heran jika dari tangannya lahir ratusan artikel, dan 30-an buku.
Enam puluh enam tahun tinggal di Indonesia, Magnis tak pernah terpikir melepas status warga negara Indonesia. "Saya bangga dan senang sebagai orang Indonesia," kata dia.
E.
Inilah Orang 'Israel' Sejati. Tidak Ada Kepalsuan di dalamnya...
Seperti yang diketahui banyak saudaranya di Jesuit , Romo Magnis terbiasa hidup sederhana dan sangat disiplin. Kesederhanaannya ini sangat tampak ketika ia lebih gemar memakai Vespa untuk bepergian, meskipun konon karena itu ia pernah masuk rumah sakit karena ditabrak bajaj.
Sebuah kisah nyata:
Suatu Hari, sekitar tahun 1988, seorang Yesuit muda (biasa disebut frater) yang dibina Romo Magnis hendak ikut nebeng (bonceng) ke STF Driyakarya, Yesuit Muda yang tinggal serumah dengannya di Jl. Kramat VII/25 diizinkan ikut.
Saat itu Frater itu telah bersiap membonceng, Romo Magnis menghidupkan mesin Vespa dan langsung tancap gas. Romo Magnis terbiasa berkendara dengan fokus, sehingga jarang mengajak bicara saat berkendara.
Alangkah kagetnya sang filsuf, ketika tiba di kampus, boncenganya telah kosong. Dasar Filsuf, terbiasa hidup serius langsung saja ia kontak beberapa rumah sakit yang ada di Jl. Kramat Raya, Jl. Salemba Raya, dan Jl. Percetakan Negara yang berada di jalur yang dilaluinya, apakah ada korban kecelakaan lalu lintas atau tidak, Romo Magnis tambah panik ketika rumah sakit tidak mengabarkan apapun. Ia sangat kuatir pada Fraternya tersebut.
Romo Magnis menghela nafas panjang dan merasa lega, ketika Frater yang hendak nebeng datang belakangan dengan senyum ceria, tanpa luka sedikitpun.
Rupanya, ketika sang frater sudah bersiap membonceng, Romo Magnis sudah berjalan terlebih dahulu, sehingga sang frater terbengong bengong, melihat sang Filsuf cuek berkendara meninggalkan dirinya.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Saya Bersama Romo Magnis,
Sahabat Gus Dur...
Romo Magnis tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama Katolik saja, tapi sebagai tokoh bangsa yang diketahui secara umum merupakan sahabat karib Gus Dur.
Baik dalam relasi dialog antar agama dan kerukunan umat beragama, Gus Dur dari pihak Islam dan Romo Magnis dari Katolik. Pun saat perjuangan melawan rejim Orde Baru, Romo Magnis bersama Gus Dur terlibat dalam Forum Demokrasi.
Walapun maut sudah memisahkan dua sahabat ini, kecintaan Romo Magnis pada Gus Dur terus berlanjut, dalam banyak kesempatan Romo Magnis terus menceritakan jasa baik Gus Dur pada bangsa ini, yang dilengkapi dengan humor-humor Gus Dur.
Romo Magnis yang juga dikenal sebagai filsuf dan filsafat yang identik dengan "ilmu yang serius" dan "banyak mikir" dengan modal riwayat humor Gus Dur, Romo Magnis mampu mengocok perut yang hadir.
Dari dua orang ini kita diajarkan persahabatan yang sejati dan kerjasama yang abadi demi keharmonisan negeri ini. Bahwa meskipun kita berbeda baik secara suku dan agama--Romo Magnis awalnya orang Jerman yang memilih menjadi orang Indonesia, karena saking cintanya pada Indonesia--tapi perbedaan itu bukanlah penghalang untuk membangun persahabatan, kerjasama dan persaudaraan. Berbeda untuk bersatu. Bhinneka Tunggal Ika.
Imam Ali karramallahu wajhah pernah menyatakan "saudaramu ada dua: ia yang satu iman denganmu atau yang satu ciptaan denganmu" (an-nasu shinfaani: imma akhun laka fid-diini aw nadlirun laka fil khalqi) persaudaraan universal yang dimaksudkan oleh Imam Ali adalah persaudaraan dalam kesatuan penciptaan, sama-sama setara sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Terkait pernyataan Eggi Sudjana yang dipolisikan Romo Magnis bereaksi, yang direspon oleh Eggi Sudjana dengan memolisikan Romo Magnis.
Padahal Romo Magnis tidak menyebut "Eggi Sudjana bodoh atau orang bodoh" tapi ada 2 kebodohan dari Eggi Sudjana-terkait pendapatnya yg dipolisikan itu.
"Kebodohan" yang dimaksud Romo Magnis terkait pada pendapat Eggi Sudjana, bisa dibaca di sini https://tirto.id/romo-magnis-ucapan-eggi-sudjana-salah-besa…
"Kamu orang bodoh" dengan "pendapatmu bodoh" ini 2 hal yang berbeda, yang pertama menilai personal, yang kedua menilai atas pendapat
Dalam diskusi, penilaian memang atas pendapat bukan pada person, "pendapatmu bodoh" seperti halnya komentar "pendapatmu tidak masuk akal, tidak punya dalil, dll"
Bukankan perdebatan pendapat ini yg diinginkan oleh Eggi Sudjana? Romo Magnis menjawab ini, tapi dia tidak mengomentari & mendorong ke polisi, seperti halnya para pelapor Eggi Sudjana.
Kalau pendapat tidak bisa dinilai dengan pendapat lain, buat apa diskusi, buat apa kebebasan pendapat, justeru Romo Magnis menghormati Eggi Sudjana.
Romo Magnis menilai pendapat Eggi Sudjana diabaikan,krn berdasarkan kebodohan (pendapat yg bodoh bukan orang bodoh) jg tak perlu dipolisikan
Harusnya Eggi Sudjana membaca pendapat Romo Magnis dlm konteks diskusi, polemik & kebebasan berpendapat, bukan serangan secara personal
Dengan memolisikan Romo Magnis, Eggi Sudjana telah bikin masalah baru & memancing keributan baru, sblmnya komen dia atas agama-agama lain, skrng pada tokoh agama yang sangat dihormati bukan hanya oleh umat Katolik tapi juga oleh umat agama-agama lain dan dianggap sebagai sahabat karib Gus Dur.
Bagi saya komen Romo Magnis atas Eggi Sudjana bagian dari kebebasan pendapat & bukan serangan scra personal, karena yang diserang pendapatnya bukan personnya
Dengan memolisikan pendapat Romo Magnis yang merupakan respon atas pendapat Eggi Sudjana, maka Eggi bisa dinilai "anti kritik" karena sama saja tidak mau dinilai pendapatnya.
Sedangkan bagi para pelapornya, pendapat Eggi Sudjana tidak masuk kebebasan pendapat, tapi dinilai sbg "provokasi" dan "ada unsur kebencian" di dalamnya.
"Agama2 selain Islam bertentangan dgn Pancasila" "bubarkan" ini kalimat-kalimat yang tidak hanya berdasarkan kebodohan, tapi masuk dalam dugaan "kebencian".
Bagi saya pendapat Romo Magnis adalah bagian dari kebebasan pendapat, polemik yang bisa direspon dengan pendapat lain bukan lapor ke polisi.
Sedangkan komentar Eggi Sudjana memang bisa dilaporkan ke polisi, karena sdah dinilai mengandung kebencian & provokasi terhadap agama-agama yang lain dan mengancam kerukunan umat beragama di Indonesia.
Dalam konteks lain, kita memang harus membedakan mana pendapat yg sah & harus dilindungi, mana pendapat yang mengandung kebencian yang bsa masuk pidana.
Tapi karena sama-sama dilaporkan & lapor polisi, biarkan polisi bekerja dulu, tapi dr sisi prioritas, ya dahulukan dulu laporan atas Eggi Sudjana.
Walhasil, saya tetap bersama Romo Magnis, karena pernyataan beliau bagian dari kebebasan berpendapat yang harus dilindungi dan beliau adalah sahabat karib Gus Dur.
Mohamad Guntur Romli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar