Ads 468x60px

Kristiani tanpa Nama di Jepang

GULIRAN UNIVERSAL TEOLOGI KARL RAHNER SJ DI NEGERI JEPANG
Kristiani tanpa Nama di Jepang

Menyambung pengalaman saya berkunjung ke Jepang selama 2 minggu, saya lanjutkan dengan refleksi saya menyangkut pengamatan saya terhadap orang Jepang yang mayoritas beragama Sintho dan Buddha dan sangat sedikit yang beragama kristen dan katolik, namun cara hidup mereka sangat kristiani. Kalau dompet anda yang penuh uang jatuh di jalan atau HP anda tertinggal di tempat pembelian tiket kereta, tidak ada orang Jepang yang akan ambil dompet dan HP anda itu. Pastor Frits Ponombam MSC yang mengantar kami ke Tokyo sempat HP-nya tertinggal di tempat mesin pembelian tiket mandiri. Setelah ia sadar HP-nya tidak ada, ia kembali lagi ke tempat itu dan HP masih ada di tempatnya. Kalau dompet dan HP itu jatuh di tengah jalan, paling hanya ditaruh di pinggir jalan supaya tidak diinjak mobil. Kalau di tempat kita yang semua orang mengaku beragama, dalam hitungan menit barang-barang itu sudah lenyap.
Pejabat pemerintahan sangat malu untuk korupsi. Diceritakan kepada saya seorang menteri atau malah perdana menteri yang dikabarkan membelanjakan uang berlebihan sehingga dianggap melampaui kepatutan, dan ia meminta maaf dan mengundurkan diri. Padahal ia tidak korupsi, karena ia menggunakan anggaran yang memang menjadi haknya, namun dianggap memakai anggaran itu melebihi kepatutan. Seorang pejabat lain yang kedapatan korupsi dengan jumlah 400 ribu yen atau malah cuma 40 ribu yen yang hanya setara dengan 40 juta atau malah 4 juta rupiah juga diadili dan dimasukkan ke dalam penjara.
Jadi diri dan kebanggaan orang Jepang dengan sendirinya akan bersikap jujur, bersih dan transparan. Mereka akan malu kalau melakukan korupsi, karena hal tersebut bukanlah kodrat kepribadian mereka. Tentu semua cerita ini saya hanya mendengar dari mereka yang sudah lama bekerja di Jepang dan sudah lebih mengenal sifat kepribadian orang Jepang.
Tiga kota paling besar di Jepang katanya adalah Tokyo – Osaka – Nagoya. Dua kota terkenal yang sering kita dengar yaitu Hiroshima dan Nagasaki tidak sempat saya kunjungi. Namun katanya, di Nagasaki suasana umat katolik lebih terasa daripada di Nagoya yang sempat saya lihat.
Walaupun prosentasi umat kristiani (katolik dan protestan) sangat kecil di Jepang dibandingkan jumlah penduduk Jepang yang umumnya beragama Sintho dan Buddha, namun pengaruh kekristenan sangat terasa. Kehadiran Universitas Katolik Sophia di Tokyo milik Jesuit dan Universitas Nanzan di Nagoya milik SVD mau tidak mau membuat orang Jepang tahu bahwa ada agama katolik di tempatnya. Waktu saya mau meninggalkan Jepang, di Bandara Nagoya juga terlihat iklan tentang Nanzan University.
Pengaruh kekristenan lebih terasa lagi ketika menjelang perayaan Natal. Walaupun mungkin dengan motivasi bisnis, namun pada akhir bulan November sudah banyak hiasan natal bertebaran di mana–mana. Di toko–toko sudah dijual pernak–pernik hiasan Natal dan pelbagai benda yang berkaitan dengan pestan Natal. Demikian pula pohon–pohon dan jalan–jalan sudah dihiasi dengan lampu-lampu Natal.
Dan rupanya pengaruh kekristenan bukan hanya sekedar pengetahuan saja, melainkan juga menyangkut pemaknaan dalam peristiwa kehidupan yang penting, misalnya dalam hal perkawinan. Saya melihat beberapa bangunan “Gereja” di pinggir jalan dengan model khas Gereja Katolik Eropa atau Amerika, tetapi ternyata itu bukan Gereja, melainkan sebuah bangunan untuk perkawinan orang Jepang. Mereka senang menikah dalam bangunan Gereja itu karena pengaruh film–film Hollywood, kata pastor misionaris Australia. Orang Jepang ada yang suka menikah dengan upacara dan suasana seperti orang kristen menikah dalam film–film barat itu. Di samping hal tersebut merupakan kegiatan bisnis, namun juga sebuah pemaknaan dari peristiwa hidup seseorang seperti halnya perkawinan.
Waktu saya diajak oleh Romo Priyo MSC untuk singgah ke Katedral Nagoya, kebetulan di bagian pelayanan pastoral ada semacam kursus perkawinan dan juga saya lihat ada baju–baju pengantin wanita. Romo Priyo mengatakan bahwa mereka itu belum tentu orang katolik, melainkan orang Jepang yang ingin menikah dengan tatacara katolik dan baju pengantin seperti yang biasa mereka lihat di Gereja. Simbol–simbol kekristenan menarik perhatian mereka, meskipun pemaknaannya tergantung dari pemahaman mereka sendiri. Dan Gereja di Jepang melayani permintaan mereka itu, mungkin sebagai cara dialog untuk masuk dalam cara hidup orang Jepang, dan sebagian juga karena bisa menjadi sumber pemasukan paroki.
Lepas dari agama yang dianut oleh masyarat Jepang dan juga pengetahuan mereka tentang agama kristen, namun yang pasti adalah orang–orang Jepang itu memiliki ciri khas sebagaimana diharapkan juga bagi orang kristiani, yaitu bersikap baik, ramah kepada sesama, jujur, bersih, transparan. Dan sifat–sifat itu nampak dalam pengaturan hidup bersama dalam masyarakat kota yang modern.
Alat transportasi publik seperti kereta reguler dan kereta cepat dan bus yang begitu lancar dan pasti jadwalnya, serta lalu lintas yang tidak macet karena jutaan orang yang bepergian lebih suka menggunakan kendaraan umum itu menyebabkan orang-orang Jepang bisa merasakan bahwa seluruh kota adalah tempat tinggal mereka. Mereka mau ke mana saja dan mau makan apa saja selalu tersedia di mana-mana dan bisa mencapai tujuan dengan lancar.
Ketika kami berada di kota Tokyo dan mau pulang ke kota Nagoya dengan kereta cepat Shinkanzen, kami sempatkan makan malam lebih dulu di salah satu restoran yang begitu banyak bertebaran. Waktu itu kira-kira jam 20.00 malam dan banyak orang sedang makan, lalu sesudah itu mungkin mereka pulang ke rumah masing-masing, mandi air hangat atau berendam air hangat untuk melepaskan lelah dan supaya bisa tidur nyenyak di musim dingin, dan esoknya bekerja lagi. Saya melihat beberapa orang selesai makan, tertidur di kursi restoran karena lelah dan sudah kenyang. Saya dalam hati berpikir “bukan main orang Tokyo ini bisa merasakan bahwa seluruh kota yang besar ini adalah tempat tinggalnya.” Mereka bisa menikmati seluruh fasilitas publik dengan nyaman, lalu pulang ke rumah hanya untuk berendam air hangat dan tidur.
Rumah–rumah orang Jepang semuanya rapi dan bersih. Kalau kita masuk rumah harus melepaskan sepatu yang dari luar dan diganti dengan sendal untuk di dalam rumah yang lantainya berlapis karpet. Kalau perlu ke kamar mandi atau WC, maka harus ganti sendal lain lagi. Alas kaki tidak boleh dipakai sembarang saja supaya kebersihan tetap terjaga. Teknologi Toilet juga khas. Banyak tombol yang bisa dipencet untuk membersihkan diri ketika orang sudah selesai dengan urusan toilet. Tempat duduk toilet juga hangat dan air yang keluar sebagai pembersih juga hangat di musim dingin. Orang Jepang menciptakan segala yang dibutuhkan oleh manusia supaya bisa nyaman hidupnya.
Kuliner orang Jepang sangat bervariasi, enak dan sehat. Cara makan orang Jepang menyajikan nasi paling terakhir. Mereka makan terlebih dahulu sup, lalu salad, dan buah, kemudian ikan atau daging, juga baru terakhir nasi. Kalau perut sudah kenyang, maka makan nasi sedikit sekali. Hal itu yang menyebabkan orang Jepang sehat, kuat dan umur panjang. Oma dan opa umur 80 sampai 85 masih bisa nyopir atau bepergian sendiri dengan kereta. Banyak opa dan oma masih berolah raga lari pelan atau jalan kaki di taman-taman. Bergerak membuat mereka tetap sehat dan umur panjang. Udara dingin juga membuat orang bisa bergerak banyak tanpa lelah dan tanpa keringat.
Suasana kotanya sunyi dan nyaman. Kita yang sudah terbiasa dengan bunyi-bunyian dari tempat-tempat ibadah di Indonesia dan suara bising yang mengganggu kita itu, tidak kita temukan di Jepang. Bunyi kendaraan umum juga tidak terlalu bising karena mobil yang melintas di jalan umum tidak terlalu banyak. Biarpun kotanya besar, namun suasananya bisa hening dan tenang tanpa gangguan suara-suara yang tidak mengenakkan telinga.
Orang beragama yang suka melihat orang lain dari sudut agama yang dianut mungkin akan berkata: alangkah baiknya kalau orang Jepang itu beragama sama dengan saya. Dan karena saya orang katolik, maka saya berharap banyak orang Jepang mengenal agama katolik dan menjadi katolik. Hal itu pula yang sudah diusahakan oleh St. Fransiskus Xaverius dan para misionaris Jesuit dan dilanjutkan oleh para misionaris dari banyak tarekat sampai sekarang. Namun hasilnya sepertinya hanya sedikit saja. Banyak orang Jepang sudah senang dengan agamanya dan budayanya yang sudah ada sebelum para misionaris itu datang.
Novel Shusaku Endo yang berjudul Silence dan telah menjadi film dengan sutradara Martin Scorsese, itu menurut Scorsese sendiri adalah sebuah ekspresi pergumulan iman dari Shusaku Endo sendiri yang melihat bahwa karya pewartaan Injil seperti tidak berhasil di Jepang. Ia sebagai orang katolik dan bangsa Jepang, merasa sulit memperdamaikan iman katolik dan budaya Jepang. Shusaku Endo dilahirkan di Tokyo tahun 1923 dan memperoleh gelar sarjana sastra dari Universitas Keio di Jepang dan dari Universitas Lyon di Perancis. Jadi ia sendiri mengalami pergumulan imannya dan berusaha untuk memahami kesulitan iman katolik masuk dalam budaya Jepang.
Dalam Novel Silence, Shusaku Endo mengatakan bahwa salah satu alasan penganiayaan yang dilakukan oleh Shogun Hideyoshi kepada orang-orang katolik adalah karena agama kristiani itu mengajarkan ajaran yang berbahaya bagi budaya Jepang, maka dari itu semua orang katolik harus dimurtadkan atau dikembalikan ke agama asli Jepang. 26 martir di Nagasaki yang menjadi korban penganiayaan itu memang dimaksudkan oleh penguasa Jepang waktu itu untuk memberikan efek jera supaya tidak ada lagi orang Jepang yang mengakui diri katolik.
Bangsa Jepang memang mempunyai kebanggaan (pride) tersendiri sebagai bangsa yang mempunyai kaisar keturunan dewa matahari. Kami sempat diantar untuk mengunjungi “Kuil Dalam” dan “Kuil Luar” yang dianggap sebagai tempat kediaman Dewa Amaterasu (Dewa Matahari) yang menurunkan para kaisar Jepang. Tempat itu adalah kawasan hutan dengan pohon-pohon dan kayu-kayu yang tua dan dirawat dengan baik dan tempat orang-orang Jepang berziarah dan berdoa. Tempat itu merupakan salah satu jati diri atau identias bangsa Jepang yang membuat mereka bangga akan kebudayaan dan keyakinannya.
Menyaksikan semua itu, saya ingat apa yang dikatakan oleh teolog Karl Rahner tentang karya penyelematan Allah di antara bangsa-bangsa yang belum mengenal Injil. “Apabila suatu bangsa belum sampai pada pengenalan Injil, maka Allah menggunakan apa yang mungkin bagi bangsa itu untuk menyelamatkan mereka.” Bangsa Jepang adalah bangsa yang hidup mengamalkan ajaran Yesus, meskipun mereka tidak percaya kepada Kristus. Orang-orang seperti itu disebut “kristen anonim” (Anonymous Christians) atau biar tidak beragama kristiani, tetapi cara hidup dan berbuatannya adalah kristiani.
Kalau dilihat dari perspektif itu, maka karya penginjilan di Jepang yang hasilnya sangat kecil itu tidak perlu berkecil hati. Karena mereka sudah menjalankan cara hidup kristiani sebelum mereka dibaptis. Dari lain pihak kita juga menyaksikan dan merasakan bahwa orang yang dibaptis dan menjadi kristen, namun cara hidupnya jauh dari yang diharapkan dari orang kristiani. (M. Sujoko MSC)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar