INTERMEZZO:
DIA.LO.GUE
MEREKAM JEJAK TOLERANSI..
Wani ngalah luhur wekasane, Le”, kata Bapak sewaktu saya masih kecil. Itulah salah satu pesan yang masih saya ingat sampai sekarang, di samping pesan-pesan lain yang berkaitan dengan kearifan Jawa. Berani mengalah, hidup kita akan dimuliakan akhirnya.
Pesan yang membekas itu membentuk pribadi saya pada hari-hari selanjutnya. Saya lebih suka berdamai daripada berkelahi. Saya lebih suka menjadi teman daripada menjadi lawan. Kalau ada ketidaksepakatan saya dengan pihak lain, saya hanya diam, mengalah, dan mencoba memperbaiki diri untuk lebih memahami kemauan orang lain. Hingga suatu saat dalam perkembangannya saya tak hanya memiliki pedoman hidup “seribu teman terlalu sedikit, seorang musuh terlalu banyak”, tetapi juga menjalaninya, menerapkannya dalam keseharian. Sampai kini.
Saya berasal dari keluarga sangat sederhana. Anak ketiga dari enam bersaudara yang diharapkan dapat “mikul dhuwur mendhem jero”. Bapak dan Simbok saya tidak tamat Sekolah Rakyat. Bapak saya bekerja sebagai pesuruh di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Swasta, milik sebuah Yayasan yang dikelola oleh Gereja. Simbok saya membuka warung nasi pecel. Kami tinggal di Desa Pohsarang, kurang lebih 10 km sebelah Barat kota Kediri. Desa ini sekarang terkenal sebagai desa wisata religi Gua Maria Lourdes.
Desa yang terbelah dua membujur dari Barat ke Timur ini sangat unik. Pada belahan Barat penduduknya sebagian besar beragama Katolik, dan belahan Timur penduduknya beragama Islam. Keduanya rukun-rukun saja. Pada saat saya masih usia SD, ada penggilingan tahu, dan kandang babi di bagian Barat desa. Meskipun demikian tidak pernah terdengar adanya konflik dengan tetangga yang beragama Islam di bagian Timur.
Di tempat kami tinggal, tetangga di depan rumah dan sebelah kanan beragama Islam, sementara tetangga di sebelah kiri rumah adalah rumah Yuk Djing, seorang Cina yang menikah dengan Mbokde Darsi, penduduk setempat dan menjadi juragan palawija. Sepanjang masa sekolah rakyat dan tinggal di desa ini, tak pernah terdengar adanya konflik dan keributan. Bahkan ketika terjadi pemilihan lurah setelah Lurah Rusmin yang buta aksara meninggal, ternyata yang dipilih adalah Pak Setiyo, yang tadinya guru, dan beragama Katolik. Rakyat tidak protes.
Dari garis keturunan Bapak, simbah beragama Kristen Baptis, Bapak dan dua adik perempuannya beragama Katolik, sementara kakak-kakak Bapak beragama Islam. Dari garis Simbok, ada yang beragama Katolik, Islam dan Kejawen. Kami tak pernah memasalahkan hal itu. Bahkan kami merasa senang, setiap hari raya keagamaan, kami saling kunjung dan berkumpul bersama.
Sejak kecil kami sudah belajar saling menghargai dan menerima perbedaan. Justru perbedaan itulah yang membuat tali persaudaraan kami menjadi indah. Masih terkesan dan membuat rindu ketika hari puasa dan Lebaran tiba, begitu gembiranya kami yang masih kecil bermain mercon, sambil menikmati cemilan khas desa: rengginang, kripik singkong, tape singkong dan madu mongso.
Saat hari Natal tiba, kami yang beragama Katolik sibuk membuat dan menghias kandang Natal di gereja, sambil latihan nyanyi. Semasa kecil, hampir setiap sore kami anak-anak usia SD, tak pernah absen untuk berdoa di gua Maria, sambil mendaraskan tasbih. Sesudahnya, kami saling gegojekan, bermain bersama-sama dengan teman-teman yang tidak ikut berdoa, mengakrabkan tali persahabatan dan persaudaraan yang penuh kehangatan. Inilah kenangan indah yang membangun dan membentuk kami untuk selalu tenggang rasa, solider dan toleran.
Selepas SD, saya tinggal di sebuah asrama di daerah Blitar. Hanya satu tahun. Kemudian saya kembali ke Kediri menyelesaikan SMP. Beberapa waktu saya numpang di rumah Bulik di Kediri, tetapi setelah Simbok meninggal saat saya kelas dua SMP, saya kembali ke desa Pohsarang dan menempuh jarak sekitar 10 km setiap pagi jalan kaki ke Kediri sampai SMP usai. Di SMP ini pergaulan saya tak hanya dengan teman beda agama, tetapi juga beda suku bangsa. Ada dua orang anak yang bapaknya adalah seorang dokter. Kami memanggilnya Dokter Tjioe. Kami bersahabat akrab dengan mereka.
Tamat dari SMP saya melanjutkan sekolah ke SPG di kota Malang. Setelah tiga bulan menumpang di rumah seorang kakak, akhirnya saya mendapatkan beasiswa atau ikatan dinas yang membuat saya tinggal di asrama. Pergaulan saya semasa di SPG semakin luas. Di asrama kami berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa: Madura, Bali, Flores, Kalimantan dan Cina. Kami tetap akrab dan bersahabat. Tak hanya teman, mereka semua adalah saudara-saudara kami. Kalau liburan panjang, kami saling mengunjungi dan bahkan tidak jarang tinggal bersama mereka beberapa hari.
Hukum cinta kasih yang menjadi dasar keyakinan kami memandang orang lain bukan sebagai “orang lain” tetapi sebagai saudara, sesama manusia yang berasal dari Pencipta yang sama. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menolak orang lain, apa pun agama, suku bangsa, ras, golongan dan bahasanya. Tidak ada alasan untuk tidak mengasihi orang lain sekalipun mereka beda keyakinan, agama, suku dan golongannya. Kami tetap merasa bersaudara.
Ketika meletus peristiwa G-30-S/PKI, kami yang masih sekolah di SPG dan tinggal di asrama, secara bergilir menjaga tempat-tempat yang rawan perusakan. Dengan semangat persatuan dan kesatuan, tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan, kami bahu-membahu menjaga keamanan dan kedamaian NKRI. Ketika aksi demo untuk membubarkan PKI dan ormas lain pemecah belah kesatuan bangsa, kami berbaur dengan masyarakat dan warga lain untuk meneriakkan Tritura (tiga tuntutan rakyat: bubarkan PKI, turunkan harga dan ritul kabinet).
Lulus dari SPG, saya ditempatkan kerja di SMP Semboro di daerah Jember. Meski masih culun dan pengalaman sejumput saja, namun berbekal keberanian, keterbukaan dan kerendahan hati, wani ngalah, masyarakat Madura yang kabarnya begitu sangar itu, ternyata menerima saya dengan suka hati. Bahkan ada satu keluarga, ayah dari teman sewaktu di SPG, menganggap saya sebagai anaknya. Saleh Alhabsyi, teman sekelas yang wajahnya totol-totol bekas cacar, sangar seperti preman, ternyata berhati malaikat, ramah dan penuh persaudaraan.
Pada tahun berikutnya, dengan hasrat untuk meningkatkan diri, saya mengikuti tes di sebuah Akademi di Yogyakarta, namun gagal. Saya kembali ke Malang untuk mengikuti pendidikan pengembangan masyarakat. Tak sampai satu tahun, Paklik yang di Bandung, menjawab surat saya, dan meminta saya ke Bandung. Jadilah saya ke Bandung dan mengukir takdir menjadi guru SD setelah selama tiga bulan menganggur.
Perbedaan budaya tak mempengaruhi semangat pengabdian saya di tanah Sunda ini. Datang tampak muka, pergi tampak punggung. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Berbekal pepatah-petitih nenek moyang itu, saya pun tanpa kesulitan berarti segera membaur dalam masyarakat untuk mengawali tugas suci, menaburkan benih-benih kebaikan kepada anak-anak bangsa, generasi masa depan dari berbagai suku, agama, ras dan antargolongan.
Perkenalan saya dengan pelukis sohor, terjadi tanpa kesengajaan. Pada waktu itu saya ditugasi oleh Kepala Sekolah SD St. Yusup Jalan Cikutra 5 Bandung, untuk menyerahkan hadiah kepada dua orang anak yang gambarnya dimuat di majalah Bobo. Hadiah itu harus saya serahkan kepada orang tuanya. Sore hari saya berangkat mencari rumah di Gang Mesjid I No. 11 Cicadas Bandung. Setelah menemukan rumah itu, saya pun dipersilakan masuk. Nama anak yang mendapatkan hadiah dari Bobo itu adalah Atasi Amin dan Azasi Adi. Dan nama bapaknya: Jeihan!
Sejak saat itu perkenalan saya dengan Jeihan semakin intens. Hampir tiap minggu saya tidak pernah absen berkunjung ke rumahnya. Kalau saya tidak datang bahkan Jeihan yang menanyakannya. Waktu itu Jeihan belum sekaya seperti sekarang. Rumahnya masih acak-acakan. Tiap hari kerjanya menggambar dan tidur. Kalau ada tamu dia baru bangun dan mengajak “berkelahi”. Bicaranya berapi-api seperti mitraliur yang ditembakkan tanpa henti. Orang yang mendengarkan yang capek, tapi yang ngomong gak capek-capek. Lewat Jeihan saya bisa berkenalan dengan banyak seniman kondang dari berbagai aliran. Ada pemain film, penyanyi, pemain drama, sastrawan dan juga wartawan.
Saya bertemu dengan Emmanuel Subangun, yang waktu itu menjadi wartawan Kompas dengan ciri tulisan yang “galak”. Saya bisa berkenalan dengan Farouk Afero, artis film yang selalu berperan antagonis. Saya bisa berkenalan dengan penyair Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Leon Agusta, Saini K.M., Slamet Sukirnanto, Suyatna Anirun, pendiri STB, Remy Silado, pendiri dan sutradara Teater 23761, Darmanto Yt., Dr. Sudjoko, kritikus seni, Sanento Yuliman, dosen ITB yang juga seniman, Wilson Nadeak, pendeta yang juga sastrawan, Wildan Yatim, dosen Biologi yang juga novelis, dan beberapa penyanyi angkatan 80-an. Tidak ketinggalan pula wartawan Tempo, Bambang Bujono, dan beberapa wartawan dari majalah pop waktu itu.
Persinggungan saya dengan beragam seniman dari berbagai aliran di samping menambah wawasan juga menambah persaudaraan dengan berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang. Hidup saya semakin diperkaya. Pengalaman menjadi “gelandangan” di rumah Jeihan bersama Sutardji, Remy dan Abdul Hadi lebih diperkaya lagi dengan munculnya “puisi mbeling” setelah ada “pengadilan puisi” yang digelar di tahun 70-an. Ada semacam “benturan” antara penyair-penyair “menara gading” (gedongan, yang terkesan serius), dengan penyair-penyair mbeling yang terkesan ugal-ugalan. Justru hal itu menambah indah dan semaraknya relasi di antara kami, dan semakin regeng, gayeng, riuh rendahnya kami tertawa ngakak bersama-sama di rumah Jeihan, memecah keheningan malam.
Toleransi saya semakin diasah dan diperkaya saat saya ikut bergabung dengan Paguyuban Pengarang Sunda (PPS), yang waktu itu tumbuh subur di kota Bandung. Bermula dari esai saya yang dimuat di harian Pikiran Rakyat, dan tulisan-tulisan lain di koran-koran Bandung (Mandala, Bandung Pos, Mingguan Pelajar, dsb), membuat penulis-penulis muda kota Bandung mengenal saya.
Jadilah kami sering kumpul bareng, diskusi sastra, sambil saling ejek dan menggoda dengan gaya masing-masing menambah asyiknya pergaulan di antara kami. Nama-nama penulis muda kala itu Anton de Sumartana, Deddy Effendi, Aam Muharam, Rachmat DST, Eddy D. Iskandar (pengarang Gita Cinta dari SMA), Yessy Anwar, Udin Lubis Alinafiah Lubis, Emmanuel Iankla Maleala, Holisoh, ME, Yooke Tjuparmah, Nenden Lilis, Karno Kartadibrata, dan masih banyak lagi. Meskipun saya bukan orang Sunda, para pengarang Sunda itu menerima saya dengan hati terbuka.
Beberapa nama sampai saat ini masih tetap menjalin tali silaturahmi persaudaraan. Anton de Sumartana yang hingga kini masih menghidupi sastra dengan menerbitkan buku-buku kumpulan puisi, menunjukkan seolah kreativitasnya tak pernah kering. Deddy Effendie dan Aam Muharam, beberapa waktu silam sempat bertemu dan mengobrolkan nostalgia. Berkat adanya fesbuk, kami dipertemukan kembali dengan sahabat-sahabat lama, dan beberapa nama sudah mendahului kami menghadap Sang Khalik.
Dari daerah ibu kota, nama-nama yang sempat saya kenal dan selanjutnya dapat temu muka dengan mereka adalah Arswendo Atmowiloto, si kembar Yudhistira Ardhi Nugraha dan Noorca Marendra, Korrie Layun Rampan (alm), yang sangat ramah dan bersahabat, Pamusuk Eneste, Mira W, dan nama-nama lain yang saat itu cukup kondang.
Lebih membahagiakan lagi, pada saat yang sama, saya dianggap sebagai “adik” oleh seorang yang beretnis Cina berasal dari Palembang. Saya memanggilnya Om Yan. Dia sudah menganggap saya sebagai bagian dari keluarganya. Ke mana saja ketika kami pergi, selalu dia memperkenalkan saya sebagai “adiknya”, bahkan dengan anak-anaknya pun saya merasa dekat. Mereka pun menerima saya sebagai bagian dari keluarga. Hal ini berawal hanya dengan sebuah kebaikan kecil yang saya berikan pada saat dia memerlukannya. Meskipun sekarang dia sudah tiada, namun keluarganya tetap menganggap saya sebagai saudara.
Ketika saya merasa kehilangan besar atas kepergiannya, ternyata Tuhan memberikan gantinya. Seseorang yang pernah saya tulis dalam sebuah majalah lokal karena pekerjaannya sebagai pewarta kabar gembira, mengingat saya pada masa tuanya. Berkali-kali saya berkunjung ke rumahnya, dan karena suatu proyek untuk menuliskan riwayat hidupnya, saya pun telah diterima sebagai bagian dari keluarganya. Alangkah menyenangkannya!
Nostalgia dengan para seniman, baik sastra, lukis, drama dan musik telah menjadi bagian dari masa silam yang mengasyikkan untuk dikenang. Seiring kesibukan dan tuntutan kehidupan, sejak 1985 saya mendapat tugas menjadi tenaga pengajar di Universitas Siliwangi Tasikmalaya, dan kemudian pindah ke Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Sebelas April Sumedang, hingga kini.
Memasuki era 90-an, saya menjadi tenaga pengajar luar biasa di Universitas Katolik Parahyangan, membantu Pater Brouwer untuk materi kuliah Ilmu Budaya Dasar. Dua belas tahun saya menghadapi mahasiswa dengan berbagai macam latar belakang etnis dan budaya. Toleransi tak hanya pada pikiran dan ucapan, melainkan pada tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman diterima dengan hati terbuka, menjadi sahabat dan saudara itu sungguh memperkaya wawasan dan pergaulan saya.
Pada akhir dekade 90-an, saya tidak lagi menjadi tenaga pengajar di Unpar, karena diminta bergabung dengan sebuah perusahaan eceran terkemuka di Jawa Barat untuk menjadi tenaga pelatih (trainer) bagi karyawan di lingkungan perusahaan. Tantangan baru yang harus saya hadapi dengan belajar hal-hal baru. Berbekal pengalaman menjadi petugas serabutan pada lembaga pelatihan, saya sangat bersyukur karena dapat belajar tentang seluk beluk menjadi seorang tenaga pelatih khususnya di bidang pengembangan sumber daya manusia.
Di perusahaan eceran ini saya belajar banyak hal. Hal-hal yang tadinya tidak saya ketahui dapat saya pelajari dari narasumbernya langsung. Saya sangat beruntung sejak di sekolah menengah memiliki kegemaran membaca. Ternyata kegemaran ini mengantarkan saya untuk mengemban amanah, melaksanakan tugas membangun kualitas sumber daya manusia untuk tidak hanya menjadi seorang karyawan yang memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan sikap) yang baik, tetapi juga menjadi manusia yang berkualitas baik.
Saya ingat kisah seorang mahasiswa yang mengikuti kuliah Blaise Pascal, suatu saat bertanya, “Pak, kalau saya sepintar Anda, saya pasti menjadi orang baik”. Pascal pun menjawab, “Jadilah orang baik dulu, maka Anda akan sepintar saya!” Hal ini mengingatkan saya juga akan kata-kata bijak yang selalu diucapkan oleh penyiar radio Australia waktu itu, Ebed Kadarusman, “Memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik”. Poin untuk menjadi orang “baik” itulah yang terus menerus menghantui dan menjadi obsesi saya.
Hasil bacaan dari buku-buku para motivator kelas dunia maupun nasional banyak mewarnai kehidupan saya dalam menjalani pergaulan dengan sesama. Nama-nama seperti Norman Vincent Peal, Zig Ziglar, Robert Schuller, Dale Carnegie, Anthony Robbin, David J. Schwartz, Bryan Tracy, Stephen R. Covey, John C. Maxwell, Doug Hooper, Rhonda Byrne, Joel Olstein, Robert T. Kiyosaki, Anthony de Mello, dll., di samping Gede Prama, Andrie Wongso, Tung Desem Waringin, Arvan Pardiansyah, Krishnamurti, R.H. Wiwoho, Adi W. Gunawan, dll., memberikan nuansa tersendiri dalam pergaulan sehari-hari.
Sekarang saya sangat bersyukur karena dikaruniai hati yang tidak menyimpan dendam, benci, dengki, iri hati, arogan dan antipati. Setiap menjumpai orang lain, saya menganggap menemukan saudara-saudara yang sama-sama menempuh perjalanan menuju ke satu tujuan yang sama : kebahagiaan abadi. Sejelek dan sejahat apa pun manusia, pasti masih memiliki sisi-sisi kebaikan.
Mari kita lihat sisi positifnya. Kita memang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Seseorang telah mengirimkan pesan melalui WA: Sejak kita lahir sampai meninggalkan dunia ini kita selalu ditolong orang lain.
Nama diberi orang lain, pendidikan didapat dari orang lain, gaji diterima dari orang lain, kehormatan diberikan oleh orang lain, mandi terakhir dilakukan orang lain, harta setelah meninggal menjadi hak orang lain, pemakaman dilakukan orang lain. Ternyata sejak lahir hingga mati kita selalu membutuhkan orang lain. Di mana kehebatan kita? Kita bukanlah siapa-siapa tanpa orang lain. Maka, bersahabatlah dengan semua orang karena kita tidak tahu kapan kita membutuhkan bantuan mereka.
Hidup ini memang merupakan pilihan. Menjadi tua dan mati itu pasti, tetapi bagaimana kita akan menjalani masa tua dan kematian itu adalah sepenuhnya merupakan pilihan kita. “Sebagaimana kita bertumbuh menjadi pribadi yang unik, kita belajar untuk menghargai keunikan orang lain”, kata Robert Schuller.
Sebagai penutup obrolan ini saya ingin mengutip kata bijak dari Harry Emerson Fosdick berikut.
“Ketakutan memenjarakan, iman membebaskan.
Ketakutan melumpuhkan, iman memberdayakan
Ketakutan menjadikan pengecut, iman mendorong untuk berani
Ketakutan membuat sakit, iman memulihkan
Ketakutan menjadikan tidak berguna, iman memampukan untuk melayani”.
Salam Toleransi!
(TehaSugiyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar