REQUIESCAT IN PACE
Mas Bangun (28/10/1949 - 3/12/2017)
(DR Emmanuel Henricus Subangun, 68 th)
Minggu 3 Desember 2017
@ Yogyakarta.
DR Emmanuel Henricus Subangun yang terlahir di Kediri (28/10/1949) adalah seorang sosiolog yang merupakan alumnus Seminari Garum dan pernah mengenyam pendidikan sebagai calon imam di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta.
Ia pernah belajar filsafat dan teologi di FKIP Sanata Dharma dan psikologi di UGM. Ia juga pernah belajar di FE dan FH Universitas Indonesia. Kemudian, ia melanjutkan studi magister dan doktoral dalam ilmu ilmu sosial di Paris, Perancis.
Selama dua dasawarsa di era Orde Baru, ia pernah menjadi "aktivis": guru, konsultan, peneliti, penulis dan juga wartawan. Sebagai wartawan Kompas, yang kerap terkenal "galak" dan kontroversial, ia kerap diminta menjadi narasumber dan fasilitator "ansos" di beberapa kampus dan lembaga, lintas agama dan budaya. Ia bahkan di-cap sebagai empu-nya postmo dan metodologi analisis sosial di Indonesia. Pelbagai tulisannya juga kerap dimuat dalapm kolom pembaca Prisma menanggapi pemikiran Amien Rais sekitar tahun 1984-an.
Pada tahun 1970-an, ia aktif menulis resensi atas pementasan-pementasan teater di Indonesia dari Rendra sampai Putu Wijaya. Berdasarkan dokumentasi, tulisannya yang paling awal adalah resensi di harian Kompas, tanggal 18 Oktober 1971, atas pementasan Bengkel Teater Yogyakarta, "DUNIA AZWAR".
Bersama teman temannya, ia juga pernah memimpin Majalah Busos, Yayasan Parahita dan mendirikan Pusat Riset Alocita yang bermarkas di Surabaya dan kemudian juga di Yogyakarta, dan R.P.C di Jakarta. Pekerjaan yang dilakukan disana terutama penelitian, penerbitan, dan dokumentasi. Ada yang mengatakan bahwa kerja bareng dengan Emmanuel Subangun itu seperti menunggang roller coaster, naik turun, dan seringkali pakai ngepot segala. Pemikirannya rumit, tak terduga, nyentrik, kadangkala terlalu samar. Tulisannya di koran selalu memakai kalimat pendek-pendek dengan retorika yang khas.
Pastinya, dedikasinya pada ilmu pengetahuan dan pendidikan dijalani sepenuh jiwa hingga masa tuanya. Bahkan, pernah selama 1 bulan lebih, dengan telaten ia ngelaju dari Yogya - Gunung Kidul PP sekedar memberi bimbingan penelitian. Inilah cara nyatanya menjalani hidup, menjadi manusia sesungguhnya. Orang tua sekaligus Guru yang sederhana tapi sungguh 'trengginas': tegas, telaten dan tulus.
Ia juga pernah menjadi dosen di Atmajaya Jakarta dan USD Yogyakarta juga di beberapa kampus dan lembaga penelitian lainnya. Ia dianggap sebagai "guru dekonstruksionisme"di sekolah Kritik Wacana Agamanya LKiS sekaligus "guru ansos" di CEFILnya Satunama.
Beberapa orang mengatakan bahwa Emmanuel Subangun adalah salah satu aktor dalam bingkai kenangan pembicaraan dan perdebatan yg asyik mengenai postmodernisme yang sedang seksi di tahun 90-an. Sebagai alumni Prancis, gaya intelektualnya lain dan berbeda dengan umumnya akademisi dari Amerika yang rapi dan teratur. Sebaliknya, gaya retorika mas Emmanuel Suvangun terkesan kacau, tak beraturan, sehingga tak jarang membingungkan namun harus diakui sangat josss, tajam dan mengena.
Salah satu kutipan dari salah satu bukunya:
"...kesulitan membangun Indonesia baru akan tetap menggunung, tetapi ada satu pamali yang tidak boleh dilanggar, yakni jangan sesekali kita meletakkan kekerasan di jantung jiwa sistem politik nasional kita! Karena sekali kekerasan itu ditancapkan, maka pada detik itu juga seluruh kemanusiaan kita gugur dan arena politik berubah jadi rumah jagal hewan yang amat mengerikan" (Emmanuel Subangun, Politik Anti-Kekerasan Pasca Pemilu 99).
Dalam buku "Syuga Derrida", ia
yang adalah murid langsung dari Jacqques Derrida mempertanyakan postmodernisme sebagaimana "apa itu dangdut?", serta menyangsikan pemahaman orang Indonesia atas konsep-konsep kunci dari Derrida.
Seiring waktu berjalan, ia juga kadang mengajak orang lain terlebih para mahasiswanya untuk mendengarkan "SUNYA": 'suara sunyi', yang "tiada" dari karya sastra Nusantara: Kitab Sutasoma, Syair Tambangraras, dan "Mereka yang Dilumpuhkan" (Pramoedya), supaya semakin banyak orang yang optimis bahwa Indonesia (dan Asia) bisa menyejajarkan diri dengan Barat, bahkan mengunggulinya sebab, Indonesia begitu kaya akan naskah-naskah yang "awet nilainya".
Minggu 3/12/2017, bersama dengan datangnya pekan Advent I dan pesta St FX, wajahnya tampak tenang berbaring di salah satu ruang persemayaman jenazah di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Itulah wajah damai Emmanuel Subangun yang meninggal pukul 11.00 di rumahnya, Kayen, Jalan Kaliurang, dekat dengan almamaternya, Seminari Tinggi St Paulus Kentungan Yogyakarta: ”Bapak tidak sakit apa-apa. Tadi (kemarin pagi) sempat sarapan dan jalan-jalan di halaman rumah. Ia meninggal saat duduk....."
Jenasah Emmanuel Subangun akan dimakamkan di Makam Keluarga Poh Sarang, Kediri. Berangkat dari rumah duka RS Panti Rapih, Jogja, seusai misa kudus. Misa kudus akan dilaksanakan mulai pukul 19:00 WIB.
Selamat jalan Mas Emmanuel Henrikus Subangun (28 Oktober 1949 - 3 Desember 2017). Semoga Mba Atik Sitti Adiati Subangun dan keluarga diberikan ketegaran. Sebagaimana tertulis dalam Qoheleth (Pengkhotbah): "All go to the same place; all come from dust, and to dust all return."'
Adapun setelah misa requiem di Panti Rapih Yogyakarta, malam ini jenazah akan dibawa dan dikebumikan di makam keluarga Pohsarang - Kediri. "Nil sine numini - Tak ada yang dapat terjadi tanpa kehendak Ilahi", karena benarlah seperti kata Socrates, "ketika aku menemukan kehidupan, kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati, dan mati untuk hidup."
"GOING HOME - BERPULANG - SOWAN GUSTI"
Berpulang, aku berpulang
Tenang dan damai, aku berpulang
Tidaklah jauh, lewati pintu terbuka
Tugas telah usai, tiada cemas tersisa
Bunda menanti, ayah pun menunggu
Banyaklah wajah yang kukenal,
dari masa lalu
Ketakutan lenyap, kesakitan hilang
Rintangan musnah, perjalanan usai
Bintang fajar terangi jalanku
Mimpi buruk hilang sudah
Bayang-bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Di hidup abadilah aku
Tiada jeda, tiada akhir
Hanya ada kehidupan
Tersadar penuh, dengan senyuman
Untuk selamanya
Berpulang, aku berpulang
Bayang bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Hidup abadi kumulai
Aku kini berpulang
---------
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It's not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother's there expecting me
Father's waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There's no break, there's no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I'm just going home
=====
Something coming …
Viens.
Something unforeseeable and
incomprehensible
Viens.
Tout autre …
Let every one say,
Viens
To every gift,
Viens, oui, oui.
Amen
“Sesuatu datang …
Datanglah!
Sesuatu yang tak teramalkan dan
tak terpahamkan
Datanglah!
Yang Sama Sekali Lain
Biarkan setiap orang berkata,
Datanglah!
Kepada setiap pemberian,
Datanglah! Ya, ya.
Amin.”
(The Prayers and Tears of Jacques
Derrida)
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
IN MEMORIAM:
Kita semua kehilangan besar dengan kepergian saudara kita semua, Emmanuel Subangun! Kami lebih jadi anggota keluarga daripada teman yang bersama-sama mengalami keadaan susah dan senang.Dia pemikir nakal tapi cerdas, tidak pernah takluk pada kerutinan, dan selalu mencari sisi lain dari hidup dan kehidupan.
Salah satunya adalah ketika rumah kontrakan kami di bilangan Rawasari pada suatu musim hujan akhir tahun 1970-an atau awal 1980-an ditimpa hujan Jakarta yang berlangsung dari jam 5 sore sampai jam 2 siang besoknya. Air masuk ke dalam rumah hampir setinggi satu meter, dan kami semua duduk di atas dipan.
Tiba-tiba Em, begitu dia kami panggil, berteriak sambil ketawa khas: “OK teman-teman mari kita diskusikan revolusi sambil ditenggelamkan air bah Jakarta.”
Itulah sinisme Emmanuel Subangun yang kelihatan seperti “nakal” dari muda sampai tua; akan tetapi di dalamnya tersembunyi sesuatu yang khas Emmanuel yaitu tidak pernah diskursusnya itu terpisah dari retorika dalam artinya yang asli dan khas sebelum istilah itu diperkosa oleh kaum politisi, yang sekedar mencari perhatian publik untuk mendapatkan suara.
Salah satu jalan yang dibuka lebar-lebar adalah mengembalikan retorika ke dalam suatu jalur epistemologi yang asli.Bukan dalam artinya yang sudah diperkosa semua orang tetapi retorika di dalam arti berikut ini.
Retorika itu epistemik, epistemologi dan ontologi, dan ketiga-tiganya adalah pada dirinya sendiri retorika.Dalam pandangan ini realitas adalah secara fundamental simbolik; aksi adalah bahasa yang memiliki tubuh; dan bahasa menjadi unit primer dari pengetahuan empiris.Tidak ada pengetahuan tanpa bahasa, karena itu Emmananuel mengolah bahasa Indonesia setuntas-tuntasnya.
Dalam hubungan itu berikut ini adalah sesuatu yang khas Emmanuel. Kemampuan retorikanya terbina dengan kuat dalam setiap tulisannya, yang dengan retorikanya mempermainkan bahasa, ontologi, dan epistemologi, seperti yang dikatakannya berikut ini yang lucu tapi getir, keras akan tetapi melukiskan keadaan senyata-nyata:
“Saya bukan seorang sinis untuk menertawakan keadaan di mana seorang sarjana menyiapkan kopi untuk tuan direkturnya, membeli nasi bungkus untuk "sekretaris genit-genit" dan "norak-norak" yang akan turun gengsi kalau "lunch di kaki lima". Namun, saya juga cukup menjadi seorang realis yang mampu menerima keadaan di mana seorang salah tempat dan setiap tempat salah orangnya, social displacement. Apa salahnya kalau seorang doktorandus menjadi tukang jahit, tukang beli nasi bungkus, tukang sapu, tukang cuci kakus.”
Nama social displacement pun salah nama karena seseorang baru boleh mengatakan “salah tempat” kalau ada orang yang punya hak khusus untuk mengambil suatu posisi khusus di dalam kehidupan seperti yang diwariskan nenek-moyangnya, baik nenek-moyang biologis maupun nenek-moyang akademik.
“Siapa yang menentukan bahwa Kementerian Luar Negeri milik Fisip UI? Siapa yang menentukan bahwa Kementerian Dalam Negeri milik UGM? Siapakah yang menentukan bahwa Kementerian Pertanian milik IPB? Dan siapa pula yang menentukan bahwa menjadi wartawan adalah hak khusus milik Institut Pertanian Bogor?” Dengan kata lain hampir tidak ada yang disebut sebagai masalah “salah tempat” dan “salah orang” itu; yang ada adalah pertarungan bebas—meski perlu juga dikatakan adalah ilusi mengatakan itu pertarungan bebas—karena merebut posisi social berlangsung dengan seluruh perlengkapan yang dimiliki seseorang— anak kota lebih unggul dari anak desa, anak Jakarta lebih unggul dari anak-anak lain; yang menguasai bahasa Inggris lebih unggul dari yang tidak."
Dengan semua yang dikatakan di atas itu; sinisme Emmanuel bukan lagi sinisme akan tetapi kenyataan pahit yang harus ditelan semua orang, meskipun hanya orang dengan kelasnya Emmanuel Subangun semua itu bisa dan berani dikatakan dengan semua risiko---yang dia tanggung sepanjang hidupnya dan memang hidupnya penuh risiko.
ADIEU MON AMI! SELAMAT JALAN KAWAN!
PERDUCANT TE ANGELI ET ARC
B.
ITU...
Yang menarik dari kekritisan berpikir dari Emanuel Subangun adalah "kemalasan" kita untuk menerangkan kata "itu", yang sering digunakan pada akhir kalimat.
Mas Bangun, biasa kami memanggilnya saat berkumpul diskusi di Pendopo gang Pandega belakang Gereja Kentungan Jogja, yang marak di tahun 80'an. Dengan "klecam-klecem" kata "itu" selalu di highlight mas Bangun. Bahwa kita hanya berhenti pada kata ITU, tanpa bisa melanjutkan apa yang dimaksud. Seolah-olah lawan bicara atau lawan diskusi, hendaknya tahu, paham, mengerti, apa yang kita maksudkan dengan ITU. "Tahu sendirilah pokoknya, apa yang dimaksud" si pembicara dengan ITU.
Tentu banyak wacana yang menarik dari mas bangun dalam analisis sosialnya. Paling tidak, yang digaris bawahi kata ITU, menjadi salah satu yang menarik. Janganlah berhenti perpikir, cape berpikir untuk menerangkan isi pikiran kita hanya puas diwakili oleh sebuah kata ITU. Begitu kira-kira mas Bangun berkehendak pada anak-anak muda disekitarnya.
C.
WARTAWAN BANDEL ITU TELAH PERGI
Dekade 1970, di Balai Budaya, Jakarta; Arswendo Atmowiloto bercerita tentang "kekurangajaran" Emmanuel Subangun.
Ia mengambil kartu nama Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi Kompas, lalu membagi-bagikannya ke para PSK di Boker, Cijantung, sambil memperkenalkan diri: "Saya Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi Kompas". Jakob hanya tertawa-tawa ketika diberitahu kelakuan wartawannya ini.
Ternyata Subangun tak betah menjadi wartawan, lalu kembali menekuni pelajaran di perguruan tinggi di Perancis sampai selesai S3. Ia kelahiran Kediri 28 Oktober 1949, setahun lebih tua dari saya. Pernah ingin menjadi Imam Katolik dan belajar di Kentungan, Yogyakarta.
Menikah dengan Perupa Siti Adiyati, lalu menekuni dunia keilmuan dan penelitian. Dan hari Minggu kemarin, 3 Desember 2017, "Wartawan Bandel" itu telah pergi menghadap Sang Pencipta.
D.
NON SERVIAM
Ketika beberapa hari menjelang kematiannya, “Mors ultima linea rerum est” – kematian adalah nafas terakhir dari segalanya, seseorang pernah berkata kepada saya, “Kalau saya diberi kesempatan hidup yang kedua kali, maka saya akan banyak melayani, mengabdi, membantu sesama”. Katanya lagi, “Hidup menjadi bahagia, kalau bermakna bagi sesama”. Persis seperti yang dikatakan Nabi Muhamad SAW, “Sebaik-baiknya orang adalah mereka yang bermanfaat!”
Ini sangat berbeda dengan yang dikatakan Lucifer, “non serviam” – tidak mau mengabdi. Bahkan dalam kisah terkenal Doctor Faustus tulisan Johann Wolfgang von Goethe (1749 – 1832) itu, Lucifer sangat berperan aktif. Publius Syrus (85 – 43 seb. M) pun berani berkata, “Brevis ipsa vita est, sed malis fit longior” – hidup itu sendiri adalah pendek, tetapi kejahatan itu (usiaya) lebih panjang. Lucifer hingga hari ini “masih hidup”.
Mahamalaikat, si Lucifer – menurut Kitab Suci – memberontak dan dihancurkan oleh Mikael. “Non serviam” – saya tidak mau mengabdikan diri pada Tuhan, adalah kata-kata Lucifer yang terkenal itu. Akibatnya amat sekali. Dulu raut mukanya ganteng sekali. Namun, sesudah ucapan yang berani itu, mukanya menjadi lebih jelek daripada muka kura-kura (MAW Brouwer, Kompas 5 April 1971).
Di Jawa ada istilah enthengan atau suka membantu orang lain. Dan dilihat dari wajahnya tampak sumringah, ganteng dan cantik. Sebaliknya, orang-orang yang cugetan, tidak suka membantu sesama, pelit – barangkali – wajahnya akan jelek seperti kura-kura.
+26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar