Ads 468x60px

REQUIESCAT IN PACE.. Dr GJA (George Junus Aditjondro) SETAHUN "SOWAN GUSTI"



IN MEMORIAM.
REQUIESCAT IN PACE..
Dr GJA (George Junus Aditjondro)
SETAHUN "SOWAN GUSTI"
10 Des 2016 - 2017
Tempus fugit. Time flies.
GJA yang dikenal sebagai aktivis prodem, dosen, peneliti, jurnalis dan pemikir kritis ini meninggal pada Sabtu, 10 Desember 2016 lalu, persis peringatan hari "HAM - Hak Asasi Manusia", sekitar pukul 04.45 WIB atau 05.45 WITA di Palu, Sulawesi Tengah.
Selama hidupnya, beliau yang kerap bangga mengaku sebagai anak "janda" (Jawa - Belanda) ini terlahir di Pekalongan, 27 Mei 1946 dan seakan menjadi "KPK" tulen di negeri ini, yang selalu kritis tanpa gentar untuk membuka kedok dan peluang adanya praktek korupsi para penguasa dari era Soeharto sampai SBY dan juga konon Sultan HB X. Tentunya dengan kekayaan riset berupa data dan fakta di lapangan serta menggali informasi dari pelbagai sumber.
Sejak menjalani studi sebagai seorang frater muda di kota Yogyakarta, saya sendiri kerap bergurau dengannya ketika ber-kuliner bareng di angkringan dengan kopi joss dan wedangan alakadarnya sembari memberikan julukan khas untuknya, 'WTS', Writer Thinker Speaker, mengingat semangat dan kompetensinya yang "clara et disctinta", jelas dan terpilah. Tak bersekat dan tak terikat. Selalu terbuka untuk ber-dia.lo.gue dengan pelbagai barang dan orang dari pelbagai radar dan kadar.
Dengan semangat muda dan sikap sederhananya yang sungguh low profile, beliau kerap ikut datang dengan naik motor bebek nya untuk nimbrung dalam pelbagai acara seminar "diskursus pemikiran" di seputaran kota Yogya, yang waktu itu getol kami adakan sebagai pengurus jurnal di Bentara Budaya, TB.Toga Mas, Kanisius, Gramedia dan USD. Beliau juga tak pelit ketika diminta menyumbang tulisan atau menjadi narasumber dalam sebuah tema filsafat, feminisme, marxisme atau sosiologi budaya dan lain sebagainya.
Beliau yang sempat tersohor sebagai "three musketter" dari UKSW bersama Ariel Heryanto dan Arief Budiman (kakak kandung Soe Hoe Gie), senantiasa mampir ke tempat saya bertugas, entah di Yogyakarta, Jakarta dan Surakarta. Entah sekedar jumpa untuk berbagi cerita atau juga kuliner bareng. Pertemuan terakhir adalah pasca stroke yang dideritanya karena tingginya kadar kolesterol trigliserida asam urat dan gula darah, beliau masih berkenan datang untuk hadir dan berbagi spirit dalam acara wedangan HIK bertajuk: "NGOMPOL" (NGOMong POLitik) di Gereja St Maria Fatima Sragen, kevikepan Surakarta.
Saat itu beliau yang pernah secara khusus membedah Irian Jaya dan Kedung Ombo sebagai bahan tesis dan disertasinya ini datang dari Yogyakarta dengan kondisi yang tidak begitu josss. Tubuhnya terasa lemah sengsara tapi jiwa dan semangatnya terus membara. Lucunya, beliau yang biasanya selalu memberi souvenir (termasuk file file dan soft copy antologi tulisan kritisnya seputar Gerakan Kiri Baru dan Neo Marxisme juga kritiknya terhadap entitas negara dan agama yang dilihatnya secara fair diberikannya kepada saya), kali ini beliau yang gantian saya beri. Ya, ketika melihat saya memegang sebuah buku tentang sepeda onthel dan memakai kaos oblong oleh oleh dari Bentara Budaya yang bergambar sepeda Gazelle dengan tulisan "Pit Onthel" - beliau langsung tertarik dan ingin memiliki "relikwi" dari saya waktu itu.
Sebuah pengalaman lain yang berkesan adalah ketika kami berkeliling menjelajah kota Yogya dari pagi sampai sore, persis di hari ulang tahunnya dan persis di hari ketika Yogya berduka karena hari itu (27 Mei) terkena bencana gempa bumi yang memakan cukup banyak korban. Momentum ulang tahun kami isi dengan siaran radio dan berjalan membantu para korban.
Soal penyakit yang menderanya, beliau yang sempat mengajar di Australia memang beberapa kali kontrol ke Jakarta dan Yogyakarya. Di Jakarta, biasanya di RS Cikini dan beliau pasti mengontak saya. Kadang, menginap di Wisma PGI Jakarta atau rumah sahabatnya dan pernah juga mampir ke rumah saya untuk beristirahat dan mengikuti misa sembari memberikan semacam orasi kebudayaan.
Di Yogyakarta, konon beliau sempat tidak sadarkan diri selama 3 bulan di RS Bethesda. Ketika siuman, beliau seakan seperti "di-restart". Ingatannya banyak yang hilang bahkan dia tidak bisa lagi menulis dan mengetik di komputer tuanya. Beliau juga tidak mudah mengenal semua orang dekatnya dan tidak bisa lagi banyak berbicara tapi malahan lucunya ketika diajak berbicara dalam bahasa Inggris, beliau lebih lancar diajak berkomunikasi.
Indahnya, ketika saya bersama dengan dua orang sahabat (Putut dan Verru) membesuk di rumah kontrakannya yang sederhana di Jakal KM 5 Yogyakarta, beliau sungguh tersadar dan masih mengenal dan menyebut nama saya dan kami masih bisa ngobrol banyak walau tidak selancar dulu. Tremens et fascinans.
Sebuah pesan sederhana dari sesosok pemikir bebas yang mendapat beasiswa dan gelar Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, New York, adalah, dia tidak mau disebut melulu dengan gelar akademisnya karena gelar tidak punya effect jika si empunya tidak terus mengasah nalar.
Bung GJA....
Bahagialah bersama Bunda Maria dan Para Kudus di Surga. Terima kasih atas dedikasi hati dan budimu selama hidup. Sumbangan pemikiranmu akan selalu kami kenang.
Salam hormat dan hangat dari kami untukmu, bung GJA. George Junus Aditjondro!
SAPERE AUDE !!!
===========
Berpulang, aku berpulang
Tenang dan damai, aku berpulang
Tidaklah jauh, lewati pintu terbuka
Tugas telah usai, tiada cemas tersisa
Bunda menanti, ayah pun menunggu
Banyaklah wajah yang kukenal,
dari masa lalu
Ketakutan lenyap, kesakitan hilang
Rintangan musnah, perjalanan usai
Bintang fajar terangi jalanku
Mimpi buruk hilang sudah
Bayang-bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Di hidup abadilah aku
Tiada jeda, tiada akhir
Hanya ada kehidupan
Tersadar penuh, dengan senyuman
Untuk selamanya
Berpulang, aku berpulang
Bayang bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Hidup abadi kumulai
Aku kini berpulang
---------
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It's not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother's there expecting me
Father's waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There's no break, there's no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I'm just going home
NB:
I.
Curriculum Vitae GJA - George Junus Aditjondro
Tempat & tgl lahir: Pekalongan, 27 Mei 1946.
Pendidikan:
1991: Master of Science, Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses belajar tentang pengembangan masyarakat di antara pimpinan dan staf sebuah ornop, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
1993: Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah.
Pekerjaan:
1971-1979: Jurnalis, a.l. Majalah TEMPO.
1981-1989: Pekerja Pengembangan Masyarakat, a.l. Sekretariat Bina Desa (Jakarta), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
1989-2002: Dosen Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Murdoch University (Perth, Australia Barat, Australia), dan University of Newcastle (Newcastle, New South Wales, Australia).
Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
Sejak September 2005, ikut mengampu mata kuliah Marxisme, Gerakan Sosial Baru dan Metodologi Penelitian di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta.
Karya Tulis:
Puluhan buku, bab, kata pengantar, prolog dan epilog tentang Timor Leste, Papua Barat, Aceh, Maluku, Sulawesi dan berbagai kelompok etno-linguistik di Sulawesi dan Kalimantan, lingkungan hidup, serta tentang korupsi sistemik mantan Presiden Soeharto, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa, oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Yogyakarta serta “GURITA CIKEAS.”
2.
IN MEMORIAM:
Makalah untuk Sarasehan Pesta Emas Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, di Ruang Koendjono, Gedung Perpustakaan Kampus Mrican, Universitas Sanata Dharma:
MENGIKUTI SELERA PASAR, ATAU MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA? Berkaca pada pengalaman tiga universitas,
UKSW, Murdoch University dan Newcastle University
1. SUDAH menjadi tradisi, kalau sebuah universitas mencapai umur yang cukup tua, seperti Universitas Sanata Dharma saat ini, para civitas academicanya berusaha mawas diri, mempertanyakan citra universitas ini di mata masyarakat. Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengajak kita semua untuk mempertanyakan, bagaimana citra Sanata Dharma di mata masyarakat di Indonesia, atau khususnya di Jawa bagian Tengah: seberapa jauh universitas kita sungguh-sungguh ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, atau sekedar mengikuti selera pasar? Menurut hemat saya, pertanyaan kritis itu hendaknya melandasi usaha kita membuat Universitas Sanata Dharma makin dikenal public, alias go public.
2. Untuk membantu proses self-reflection ini, saya ingin mengajak hadirin ikut berdarmawisata ke tiga universitas di mana saya kebetulan pernah mengajar, yakni di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga (1989 s/d 1994), serta di dua universitas di Australia, yakni Murdoch University di Perth (Australia Barat) (1995) dan Newcastle University di Newcastle (New South Wales) (1996 s/d 2002), sebelum kembali ke tanah air. Setelah melakukan penelitian selama lebih dari dua tahun terhadap konflik di Tanah Poso (Sulawesi Tengah), akhirnya saya mendarat di Program Studi Ilmu, Religi, dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma, awal September lalu.
3. Mungkin peserta seminar ini ada yang bertanya-tanya: mengapa saya begitu senang berpindah-pindah dari satu universitas ke universitas lain? Apakah karena saya berusaha terus mencari universitas yang menawarkan gaji yang lebih tinggi? Apakah karena saya selalu berselisih faham dengan rekan-rekan dosen atau pimpinan universitas? Atau apa? Jawabannya tidak perlu ditanyakan pada rumput yang bergoyang. Jawabannya ada pada Soeharto dan oligarkinya yang berkaki tiga (istana, tangsi, dan partai penguasa). Tapi saya tidak yakin apakah mantan diktator itu mau, atau mampu menjawabnya, karena dibius oleh burung beonya, satu-satunya mahluk di dunia yang tiap hari masih menyapanya dengan kata-kata “Selamat pagi, Bapak Presiden!”.
4. Pengembaraan saya dari kampus-kampus, dari Indonesia ke Australia karena saya terpaksa hijrah dari Salatiga karena Soeharto begitu mencintaiku, sehingga ia ingin memasukkan saya dalam sangkar, seperti burung beo mantan diktator itu. Makanya saya terpaksa mengadu nasib ke Murdoch University, yang hanya dapat merekrut saya selama setahun, kemudian pindah ke Newcastle University, di mana saya bekerja sampai selesai kontrak lima tahun, lalu diangkat menjadi staf tetap. Tapi kecintaan saya pada gerakan pro-demokrasi di Indonesia, mendorongku meminta pensiun dari Newcastle University dalam semester dua 2002, untuk kembali ke Indonesia. Dengan demikian, aku dapat membulatkan penelitian saya tentang korupsi kepresidenan di Indonesia, yang mudah-mudahan dapat diluncurkan oleh Lembaga Kebajikan Islam dan Sosial (LKiS), Yogya, akhir bulan ini (lihat Aditjondro 2005).
5. Berdasarkan pengalaman mengajar di tiga universitas itu, saya ingin meng-share strategi go public ketiga universitas itu, meminjam istilah yang dipakai oleh Panitia Sarasehan ini. Dilihat dari subtema di atas, strategi memenuhi selera pasar seringkali berada dalam ketegangan dengan strategi mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau dalam konteks Australia, menanamkan sikap kritis mahasiswa. Pimpinan UKSW, di tahun-tahun puncak konflik dengan sejumlah civitas academica yang dipelopori oleh Dr. Arief Budiman, lebih mementingkan pemenuhan selera pasar ketimbang mencerdaskan kehidupan bangsa (lihat Heryanto 2003).
6. Secara obyektif harus kita akui, bahwa pimpinan UKSW waktu itu, seringkali cukup bingung bagaimana dapat mengendalikan biduk ini di antara sikap kritis sebagian civitas nya dan tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Negara melalui aparat represifnya dalam bentuk Komandan Korem Makuta Rama, Salatiga, mewakili Kodam Diponegoro, terugval basis Soeharto sejak melancarkan kudeta 1965. Sebab setiap topik kontroversial yang dicuatkan oleh mahasiswa atau dosen UKSW, sering mengakibatkan pemanggilan Rektor atau Pembantu Rektor III UKSW oleh Danrem Makuta Rama atau Asisten Intelijennya.
7. Di antara topik-topik yang pernah dibahas di kampus dalam bayang-bayang Gunung Merbabu itu adalah perlawanan rakyat sekitar waduk Kedungombo; perlawanan rakyat korban polusi di Dukuh Tapak di Kodya Semarang; perlawanan rakyat di Semenanjung Muria terhadap rencana pembangunan PLTN, yang didukung antara lain oleh Dr Liek Wilarjo, Ketua Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan waktu itu (lihat Aditjondro 1995: 40); hak rakyat Timor Leste dan Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri; dwifungsi militer; konglomerasi; sampai dengan suksesi kepresidenan. Berbagai topik ini menyebabkan UKSW sering dilihat sebagai benteng pertahanan terakhir kebebasan mimbar akademis di Indonesia, setelah pimpinan dan dewan mahasiswa UI, ITB, IPB, IKIP Jakarta, Unika Atma Jaya dan kampus-kampus lain merasakan dingin dan kerasnya tangan penguasa selama dasawarsa pertama dan kedua kekuasaan Soeharto.
8. Setelah hijrah ke Australia, tanggal 1 Februari 1995, dan hampir delapan tahun mengamati kehidupan perguruan tinggi di sana, saya merasa bahwa universitas-universitas di sana pun mengalami ketegangan antara memenuhi selera pasar dan mengembangkan sikap kritis civitas academica nya. Ternyata perguruan-perguruan tinggi di Australia pun hidup di bawah bayang-bayang ketakutan terhadap kediktatoran Soeharto. Memang, ada beberapa oasis kebebasan mimbar akademis di Australia, tapi itu dapat dihitung dengan jari. Juga, beberapa oasis itu kadang-kadang harus bersitegang dengan pimpinan universitasnya, apabila ingin merekrut tokoh-tokoh intelektual kritis dari Indonesia. Ini misalnya terjadi ketika Melbourne University hendak mengangkat Arief Budiman sebagai Professor in Indonesian Studies, yang akhirnya tetap terlaksana.
9. Ada dua alasan mengapa selera pasar seringkali dapat mengalahkan misi universitas untuk mengembangkan sikap kritis civitas academica nya. Pertama, walaupun hanya bersifat simbolik, figur Vice Chancellor, yang seringkali diangkat dari antara tokoh-tokoh politik di negara-negara bagian di sana, dapat mempengaruhi keputusan-keputusan pimpinan universitas yang dianggap dapat menimbulkan implikasi negatif bagi universitas yang bersangkutan. Untunglah posisi Vice Chancellor tidak juga mutlak menentukan kebijakan universitas, sehingga pertimbangan VC dapat ditolak oleh Senat Universitas.
10. Alasan lain mengapa selera pasar sering dimenangkan terletak dalam hubungan antara Australia dan Indonesia, yang merupakan pasar yang begitu menggairahkan bagi Australia. Termasuk di bidang pendidikan tinggi. Nyatanya, perguruan-perguruan tinggi di Australia sangat mengincar calon-calon mahasiswa dari Indonesia, baik untuk kursus-kursus singkat, pendidikan nir gelar, pendidikan ke jenjang S2 dan S3 yang ditawarkan ke Indonesia dengan beasiswa dari AusAID maupun sumber beasiswa lain (Ford Foundation, dan lain-lain). Selain itu, Indonesia buat ilmuwan-ilmuwan Australia di Indonesia, untuk melakukan kegiatan konsultansi dan penelitian di sini. Berbagai kepentingan material perorangan dan institusi pendidikan tinggi Australia itu menyebabkan pimpinan lembaga-lembaga itu berusaha tidak menyinggung perasaan para birokrat pendidikan di Indonesia. Birokrat pendidikan Indonesia, pada gilirannya juga sering menyensor diri agar tidak sampai berurusan dengan aparat represif negara di sini. Itu sebabnya, saya duga, berbagai lamaran saya ke universitas-universitas besar di ibukota-ibukota negara bagian di Australia, ditolak atau tidak mendapat tanggapan.
11. Lalu, mengapa saya diterima untuk meneliti dan mengajar selama setahun di Murdoch University, kemudian mendapat kontrak selama lima tahun di Newcastle University, di mana saya sudah diterima sebagai staf tetap, sampai saya sendiri meminta pensiun? Saya ingin menjelaskan fakta ini dengan analisis yang Habermasian. Untuk itu, marilah kita jenguk sejenak pendekatan filsuf Jerman itu, sebagaimana disarikan oleh Michael Pusey (1987), sosiolog Universitas New South Wales, Australia.
12. Habermas adalah filsuf Jerman pertama yang berhasil membangun sintesis antara Max Weber, yang lebih menekankan kepentingan ideal dan Karl Marx, yang lebih menekankan kepentingan material dalam mendorong perubahan sosial. Dengan kata lain, Habermas mencatat dialetika dalam masyarakat antara kepentingan ideal dan kepentingan material di balik gejala-gejala sosial. Nah, diterapkan ke pengembaraan (baca: pengungsian) saya ke Australia, sejumlah cendekiawan di Australia melihat kontribusi yang dapat saya berikan dalam menyumbangkan data dan informasi tentang oligarki Soeharto, yang sedang menjadi sorotan mereka. Di samping itu, saya percaya bahwa sebagian cendekiawan yang mendukung pelarian politik saya, didorong oleh hati nurani mereka untuk melindungi sesama cendekiawan dari penjara rezim Soeharto. Tentu saja ini merupakan ‘bacaan’ yang lebih bersifat idealis, ketimbang materialis.
13. Sementara itu, di aras yang lebih tinggi, yakni di aras pimpinan universitas, ada polarisasi pendapat tentang untung rugi mereka merekrut seorang cendekiawan Indonesia yang tidak disukai oleh rezim Soeharto. Namun di Newcastle University, ada keuntungan material untuk mengangkat saya. Sebab lowongan yang diiklankan di media massa yang saya coba isi adalah untuk jenjang Assistant Lecturer (Asisten Dosen). Padahal lowongan itu baru saja ditinggalkan oleh seorang Associate Professor , yang baru saja pindah ke universitas lain di Australia. Jadi, dari sudut anggaran belanja universitas, keberadaan saya di posisi itu membuat Newcastle University dapat menghemat ribuan dollar selama saya bekerja di sana selama 7,5 tahun. Beberapa ribu dollar berhasil saya raih kembali, ketika Newcastle University mengfasilitasi saya bersama isteri saya untuk melakukan perjalanan ke selusin negara, selama semester dua 1999, untuk meneliti dan mendokumentasi harta jarahan Soeharto berikut keluarga dan konco-konconya di sepuluh negara (AS, Inggris, Belgia, Negeri Belanda, Swiss, Jerman, Filipina, Hong Kong, Singapura dan Malaysia).
14. Apa relevansi ‘darmawisata’ ke tiga universitas itu bagi Universitas Sanata Dharma? Strategi pemasaran universitas ke dunia luar, baik untuk kepentingan mencari mahasiswa maupun memperluas jaringan penelitian dan kemungkinan rekrutmen dosen/peneliti tamu, memang perlu memperhatikan selera pasar. Tapi pada saat yang sama, universitas pun, lebih-lebih di Indonesia di mana proses demokrasi sedang tersendat-sendat, perlu juga memperhatikan fungsinya untuk mengembangkan sikap kritis mahasiswa maupun dosen. Pengembangan sikap kritis mahasiswa, di jurusan manapun, dapat dilakukan dengan mengembangkan bahan kuliah dengan contoh-contoh yang berkaitan dengan permasalahan keadilan dan kesejahteraan di Indonesia. Sedangkan pengembangan sikap kritis staf pengajar, dapat dilakukan dengan mengfasilitasi kesempatan penelitian terhadap soal-soal keadilan dan kesejahteraan pula. Lalu, baik mahasiswa maupun staf pengajar dan staf pendukung pengajaran, dapat dibantu pengembangan wawasannya lewat penyediaan materi tercetak serta materi audio-visual di perpustakaan universitas, fakultas, dan pusat-pusat penelitian.
15. Apakah pasar tidak akan bereaksi negatif terhadap strategi go public yang menekankan pengembangan sikap kritis para civitas academica, baik lewat tangan-tangan pimpinan universitas maupun penguasa negara? Mungkin saja. Tapi alternatifnya adalah, membiarkan diktator-diktator baru bermunculan di negara maupun di kampus, seperti yang berulangkali terjadi selama era Orde Baru, maupun di beberapa kampus yang juga berlandaskan iman Kristen belakangan ini, seperti di Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta dan di STT Indonesia Timur di Makassar. UKSW sendiri, sampai detik ini belum merehabilitasi 52 orang staf pengajarnya yang dipecat dengan surat maupun dengan dihentikan pembayaran gajinya, tahun 1995-1996. Bearti, risiko itu memang tidak ringan. Tapi kalau risiko itu tidak dihadapi, lebih baik universitas ditutup saja dan diganti dengan kursus komputer dan akuntansi, yang mungkin lebih mudah diserap oleh pasar, tanpa harus memusingan amanat UUD negara kita, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
16. Bagi Universitas Sanata Dharma, tidak merupakan sesuatu hal yang aneh, atau sama sekali baru, untuk bersikap kritis terhadap kekuasaan. Sebab untuk Yogyakarta, aksi-aksi untuk menurunkan Soeharto dari singgasana kekuasaannya mulai dari kampus ini, digerakkan oleh SOMASI, pada tanggal 5 Mei 1998. Aksi-aksi ini, yang berjalan dengan sangat tertib, menurut catatan budayawan Romo Y.B. Mangunwijaya (alm), karena tidak satupun toko di Jalan Gejayan dijarah oleh massa pemuda, yang mengikuti aksi para mahasiswa. Namun dari fihak mahasiswa, syuhada pertama jatuh di daerah ini, yakni Moses Gatotkaca. Kepada keluarga Moses Gatotkaca serta seluruh civitas academica Universitas Sanata Dharma, makalah ini saya persembahkan.
Referensi:
Aditjondro, George Junus (1995). “Implications of a Shift from ‘Pro-State’ to “Pro-Society’ Social Scientists,” dalam Nico Schulte Nordholt & Leontine Visser (eds). Social Science in Southeast Asia: From Particularism to Universalism. Amsterdam: VU University Press, hal. 35-42.
--------------- (2001). Timor Lorosa’e on the Crossroad: Timor Lorosa’e’s transformation from Jakarta’s Colony to a Global Capitalist Outpost. Jakarta: CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies).
--------------- (2004). Timor Leste, Fotokopi Indonesia? Catatan Perjalanan ke Timor Leste, 15 s/d 25 Mei 2004. Naskah yang belum diterbitkan.
--------------- (2005). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa. Jakarta: LKiS.
Gordon, Colin (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings 1972-1977 by Micheal Foucault. New York: Pantheon Books.
Heryanto, Ariel (2003). “Public intellectuals, media and democratization: Cultural Politics of the Middle Classes in Indonesia.” Dalam Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal (eds). Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. New York: Routledge Curzon, hal.
Pusey, Michael (1987). Juergen Habermas. Sussex & London: Ellis Horwood Ltd & Tavistock Publications.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar