Ads 468x60px

Hari "HAM-Hak Asasi Manusia"



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Permenungan Hari "HAM-Hak Asasi Manusia"
10 Desember 2017
Harapan dan Ingatan
Spes et Anamneses....
Politica actio oportet humanae personae, communi bono et creati curae vere inserviat.
Political activity must truly be conducted at the service of the human person, with respect for creation and for the common good.
Kegiatan politik harus benar-benar dilakukan untuk melayani pribadi manusia, dengan menghormati ciptaan dan kebaikan bersama.
Kita semuanya saling tergantung satu sama lain dalam jalinan hukum cinta semesta, sejak purba tanpa ada batas masa.
Oleh sebab itu, marilah kita hidup ramah dalam suasana mesra satu terhadap yg lain.
Kita saling mencari,
ketika merasa seorang diri,
selagi menyusuri jalan yang sepi,
atau di saat sunyi, tiada tungku penghangat badan yang alami ”
Ingatan saya galau, melayang ke masa anak-anak. Dulu, saya pernah melihat film di “Indra” depan Beringharjo. Judul film itu “Achter de wolken”, Di balik Awan, yang menceritakan tentang keadaan masyarakat dan negeri Belanda usai PD II. Salah satu adegannya berkisah tentang para tawanan Nazi di kamp konsentrasi Auschwitz. Tubuh-tubuh kurus-kering, berbalut seragam lorek-lorek. Di dada mereka terlihat angka-angka bukan nama!
Begitulah mungkin pengalaman "para korban": tapol napol dll. Nama boleh lupa, tapi nomor foto tidak boleh. Sejak itulah, oleh kekuatan kekerasan Negara, sejatinya mereka sudah tidak lagi mempunyai jatidiri. Jatidiri itu sudah dicabut dengan perkosa dan kekerasan oleh kekuatan duniawi yang maha-perkasa. Tapol tidak lagi beda dari lembu-lembu yang mendapat cap angka-angka di punggung, sebelum menanti giliran dibawa ke abatoir.
Bangsa Indonesia memiliki trauma-trauma. Dia hidup dengan trauma. Bukan hanya itu, ke-Indonesia-an itu sendiri dibentuk oleh pengalaman negatif yang tak kunjung terselesaikan. Maka, trauma sesungguhnya tidak terletak pada peristiwa itu sendiri, karena sudah lewat, melainkan pada bekasnya, pada torehan dalam ingatan publik bangsa Indonesia.
"Spes et anamneses. Harapan dan ingatan." Mungkin cuma itu modal kita yang hidup di “era korban” ini. Di satu sisi, kita mewarisi sejarah yang penuh dengan pengalaman brutal dengan korban; di sisi lain, menyitir Sigmund Freud, kita hidup pada masa ketika manusia dengan mudah mengorbankan orang lain demi memuaskan insting primitif akan kekuasaan ( = will to power ala Nietszche).
Kekerasan bersumber dari naluri manusia yang mengarah ke kultur kematian (thanatos) dan bukan ke kultur kehidupan (eros). Kekerasan selalu punya alibi. Dan itu tak semata lahir dari kebencian. Ia juga berbiak dari ambisi untuk menertibkan, dari otoritas untuk mengatur dan menundukkan yang liane (beda). Karena itu, kekerasan tak akan pernah berhenti di kamp Auschwitz. Dalam kehidupan yang terus berputar, kita akan menemukan kekerasan itu terulang di tempat lain, di “Auschwitz-Auschwitz” baru: yang global di beberapa wilayah Timur Tengah, Alepo Suriah dan Mosul Irak dengan teror dan horor ala ISIS; yang lokal di beberapa daerah di nusantara: Aceh, Bandung, Kalimantan, Papua, Bali, Ambon, Poso, Samarinda sampai Jakarta dsbnya....…
Cerita kekerasan tak cuma menghiasi buku sejarah, tapi telah menjadi bagian dari ruang publik. Ada banyak tragedi yang terjadi dalam sejarah di masa lalu, tetapi dampak dan bekas goresannya masih bisa kita lihat sekarang. Holocaust di Eropa, kamp Gulag di Rusia, eksterminasi Bosnia-Herzegovina, hingga pembantaian ratusan ribu tertuduh komunis di Jawa-Bali adalah contohnya.
Walter Benjamin pernah berkata bahwa ada semacam janji keramat antara generasi kini dan lalu, yakni janji untuk bersama-sama menebus kekerasan dengan perdamaian. Dan janji itu sampai kapan pun, kata Benjamin, akan terus menghantui generasi kini dan mendatang.
Persoalannya, bagaimana kita menyikapi warisan sejarah para korban itu? Bagaimana merefleksikan pengalaman korban kekerasan agar tak terulang di kemudian hari? Akankah penderitaan akibat kekerasan yang dirasakan berlalu diusir oleh kesadaran dan ditelan oleh sejarah?
Kekerasan yang pernah menimpa para korban meninggalkan luka traumatik yang mendalam. Trauma itu sering kali mengeras dan melahirkan kekerasan baru yang dilakukan atas dasar balas dendam (vengeance) dan keinginan untuk membayar “mata dibalas mata”, satu-nyawa-untuk-satu nyawa—sebuah asas talion (pembalasan).
Tetapi balas dendam bukanlah akhir dari kisah kekerasan. Kekerasan selalu melahirkan potensi lingkaran setan tak berkesudahan. Maka, di tengah maraknya usaha untuk cuci tangan atau menurut terminologi Habermas, ‘melunakkan masa lampau’ (defusing the past) ini, agar manusia bisa menata pikiran dan hidupnya kembali, tidak ada jalan lain untuk belajar mengingat dan bercerita dalam ruang publik agar pemulihan tercapai.
Caranya? Kita mesti terus membangun sebuah Zwischenraum, Ruang Antara (‘civil society’). Artinya: ruang publik harus selalu dihidupkan dengan mempertajam tindakan berpikir, jelasnya: mengingat dan bercerita. Berpikir sendiri adalah sebuah action. Aktivitas berpikir dengan demikian merupakan refleksi atas pengalaman dengan dunia sosial. Tapi, masalahnya, apakah kita sungguh berpikir selama ini?
Gagasan mengenai kita yang tidak berpikir inilah yang disebut Arendt, “The Banality of Evil”, (gagal untuk memikirkan apa yang sedang dilakukan, ‘dangkal’). Kita kerap hidup dalam suatu ungkapan kesadaran praktis menurut Giddens: kita tidak biasa berpikir, gagal mengambil jarak atau memberi makna, juga pada setiap tindakan dan pengalaman kekerasan.
Tentunya, para korban tak hendak sepi iseng sendiri atau bahasanya Pramoedya, ’nyanyi sunyi seorang bisu’, karena jelaslah sejarah bukan melulu sebagai narasi masa lalu (Historie), tapi sebagai sesuatu yang hidup (Geschichte). Idealnya, di tengah ruang publik, kita harus belajar melibatkan kesadaran reflektif: mengambil jarak, bersikap kritis, mempertanyakan dan memberi makna pada pengalaman kekerasan.
Memang, semakin kita melibatkan kesadaran reflektif dalam melihat pengalaman korban, semakin sadar bahwa bahasa kita tidak memadai. Semakin sadar kita bahwa masih saja ada relung-relung gelap yang tak terkatakan, seperti kecemasan Adorno tatkala ia berujar “menulis puisi setelah Auschwitz adalah tindakan barbar“, atau juga kecemasan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya: Aku tidak bisa menulis puisi lagi sejak keindahan punah dari bumi. Lalu, kemanakah kita akan melangkah, ketika hukum lagi-lagi tak adil? Apakah iman kita juga berbicara dan mencandra? Sungguhkah keterlibatan kita juga mengandaikan keberpihakan? Bukankah iman kita bukan iman yang berjalan di atas awan?
Silakan renung dan telaah, seperti harapan dan ingatan Hersri, salah satu teman Pramoedya yang sama-sama eks tapol pulau Buru, “mang onceki dewe-dewe!“
Selamat memperingati hari HAM!
Iustitia omnibus.Keadilan untuk semua.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar