Belajar dari Air Sungai Cisadane:
Foto @ Stasi Teluk Naga Tangerang,
Natal 2007.
Gereja “Sejuta” Umat!
Itulah sebuah kesan lestari dari “sejuta” pesan bestari yang coba saya ungkit-rakit menjadi satu baris-garis dalam judul tulisan kesan-pesan ini.
Yang pasti, medio 2007 - 2009, saya bertugas sebagai pastor muda di salah satu paroki tertua di KAJ dalam relung larung dan karung marung perjalanan iman bersama “sejuta” karakter umat dengan populasi hampir dua puluh ribu jiwa yang tersebar-pencar di pelbagai stasi.
Adapun waktu itu, paroki ini bernama Gereja “SanMar” (Santa Maria) Tangerang. Saya sendiri menjadi moderator beberapa kelompok kategorial (PDKK-PDKM, Misdinar, KTM, KEP, Legio Mariae dll) dan untuk dua stasi teritorial di Tanjung Kait (28 km Barat Laut) dan Teluk Naga (14 km ke utara), sedangkan Rm Sriyanto SJ berfokus di stasi Gregorius Kotabumi dan Rm Toto Yulianto SJ di stasi Agustinus Poris dan Rajek. Selama saya bertugas, saya juga mencecap-recap tugas pastoral bersama Rm Edy Mulyono SJ dan Rm Swasono SJ.
Pertengahan tahun 2009, saya berpindah tugas ke paroki Salib Suci Cilincing Tanjung Priok bersama dengan para imam tarekat CM. Adapun yang menggantikan saya waktu itu, Rm Situmorang SJ bersama dua imam diosesan, yakni Ari Dianto dan Charles.
Bicara soal “Gereja Sejuta Umat” ini, ada “sejuta” memoria, semacam kenangan yang otentik, unik dan kadang menggelitik. Ada yang klasik, ada juga yang menarik. Ada kisah yang datang dan pergi. Ada juga kasih yang datang mengilhami.
Salah satunya adalah setiap kali saya membuka tirai jendela kamar di lantai tiga, tampaklah “river view”, Sungai Cisadane yang bersebelahan dengan kompleks gereja yang selalu setia menyapa saya setiap harinya: “Vidi aquam-Aku melihat air!” Dari Sungai Cisadane inilah, saya mencandra trilogi karakter “Gereja Sejuta Umat” Tangerang, yakni:
1.”Caritas”:
Air selalu mencintai. Ia selalu “kasih” dan memberi secara “sukarela” dan bukan “sukar-rela”. Ia bisa diambil untuk apa saja dan siapa saja. Ia bisa dipakai untuk mengisi aquarium ikan mas koki, untuk cuci baju, piring, gelas juga untuk mencuci kaki: yang kotor dibersihkan, yang haus disegarkan dan yang bau dijernihkan.
Disinilah, saya setiap hari mengalami cinta” “sejuta” umat, dari sapaan afektif dan perjumpaan reflektif sampai oleh-oleh rekreatif khas Cina Benteng: bakmie Medan, siomay Sewan, sate babi, kaki babi sampai kulit babi juga. Yah, setiap hari, saya diberkati oleh tangan Tuhan yang tak kelihatan.
Sederhananya, lewat “sejuta” perjumpaan kasih inilah, saya tak perlu mencari Tuhan jauh-jauh, karena “sejuta” perjumpaan dengan umat Tangerang, bahkan yang biasa dan sederhana adalah penjelmaan dari Tuhan yang luar biasa dan istimewa. Bukankah yang baik pasti menarik yang baik? Bukankah jika sebuah sikap lahir dari ketulusan hati, ia berusaha menjangkau banyak hati yang lain?
2.”Vitalitas”:
Air selalu menghidupkan (Bhs Latin: “vita”: hidup). Lihat tubuh kita, ada banyak air bukan? Kita minum, mandi, cuci muka, sikat gigi, keramas dll dengan air. Bahkan seorang filsuf Yunani kuno, Thales menyatakan bahwa semua berasal dari air karena semua makhluk hidup mempunyai kandungan air.
Jelasnya, air mempunyai semangat: “bikin hidup lebih hidup.” Roh itu juga yang saya rasakan setiapkali saya hadir dan mempersembahkan misa di “Gereja Sejuta Umat”, terlebih pada masa Natal dan Paskah: “sejuta” umat berjubel khidmat datang memenuhi gereja dan pelatarannya.
Saya teringat pada sebuah misa pertama di malam Paskah tahun 2008, buku yang disediakan panitia sebanyak 7000 buah habis tak tersisa. Dashyat! Salah satu dari “sejuta” pengalaman lain yang membekas di hati: ketika para umat dengan inisiatif-nya menyelenggarakan misa IMLEK, banyak umat sangat antusias “bergotong-royong” walaupun tidak mendapat dana sama sekali dari paroki: “vox populi vox dei - suara rakyat suara Tuhan”.
Selain itu, pada masa-masa biasa juga terdapat “sejuta komunitas kategorial” yang terus bertumbuh seperti Legio Maria, Persink, Putera Altar-Puteri Sakristi, Mudika, PDKK-PDKM, Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus, Kerahiman Ilahi, Teater Teduh, Majalah Terang, komunitas buruh, alumni KEP dan masih banyak lagi.
Pelataran gereja beserta aula St. Maria dan Aula St. Agustinus yang menjadi gedung serba guna seakan menjadi saksi bisu vitalitas “sejuta umat” Tangerang ini. Tak ayal, mereka juga kadang hiruk pikuk dan getol bernyanyi seperti “jutaan burung”, tak perduli siapa yang mendengar, dan apa yang mereka pikirkan, karena inilah dinamika mereka: kadang romantis, sesekali skeptik, kadang ironik dan problematik, kadang ada tawa dan tangis, pesimis dan optimis, kadang gosipan picisan-kadang juga masukan yang penuh keprihatinan.
3.”Humilitas”:
Air selalu taat. Ia mempunyai “humilitas/kerendahan hati”: Diisi dalam botol - ia mengambil bentuk menjadi botol, dialirkan ke dalam pipa - ia mengambil bentuk menjadi pipa. Ia juga selalu mengalir ke yang lebih rendah. Ia mau “turun dan membumi”.
Merupakan sebuah berkat bahwa “Gereja Sejuta Umat” berlindung di bawah nama Bunda Maria yang teladan kerendahan hatinya sudah tak diragukan lagi.
Ditambah lagi dengan adanya Goa Maria paroki yang teduh, seakan mengajak saya untuk selalu membawa magnificat di dalam doa dan gerak karya: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. (Lukas 1:46).
Di paroki inilah, saya menulis dua buku pertama saya tentang Bunda Maria karena saya menjumpai banyak umat yang menghadir-kenangkan kerendahan hati Bunda Maria yang mau mendengarkan: dari pengurus lingkungan, wilayah, seksi kategorial, dari anak kecil sampai yang besar, dari yang muda sampai yang tua.
Selain itu, dengan adanya sekolahan Strada: TK-SD-SMP-SMK (sehingga kadang “Gereja Sejuta Umat” ini disebut juga “Gereja STRADA”), adanya panti jompo dan pusat rehabilitasi bagi ex-pasien kusta: ”Marfati” serta banyaknya penjara, rumah sakit, pabrik serta riuh pasar dan arus modernitas yang hiruk pikuk merupakan sebuah “pembelajaran iman” bahwa “Gereja Sejuta Umat” tidak berjalan sendirian di menara gadingnya.
Ia ada dan terlibat dengan rendah hati di bawah perlindungan Bunda Maria dalam gulat geliat hidup masyarakat yang nyata. Ia mengajak kita ”berakar sekaligus bersayap”. Artinya: semakin mau memperdalam keberakaran dalam iman pada Yesus, sekaligus diajak berani memperluas sayap-sayapnya pada pelbagai perjumpaan dan gulat geliat iman dengan semua orang.
Ya, bukanlah sebuah kebetulan bahwa persis di depan ”Gereja Sejuta Umat” ini, terdapat KFC, di sampingnya terdempet area mall Robinson dengan Mc Donald-nya, di seberangnya terdapat Pizza Hut dengan aneka pasar tradisional beserta rentetan aneka barang dagangan, dari yang sakral juga kadang yang liar dan vulgar. Juga ada stasiun kereta api, pangkalan mikrolet, ojek dan becak.
Bukankah fenomen ini menegaskan bahwa ”Gereja Sejuta Umat” adalah sebuah rumah bersama yang hangat dan dekat dengan kehidupan, sungguh sebuah altar yang dekat dengan pasar?
Bicara lebih lanjut soal usulan, de facto perluasan bangunan fisik sudah tidak memungkinkan, bukan? Ke depan terhalang oleh Jl.Daan Mogot, ke belakang terbentur oleh Sungai Cisadane, Ke samping kiri dan kanan pun tak mungkin karena ada banyak gedung dan bangunan. Kita perlu memperluas “bangunan spiritual”. Adapun empat bidang kehidupan menggereja yang kembali perlu dicermati, yakni: “LKMD”, antara lain:
- Liturgia:
Dilatar belakangi konteks bahwa Tangerang yang berdempetan dengan kawasan perumahan kelas menengah di sekitar Tangerang Selatan (Alam Sutra, BSD City, Gading Serpong, Villa Melati Mas sampai Lippo Karawaci) seakan ber-transisi menjadi “kota satelit” yang hiruk pikuk, struktur masyarakat yang tadinya sangat kental diwarnai suasana agraris, perlahan tapi pasti berubah menjadi urban bahkan metropolis dengan maraknya plaza, mall, ruko, kampus dan sekolah bertaraf internasional serta perumahan kelas menengah, maka mungkinkah dibuat “kapel adorasi” dan atau gereja dengan “liturgi yang lebih komunikatif dan inkulturatif” untuk menjawab kebutuhan rohani “sejuta” umat yang ingin ber-waktu hening, ber-“intimitas cum Deo di tengah kebisingan kota dan dunia harian?
- Koinonia - Kerugma:
Di sebuah Negara Islam terbesar di dunia ini, (dimana Gereja Katolik yang minoritas senantiasa berusaha merumuskan peran dan keberadaannya dalam masyarakat yang beragam dan berbeda), “Gereja Sejuta Umat” seharusnya semakin berani menyatakan keunikan imannya.
Mengingat konteks real lain bahwa banyaknya orang muda dan maraknya perjumpaan dengan budaya lain dan tingginya potensi pernikahan beda agama di Tangerang, baiklah jika umat bersama imamnya bersatu semakin “merapatkan barisan”. Mungkinkah juga diadakan gerakan “sekolah iman bulanan”, semacam pembekalan kekayaan iman Katolik setiap bulan, dengan katekese secara berkelanjutan yang tentunya disajikan dengan menarik dan up to date?
- Martyria:
Tangerang dikenal sebagai tempat penampungan anak-anak nakal dan orang-orang pesakitan (ada 5 penjara) serta tempat penampungan penderita kusta (RS Sitanala). Belum lagi, banyaknya rumah sakit dan rumah pendidikan serta dekatnya “Gereja Sejuta Umat” dengan Bandara Sukarno Hatta dan pelbagai lokasi pabrik yang strategis. Bukankah ini sebuah ruang dan peluang supaya “Gereja Sejuta Umat” bisa semakin bersaksi di tengah masyarakat?
Terlebih kini, tercandra keanekaragaman umat, entah dalam bidang sosial-ekonomi maupun latar belakang agama-budaya, mungkinkah digalakkan terus “program orangtua asuh” dan kunjungan atau aksi sosial? Mungkinkah “Gereja Sejuta Umat” bisa bersaksi menjadi ‘pontifex maximus’: jembatan penghubung (in-between) antara “sejuta jurang”: kaya dan miskin, antara agama, suku dan kepercayaan, majikan dan buruh, dialog keilmuan, dsbnya?
- Diakonia:
Tentunya sambil menimba inspirasi dari Bunda Maria sebagai pelindung paroki, ada banyak karya pelayanan kasih yang bisa dibuat bukan? Mungkinkah ada kunjungan ke lingkungan yang lebih tertata dan terjadwal? Melibatkan semua potensi kelompok kategorial, mungkinkah mereka juga dilibatkan secara aktif dan koordinatif untuk menyapa umat di lingkungan yang tersebar pencar?
Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan akan terpancing, ataukah hanya sekedar gelombang kecil yang menyebar dari jatuhnya umpan itu?
“Cari bantal di pasar Kerang -
Selamat natal buat umat paroki Tangerang.
Ikan Paus terdampar di Pasar Kramat -
Banyak apllaus buat Gereja Sejuta Umat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar