Ads 468x60px

PENDAKIAN ROHANI ALA KASSIANUS.



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
PENDAKIAN ROHANI ALA KASSIANUS.
Melalui apa yang dikatakannya kepada kita perihal kemajuan rohani, Kassianus mengantar secara sangat jelas kepada tradisi selanjutnya.
Sintesa tidak ada di sana, tetapi segalanya dinyatakan untuk mengumpulkan ketiga “pengingkaran” dari ketiga jenis rahib.
Dari lain pihak, ketiga motif tindakan yang dianalisa dalam Collationes 11 memberitahukan dengan tepat dan menerangi kerangka umum dari hidup rohani yang kelihatan jejaknya dalam Collationes 14.
Ketiga Pengingkaran itu, al:
a. Sarabait.
Kassianus menandai kelambanan para sarabait yang “mengingkari” melulu “ad hominem faciem” (Coll. 18,7). Mereka hidup dengan mengikuti fantasi-fantasi mereka, di bawah perlindungan suatu tata komunitas yang palsu.
Apa yang dinamakan rahib-rahib itu berpegang pada “pengingkaran” pertama; hal itu berharga sedikit saja jika tidak mempersiapkan yang kedua. Mengingkari benda-benda lahiriah, yaitu mengingkari apa yang bagi kita asing dan tidak pada diri kita sendiri (Coll. 3,10). Lebih baik kita tidak mengikat dengan “profesi” jika kita mempunyai keberanian untuk pergi lebih jauh (Inst. 7,15).
b. Senobit.
Tingkat kedua dari “pengingkaran” mengikat kita dari diri kita sendiri, yakni dari kekayaan-kekayaan yang tidak kelihatan tetapi benar-benar milik kita, yaitu: cacat-cacat kita (Coll. 3,10).
Tingkat itu menghantar kita masuk di antara orang-orang sempurna, jika kita mempersiapkan diri kita untuk mendaki lebih tinggi lagi. Semacam itulah kekhasan senobit, ia “mematikan dan menyalibkan kehendak-kehendaknya” (Coll. 19,8). Abas Pinufius tidak menjanjikan lain dari ideal hidup bersama: mati bagi dunia dan dirinya, suatu penyaliban” (Inst. 4,34).
c. Eremit.
Pengingkaran ketiga dilukiskan bagi kita sebagai sedikit luar biasa dalam hidup senobit (Coll. 3,22). Itu terdiri atas “mengalihkan pikiran kita dari semesta yang kelihatan untuk melulu memandang hal-hal yang akan datang dan hanya menginginkan realitas-realitas yang tidak kelihatan saja (Coll. 3,6).
Semacam itulah benar-benar ideal yang mana eremit mengucapkan profesinya “memiliki pikiran yang ditelanjangi dari segala sesuatu yang bersifat duniawi dan sejauh diijinkan menurut kelemahan manusiawi, menyatukannya dengan Kristus (Coll. 19,18).
Tingkat ketiga itu mencapai titik puncaknya dalam ekstase (Coll. 3,7). Kesusahan-kesusahan akan hidup bersama membuyarkan pikiran dan tidak menguntungkan bentuk-bentuk kontemplasi itu kecuali menyertai suatu penyerapan total dari akal (Coll. 19,9).
Di balik kemurnian moril, ”kemurnian teoritis” (Coll. 14,9) mengandaikan suatu penyederhanaan yang mana kesempurnaan bertemu dalam keadaan apatheia yang disebut Kassianus: kemurnian, kurnia istimewa terutama di antara perhatian terus-menerus dari hidup aktif (Coll. 3,10; cf Coll. 12,6).
Hidup rohani disajikan kepada kita semacam sebagai suatu pemurnian meningkat secara bertahap yang dicapai bagi seseorang dengan suatu pengambilan bagian yang diantisipir pada kebahagiaan orang kudus.
A.
Tiga Maksud dalam Tindakan.
Suatu garis analog dilukiskan semenjak maksud yang menggerakkan rahib kepada tindakan. Iman, harapan dan kasih, menurut satu atau lain dari keutamaan-keutamaan itu menguasai hidupnya, orang kristen berjalan melalui ketiga “kesempurnaan” semakin lama semakin tinggi.
Yang pertama (iman) meletakkan jiwanya di bawah suatu tata hidup: takwa yang sesuai pada “pengetahuan akan cacat-cacat” itu dengan tingkat pertama dari “pengetahuan aktual” (Coll. 11,6; dan Coll. 14,3).
Menurut keinginan akan ganjaran surgawi, yang diilhami oleh harapan berhubungan dengan “penghinaan akan kesenangan-kesenangan badani” yang rupanya harus diikat pada “usaha ganda itu, demikian kata Kassianus, dari orang yang menuntut untuk mencapai keutamaan-keutamaan” (Coll. 14,3).
Memang, tingkat kedua pengetahuan aktif, dilukiskan kepada kita sebagai suatu pedoman spontanitas, dalam mana jiwa menikmati keutamaan-keutamaan sebagai dari suatu kebaikan kodrat, yang berbuat tanpa terpaksa sesuatupun. Di sana kita benar-benar menemukan kembali “affectus boni ipsius amorque virtutum” (Coll. 11,6) yang mencirikan kesempurnaan cinta kasih dan sikap anak-anak angkat Allah.
“Theoria” tidak lagi bersifat “luhur” kecuali karena “theoria” memiliki Allah sebagai obyek dan akibatnya, mengubah (Transformasi) rahib menurut “gambar dan keserupaan” dengan Penciptanya.
Perjalanan yang sama, tetapi lebih menditil disajikan kepada kita dalam wawancara Abas Pinufius. Inilah bagaimana ia menyelusuri jalan itu: takwa akan Allah, remuk redam, pengingkaran yang memahkotai kerendahan hati, kemudian “mematikan kehendak” yang mengerjakan pemurnian dari cacat-cacat; selanjutnya, keutamaan-keutamaan berkembang biak secara cepat sambil memberikan kemurnian hati yang membimbing kepada kesempurnaan cintakasih (Inst. 4,43).
Breviarium itu cocok dengan anakorit maupun senobit: anakorit memeliharanya melalui keheningan dan kesunyian, senobit melalui pengabdian kepada sesama (Coll. 14,4).
Yang pertama (anakorit) melalui “kontemplasi akan Allah melulu” akan masuk semakin maju ke dalam misteri-misteri iman, sedangkan yang kedua (senobit), kecuali kekecualian yang jarang, akan mencapai Allah dalam makhluk-makhluknya dan terutama melalui “pengetahuan rohani” dari Kitab suci.
B.
Ujian-ujian Rohani dan Sikap Mediocre (Setengah-setengah).
Ujian atau percobaan bukanlah suatu kejahatan. Percobaan adalah suatu kebaikan bagi orang yang tahu menggunakannya menurut pandangan-pandangan Allah (Coll. 4,6).
Askese kristen bersifat optimis, askese Kassianus secara khusus menurut contoh-contoh orang-orang Timur. Sebuah kata dari Buku Hakim-Hakim: “ambidextre” (orang yang dapat menggunakan kedua tangannya) memberikan ilham kepadanya tentang halaman-halaman indah perihal sikap rahib di antara pelbagai pengalaman hidup rohani. Baginya, segalanya merupakan “hal-hal dari sebelah kanan”, sebab hanya dosalah yang jahat (Coll. 6,8-13).
Perihal percobaan, tradisi mengakui tiga tujuan: “ob probationem, ob emundationem, ob merita delictorum” (Coll. 6,11; cf Coll. 4,3; Coll. 7,28).
Ob probationem berarti bahwa Allah mau mewajibkan kita untuk “menyatakan apa yang kita miliki dalam jiwa”: apakah kita menjaga perintah-perintahNya atau tidak?
Lain kali: ob emundationem: itu merupakan kesalahan-kesalahan ringan yang harus dibakar dengan api perendahan supaya menghindari api penghukuman.
“Luka dan percobaan”, demikian kata Kitab Suci, ”merupakan perbaikan kesalahan yang tepat” dan Kassianus menyimpulkan dari hal itu bahwa Tuhan bertindak menurut pandangan kita sebagai seorang tabib yang bijaksana: bukan besarnya kejahatan ataupun macamnya menghalang-halangi-Nya.
Inilah yang disebut Kassianus “consolatio” (penghiburan) (Succursus spirituales); semangat roh yang bernyala-nyala, yang memudahkan pergulatan-pergulatan batin, rahmat-rahmat yang disebut semenjak “rahmat doa”: pandangan yang jelas akan dunia yang sia-sia; kenikmatan akan “kontemplasi-kontemplasi rohani”; doa-doa yang lebih murni dan hidup, perasaan akan kehadiran yang tak kelihatan pada titik bahwa orang percaya diri sebagai yang ditelanjangi dari tubuh.
Sebaliknya ujian-ujian: godaan-godaan, dorongan akan cacat-cacat dan yang merupakan akibat-akibatnya: sikap setengah-setengah, bosan, muak akan kesalehan dan keutamaan (Coll. 6,10). Penghiburan dan ujian hanyalah melulu cara, ”senjata-senjata keadilan” (ibid.).
Dari seluruh percobaan, rasa memiliki adalah salah satu dari hal yang sangat mengerikan bagi rahib. Apa yang dikatakan Kassianus tentang hal itu, benar-benar mewahyukan kepada kita nilai yang secara mendalam bersifat rohani dari pikirannya.
Menurut dia (Coll. 7,2) pemilikan akan tubuh mempunyai tujuan untuk menurunkan jiwa-jiwa yang lembut dan ketidakmurnian mereka yang paling kecil.
Jadi ia menilainya jauh kurang menakutkan daripada pemilikan jiwa oleh cacat-cacat, sebab hal ini mengucilkan rasa takut dan pikiran akan Allah. Jadi ia penuh belaskasih bagi anggota-anggota Kristus yang menderita itu yang begitu pantas dari doa-doa kita. Tidak hanya bahwa ia tidak menghendaki kecuali orang memisahkan mereka dari persekutuan, tetapi sebaliknya ia menasehatkan dengan cara exorcisme dan membuat mereka bersekutu tiap hari.
Itu dari pengalaman, orang dapat mempercayainya, yang dibicarakan Kassianus bila ia melukiskan selingan yang dialami sekonyong-konyong, yang tidak direncanakan sebelumnya, perihal pengalaman-pengalaman dari hidup batin. Tiba-tiba, itu ada dalam damai dari seluruh kunjungan suatu kegembiraan yang tak terelakkan: inteliegensi berlimpah dalam tanggapan (persepsi) yang mendalam, hati dalam doa murni, deras, tak terputuskan.
Kemudian, tanpa alasan-alasan yang nampak, keresahan, kesusahan, kemuakan akan sel, bacaan, semacam kemabukan batin yang tidak menginginkan lagi berdoa kecuali oleh waktu dan loncatan (Coll. 4,2).
Yang benar berbeda ialah sikap setengah-setengah, kejahatan yang paling besar. Kassianus mengutamakan “manusia daging”, kaum libertini (saecularis vel gentilis) daripada “manusia hewani” yaitu sikap setengah-setengah.
Untuk jenis manusia hewani itu, tidak ada suatu harapan menjadi lebih baik: itu merupakan suatu rasa penuh yang berpuas diri dalam keadaan sedangnya (Coll. 4,19).
Dua tipe rahib yang bersikap setengah-setengah: anakorit yang lari dari hidup senobit karena immortifikasi (Coll. 18,8); Sarabait, gyrovagus atau munafik itu yang mana pengingkarannya sama sekali menarik perhatian (Coll. 18,7).
Jadi kejahatan sikap setengah-setengah itu bagi Kassianus membimbing ke dalam sikap kurang tulus yang mengubah dari murid-murid yang menyedihkan menjadi guru yang mengerikan (Coll. 4,20; Inst. 12,30).
Kejahatan itu merupakan asal dari begitu banyak godaan, sehingga ia melucuti senjata setan sendiri dengan menjadikan tak berguna serangan-serangannya. Kassianus menganggap tidak adanya gairah itu di antara rahib-rahib sejamannya berasal dari berkurangnya serangan-serangan setan yang terbuka (Coll. 7,23).
C.
Persahabatan Rohani.
Collationes XVI dikhususkan tentang persahabatan rohani. Musafir padang gurun itu dapat membicarakannya dari pengalaman.
Persahabatannya dengan Germanus adalah yang paling menyentuh. Tetapi ia berbicara tentang “persahabatan rohani”, persahabatan yang bersandar tidak atas minat-minat yang merusak, tetapi atas persamaan gairah batin dan keutamaan, dan yang dapat dibohongi oleh maut.
Disini orang mengenal kembali ide-ide yang serupa dipinjam Kassianus dari Cicero. Ia membedakan persahabatan dan cintakasih yang merupakan suatu keharusan di antara orang kristen.
“Diathesis“ adalah suatu affeksi khusus yang dicirikan oleh keserasian yang ditetapkan antara para sahabat (Coll. 16,6). “Unum velle et molle” hanya dapat didasarkan atas suatu pengingkaran yang mendalam terhadap dunia dan diri sendiri.
Keuntungan-keuntungan suatu persahabatan semacam itu nyata: ia mengerjakan seluruh instansi hidup rohani: kerendahan hati, kelembutan, kesabaran. Ia menyembuhkan secara khusus “kesedihan” yang kadang-kadang lahir dari perasaan terasing dan tidak dimengerti (Inst. 9,7).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar