HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
KASSIANUS WAY:
JALAN MENCAPAI KEUTAMAAN
“Menjaga diri dari pengotoran berat yang menjijikkan bagi Tuhan, tidak cukup jika orang, melalui kemurnian hati dan kesempurnaan kasih, seperti yang dibicarakan Sang Rasul, tidak mencapai bau harum keutamaan-keutamaan yang berkenan kepada Tuhan” (Coll. 20,12).
Askesis Injili, telah kita katakan, merupakan suatu askesis penaklukan. Pertahanan negatif tidak pernah memegangnya kecuali sebagai suatu peranan awali saja.
Seperti cacat didefinisikan oleh hubungannya yang hakiki dengan setan, maka keutamaan adalah ikatan yang menyatukan secara istimewa dengan Allah. Keutamaan itu juga satu-satunya kebaikan yang sejati (Coll. 6,3).
Keutamaan adalah juga “yang karena keutamaan kita memberikan kerajaan hati kita ... kepada Kristus (Coll.1,3).
Kita cukup melihat bahwa mencapai dan mempraktekkan keutamaan-keutamaan adalah salah satu dari unsur-unsur hakiki kesempurnaan monastik.
Melalui keutamaan-keutamaan, usaha-usaha askesis memperbaiki jiwa dalam keadaannya yang semula dan mempersiapkan jiwa kepada kebahagiaan di dunia sana.
Jiwa manusia ditentukan oleh Pencipta untuk tidak merupakan mangsa cacat-cacat, tetapi justru merupakan tempat tinggal kediaman keutamaan.
Dalam hal ini Kassianus berhubungan dengan “tradisi kuno” yang telah kita bicarakan. Tradisi kuno itu menerapkan secara allegoris terhadap jiwa, apa yang dikatakan Kitab Suci perihal tanah Kanaan. Setelah diangkat secara paksa pada anak-anak Sem, ia dikembalikan kepada pemilik-pemiliknya yang syah, ketika Israel dihantar masuk kembali ke sana oleh Allah.
Setelah kelalaian Adam, cacat-cacat mengusir keutamaan-keutamaan. Apa yang “kodrati”, yaitu sesuai dengan kehendak Pencipta, selanjutnya terpenuhi menurut nilai pekerja-pekerja yang ditopang oleh rahmat Allah (Coll. 5,24).
Allegori lain tentang tema yang sama: perlulah menyemaikan “sesuai keringat dahi kita” benih-benih kodrati dari keutamaan-keutamaan, yakni cenderung kepada kebaikan yang dicekik oleh hukum dosa melalui penyemaian cacat-cacat”. Semacam itulah roti surgawi dan roti harian orang kristen (Coll. 23,11).
Kassianus mengundang kita untuk memandang menerobos di ujung dunia sana: “Keutamaan-keutamaan yang diperoleh di dunia ini dan khususnya cinta kasih yang merupakan sumbernya, di balik maut, mengenakan lagi dengan keindahan gemilang orang yang mencintai keutamaan-keutamaan itu” (Coll. 3,8).
Memang, hidup yang berkeutamaan menjamin sejak di dunia ini bagi rahib akan ikatan yang menjadikan dirinya anggota Kristus yang sangat berharga dan baginya merupakan suatu petaruh dan penggabungannya yang definitif, setelah kematiannya” (Coll. 7,6).
Orang hanya menghancurkan apa yang diganti Aphorisme (pepatah) tidak pernah dikuatkan kebenarannya secara lebih baik daripada dalam hidup rohani. Setiap kerja askit terdiri atas memberi tempat berpijak dalam hatinya keinginan-keinginan yang menyelamatkan, kesenangan-kesenangan suci, yang digantikan bagi kecenderungan-kecenderungan daging, untuk kegembiraan sementara dan godaan hidup sekarang ini (Coll. 12,5).
Kerja itu, kita tahu, sekaligus kerja manusia dan karya Allah. Dan Kassianus tidak kurang mengingatkan bahwa jiwa yang benar selalu memiliki Allah di sampingnya
1.
Bacaan dan Meditasi Kitab Suci.
Di antara semua “alat kesempurnaan”, bacaan dan meditasi Kitab Suci memainkan peranan utama. Di sini kita hanya membicarakan nilai asketisnya. Untuk menghargainya, perlulah kita ingat bahwa kenangan kita adalah merupakan salah satu sumber pikiran-pikiran kita. Melalui ingatan itu, kehendak kita dapat melaksanakan pengaruhnya atas kegiatan kita yang dipertimbangkan masak-masak.
Gilingan gandum berputar dengan sendirinya, tetapi tukang giling dapat melemparkan berkas-berkas pilihannya di bawah gilingan itu. Bacaan Buku-Buku Suci yang direnungkan (sebab bacaan dan meditasi berjalan seiring dalam keadaan) memberikan santapan pada ingatan dan melalui bacaan, memurnikan hati (Coll. 1,17-19; 14,13).
Segi yang lebih asketis lagi dari meditasi, apa yang disebut orang-orang modern: “doa praktis”, bagi kita secara sangat tepat diajukan oleh Abas Yohanes sebagai pengobatan yang berdaya guna melawan cacat-cacat.
Rahib yang lekas marah menawarkan diri seribu penghinaan, seribu kejahatan berhadapan dengan mana ia berusaha melawan kerendahan hatinya, atau, itu merupakan suatu ujian keras yang dikenakannya, sambil mengekang diri pada kesempatan suatu kelemahan, kemudian memberanikan diri, memperkuat diri dalam maksud-maksudnya yang baik (Coll. 19,14).
Latihan-latihan yang melulu batin yang mana Kassianus tidak menghargai terlampau tinggi nilainya, tetapi yang diajukannya pada pertapa yang dirampas dari keuntungan-keuntungan hidup bersama sebagai kecakapan yang berguna.
2.
Praktek Keutamaan-keutamaan.
Seperti cacat-cacat, keutamaan-keutamaan di antara mereka juga bersifat solider. “Keutamaan” di bawah pena Kassianus adalah sinonim dengan kesempurnaan. Emas yang sama membuat permata-permata, demikian pula keutamaan-keutamaan, bila tidak memiliki yang satu, juga tidak memiliki yang lain (Inst. 5,11); sebaliknya menjadikan sempurna keutamaan yang satu, berarti pula menyempurnakan diri dalam keutamaan yang lain.
Dari sana aturan praktis: jangan berusaha meniru seluruh keutamaan yang dikagumi orang dalam sesama, tetapi berusahalah untuk diterapkan agar mendorong sampai akhir keutamaan yang cocok bagi kita (Coll. 14,5-6).
Ada dua kelompok keutamaan yang diperinci Kassianus bersama: keadilan, kebijaksanaan, daya kekuatan dan kesederhanaan, yang dilawankan dengan praktek-praktek matiraga sebagai suatu yang baik pada suatu hal yang bersifat indif¬ferent (tidak penting) (Coll. 21,13).
Perihal iman, harapan dan cinta kasih, keutamaan-keutamaan itu adalah “senjata pasukan rohani” (Coll. 7,5), yaitu orang kristen sempurna. Akan tetapi menurut yang satu atau yang lain menguasai dalam hidup rohani, ia dapat ada dalam jiwa: tiga tingkat kesempurnaan yang berbeda-beda (Coll. 11,6).
Di antara keutamaan-keutamaan yang kerap kali disebut dalam tulisan Kassianus, perlulah disebut di sini ialah: compunctio (remuk-redam), kerendahan hati dan cintakasih.
Remuk redam (penyesalan hati) pertama-tama lahir dari rasa takut akan Allah. Remuk redam itu memulai melalui rasa sesal akan kesalahan-kesalahan. Atas dasar remuk redam itu, setiap hidup rohani yang kokoh didirikan (Inst. 4, 32; Coll. 20,6-7). Tetapi kata itu sedikit mengungkapkan seluruh bentuk-bentuk devosi dan kesalehan: ia menterjemahkan perasaan religius itu dalam apa yang dimilikinya dari yang paling peka dan dalam: ketangkasan St. Antonius terhadap panggilan rahmat (Coll. 3,4); semangat bernyala-nyala yang sangat cuma- cuma dan yang disertai oleh air mata rohani serta yang membentuk salah satu dari doa yang tinggi (Coll. 9,26-30).
Kita telah berkata tentang perlunya kerendahan hati sebagai disposisi fundamental bagi kesempurnaan kristen.
Wejangan Abas Pinufius yang dilaporkan oleh Kassianus menyebut “sepuluh tanda” atas mana orang mengenal kerendahan hati: pengingkaran diri, keterbukaan suara hati, kepatuhan akan keputusan, ketaatan dan kesabaran, bantuan sesama dan cinta kasih, ketaklukan akan peraturan dan kepatuhan untuk mengikuti teladan yang baik, pengabdian yang total, kepekaan yang tulus akan kehinaannya, cinta akan keheningan, kesopanan.
Itu semua merupakan wajah yang menyusun keutamaan kerendahan hati dari seorang rahib yang sempurna.
Dalam mengikatkan tanda-tanda itu kepada kerendahan hati, Kassianus menggarisbawahi sifat yang tanpa pamrih dari kesempurnaan itu yang tidak diilhami oleh satu motivasi pribadipun, tetapi hanya oleh cinta akan kebaikan dan selera minat akan keutamaan-keutamaan yang dipraktekkan demi keutamaan-keutamaan itu sendiri (Inst. 4,39).
Perihal cinta kasih, Kassianus melulu mengambil ajaran St. Paulus untuk mengingatkan bahwa cinta kasih sendiri “tidak dilewati” (Coll. 1,11).
Cinta kasih adalah sumber keutamaan-keutamaan (Coll. 3,8) dan atas cinta kasih, kesempurnaan jiwa-jiwa itu diukur, ”kematangan dari anugerah-anugerah mereka (Coll. 8,26).
Kasih akan Allah pertama-tama adalah “kontemplasi”; ia tidak hilang dalam “pekerjaan-pekerjaan” kecuali dalam alasan “ketidak-adilan” manusia, karena ketidaksamaan mereka dan asal dari kejahatan mereka (Coll. 1,10).
Salah satu dari syarat-syarat yang mana pencapaian keutamaan itu tergantung padanya, dan penyempurnaannya ditunjukkan oleh Kassianus dalam istilah-istilah yang ditemukan pada pengarang-pengarang rohani sesudahnya: kita tahu, ketabahan dijamin oleh kasih akan sel (Coll. 6,15) : “Tidak mendapatkannya, berarti kehilangan”, ”tidak maju, berarti sudah hampir mundur”.
Askit dibandingkan dengan pendayung yang berjuang dengan kekuatan melawan arus dengan susah payah untuk dikembalikan pada titik mulainya (Coll. 6,14).
Suatu batu karang rintangan yang harus ditakuti: kemuliaan yang sia-sia (gila hormat). Kemuliaan yang sia-sia itu mencoba untuk “melukai serdadu Kristus”, berusaha untuk “menyebabkan kehancurannya”.
Para asket mengenal rintangan itu baik-baik, cacat yang menyerang terutama pada orang-orang sombong: tingkah laku lahiriah, cara berjalan, nada suaranya, kerja, berjaga, puasa, doa, dst, segalanya merupakan dalih akan hasutan-hasutannya (Inst. 11,3).
Di sini tradisi membuktikan perihal suatu realisme yang menarik perhatian: tradisi mengakui bahwa kemuliaan sia-sia itu berguna untuk para pemula.
Para eremit mengakui bahwa tradisi menjadikan keutamaan lebih mudah dalam hidup bersama daripada di dalam padang gurun (Coll. 5,12).
Tetapi ada suatu cacat yang dibedakan oleh ketegarannya. Para bapa kuno membandingkannya dengan bawang yang mana orang tidak selesainya untuk mengupas kulitnya (Inst. 6,5).
Ketabahan tidak mau mengatakan kebengalan yang keras kepala atau cinta buta. Collationes 17, meskipun rumus-rumus yang tidak dapat diterima sehubungan dengan tipuan, bermaksud untuk meredakan keberatan-keberatan hati nurani (scrupel) dari mereka yang mengerti salah untuk tidak kembali atas maksud-maksud mereka.
Memang perlulah membedakan yang tambahan dari yang hakiki, supaya tidak mencampurkan putusan tambahan dan praktek askese badani dengan “principalia mandata”. Diskresi menghendaki bahwa cara-cara menyerah kalah di hadapan kewajiban-kewajiban yang ketat (Coll. 17,28).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar