Ads 468x60px

SUARA HATI MENURUT KASIANUS (PART II)



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
SUARA HATI MENURUT KASIANUS (PART II)
Taktik khas melawan setiap cacat terdapat dianalisa secara saksama dalam kedelapan buku terakhir dari Institutionesnya, yang disebutnya: “alat-alat kesempurnaan”, yakni: pengingkaran dan anakoritisme, kemiskinan dan kerja, berpuasa dan berjaga, berpantang atau bertarak.
1.
Pengingkaran dan Anakoritisme.
“Pengingkaran melulu mencirikan status hidup yang mana rahib mengucapkan kaul karena ia pertama-tama adalah suatu cara permurnian batin.
Tiga pengingkaran yang mana Evagrius sebelum Kassianus telah mengumpulkan tradisinya tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk menarik rahib dari “tempat kediaman setan” atau lagi untuk mengucilkan cacat-cacat dari “manusia batin” untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah dan tidak lagi mengikat kita kecuali kepada hal-hal yang abadi (Coll. 3,6-9; cf Inst. 7,21).
Kita mengetahuinya bahwa di bawah bentuknya, hidup senobit, pengingkaran terutama mengarah kepada “mematikan” cinta diri dan mendasarkan kerendahan hati. Bentuknya yang paling sempurna: anakoritisme, memberinya nilai. Eremit tidak saja mengingkari benda-benda materiil ataupun bahkan semangat dunia, tetapi “ia menarik diri dari hal-hal yang masa kini dan kelihatan untuk memandang saja hal-hal yang akan datang dan menginginkan hal-hal yang tak kelihatan”.
Radikalisme dari suatu pelarutan yang memotong manusia kepada masyarakat dari sesamanya memberikan lebih dari suatu bahagia.
Kassianus mula-mula memahami bahwa orang hendaknya tidak menjadikan suatu tujuan hakiki dari apa yang hanya merupakan sarana, suatu “kebaikan sekunder”. Baik sifat pengecut maupun semangat setengah-setengah tidak diciptakan untuk padang gurun.
Hendaklah mereka tidak memperhitungkan daya guna magis dari kesunyian: cacat-cacat yang terselubung secara sementara akan berakhir, semacam kuda-kuda yang didorong ke kandangnya, karena menjadi liar dan kehilangan kusirnya (Inst. 8,17). Tidak ada sesuatupun yang sama pasti antara “kebebasan padang gurun” dengan “kebebasan” yang membuka kepada yang jahat (Coll. 24,5). Lagi perlulah menghadapi kekerasan melulu secara serius dipersenjatai dengan hidup rohani dan dilindungi oleh Allah (Coll. 18,16). Dari sanalah perlunya pembentukan senobit. (Coll. 18,13; cf Coll. 19,14).
Kesunyian terutama merupakan sebuah senjata melawan cacat-cacat daging. Memang kemewahan dan kenikmatan atau kelobaan terlihat berkurang dalam padang gurun menurut obyek keinginan mereka yang bernyala-nyala; sebaliknya kemarahan, kesusahan, kelembaman digerakkan menurut kontak manusia dan dikuatkan dalam isolasi (Inst. 6,3; Coll. 5,4).
Yang hakiki, yang pada pengingkaran lahiriah tidak membiarkan untuk berhubungan dengan pelepasan hati: semacam itulah benar-benar merupakan motif utama, pada mana Kassianus membicarakannya lagi secara paling kerap (cf Coll. 1,6; Coll. 3, passim; Inst. 7, passim).
Cinta akan sel itu terikat dengan cinta akan kesunyian. Olehnya ada stabilitas yang menjamin rahib. Keterikatan pada uang, kelembaman, inilah cacat-cacat yang merupakan sumber girovagisme (Inst. 7,8-9; 10,23).
Kassianus, yang di sini lagi diilhami oleh literatur eremit dari lingkungan Mesir, melukiskan tujuan dan gambar-gambar hidup di mana alasan semangat yang palsu ditelanjangi.
Sebaliknya, stabilitas, menurut pendapatnya, merupakan petaruh yang paling baik dan ketekunan yang dinyatakan oleh rahib akan kesempurnaan keadaannya itu (Coll. 6,14-15).
Akan hal itu ia melaporkan kepada kita kata-kata kebijaksanaan para Bapa yang ditujukan kepada para rahibnya yang digodai untuk meninggalkan padang gurun: “Tinggallah di dalam selmu, makanlah, minumlah, tidurlah di sana sekehendakmu, mudah-mudahan kamu tidak meninggalkannya” (Coll. 7,23).
Anakoritisme tidak mau disebut ilusi atau egoisme. Pastilah Kassianus melaporkan kepada kita tentang raut-raut suatu kekerasan yang ekstrim dalam hubungan sosial dari eremit: seperti membakar surat-surat yang diterima dari sahabat-sahabatnya tanpa dibaca surat itu lebih dahulu (Inst. 5,32).
Tetapi detail-detail lain mengungkapkan kepada kita dalam pahlawan-pahlawan kekerasan: suatu kehalusan, suatu laku tapa, keramahan, cintakasih yang indah (Inst. 5,37-40; Coll. 8,1). Benar-benar jauh dari menolak diri terhadap keselamatan sesama, eremit tidak boleh menolak para pengunjung. “Semakin nyala cinta akan membuat kamu mendekati Allah, akan semakin besar banyak saudara-saudara kudus yang akan datang kepadamu”, kata Abas Abraham dalam menyatakan suatu tanda sikap setengah-setengah dalam fakta untuk tidak menarik seorang pun melalui keutamaannya (Coll. 24,19).
Kemarahan (yakni seluruh data-data lahir dan batin melawan kasih persaudaraan) bagi Kassianius seperti Evagrius adalah merupakan satu dari halangan-halangan yang sangat besar bagi doa (cf Inst. L,VIII).
2.
Kemiskinan dan Kerja.
Kassianus mempertahankan bahwa cinta akan uang berbeda dengan cacat-cacat lain dalam apa yang tidak berhubungan dengan suatu kebutuhanpun dan kodrat manusiawi; ia keluar dari suatu penyelewengan murni dari roh. Sebenarnya ada orang-orang yang tidak mengenalnya di atas bumi (Coll. 5,8; Inst. 7,1-2).
Hal-hal yang mudah untuk dipatahkan dalam permulaan, ikatan-ikatan yang disimpulkan oleh cinta akan uang, dikuatkan dengan waktu pada titik nilai yang dapat dikatakan oleh St. Paulus tentang cacat itu sebagai “akar dari seluruh kejahatan” (Inst. 7,6-7).
Bagi rahib, hal itu menarik suatu kontradiksi dalam dirinya sendiri (Inst. 7,15) dan menunjuk hal itu pada girovagisme yang mana kita telah menyebutkan bahayanya (Inst. 7,9-12).
Mengikuti St. Paulus, yang mana ia mengingatkan secara panjang lebar ajaran tentang hal itu, Kassianus menjunjung tinggi kemiskinan karena melalui kemiskinan itu rahib meniru ketelanjangan Kristus yang mulia, teladan-teladan orang kristen pertama dan khususnya Sang Rasul sendiri (Inst. 7,17).
Ia menekankan perihal ketulusan yang diandaikan oleh profesi lahiriah dari pengingkaran: yaitu kehendak untuk memiliki yang harus dikekang. Effectus (akibat) dari cacat itu adalah sekunder, affectus (apa yang melatarbelakangi/sebab) itulah yang harus dipotong pertama-tama. Kassianus mengingatkan hukuman-hukuman Giezi , Yudas, Ananias dan Saphira (Inst. 7,14,21,23,26,29; Coll. 1,6).
Tambahan yang menguatkan pendapat (Corollarium) suatu kemiskinan yang tulus, yakni cinta akan kerja. Pemaafan yang palsu bahwa rahib yang menerima sedekah untuk lebih berdoa, yang menolak untuk melengkapi dirinya sesuai dengan nafkahnya. Tidak tanpa humor, Kassianus menunjukkan bahwa kerja menjadikan manusia bebas : para raja hidup dari derma, dan mereka tidak bebas seperti yang diperkirakan orang (Coll. 24,12; cf Inst. 7,18-19).
Melalui keutamaannya yang menyembuhkan, secara hakiki kerja bertentangan dengan kelembaman, karena cacat itu berjalan berdampingan dengan kemalasan. Ketidaktenangan, rasa ingin tahu yang menggelisahkan, tidak stabil, seluruh “luka bernanah” hidup monastik itu mempunyai titik api (fokus/pusat)nya pada pengangguran.
Melawan kecabulan, kerja adalah suatu senjata yang secara khas berdayaguna: kerja itu mengikat pikiran dan merintanginya untuk mengembara secara berbahaya.
Tentang kerja mana yang dibicarakan Kassianus? Bagi anakorit yang harus melengkapi dalam hakikatnya, hal itu terutama berkenaan dengan kerja mengolah tanah (Coll. 24,4); ia tidak mengecualikan kerja pikiran, tetapi membicarakannya secara eksplisit sehubungan dengan hidup senobit dan mengelompokkan rahib-rahib oleh sel-sel (Inst. 21,12).
Dalam bagian itu, ”operatio” berarti segala sesuatu yang bukan pendarasan mazmur: meditasi atau studi pribadi, kesibukan-kesibukan yang dapat dipenuhi sebelum matahari terbit.
3.
“Berpuasa dan Berjaga”.
Diskresi Kassianus dalam hal laku tapa badani sama sekali menarik perhatian, bila orang membandingkannya dengan keeksentrikan ceritera-ceritera tertentu sejaman, umpamanya dari Historia Lausiaca: “Berpuasa dan berjaga”, semacam itulah rumus yang meringkas pandangan mereka tentang praktek-praktek matiraga. Di sanalah pengobatan-pengobatan khusus pada “cacat-cacat daging, sensualitas dan kecabulan”.
Kerakusan menghadirkan sifat khusus itu bahwa ia berpegang pada kodrat badani manusia dan akibatnya bahwa ia itu tidak dapat dikembalikan kepada kedudukan semula lagi. Kassianus menyebutnya: “ingenitus ac naturalis affectus”. Orang dapat membatalkan selera-selera yang berlebihan, kecuali rasa lapar (Coll. 5,19).
Dari sanalah perlunya suatu diskresi khusus dalam tata cara puasa: “Hendaklah setiap orang menyesuaikan diri sekian besar makanan yang dituntut oleh kebutuhan-kebutuhan tubuh menurut kekuatan dan umurnya, bukannya menurut keinginan makan saja” (Coll. 2,22; Inst. 5,9).
Semacam itulah aturan umum. Juga Kassianus berpantang untuk mengutarakan tata cara makan Mesir dalam suatu karya yang ditujukan kepada orang-orang Barat (Inst. 4,11).
Namun ia mengikat suatu kepentingan yang besar akan penghargaan terhadap tradisi yang menetapkan untuk setiap negeri jumlah dan mutu hidangan khas pada setiap makan (Coll. 2,29).
Seorang empirisme yang sangat penuh perhatian akan pengaruh-pengaruh yang dialami oleh jiwa secara mendalam menerangi para askit atas hubungan fisik dan moral: setelah dikenyangkan, daging tidak taat lagi kepada roh, ia melemahkan “acies cordis”, dan memanasi kembali nyala akan seluruh cacat (Inst. 5,5). Melalui meraba-raba, masing-masing sampai kepada menetapkan kesederhanaan dan makanannya (Coll. 2,23; Inst. 6,2; 6,23). Ekses-ekses, baik dalam berpantang, pun dalam kerakusan, menghalangi doa (Coll. 2,22).
Perihal berjaga, Kassianus melulu berbicara: “Tidak mungkin menyembunyikan kepada daging yang lemah perihal istirahat dari suatu malam seluruhnya; ia akan mengambil pembalasannya sepanjang hari dan di mana berguna, penghapusan tidur akan menjadi suatu halangan bagi berjaga yang perlu sepanjang hari” (Inst. 3,8; Coll. 2,16-17).
Di sini perlulah mengingatkan lagi bahwa bagi askit kristen berpantang tidak berarti apa-apa jika tidak disertai laku tapa batin?
Hal itu karena berpantang terbukti di bawah pena Kassianus secara mendalam bersifat rohani sehingga askese begitu supel dan manusiawi. Pertapa yang tidak masuk akal, yang di bawah dalih kekerasan, menolak untuk makan bersama tamunya: bukankah Kristus yang duduk di meja makan itu? Diskresi para rahib Mesir, menurut kata pengunjung mereka, unggul dalam hal mendamaikan antara peraturan dan cinta kasih (Coll. 2,26; Inst. 5,24).
4.
Bertarak (Continentia).
“Datang kepada barisan kedua, menurut tradisi, pergulatan melawan roh kemesuman, lebih keras daripada yang lain, perang yang hebat yang mulai dengan pubertas dan yang hanya dicapai dengan kekalahan cacat-cacat lain-lain” (Inst. 6,1).
Mukadimah ini mengajar kita perihal pentingnya perjuangan yang dikenakan hidup kerahiban melawan cacat daging. Pembebasan yang penuh, kita telah tahu, adalah suatu anugerah khusus yang Allah sendirilah gurunya.
Pertarakan kristen adalah senjata rohani, usaha yang penuh rendah hati serta tekun dari rahib melawan suatu cacat yang menuntut suata pengorbanan ganda: fisik dan moral. Motif-motif yang diilhamkannya, tidaklah harus yang paling sempurna: takut akan neraka atau keinginan akan surga merangsang pergulatan itu (Inst. 6,4).
Penyembuhan badani yang dituntut suatu cacat yang akar-akarnya masuk ke dalam daging tidak mempunyai apa-apa daripada suatu amputasi yang radikal. Pengobatan itu menganjurkan bahwa orang menjauhkan diri dari selera daging, obyek yang membangkitkannya: kenyataan, gambaran, atau ingatan. Kita telah berkata bahwa pada tujuan itu hidup anakorit secara khusus ditonjolkan (Coll. 5,4; Coll. 12,5). Perlunya yang sesuai tradisi pada aturan makan, cukup memberikan kesaksian dari bagian yang diberikan kepada fisik dalam perjuangan itu (Coll. 22,3; Inst. 6,7).
Akan rahmat yang merupakan obyeknya, Abas Serenas memberi kita suatu pengukuhan yang sangat realis: seorang malaikat mencabut dan perutnya: ”quamdam ignitam carnis strumam”, yang membebaskannya dari cacat seperti suatu penyakit lepra yang mengerikan”(Coll. 7,2).
Tetapi lebih penting lagi ialah penyembuhan rohani. Tanpa penyembuhan rohani setiap askesis badani tentu tidak akan berguna: praktik keutamaan (Inst. 6,2-3); perhatian khusus kepada kelembutan (Coll. 12,6); menjaga hati (Inst. 6,9-14; Coll. 22,7); meditasi dari Kitab Suci, kerja, segala sesuatu yang mengikat roh, santapan dari Allah dan pikiran-pikiran suci (Coll. 5,4; 12,5; Inst. 6,21). Doa tentu saja memainkan suata peranan utama (Inst. 6,17; Coll. 7,2; Coll. 12,4).
Kassianus melengkapi bagi rahib, cara untuk mengikuti langkah demi langkah kemajuannya dalam pertarakan. Ia membedakan 6 tingkat utama yang mencirikan penaklukan semakin lama semakin penuh dari akal atas indera (Coll. 12,7).
Seperti pada Evagrius, kemurnian impian malam nampak baginya sebagai suatu kriteria pasti dari kemurnian hati (Coll. 12,7).
Lebih jauh, ia menunjukkan suatu fakta pengalaman: saat dari matiraga yang paling besar kerap kali merupakan waktu percobaan yang paling berat. Akan tipu muslihat yang secara khusus menakutkan, Kassianus memperingatkan kita: setan berusaha untuk demikian mengalihkan arah rahib dari persatuan sakramentil.
Juga ia memberitahukan lebih dahulu dengan perhatian akan keberatan-keberatan hati nurani dari mereka yang mencampuradukkan gejala-gejala fisiologis yang tak dikehendaki dengan kesalahan dalam arti sebenarnya (Coll. 22,5-6).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar