Ads 468x60px

SUARA HATI MENURUT KASSIANUS (PART I)



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
SUARA HATI MENURUT KASSIANUS
(PART I)
Sebuah kata yang kerap kembali di bawah tulisan pengarang kita itu: conscientia. Suara hati, baginya yaitu jiwa yang dipandang di bawah aspek intelektuil yang baru saja kita lukiskan. Dia adalah cahaya dan peraturan rahib. Suara hati itu membenarkan kejelasan roh yang mensyaratkan latihan-latihan diskresi.
Juga Kassianus menyebutnya: “exploratrix internorum motuum” (Coll. 19,11); “incorruptus ac verus judex” (Coll. 21,22), kepada mana tugas untuk “menghukum satu dan lain ekses”, untuk “menimbang menurut timbangan yang sama” merupakan milik tuntutan tubuh dan tuntutan roh.
Suara hatilah yang memberi rahib kebebasan sejati: kebebasan batin yang di atas ketakutan yang bersifat budak dan harapan yang bersifat dagang, tidak mempunyai motif lain kecuali cinta akan kebaikan bagi dirinya dan yang membuat rahib yang tidak peka terhadap keputusan manusia-manusia, dan tidak dapat dilukai oleh godaan yang jahat (Coll. 11,8).
Suara hati ada di dalam dunia batin di mana Allah sendiri masuk sebagai saksi yang gembira karena letusan jiwa yang tak terkatakan, yang dicurahkan oleh Tuhan terhadap para kudus-Nya (Coll. 12,2).
Itulah sebabnya pengalaman itu sendiri mudah untuk memperkayanya. Kata-kata manusiawi tidak pandai mencapainya (Coll. 21,36); baginya memerlukan pelajaran-pelajaran dari suatu kehidupan yang diarahkan,yang dikontrol oleh tradisi,di mana pengalaman universil direfleksikan.
Semakin hidup rohani diangkat/dijunjung tinggi, semakin suara hati menjadi jelas dan bersifat menuntut (Coll. 23,6). Seperti juga suara hati merupakan suatu “sensor yang keras dan suatu indikator pengampunan” (examinator paenitentiae et index indulgentiae) hanya karena suara hati itu mendahului keputusan Tuhan sendiri (Coll. 20,5).
Terlebih lagi, suara hati adalah kediaman Tuhan. Dari suara hati, di mana Ia bersemayam di dalamnya, Allah menjadi hakim dan ketua permainan di mana orang kristen dilatih dan bergulat. Allah ada di sana “dalam tempat terdalam dari suara hati” dan tidak sesuatu pun terlepas dari pandangan-Nya. Puasa badani sedikit nilainya jika tidak disertai kemurnian hati, yang mengusir cacat-cacat untuk menjadikan suara hati sebagai tempat kediaman Allah dan kenisah Roh Kudus (Inst. 6,9; 5,21; cf Coll. 21,36).
A.
Pemurnian hati.
Dalam bahasa Origenes, “hati” adalah sinonim dengan “roh” (kardia=nous). Hegemonikon yang merupakan bagian utama dari hati menjadi dalam bahasa latin, menurut terjemahan Rufinus: “principale cordis” (lubuk hati).
Ungkapan itulah yang kita temukan kembali pada Kassianus untuk melukiskan, seperti pada didaskalia, prinsip dari pengetahuan religius (Pengetahuan Rohani).
Orang memahami bahwa suatu kemampuan yang begitu berharga kiranya merupakan petaruh dari pergulatan rohani. Setiap askesis diarahkan menuju pengamanan dan pemurniannya. Tidak guna matiraga jasmani, jika matiraga itu tidak disertai pembebasan batin (Inst. 6,2).
Maka, ‘‘principale cordis’’ adalah bagian yang paling berbahaya yang ditunjukkan terhadap serangan musuh. Seandainya askesis itu puas dalam pandangan-pandangan (intuitus) tidak murni dan duniawi, maka setiap pikiran yang baik menjadi tidak mungkin (Coll. 20,9).
Kalau kemarahan datang untuk menggelapkannya, maka diskresi mencapai dalam kelurusannya (Inst. 8,22). Diskresilah yang dicari setan untuk “dicekik” dan jika ia tidak dapat menyentuhnya secara langsung, ia mempengaruhinya dengan cara kemabukan, melalui perantaraan tubuh (Coll. 7,12). Sesungguhnya intelegensi dan kebijaksanaan tinggal di dalamnya (ibid.).
Diskresi adalah organ rohani yang, di sebelah kanan, gelora itu membumbung tinggi dan memurnikan yang memberikan santapan akan kontemplasi yang bernyala-nyala, akan pengetahuan surgawi dan menjadikan doanya semakin murni serta hidup, sedangknn di sebelah kiri, ujian-ujian mempersiapkannya kepada keselamatan dan melatihnya kepada kesabaran (Coll. 6,10).
Bila Kassianus berbicara kepada kita tentang kemurnian hati, hal itu ada pada bagian yang paling hidup dari roh yang digambarkan. Prinsip pengetahuan intuitif meletakkan jiwa ke dalam kontak secara langsung dengan Allah dan membuatnya supel terhadap tindakannya dalam ukuran di mana ia sendiri dibebaskan dari setiap “kelambanan” tubuh (Coll. 1,14).
a) Apatheia Kristiani.
“Mentis nostrae puritas tranquillitasque”, semacam itulah ungkapan yang diangkat oleh Kassianus untuk menterjemahkan ideal rohani para asket timur “apatheia”.
Memang, itulah pemurnian dan keheningan roh (hati) yang diajukannya kepada kita sebagai “principalis scopus”, “principale bonum” dibandingkan dengan mana praktek askesis hanyalah “instrumentum”, “medium”, sarana diri yang indiferent (Coll. 1,5-8; 21,12-14; 17,28).
Keheningan hati yang menyertai kemurniannya ada dalam ketidakhadirannya nafsu-nafsu jahat, yaitu” kesusahan-kesusahan indera insani, yang didefinisikan Kassianus sebagai “ekses” dan yang melemparkan jiwa ke dalam ketidakstabilan (pada Origenes dan Evagrius disebut: kinesis) .
Ungkapan-ungkapan yang saling bertemu cukup kerap di bawah penanya yang membuat berpikir tentang semacam ataraxie epicurist. Ia berkata bahwa perlulah “mengucilkan seluruh nafsu-nafsu”, memadamkannya.
Kesempurnaan yang diajukannya di bawah nama “kemurnian” (Coll. 12) adalah suatu keadaan tak terpengaruh dari daging yang dikurangkan pada hukum-hukum fisiologis itu sendiri.
Dalam hal ini lagi Kassianus hanyalah merupakan gema Evagrius. Tetapi kita harus mentafsirkan rumusan-rumusan itu melalui bagian-bagian yang lebih eksplisit.
Rahib sempurna dilukiskan di bawah wajah kepala pasukan dalam Injil: “jauh dari membiarkan diri membawa kepada setiap pikiran yang datang sekonyong-konyong, ia menyambut hal-hal yang baik dan mengusir suatu kesulitan terhadap hal-hal yang jahat, sesuai dengan keputusan kebijaksanaannya.”
Demikian diskresi diberikan kepada kita sebagai suatu kekuatan dan suatu kesiapsiagaan jiwa atas dirinya sendiri, suatu penaklukan diri yang dilakukan oleh energi adikodrati dan oleh keberanian dalam pergulatan.
Kassianus menunjuk dengan tepat bahwa “memadamkan nafsu-nafsu” adalah “berjuang secara jantan melawan gerakan-gerakan yang tak teratur dari jiwa dan melawan cacat-cacat, menaklukkan cacat-cacat itu pada kekuasaan dan diskresi kita.... menurunkan di bawah pemerintahan “ratio” kawanan pikiran-pikiran kita yang tidak tetap, dan melalui keutamaan salib, memukul mundur dari perbatasan hati kita batalyon jahat dan kekuasaan-kekuasaan lawan” (Coll. 7,5).
Pendapat kategoris yang dibuatnya dari ketidakhadiran, pun pada orang-orang suci, ketidakberdosaan, membenarkannya lebih dahulu akan titik pandangan itu yang dilebih-lebihkan oleh Pellagianisme (Coll. 22,9; dan seluruh Coll. 23).
Melalui konsepnya tentang kemurnian, ia menonjolkan secara mengagumkan sifat adikodrati dan gratis dari kesucian yang lebih tinggi. Itu merupakan suatu “damai tanpa gerhana” yang jelas dari pertarakan yang cermat dan terus-menerus, kurang lebih sementara.
Rahmat yang diberikan secara sangat jarang (rarissimus) yang akibatnya tidak mempunyai kesamaan dengan akibat dari suatu sebab fisik (Coll. 12,11; Inst. 6,6). Bukan para sida-sida (Coll. 12,60) bukan pula para filsuf kapir (Coll. 13,5) meniliki ide akan “mufakat persaudaraan” yang dalam keadaan itu merajai antara daging dan roh (Coll. 12,11). Rasa kantuk itu sendiri tidak memutuskannya (Coll. 12,10). Melulu pengalaman para kudus dapat merupakan jaminan bagi kita akan kenyataannya (Coll. 12,8).
Benarlah anugerah semacam itu hanya ditemukan pada orang-orang kristen yang mengarah secara mendalam menuju kesempurnaan. Ia mengandaikan, bukan hanya pergulatan, tetapi juga kemenangan selengkap mungkin atas segala cacat.
Kassianus rupanya tidak berpendapat bahwa keutuhan sempurna tubuh dan jiwa dapat ada “inter hominum turbas”. Itu tidak berarti bahwa kemurnian tidak dapat dicapai bagi mereka yang tidak lagi perawan, tetapi perlu suatu usaha hidup batin tertentu, suatu nyala gairah tertentu dalam doa yang benar-benar dituntutnya dalam cara tertentu menarik diri dari dunia: tidakkah kemurnian itu merupakan usaha meniru keadaan para malaikat? (Coll. 12,6; Inst. 6,4-6; cf Coll. 22,3).
Ideal kesempurnaan yang tinggi itu terutama memberikan kesaksian tentang kedermawanan Allah menurut pertimbangan para kudus-Nya. Bagaimana hal itu mungkin tanpa suatu bantuan ilahi yang sangat khusus? Katakanlah lebih lagi, kemurnian itu adalah tanda suatu persatuan dengan Allah yang tidak dapat diungkapkan. Siapa dianugerahi dalam hal itu adalah benar-benar seorang Israel: ia tidak hanya mengalahkan catat-cacat, tetapi setelah ditetapkan atas puncak keutamaan, orang dapat berkata bahwa ia “memandang Allah” (Coll. 12,11-14).
Pemasukan dari yang ilahi ke dalam manusia itu melukiskan secara tepat ideal para askit timur. Untuk mengungkapkannya, Kassianus tidak mempunyai rumus yang lebih penuh kecuali rumus yang sudah dipinjam melalui Origenes kepada Sang Rasul: “Allah segala di dalam segalanya”. Kata itu hanya tercapai “ukuran jaman kepenuhan Kristus”, tetapi itu sudah layak bagi orang yang di dunia ini hanya memiliki “suatu keinginan, kehausan, yang membimbing segala tindakannya, lebih-lebih segala pikirannya, menuju tujuan tunggal: menjamin apa yang dikatakan keabadian tentang hidup para kudus yang membahagiakan” (Coll. 7,6).
Orang melihat dalam makna mendalam mana perlu memahami bahwa kemurnian hati identik dengan cinta kasih (Coll. 1,6).
Menurut perspektif itu Kassianus mengorganisir setiap askesis kristiani. Yang lain adalah perlunya tujuan, lainnya lagi perlunya sarana. Ia menaruhkan perhatian kepada kita, -kita tahu-, melawan kekacauan itu.
Yang lain tentu tidak kurang dapat merugikan: mukjizat-mukjizat tidak berarti kesucian. Kassianus mempermasalahkan sedikit tentang kurnia-kurnia karismatik. Kurnia-kurnia itu tidak membuktikan apa-apa bagi kesucian pribadi dari si pembuat mukjizat. Allah kadangkala mengabulkan mukjizat karena iman orang lain (Coll. 15,2).
Penyelamat tidak datang untuk mengajar kita “dengan menghargai lebih daripada segalanya: kelembutan dan kerendahan hatinya” (Coll. 15,7).
Cinta kasih dan tambahannya: pelepasan batin, yang tetap sedemikian pokok bagi rahib, kini dilukiskan metode pergulatannya.
b) Taktik Umum dan Khusus.
Semua cacat itu bersifat solider. Jadi orang akan bertingkah laku menurut pertimbangannya sebagai gladiator dalam sirkus. Ia pertama-tama menyerang lawan-lawannya yang paling ganas dan paling kuat (Coll. 5,14).
Aturan praktis pergulatan itu jelas: menaklukkan cacat-cacat yang dominan untuk jaminan akan kelancaran cacat-cacat yang lain (Coll. 22,3).
Akibatnya yang pertama: perlulah mengenal diri, sebab tata cacat-cacat dan perlunya yang berbeda dari jiwa ke jiwa (Coll. 5,27).
Segala sesuatu yang akan diajarkan tradisi selanjutnya perihal ujian khusus pada hakikatnya terdapat pada Kassianus (Coll. 5,14): sasaran yang tepat dan terbatas, usaha tekun dan terpusat, yang bermacam ragam namun sesuai dengan kemajuan atau pengetahuan yang lebih dalam yang diambil dari dirinya.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar