HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
ASKESIS / "PENGETAHUAN PRAKTIS" MENURUT KASSIANUS
A.
Penyembuhan Cacat-cacat.
Kita baru saja melihat bahwa bagi Kassianus mengalahkan setan dan mengalahkan cacat adalah sesuatu yang identik. “Itu bukan suatu lawan lahiriah yang harus kita takuti; musuh kita tertutup di dalam diri kita sendiri. Setiap hari ia mengajak kita berperang secara batin. Bila yang ini dikalahkan, seluruh kesulitan dari luar akan melemah, segalanya bagi tentara Kristus akan ditenangkan dan ditundukkan” (Inst. 5,21).
Sikap setengah-setengah merupakan sekutu jahat setan (Coll. 7,28); sebaliknya gairah yang bergelora merupakan senjata rahib yang paling ampuh: setan tidak tinggal padanya (Coll. 8,18-19).
1)
Prinsip Umum.
Kerangka literer yang ditarik Kassianus cukup menunjukkan bahwa ia tidak mempunyai apapun suatu ide doktrinal yang berhubungan dengan konsep modern kita. Kita tetap untuk mengelompokkan ajarannya menurut suatu kerangka teoritis yang terlalu kaku.
Namun, mungkinlah menemukan padanya garis-garis pertama dari apa yang kemudian akan menjadi teori ”tiga jalan” (yaitu: via purgativa, via illuminativa, via unitiva). Collationes XX tampil sebagai suatu karangan kecil sejati dan via purgativa. Karangan itu mempunyai obyek: tujuan penitensi dan tanda yang disatisfaksi.
Kassianus menggarisbawahi di sana, bahwa penebusan dosa mengarah bukan kepada memberi santapan kepada pikiran-pikiran kita akan kenangan dosa-dosa masa lampau, tetapi lebih untuk membangkitkan diri kita kepada kebaikan melalui minat akan keutamaan dan keinginan akan kerajaan surga (=kontemplasi) (Coll. 20,10).
Bila setiap afeksi terhadap dosa dibatalkan, itulah tanda bahwa kita telah mencapai kesempurnaan laku tobat, tetapi orang tidak sampai ke sana tanpa memiliki keutamaan-keutamaan (Coll. 20,5).
Sebenarnya, jiwa tidak mengenal keadaan yang netral dan stabil. Jika itu benar bahwa cacat-cacat dan keutamaan-keutamaan tidak dapat tinggal bersama, siapa yang mengusir yang satu dan memasukkan yang lain.
Semacam itulah arti allegoris yang diberikan oleh “tradisi kuno” tentang pergulatan Israel melawan bangsa-bangsa di negeri Kanaan, yang mana Kassianus menjadi gemanya. Tradisi kuno itu berkata bahwa bangsa-bangsa Kanaan melukiskan cacat-cacat yang dihantam habis-habisan melawan Israel intelektuil (=spirituil), yakni melawan “contemplatio rerum summarum et sanctorum”, atau menurut terjemahan kata Hibrani sendiri, melawan keadaan jiwa “yang memandang Allah” (Coll. 5,23).
Jadi pergulatan rohani adalah suatu penaklukan, atau lebih tepat suatu penaklukan kembali, karena itu berkenaan dengan suatu usaha kembali kepada keadaan asali.
Kassianus menetapkan bahwa perlulah duakali lebih usaha untuk mencabut cacat-cacat daripada untuk menanamkan keutamaan.
Sebenarnya apakah hal itu terlalu membersihkan atas pikirannya daripada melihat dalam pernyataan sebagai prarasa suatu tahap yang dimasukkan antara “tingkat pertama pengetahuan aktif” dengan tingkat kedua yang diparalelkan oleh Kassianus dengan “tingkat yang lebih luhur” dari kontemplasi dan yang secara tegas dimiliki para sempurna (Coll. 14,3)?
2)
Disposisi Rohani.
Psikologi para bapa tidak memberi kuasa suatu perbedaan yang terpisah antara “kemampuan-kemampuan”, tetapi para kaum Alexandrian seperti juga kaum Stoa, secara khusus menyoroti aspek intelektual. Terhadap aspek intelektual itu, disposisi-disposisi dasari jiwa yang mencita-citakan kesempurnaan diikat kembali.
a) Diskresi.
Kassianus tidak menulis serampangan saja bahwa diskresi adalah “Bunda segala keutamaan, hendaknya menjadi mereka dan membimbing mereka” (Coll. 2,4).
Setiap tradisi yang dinyatakannya itu mengajarnya bahwa diskresi adalah disposisi yang tidak dapat dihindarkan bagi tiap orang yang tahu membawa pembangunan hidup rohaninya kepada tujuan yang baik.
Origenes (De Principiis III,2,4) melengkapi untuknya unsur-unsur dari suatu sintese yang dipinjam terutama dari Porticus. Tanpa kemampuan pembedaan dan pilihan, tidak ada kehendak bebas atau penyempurnaan moral (Coll. 1,17). Jika benar bahwa pikiran-pikiran kita berasal dari Allah, setan atau diri kita sendiri (=ingatan kita dan perhatian kita), peranan diskresi adalah merupakan peranan penukar yang melaksanakan, menerima atau menolak keping-keping uang menurut mana ia mengenal uang itu sebagai kadar yang baik atau buruk (ibid.).
Kejernihan dan kemampuan akan refleksi yang diandaikan oleh suatu pembedaan tertentu menjadi bagian daripada nous atau ratio, bagian yang paling utama dari manusia. Secara allegoris Kassianus berkata bahwa itu merupakan “matahari jiwa” (Inst. 8,10). Melalui suatu keputusan yang praktis (rectum consilium = thronetis pd Evagrius) Ia menerangi keputusan yang lurus (discretio lu¬men rectique concilii firmitas) (Inst. 8,22; cf Coll. 2,4).
Kecakapan penukar rohani itu dibuat oleh kebijaksanaan dan pengalaman. Sekian pendapat-pendapat falsafati atau yudaistis mengambil suatu topeng kesalehan: keduniawian, bidaah, pikiran-pikiran sombong. Semakin suatu kejatuhan termasyur di antara para pertapa, seperti juga kewibawaan St. Antonius, menerangkan pentingnya diskresi dalam hidup rahib.
Diskresi itu melindungi imannya sebagai roh atau jiwa panggilannya, dan melalui kesetiaannya terhadap salib Tuhan, diskresi membuatnya membedakan pikiran-pikiran yang berasal dari gambar sang Raja sejati dan dari pikiran-pikiran yang berasal dan setan (Coll. 1,22).
Diskresi tidak khusus berbicara tentang antagonist dari suatu nafsu tertentu. Lebih dari merupakan suatu keutamaan, diskresi adalah suatu disposisi (putusan) yang masuk ke dalam seluruh keutamaan, keputusan yang mempertahankan rahib pada “jalan rajawi” terhadap perlindungan akan satu dan lain ekses (pre termitens utramque nimietatem), sebab kata para bapa: “nimietates aequales sunt” (Coll. 2,2).
Diskresi adalah “sumber dan akar” keutamaan (Coll. 2,2). Karena diskresi bertahta dalam nous, seluruh nafsu yang menyentuh pada bagian jiwa ini melukai diskresi juga: kemarahan yang menggelapkan keputusan (oculum mentis noxiis tenebris obcarcante nec judicium rectae discretionis adquirere. ....capaces poterimus existere Inst. 8,1), kesombongan dan kemuliaan yang sia-sia (Inst. 11 dan 12).
b) Kerendahan hati.
Semenjak semula diskresi tidak dapat berjalan tanpa kerendahan hati yang merupakan keutamaan yang berlawanan dengan cacat-cacat nous.
Disini kita mempunyai suatu disposisi fundamental lain dari “pembangunan rohani”. Kerendahan hati adalah “bunda seluruh keutamaan” (Coll. 19,2). Kerendahan hati adalah sikap jiwa yang melibatkan kepercayaan orang kristiani ke dalam karya rahmat.
Atas kerangka hidup rohani itu, Kassianus sangat jauh dari Pellagianisme: “Pentinglah bahwa kita tidak menggambarkan memiliki kesempurnaan dengan usaha-usaha kita saja; terlebih lagi, usaha-usaha itu sendiri tidak memungkinkan kita memenuhinya tanpa bantuan pertolongan ilahi, yang mengilhami kita, mengambil kita lagi, yang mengilhami kita, membombong kita, baik bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya ke dalam hati kita melalui perantaraan seorang lain, maupun bahwa Ia sendiri berbuat itu dengan mengunjungi kita” (Inst. 12,16; cf Coll. 3,12).
Disini kita perlu mengingat bahwa Allah sendiri masuk ke dalam lubuk jiwa kita untuk mendorong diri kita kepada pikiran-pikiran yang baik, entah bahwa “Ia berkenan mengunjungi kita melalui penerangan Roh Kudus, sambil mengangkat diri kita kepada jalan-jalan yang lebih tinggi, entah bahwa Ia menghukum kita melalui suatu penyesalan yang menyelamatkan, sebab kita tidak maju, atau karena kegagalan-kegagalan yang disebabkan oleh kelalaian kita; entah bahwa Ia membuka bagi kita misteri-misteri surga dan membalikkan rencana dan kehendak kita menuju perspektif yang lebih sempurna” (Coll. 1,19).
Meskipun rumus-rumus itu dicela, Kassianus tidak henti-hentinya menjunjung tinggi rahmat, katanya: “Allah menyalakan di dalam masing-masing orang keinginan dan kebaikan, selanjutnya rahmat-Nya memberikan kekuatan untuk mempraktekkan keutamaan; akhirnya rahmat-Nyalah yang menjamin ketekunan kita dalam jalan yang baik” (Coll. 13,18).
Seperti guru-gurunya, bila ia berbicara tentang keutamaan dan usaha menuju kesempunnaan, ia tidak pernah menimbang dalam tindakan daripada kompleks ilahi-manusiawi. Ungkapan “naturalia virtutum semina” (Coll. 23,11) dan ungkapan lain yang serupa, tidak kelihatan ingin menegaskan lebih daripada kemungkinan bagi manusia untuk bertemu, dengan rahmat Allah karena “benih-benih” itu sendiri untuk mengatasi tindakan (ad incrementum perfectionis) perlu “dibangkitkan” oleh rahmat (nisi haec opitulatione Dei fuerint excitata) (Coll. 13,12).
Doa permohonan, doa syukur adalah ungkapan konkret kerendahan hati mendalam yang diletakkan pada diri rahib dalam hubungannya dengan Allah. Ketaatan dan kasih persaudaraan adalah pernyataan kerendahan hati sehubungan dengan manusia (Inst. 12,15; Coll. 9,13-14).
Kerendahan hati dan diskresi mempunyai akibat-akibat praktis yang membawa rahib-rahib syak tentang dirinya sendiri untuk mengenal cahaya orang-orang lain. Dari mana peranan pembimbing dan pentingnya keterbukaan suara hati, dan dengan cara yang lebih umum, perlunya tradisi dan penghormatan yang diwajibkan padanya.
c) Keterbukaan Suara Hati.
Keterbukaan suara hati itu bukanlah wujud abstrak yang dihadapi dalam pergulatan rohani (Coll. 2,11).
Terhadap kawanan-kawanan hidup “kekuasaan-kekuasaan udara” itu, rahib harus mempertentangkan kekuatan konkret akan ketaklukannya pada seorang pembimbing. Para rahib tahu melalui pengalamannya bahwa tidak ada sesuatupun menggagalkan muslihat musuh yang menggelapkannya kecuali keterbukaan suara hati yang terus terang. Malah sebelum “diskresi” pembimbing dimaklumkan, musuh yang terbuka kedoknya dan tercemari itu menarik diri (Coll. 2,10; Inst. 4,9).
Tetapi ada pembimbing-pembimbing buruk yang menjadikan suatu keterbukaan itu sulit. Kassianus mengangkat tiga cela utama di mana mereka bahkan jatuh terlalu sering: tidak tahu “tradisi”, tidak mengalami suatu hidup yang sesuai dengan tradisi itu, tidak memahami orang yang dibimbing.
Mereka itu banyak, katanya kepada kita, mereka yang mendasarkan kewibawaannya lebih atas umur daripada keutamaan mereka: dari sana kekerasan mereka dan ketidak trampilan mereka. Muslihat cerdik setan lebih dilihat daripada kurangnya bimbingan yang kerap kali fatal bagi murid-murid yang disiapkan lebih baik (Coll. 2,13).
Kassianus melukiskan tipe seorang pembimbing yang baik dengan menggambarkan kepada kita tingkah laku Abas Apollo: kerendahan hati adalah keutamaan yang dominan, ia mengingat akan kemalangannya dan tidak menganggap pahala berasal dari keberhasilannya; ia berdoa bagi orang-orang yang dibimbing, mengajar mereka untuk menaruhkan kepercayaan mereka melulu kepada Allah (ibid.).
d) Penghormatan terhadap Tradisi.
Kassianus menghukum rahib-rahibnya yang ingin menjadi pembesar sebelum menjadi murid (Inst. 2,3). Dalam kenyataan, para pembesar sendiri tetap senantiasa sebagai murid-murid, murid-murid dari tradisi.
Apa yang disebut “tradisi” adalah himpunan kata-kata hikmat dan praktek yang berasal dari pengalaman sejumlah besar pendahulu dan yang disalurkan oleh para bapa yang secara khusus ternama.
Kassianus yang sekian besar menekankan pentingnya pengalaman pribadi, menghendaki bahwa pengalaman pribadi ini diterangi dan dikuatkan oleh pengalaman orang-orang lain. Setiap penyelidikannya menemukan pembenarannya di sana.
Hal itu tidak berarti bahwa ia tidak mengakui suatu nilaipun akan keputusan individuil. Dia sendiri telah membuat panggilan kepada logika dari suatu pertimbangan yang bebas dari wahyu (Coll. 1,l4).
Lagipula, ia tahu bahwa antara tradisi dan akal, ia tidak tahu mempunyai perlawanan jika perlawanan itu tidak membiarkan dirinya menyalahgunakan sesuatupun (Coll. 16,10).
Tetapi akal sehat mengatakan kepadanya bahwa pendapat seorang diri saja atau beberapa orang tidak memberikan keamanan dari suatu pengalaman yang kerap kali diperiksa (Inst. 1,2).
Akal sehat bagi Kassianus berasal dari asketisme sedikit sebagai kebenaran-kebenaran dogmatik. Terutama ia merasa takut bagi rahib yang dibiarkan pada cara-caranya sendiri terhadap “muslihat setan yang begitu cepat untuk dimasukkan ke dalam roh kita dan untuk menebarkan ke dalamnya sinarnya yang menipu” (Coll. 16,10).
Suatu kriteria pertama untuk kebaikan bagi tradisi monastik, yaitu kekunoannya. Dalam Collationes 18, Kassianus secara kelihatan berusaha untuk mengikat tradisi monastik melalui para rasul kepada Kristus sendiri . Tetapi mutu saksi-saksi yang mana ia dimaklumkan adalah suatu jaminan lain dari nilainya.
Jadi Kassianus tidak menghendaki bahwa orang menyerah kepada wahyu-wahyu pribadi melawan tradisi (Coll. 2,15), ia tunduk di depan keputusan para bapa yang diberi kredit oleh keutamaan-keutamaan dan mukjizat-mukjizat mereka (Coll. 21,10). Dengan satu kata: “aturan semesta” atau aturan umum mengalahkan apa yang hanya merupakan fantasi dari “sejumlah kecil orang” ( Inst. 1,2).
e) Pengalaman Pribadi.
Pengetahuan akan tradisi, seperti yang telah kita ketahui, tidak cukup bagi pembimbing. Perlu pengalaman suatu kehidupan yang diatur menurut tradisi itu.
Kassianus tidak menghendaki bahwa tradisi para bapa diperdebatkan, tetapi dipraktekkan (imitari), sebab “melalui pengalaman, masuklah pengetahuan tentang segala sesuatu’’ (Coll. 18,3).
Ideal injili yang disalurkan lewat tradisi yang tidak lebih daripada hukum kodrati bagi manusia, tidak boleh tinggal sebagai suatu obyek ekstrinsik bagi rahib. Begitu besar Kassianus merendahkan pembicaraan yang sia-sia, begitu besar pula ia menjunjung tinggi “pengalaman” para bapa padang gurun.
Semua orang dapat berkata sebagai salah seorang dari mereka: “Saya tidak pernah melakukan kehendak saya, pun pula mengajarkan yang sebelumnya tidak dipraktekkan” (Inst. 5,28).
“Pengalaman” itu, sebagai guru kehidupan, meletakkan mereka di atas setiap keputusan yang belum matang: hiduplah seperti mereka, ia berkata pada pokoknya kepada murid mereka, berlepaslah kamu seperti mereka dari afeksi-afeksi bumi, carilah seperti mereka akan kesunyian yang menguntungkan gambaran-gambaran batin dan hendaklah kamu tahu bahwa keajaiban-keajaiban yang mereka bicarakan tidak ditemukan, hendaklah kamu mengenal pada dirimu sendiri perihal kenikmatan” (cf Coll. 1 Praef; Coll. 21,32-35; Coll. 12,8).
Tidak satupun “kesarjanaan sekulir” pandai menyamakan intelegensi praktis manusia yang sederhana itu, tetapi berbudi (Coll. 5,21). Juga “pengetahuan rohani” yang diperoleh “non tantum lectione quam experientiae sudore” menuntut dari murid suatu kemurnian pandangan yang sempurna (Coll. 14,17).
Kedua musafir padang gurun itu, sebelum menanyai para rahib, tidak kurang memberikan jaminan maksud mereka yang lurus: mereka menyatakan hanya ingin belajar untuk menjadi lebih rendah hati, untuk bertobat, untuk moneladan guru mereka (Coll. 5,2; Coll. 1,2; Coll. 11,5; Coll. 18,1-3).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
ASKESIS / "PENGETAHUAN PRAKTIS" MENURUT KASSIANUS
A.
Penyembuhan Cacat-cacat.
Kita baru saja melihat bahwa bagi Kassianus mengalahkan setan dan mengalahkan cacat adalah sesuatu yang identik. “Itu bukan suatu lawan lahiriah yang harus kita takuti; musuh kita tertutup di dalam diri kita sendiri. Setiap hari ia mengajak kita berperang secara batin. Bila yang ini dikalahkan, seluruh kesulitan dari luar akan melemah, segalanya bagi tentara Kristus akan ditenangkan dan ditundukkan” (Inst. 5,21).
Sikap setengah-setengah merupakan sekutu jahat setan (Coll. 7,28); sebaliknya gairah yang bergelora merupakan senjata rahib yang paling ampuh: setan tidak tinggal padanya (Coll. 8,18-19).
1)
Prinsip Umum.
Kerangka literer yang ditarik Kassianus cukup menunjukkan bahwa ia tidak mempunyai apapun suatu ide doktrinal yang berhubungan dengan konsep modern kita. Kita tetap untuk mengelompokkan ajarannya menurut suatu kerangka teoritis yang terlalu kaku.
Namun, mungkinlah menemukan padanya garis-garis pertama dari apa yang kemudian akan menjadi teori ”tiga jalan” (yaitu: via purgativa, via illuminativa, via unitiva). Collationes XX tampil sebagai suatu karangan kecil sejati dan via purgativa. Karangan itu mempunyai obyek: tujuan penitensi dan tanda yang disatisfaksi.
Kassianus menggarisbawahi di sana, bahwa penebusan dosa mengarah bukan kepada memberi santapan kepada pikiran-pikiran kita akan kenangan dosa-dosa masa lampau, tetapi lebih untuk membangkitkan diri kita kepada kebaikan melalui minat akan keutamaan dan keinginan akan kerajaan surga (=kontemplasi) (Coll. 20,10).
Bila setiap afeksi terhadap dosa dibatalkan, itulah tanda bahwa kita telah mencapai kesempurnaan laku tobat, tetapi orang tidak sampai ke sana tanpa memiliki keutamaan-keutamaan (Coll. 20,5).
Sebenarnya, jiwa tidak mengenal keadaan yang netral dan stabil. Jika itu benar bahwa cacat-cacat dan keutamaan-keutamaan tidak dapat tinggal bersama, siapa yang mengusir yang satu dan memasukkan yang lain.
Semacam itulah arti allegoris yang diberikan oleh “tradisi kuno” tentang pergulatan Israel melawan bangsa-bangsa di negeri Kanaan, yang mana Kassianus menjadi gemanya. Tradisi kuno itu berkata bahwa bangsa-bangsa Kanaan melukiskan cacat-cacat yang dihantam habis-habisan melawan Israel intelektuil (=spirituil), yakni melawan “contemplatio rerum summarum et sanctorum”, atau menurut terjemahan kata Hibrani sendiri, melawan keadaan jiwa “yang memandang Allah” (Coll. 5,23).
Jadi pergulatan rohani adalah suatu penaklukan, atau lebih tepat suatu penaklukan kembali, karena itu berkenaan dengan suatu usaha kembali kepada keadaan asali.
Kassianus menetapkan bahwa perlulah duakali lebih usaha untuk mencabut cacat-cacat daripada untuk menanamkan keutamaan.
Sebenarnya apakah hal itu terlalu membersihkan atas pikirannya daripada melihat dalam pernyataan sebagai prarasa suatu tahap yang dimasukkan antara “tingkat pertama pengetahuan aktif” dengan tingkat kedua yang diparalelkan oleh Kassianus dengan “tingkat yang lebih luhur” dari kontemplasi dan yang secara tegas dimiliki para sempurna (Coll. 14,3)?
2)
Disposisi Rohani.
Psikologi para bapa tidak memberi kuasa suatu perbedaan yang terpisah antara “kemampuan-kemampuan”, tetapi para kaum Alexandrian seperti juga kaum Stoa, secara khusus menyoroti aspek intelektual. Terhadap aspek intelektual itu, disposisi-disposisi dasari jiwa yang mencita-citakan kesempurnaan diikat kembali.
a) Diskresi.
Kassianus tidak menulis serampangan saja bahwa diskresi adalah “Bunda segala keutamaan, hendaknya menjadi mereka dan membimbing mereka” (Coll. 2,4).
Setiap tradisi yang dinyatakannya itu mengajarnya bahwa diskresi adalah disposisi yang tidak dapat dihindarkan bagi tiap orang yang tahu membawa pembangunan hidup rohaninya kepada tujuan yang baik.
Origenes (De Principiis III,2,4) melengkapi untuknya unsur-unsur dari suatu sintese yang dipinjam terutama dari Porticus. Tanpa kemampuan pembedaan dan pilihan, tidak ada kehendak bebas atau penyempurnaan moral (Coll. 1,17). Jika benar bahwa pikiran-pikiran kita berasal dari Allah, setan atau diri kita sendiri (=ingatan kita dan perhatian kita), peranan diskresi adalah merupakan peranan penukar yang melaksanakan, menerima atau menolak keping-keping uang menurut mana ia mengenal uang itu sebagai kadar yang baik atau buruk (ibid.).
Kejernihan dan kemampuan akan refleksi yang diandaikan oleh suatu pembedaan tertentu menjadi bagian daripada nous atau ratio, bagian yang paling utama dari manusia. Secara allegoris Kassianus berkata bahwa itu merupakan “matahari jiwa” (Inst. 8,10). Melalui suatu keputusan yang praktis (rectum consilium = thronetis pd Evagrius) Ia menerangi keputusan yang lurus (discretio lu¬men rectique concilii firmitas) (Inst. 8,22; cf Coll. 2,4).
Kecakapan penukar rohani itu dibuat oleh kebijaksanaan dan pengalaman. Sekian pendapat-pendapat falsafati atau yudaistis mengambil suatu topeng kesalehan: keduniawian, bidaah, pikiran-pikiran sombong. Semakin suatu kejatuhan termasyur di antara para pertapa, seperti juga kewibawaan St. Antonius, menerangkan pentingnya diskresi dalam hidup rahib.
Diskresi itu melindungi imannya sebagai roh atau jiwa panggilannya, dan melalui kesetiaannya terhadap salib Tuhan, diskresi membuatnya membedakan pikiran-pikiran yang berasal dari gambar sang Raja sejati dan dari pikiran-pikiran yang berasal dan setan (Coll. 1,22).
Diskresi tidak khusus berbicara tentang antagonist dari suatu nafsu tertentu. Lebih dari merupakan suatu keutamaan, diskresi adalah suatu disposisi (putusan) yang masuk ke dalam seluruh keutamaan, keputusan yang mempertahankan rahib pada “jalan rajawi” terhadap perlindungan akan satu dan lain ekses (pre termitens utramque nimietatem), sebab kata para bapa: “nimietates aequales sunt” (Coll. 2,2).
Diskresi adalah “sumber dan akar” keutamaan (Coll. 2,2). Karena diskresi bertahta dalam nous, seluruh nafsu yang menyentuh pada bagian jiwa ini melukai diskresi juga: kemarahan yang menggelapkan keputusan (oculum mentis noxiis tenebris obcarcante nec judicium rectae discretionis adquirere. ....capaces poterimus existere Inst. 8,1), kesombongan dan kemuliaan yang sia-sia (Inst. 11 dan 12).
b) Kerendahan hati.
Semenjak semula diskresi tidak dapat berjalan tanpa kerendahan hati yang merupakan keutamaan yang berlawanan dengan cacat-cacat nous.
Disini kita mempunyai suatu disposisi fundamental lain dari “pembangunan rohani”. Kerendahan hati adalah “bunda seluruh keutamaan” (Coll. 19,2). Kerendahan hati adalah sikap jiwa yang melibatkan kepercayaan orang kristiani ke dalam karya rahmat.
Atas kerangka hidup rohani itu, Kassianus sangat jauh dari Pellagianisme: “Pentinglah bahwa kita tidak menggambarkan memiliki kesempurnaan dengan usaha-usaha kita saja; terlebih lagi, usaha-usaha itu sendiri tidak memungkinkan kita memenuhinya tanpa bantuan pertolongan ilahi, yang mengilhami kita, mengambil kita lagi, yang mengilhami kita, membombong kita, baik bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya ke dalam hati kita melalui perantaraan seorang lain, maupun bahwa Ia sendiri berbuat itu dengan mengunjungi kita” (Inst. 12,16; cf Coll. 3,12).
Disini kita perlu mengingat bahwa Allah sendiri masuk ke dalam lubuk jiwa kita untuk mendorong diri kita kepada pikiran-pikiran yang baik, entah bahwa “Ia berkenan mengunjungi kita melalui penerangan Roh Kudus, sambil mengangkat diri kita kepada jalan-jalan yang lebih tinggi, entah bahwa Ia menghukum kita melalui suatu penyesalan yang menyelamatkan, sebab kita tidak maju, atau karena kegagalan-kegagalan yang disebabkan oleh kelalaian kita; entah bahwa Ia membuka bagi kita misteri-misteri surga dan membalikkan rencana dan kehendak kita menuju perspektif yang lebih sempurna” (Coll. 1,19).
Meskipun rumus-rumus itu dicela, Kassianus tidak henti-hentinya menjunjung tinggi rahmat, katanya: “Allah menyalakan di dalam masing-masing orang keinginan dan kebaikan, selanjutnya rahmat-Nya memberikan kekuatan untuk mempraktekkan keutamaan; akhirnya rahmat-Nyalah yang menjamin ketekunan kita dalam jalan yang baik” (Coll. 13,18).
Seperti guru-gurunya, bila ia berbicara tentang keutamaan dan usaha menuju kesempunnaan, ia tidak pernah menimbang dalam tindakan daripada kompleks ilahi-manusiawi. Ungkapan “naturalia virtutum semina” (Coll. 23,11) dan ungkapan lain yang serupa, tidak kelihatan ingin menegaskan lebih daripada kemungkinan bagi manusia untuk bertemu, dengan rahmat Allah karena “benih-benih” itu sendiri untuk mengatasi tindakan (ad incrementum perfectionis) perlu “dibangkitkan” oleh rahmat (nisi haec opitulatione Dei fuerint excitata) (Coll. 13,12).
Doa permohonan, doa syukur adalah ungkapan konkret kerendahan hati mendalam yang diletakkan pada diri rahib dalam hubungannya dengan Allah. Ketaatan dan kasih persaudaraan adalah pernyataan kerendahan hati sehubungan dengan manusia (Inst. 12,15; Coll. 9,13-14).
Kerendahan hati dan diskresi mempunyai akibat-akibat praktis yang membawa rahib-rahib syak tentang dirinya sendiri untuk mengenal cahaya orang-orang lain. Dari mana peranan pembimbing dan pentingnya keterbukaan suara hati, dan dengan cara yang lebih umum, perlunya tradisi dan penghormatan yang diwajibkan padanya.
c) Keterbukaan Suara Hati.
Keterbukaan suara hati itu bukanlah wujud abstrak yang dihadapi dalam pergulatan rohani (Coll. 2,11).
Terhadap kawanan-kawanan hidup “kekuasaan-kekuasaan udara” itu, rahib harus mempertentangkan kekuatan konkret akan ketaklukannya pada seorang pembimbing. Para rahib tahu melalui pengalamannya bahwa tidak ada sesuatupun menggagalkan muslihat musuh yang menggelapkannya kecuali keterbukaan suara hati yang terus terang. Malah sebelum “diskresi” pembimbing dimaklumkan, musuh yang terbuka kedoknya dan tercemari itu menarik diri (Coll. 2,10; Inst. 4,9).
Tetapi ada pembimbing-pembimbing buruk yang menjadikan suatu keterbukaan itu sulit. Kassianus mengangkat tiga cela utama di mana mereka bahkan jatuh terlalu sering: tidak tahu “tradisi”, tidak mengalami suatu hidup yang sesuai dengan tradisi itu, tidak memahami orang yang dibimbing.
Mereka itu banyak, katanya kepada kita, mereka yang mendasarkan kewibawaannya lebih atas umur daripada keutamaan mereka: dari sana kekerasan mereka dan ketidak trampilan mereka. Muslihat cerdik setan lebih dilihat daripada kurangnya bimbingan yang kerap kali fatal bagi murid-murid yang disiapkan lebih baik (Coll. 2,13).
Kassianus melukiskan tipe seorang pembimbing yang baik dengan menggambarkan kepada kita tingkah laku Abas Apollo: kerendahan hati adalah keutamaan yang dominan, ia mengingat akan kemalangannya dan tidak menganggap pahala berasal dari keberhasilannya; ia berdoa bagi orang-orang yang dibimbing, mengajar mereka untuk menaruhkan kepercayaan mereka melulu kepada Allah (ibid.).
d) Penghormatan terhadap Tradisi.
Kassianus menghukum rahib-rahibnya yang ingin menjadi pembesar sebelum menjadi murid (Inst. 2,3). Dalam kenyataan, para pembesar sendiri tetap senantiasa sebagai murid-murid, murid-murid dari tradisi.
Apa yang disebut “tradisi” adalah himpunan kata-kata hikmat dan praktek yang berasal dari pengalaman sejumlah besar pendahulu dan yang disalurkan oleh para bapa yang secara khusus ternama.
Kassianus yang sekian besar menekankan pentingnya pengalaman pribadi, menghendaki bahwa pengalaman pribadi ini diterangi dan dikuatkan oleh pengalaman orang-orang lain. Setiap penyelidikannya menemukan pembenarannya di sana.
Hal itu tidak berarti bahwa ia tidak mengakui suatu nilaipun akan keputusan individuil. Dia sendiri telah membuat panggilan kepada logika dari suatu pertimbangan yang bebas dari wahyu (Coll. 1,l4).
Lagipula, ia tahu bahwa antara tradisi dan akal, ia tidak tahu mempunyai perlawanan jika perlawanan itu tidak membiarkan dirinya menyalahgunakan sesuatupun (Coll. 16,10).
Tetapi akal sehat mengatakan kepadanya bahwa pendapat seorang diri saja atau beberapa orang tidak memberikan keamanan dari suatu pengalaman yang kerap kali diperiksa (Inst. 1,2).
Akal sehat bagi Kassianus berasal dari asketisme sedikit sebagai kebenaran-kebenaran dogmatik. Terutama ia merasa takut bagi rahib yang dibiarkan pada cara-caranya sendiri terhadap “muslihat setan yang begitu cepat untuk dimasukkan ke dalam roh kita dan untuk menebarkan ke dalamnya sinarnya yang menipu” (Coll. 16,10).
Suatu kriteria pertama untuk kebaikan bagi tradisi monastik, yaitu kekunoannya. Dalam Collationes 18, Kassianus secara kelihatan berusaha untuk mengikat tradisi monastik melalui para rasul kepada Kristus sendiri . Tetapi mutu saksi-saksi yang mana ia dimaklumkan adalah suatu jaminan lain dari nilainya.
Jadi Kassianus tidak menghendaki bahwa orang menyerah kepada wahyu-wahyu pribadi melawan tradisi (Coll. 2,15), ia tunduk di depan keputusan para bapa yang diberi kredit oleh keutamaan-keutamaan dan mukjizat-mukjizat mereka (Coll. 21,10). Dengan satu kata: “aturan semesta” atau aturan umum mengalahkan apa yang hanya merupakan fantasi dari “sejumlah kecil orang” ( Inst. 1,2).
e) Pengalaman Pribadi.
Pengetahuan akan tradisi, seperti yang telah kita ketahui, tidak cukup bagi pembimbing. Perlu pengalaman suatu kehidupan yang diatur menurut tradisi itu.
Kassianus tidak menghendaki bahwa tradisi para bapa diperdebatkan, tetapi dipraktekkan (imitari), sebab “melalui pengalaman, masuklah pengetahuan tentang segala sesuatu’’ (Coll. 18,3).
Ideal injili yang disalurkan lewat tradisi yang tidak lebih daripada hukum kodrati bagi manusia, tidak boleh tinggal sebagai suatu obyek ekstrinsik bagi rahib. Begitu besar Kassianus merendahkan pembicaraan yang sia-sia, begitu besar pula ia menjunjung tinggi “pengalaman” para bapa padang gurun.
Semua orang dapat berkata sebagai salah seorang dari mereka: “Saya tidak pernah melakukan kehendak saya, pun pula mengajarkan yang sebelumnya tidak dipraktekkan” (Inst. 5,28).
“Pengalaman” itu, sebagai guru kehidupan, meletakkan mereka di atas setiap keputusan yang belum matang: hiduplah seperti mereka, ia berkata pada pokoknya kepada murid mereka, berlepaslah kamu seperti mereka dari afeksi-afeksi bumi, carilah seperti mereka akan kesunyian yang menguntungkan gambaran-gambaran batin dan hendaklah kamu tahu bahwa keajaiban-keajaiban yang mereka bicarakan tidak ditemukan, hendaklah kamu mengenal pada dirimu sendiri perihal kenikmatan” (cf Coll. 1 Praef; Coll. 21,32-35; Coll. 12,8).
Tidak satupun “kesarjanaan sekulir” pandai menyamakan intelegensi praktis manusia yang sederhana itu, tetapi berbudi (Coll. 5,21). Juga “pengetahuan rohani” yang diperoleh “non tantum lectione quam experientiae sudore” menuntut dari murid suatu kemurnian pandangan yang sempurna (Coll. 14,17).
Kedua musafir padang gurun itu, sebelum menanyai para rahib, tidak kurang memberikan jaminan maksud mereka yang lurus: mereka menyatakan hanya ingin belajar untuk menjadi lebih rendah hati, untuk bertobat, untuk moneladan guru mereka (Coll. 5,2; Coll. 1,2; Coll. 11,5; Coll. 18,1-3).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar