HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
ASKESIS / "PENGETAHUAN PRAKTIS" MENURUT KASSIANUS (PART I)
Di dalam buku Collationes XIV, Kassianus menyajikan kepada kita kerangka yang paling sintesis tentang kehidupan, atau menurut istilah yang dipinjamnya pada khasanah sekolah Alexandria: “pengetahuan rohani”. Hidup religius diatur menurut “kontemplasi akan realitas-realitas yang tidak dapat dilihat (“invisibilia sacramenta”).
Di dunia ini, “kontemplasi akan hal-hal ilahi” secara praktis tercampur dengan “kontemplasi akan makna Kitab Suci yang lebih misterius”.
Jadi itu merupakan metode khusus untuk membawa kepadanya yang dapat diceritakan oleh ahli teori askesis monastik, Scientia actualis dan scientia theoritica bukan hanya seperti dua segi, tetapi sebagai dua tingkat pengetahuan khas pada rahib-rahib.
Senobit seperti juga anakorit harus sampai pada “pengetahuan rohani”. Mereka menyiapkan diri di dalamnya melalui “pengetahuan aktif”, melalui askesis yang dilaksanakan baik oleh kesunyian dan keheningan, maupun hidup bersama dan kewajiban-kewajiban yang dibawakan olehnya: pemeliharaan orang-orang sakit, menolong orang-orang miskin, penerapan kepada studi, dsb. Cukuplah mengatakan bahwa manusia seluruhnya ternyata dipautkan dalam memperoleh jenis pengetahuan itu yang lebih kurang merupakan suatu spekulasi daripada suatu pengalaman.
“Pengetahuan praktis” memahami dua tingkat: pengetahuan akan cacat-cacat dan penyembuhannya; serta pengetahuan akan keutamaan dan pencapaiannya yang bergerak maju (progresif).
A.
Pengetahuan akan Cacat-cacat.
Tingkat pertama pengetahuan itu berbeda dengan yang kedua sebagai suatu pergulatan yang belum pasti berbeda dengan kemenangan yang diperoleh.
Cacat-cacat dan keutamaan-keutamaan, sebenarnya bertentangan sedemikian sehingga orang tidak tahu memahami suatu keadaan tengah-tengah. “Keutamaan dan cacat tidak dapat tinggal bersama … tetapi bila cacat-cacat telah dikalahkan oleh keutamaan, masing-masing menduduki tempat yang berlawanan” (Coll. 5,23).
Lingkungan yang konkret yang di bawah pena moralis Kristen itu dipegang oleh lukisan fakta-fakta psikologis, berpegang pada apa yang disajikannya dalam kerangka “dua kerajaan”, dan terhadap apa yang ditampilkannya antagonisme dari dua orang yang benar-benar riil pada mata orang beriman, yaitu: Kristus dan setan. “Segalanya terjadi di dalam kenisah jiwa yang terdalam. Ketika setan diusir dan cacat-cacat tak berkuasa lagi, akibatnya Kerajaan Allah ditetapkan dalam diri kita …. Di dalam diri kita hanya ada “pengetahuan” atau “tidak tahu” akan kebenaran; cinta akan cacat atau cinta akan keutamaan, melalui mana kita memberikan kerajaan hati kita, entah kepada setan, entah kepada Kristus” (Coll. 1,13;9,19).
1) Setan.
Kassianus sama sekali tidak mempertahankan hipotese salah dari Origenes, namun ia meminjam sebagian besar karangan perihal demonologinya pada Buku I dari De Principiis.
Allah telah menciptakan “Kekuasaan-kekuasaan surgawi” menurut suatu hirarki yang secara bebas dikehendaki olehnya jauh sebelum semesta dunia. Malaikat-malaikat yang jahat jatuh oleh kesalahan mereka sendiri (Coll. 8,8). Allah hanya dapat menciptakan yang baik; kesombongan mereka menjadikan dirinya “penipu-penipu” (ibid.). Dosa itu ada sebelum penggodaan Hawa (Coll. 8,8).
Akibat dari kejatuhan itu dalam dirinya sendiri yang disebut Kassianus: “pengangkatan hati” (elatio cordis), Lucifer, “yang paling gemilang dari antara mereka” merupakan boneka yang paling jahat dari para tirani: sebagai ganti kebebasan awali, ia tidak lagi mengenal kecuali ketidak-tetapan, ketidak-seimbangan abadi dari suatu kodrat yang lemah yang ditinggalkan pada dirinya sendiri (Inst. 12,4).
Memang, setan-setan adalah kekuasaan-kekuasaan surgawi yang dicampakkan “ad imma”, atau “ad terrena”. Tidak suatu ungkapan
menandai lagi secara keras kerusakan mereka.
Benar-benar dikatakan, mereka tetap asing bagi kelelahan kita dan kesusahan-kesusahan badani kita (Coll. 8,12), tetapi mereka itu bersifat duniawi oleh karena selera mereka, oleh cacat-cacat yang mengikat mereka pada naluri kebinatangan yang rendah (Coll. 8,21).
Akan tetapi janganlah kita mengkhayalkan mereka itu sebagai yang diberi suatu tubuh yang serupa dengan tubuh manusiawi.
Melalui suatu penyalahgunaan literalisme, orang dapat membuat percaya berhubung dengan kitab Kejadian bab 6 bahwa hubungan seksual diadakan antara setan-setan dengan puteri-puteri manusia (Coll. 8,21).
Allah sendiri tidak bertubuh, sedangkan mereka memiliki tubuh, yang substansinya serupa dengan udara: “seriae potestates”. Setan-setan menduduki daerah atmosfir kita dari kawanan mereka yang bersatu. Mereka selalu mencari kejahatan dan bergulat dengan tak henti-hentinya melawan malaikat-malaikat yang baik (Coll. 8,12).
Kitab Suci menerangkan bahwa dua roh mempertentangkan bangsa-bangsa; demikian pula setiap manusia – di sini Kassianus berkaitan dengan Pastor Hermas – hidup di bawah kedua pengaruh itu (Coll. 8,17).
Taktik dan tata-tertib pasukan yang jahat itu diterangi oleh wahyu-wahyu pribadi. Terhadap wahyu-wahyu itu Kassianus tidak takut untuk mengajukan tradisi hidup sebagai saksi: semacam anekdot rahib yang bermimpi menghadiri rapat perang para setan (Coll. 8,16).
Jiwa manusia pendosa mempunyai maaf untuk digoda dari luar oleh daging; pada setan, kehendak dalam dirinyalah yang menjadi bercacat; juga kehilangan itu tanpa obat, serta kejahatannya tanpa belaskasihan (Coll. 4,14).
2) Psikologi Cacat-cacat.
Untuk memahami peranan masing-masing keutamaan dan cacat dalam pergulatan rohani, pentinglah mengingat bagaimana Allah dan setan bertindak atas jiwa manusia. Allah sendiri, karena Dia itu tidak bertubuh, berkuasa memasuki substansi intelektuil (spirituil); dengan cara itu Ia menyelidiki dan mengawasi pikiran-pikiran dan semua gerak roh manusia” (Coll. 7,13).
Setan-setan hanya mengenal apa yang terjadi dalam jiwa melalui tingkah laku lahiriah manusia. Dari hasil dorongan mereka, mereka hanya melihat gema inderawi saja (Coll. 7,15-16). Jika lubuk jiwa tetap tinggal tertutup, toh mereka mempunyai kompleksitas, sebab cacat-cacat bagi mereka bagaikan “alat perang” (Inst. 10,3).
Kassianus menyesuaikan diri dengan tradisi bila ia mengidentikkan secara praktis tindakan setani dengan cacat-cacat manusia yang jiwanya terbelenggu oleh nafsu-nafsu dan kenikmatan-kenikmatan adalah secara lebih berbahaya merupakan budak setan dari pada jika ia dirasuki di dalam tubuhnya (Coll. 7,25).
Penerangan yang ditempuh Kassianus dengan penggelapan intelektual yang menyertai pemilikan tubuh menunjukkan kepada kita bahwa ia menolak pada setan setiap pengaruh langsung atas kemampuan rohani: menurut dia, pemilikan itu bertindak, bagaikan semacam keadaan mabuk yang mengakibatkan penindasan anggota-anggota di mana “kekuatan jiwa itu bersemayam” (Coll. 7,12;cf Coll. 12,3: tindakan setan atas fisiologi sepanjang orang tidur).
Teori tentang nafsu-nafsu yang ditunjukkan rahib Marseille itu mengikuti paham sekolah Alexandria, dipinjam terutama pada Portiquus. Afeksi-afeksi jiwa itu berakar dalam ketidaksempurnaan suatu kodrat yang bukan kodrat Allah. “Allah sendirilah yang tidak berubah” (Coll. 6,14).
Jiwa manusia dalam status awalinya, seperti juga malaikat, memegang dari suatu “rahmat” Pencipta: stabilitasnya. Hukuman dosa itu merupakan hasutan yang membawa makhluk ciptaan kepada perasaan “kelemahan dari kodratnya sendiri” (Inst. 12,4). Usaha asketis yang dibantu oleh rahmat bertujuan untuk merebut kembali immobilitas itu ke dalam kebaikan yang dimiliki oleh malaikat tidak oleh karena kodratnya, tetapi karena “rahmat Allah yang tidak berubah” (Coll. 6,16).
Di bawah pena Kassianus, istilah “affectus” melukiskan secara umum “gerak” jiwa (Inst. 7,3;11,7): passio, perturbatio, morbus, vitium, masing-masing menandai suatu nuansa peyoratif. Penciptalah yang telah menaruh jiwa-jiwa, benih nafsu bagi tujuan yang berguna (Inst. 7,3; 8,9; 9,10).
Kekikiran saja membuat kekecualian: kekikiran tidak menjawab suatupun finalitas (tujuan) kodrati dan tidak punya sumber awali lain kecuali suatu penyelewengan roh (Inst. 7,1; Coll. 5,8).
Kejahatan nafsu yang buruk bertempat tinggal di dalam “ekses”/nimietas (yang melebihi batas) (Coll. 21) yang bertentangan dengan sikap moderat (lunak) dan lingkup keutamaan yang tepat (Coll. 1,23).
Dalam segalanya ini, Kassianus melahirkan ajaran dari lingkungan sekolah Alexandria. Dia sendiri memberikan diri sebagai gema tradisi (cuncti) yang setuju untuk menghitung 8 cacat utama (Coll. 5,2; Inst. 5,1). Dari kedelapan cacat itu, berasallah sekian besar keluarga nafsu-nafsu jahat (Coll. 5,16).
Di tempat lain, Kassianus membandingkan nafsu dengan suatu sifat jahat (vis noxiae passionis) yang menyebabkan penyakit yang bermacam-macam menurut organ yang dikenainya. Sebagaimana ia mengakui trichotomi Plato, ia mengenal cacat-cacat yang khas bagi masing-masing bagian jiwa. Tetapi itu ada pada “infestatio diabolica” – jadi pada dosa asal – bahwa harus ditelusur kejahatan ke mana manusia jatuh (ibid.).
Ketiga bagian jiwa – kadang-kadang Kassianus menyebutnya “anggota-anggotanya”, ada pada tingkat yang tidak sama dan tidak tergantung dari daging.
Logikon atau rationabile identik dengan nous bagian yang lebih tinggi daripada jiwa. Bermacam-macam perkataan yang lain melayani untuk menyebutnya dengan nuansa-nuansa yang menetapkan fungsi-fungsinya yang bermacam-macam dan mencirikan perlawanannya yang hakiki terhadap daging; seperti: spiritus, mens, cor, animus, ratio, sensus, intellectus, intellegentia; intentio: pikiran, imajinasi, keputusan, pertimbangan, kemampuan intuisi dan perhatian, seluruh tingkat dan bentuk-bentuk kesadaran psikologis diungkapkan demikian dengan istilah-istilah yang kadang-kadang disembunyikan sedikit dekat satu sama lain … Puncak jiwa manusia itu memberikan karakternya yang khas; binatang adalah “irrationabilia jumenta” (Coll. 5,7).
Juga rationabile adalah tempat kedudukan cacat-cacat. Melawan cacat-cacat itu, Adam sebelum jatuh, para malaikat, dan Penyelamat sendiri harus bergulat (Coll. 5,6). Epithumetikon secara langsung membawa daging; ia menterjemahkan naluri-naluri dalam keinginan-keinginan.
Melalui itu, tubuh mencari ketenangannya, mengarah kepada melampiaskan kebutuhan-kebutuhannya, cenderung untuk memuaskan kesenangan-kesenangannya, melalui sana, ia bergulat melawan roh. Di dalamnya, harapan-harapan daging dan kelobaan-kelobaannya yang bersifat duniawi, tidak menemukan gemanya apa-apa (Coll. 4,11).
Secara lebih berani daripada Origenes, Kassianus menuntut kesatuan jiwa manusia (Coll. 4,20). Dua “nafsu” benar, dihadapai dalam suatu “pertempuran batin harian”. Itu merupakan kecenderungan-kecenderungan yang disebut Kassianus “aktual” bukan “substansial”, dan yang dihadapi entah secara serentak entah sambil dipraktekkan berselang-seling dalam orang yang sama. Antara keduanya, kehendak ternyata sebagian ada dalam ketegangan.
Kassianus menggolongkan dari “sikap kurang semangat” lingkungan di mana kehendak dilumpuhkan dalam suatu ketidak-pastian yang lebih buruk daripada ekses. Lingkungan itu berusaha untuk menarik kedua nafsu itu, asal tidak, dengan mengambil keputusan untuk suatu keutamaan, memainkan peranan moderator yang mempertahankan jiwa dalam “jalan rajawi” (Coll. 4,12). Perlukah menempatkan kemampuan “tegangan” itu dan usaha batin (sudor et contritio spiritus) dalam thumikon? Kassianus rupanya tidak mendorong begitu jauh sintese teoritisnya. Ia puas dengan memerinci cacat-cacat yang mengikatkan diri pada masing-masing bagian dari jiwa: kesombongan dan kemuliaan yang sia-sia menyerang logikon; nafsu makan serakah, kemewahan, kekikiran, berdiam dalam epithumetikon; kemarahan, kesedihan, kelembaman ada dalam thumikon (Coll. 5,9).
Perihal kesombongan dan kemuliaan yang sia-sia dijadikan ibu dari semua cacat yang lain.
3) Pergulatan Rohani.
Sebagai “hukum dosa”, yang mana pergulatan rohani merupakan akibatnya, pergulatan itu, bagi manusia, sejak dosa awalinya, menjadi suatu keperluan dalam fungsi mana setiap tata tertib monastik diorganisir. Kristus sendiri, yang lahir dari seorang perawan, tidak mengenal nafsu (Coll. 5,5).
Jauh dari melemahkan rahib, kesadaran akan kejatuhannya membuat lebih menyatakan gunanya suatu pergulatan, dari sana ia dapat keluar sebagai “manusia rohani”. Mengakui kegunaan itu, itu sama sekali bukan melalaikan bahaya yang dijumpai suatu kehendak yang lemah dalam serangan nafsu yang mencobai untuk berbuat sebagai orang “manusia daging”.
Namun tidak adanya pergulatan nampak bagi Kassianus begitu merugikan sehingga ia tidak ragu-ragu untuk mengutamakan – seperti yang sudah pada Origenes dalam De Prinsipiis III,4,3 – istilah “badaniah” itu pada “manusia hewani”, yaitu kaum libertini yang mana orang masih dapat mengharapkan pertobatan, kepada orang yang kurang semangat berjuang yang tidak bergulat dan yang dikutuk oleh Kitab Wahyu (Coll. 4,18-19).
Juga ia menghukum setiap usaha percobaan untuk menyembunyikan diri pada usaha melalui membuat cacat tubuh (Coll. 12,1;7,2: di mana kerajinan manusia dilawankan dengan “rahmat Allah”); melalui suatu pelarian sebagai pengecut ke padang gurun (Coll. 18,13-16; cf. Inst. 8,16).
Sebaliknya ia membuat layak bahwa pergulatan rahib adalah suatu kesaksian kasih (Coll. 4,6-7), suatu cara yang ditentukan oleh Tuhan untuk menyempurnakan diri secara rohani (Coll. 18,13); untuk memperkuat diri melawan musuh jiwa kita (Inst. 10,25); untuk memurnikan kediaman batin di mana Allah tinggal di sana (Inst. 5,21). Jadi marilah kita menyimpulkan bahwa pergulatan yang dikehendaki Allah itu bagi kita lebih menguntungkan daripada suatu damai tanpa pahala (Coll. 4,7).
Desakan Kassianus untuk membicarakan gunanya pergulatan rohani, menyatakan dengan jelas peranan kehendak bebas dalam askesis yang otentik.
Melalui sana lagi, murid para pertapa menyesuaikan diri dengan preokupasi antignostik dari didaskalia Alexandria. Atas kerangka spekulatif, orang tahu bahwa ia tidak berhasil merumuskan dalam istilah-istilah yang tanpa cacat: perlombaan antara rahmat dan kebebasan.
Tetapi atas kerangka praktis di mana terdapat ajaran rohaninya: “semi-pelagianisme” (istilah dari abad XVI) adalah tanpa akibat yang ke arah kesempurnaannya. Collationes 13 menjawab polemik-polemik itu bahwa psikologi dan empirisme dari pidato St. Yohanes Krisostomus tidak dapat cukup untuk memecahkan persoalan. Kassianus yang pikirannya di sini bersifat kompleks, rupanya tidak memahaminya.
Kehendak bebas adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk memilih antara pikiran-pikiran yang disajikan kepadanya. Ia menyetujui akan hal itu atau ia membuangnya (Coll. 1,19), kurnia kedermawanan ilahi yang diberikan manusia bersama malaikat (Inst. 12,4), kehendak bebas berjalan seiring dengan akal (Coll. 13,12).
Orang kristiani bersyukur kepada Allah akan hal itu sebagai salah satu dari rahmat yang paling hakiki yang diberikan kepadanya (Inst. 12,18). Menurut penggunaan yang dilakukannya, ia memanfaatkan kebebasan sejati atau menyerahkan diri kepada perbudakan yang lebih lanjut.
4) Dosa dan Godaan.
Titik pandangan yang secara ketat bersifat religius, di mana ditempatkan oleh moralis kristen, nampak dalam cara mana ia membeberkan problem kejahatan.
Pada Kassianus, orang menemukan suatu klasifikasi nilai-nilai moral yang umum, khususnya di antara kaum Stoa; tetapi menurut cahaya kristianisme, konsep-konsep itu mengambil suatu arti yang baru. Satu-satunya kebaikan yang otentik, yaitu: keutamaan; sedangkan kejahatan sejati, yaitu dosa, yang didefinisikan oleh Kassianus: ”Apa saja, yang memisahkan kita dari Allah, menjadikan kita bergabung dengan setan jahat” (Coll. 6,3).
Kebaikan dan kejahatan dilihat sedemikian dipersonkan. Karakter/ciri khas “sukarela” dari pemisahan itu, menunjuk dengan khusus tindakan akan hal itu: “Terhadap suatu jiwa yang menolak persetujuannya dan bertahan, tidak mungkinlah orang pernah menyebabkan dosa yang jahat. Dosa yang jahat itu hanya masuk ke sana di mana hati yang lemah, kendur dan lengah, serta suatu kehendak yang terpecah belah memberikan ijin masuk kepadanya” (Coll. 6,4).
Di dalam kategori hal-hal yang tidak penting (media), optimisme kristen menolak godaan-godaan yang menampakkan kejahatan dan rahib pandai mengenal godaan-godaan itu dan tujuan belaskasihan yang dikehendaki oleh Allah (Coll. 6,5).
Sebaliknya, ia mengingkari kesalahan sampai ke dalam lubuk terdalam suara hatinya: suatu harapan, suatu ketetapan hati, tanpa dirumuskan, menjadikan seorang pendosa (Coll. 16,18; cf Coll. 17,11).
Dosa adalah suatu tipuan yang bapaknya adalah setan. Kesalahannya, yaitu: kesombongan, ”elatio cordis”, penolakan untuk mengakui Allah sebagai penciptanya. “Ia berkata tentang hal itu dalam hatinya: Saya sebenarnya serupa dengan Yang Maha Tinggi (Yes 14,14) dan ia telah menjadi penipu”.
Ia telah pergi lebih jauh dan dengan menjanjikan pada manusia pertama bahwa ia sebenarnya adalah Allah, ia menjadi bapa tipuan dan pembunuhan, dengan memasukkan Adam ke dalam kondisinya sebagai yang dapat mati (Coll. 8,25).
Bagi orang kristen dan rahib, dosa, pada suatu judul baru, adalah tipuan: ia menyangkal “pengakuannya”: “Tak seorangpun, meskipun sebenarnya ia mengakui seribu kali dengan mulut bahwa ia adalah kristen atau rahib; mengakui Allah; tak seorangpun jika ia menerima apa yang memuakkan Tuhan, ingat akan Allah; tak seorangpun memaklumkan dirinya secara jujur sebagai hambaNya; jika ia merendahkan perintah-perintah-Nya dengan keras kepala” (Coll. 1,14). Duakali bersalah, kita tahu akan hal itu, orang kristen yang memperkosa perintah-perintah Musa, di bawah dalih bahwa Ia hidup “di bawah rahmat”, bukan “di bawah hukum” (Coll. 21,34).
Karena akibatnya itu, Kassianus membedakan dosa-dosa berat (capitalia crimina) dan dosa-dosa ringan (minutae culpae). Dosa-dosa berat membawa pendosa ke neraka dan membenamkannya sejak di dunia ke dalam maut. “Sesungguhnya, ada banyak orang yang hidup dalam tubuh daging ini, namun sudah mati: mereka sudah terkubur di dalam neraka dan tidak mampu memuji Allah” (Coll. 1,14).
Bagi murid Injil, hidup abadi satu-satunya yang benar, sebab hidup abadi itu adaiah hidup kerajaan Allah” (ibid).
Melaiui tempat lain, kesaksian St. Yohanes menentukan kepada kita bahwa ada kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan (Coll. 11,9).
Kesalahan-kesalahan itu merupakan akibat dari “hukum dosa” dan merampas orang-orang kudus sendiri dan suatu ketidakberdosaan yang total. Itu adalah kekurangan-kekurangan yang sangat kecil. “Dalam kekurangan-kekurangan itu, orang benar jatuh tujuh kali sehari dan bangun kembali”: Kita kerap melakukan hal itu setiap hari, ”dengan sukarela”, kurang lebih, karena tidak tahu, lupa, melalui pikiran atau perkataan, melalui kejutan atau dorongan, melalui kerapuhan daging .... Kita jatuh ke dalamnya dengan suatu fasilitas tertentu yang dikatakan suatu hukum kodrat. Juga orang tidak dapat menghindarinya secara lengkap, sedikit hati-hati dan waspada seperti yang seharusnya (Coll. 20,12; cf Coll. 22,7; Coll. 9,22).
Kassianus mengajak kita untuk menimba dalam konstatasi dari kemanusiaan kita yang papa dan keyakinan rapuh; selebihnya ia menghalau keberatan hati nurani dan jiwa yang sebenarnya berpantang untuk berhubungan karena kesalahan-kesalahan yang sangat kecil itu.
Optimisme itu terdapat dalam teorinya tentang godaan. Doa Bapa Kami yang mengajak kita berdoa: “dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan”.
St. Yakobus berkata sebaliknya: “Berbahagialah orang yang dicobai”. Nyatanya, godaan dalam dirinya tidaklah jahat dan teladan Kristus merupakan jaminan bagi kita bahwa godaan itu bukan dosa.
Godaan yang kita mohon kepada Tuhan supaya membebaskan kita dari godaan di mana kehendak kita jatuh karena menyetujui godaan itu (Coll. 9,23). Dalam dirinya,godaan merupakan suatu ujian yang mana Kristus telah mengajar kita untuk keluar sebagai Pemenang untuk memperbaiki pekerjaan maut dan Adam pertama (Coll. 5,6; cf Coll. 22,10).
Untuk membaca Kassianus, orang memperhitungkan bahwa taktik setan tidak memiliki rahasia untuk guru-gurunya, para eremit. Marilah kita mengingat bahwa Allah sendiri masuk ke dalam lubuk jiwa yang paling dalam. Setan mengusahakan (menolak gambaran; menyalahgunakan) nafsu sambil memanfaatkan entah keadaan lahiriah, entah disposisi batin masing-masing orang. Katakanlah, mereka itu dikhususkan: “setiap cacat, kata Serenus, memiliki setannya yang secara khusus menggarap cacat-cacat itu, ....
Dari lain pihak, setiap setan berusaha untuk memasukkan cacat ke dalam hati manusia, di mana ia menemukan kegembiraannya bagi dirinya sendiri. Namun, semuanya tidak sekaligus menuangkan racun mereka, tetapi bergantian, menurut waktu, tempat atau disposisi subyek, mengundang kepadanya” (Coll. 7,17).
Dalam loncatan terakhir, itu merupakan mekanisme pengetahuan yang menerangkan bagaimana godaan bekerja. Di sini lagi Origenes merintis jalannya dan Kassianus puas untuk mengukuhkan bahwa tiga hal merupakan asal mula pikiran-pikiran kita: Allah, setan dan diri kita sendiri.
Jadi inilah yang dibuat penggoda:
“Jalur-jalur pikiran kita berasal dari setan bila ia berusaha untuk mengembalikan kejatuhan kita melalui kecenderungan cacat atau melalui cara jebakan-jebakan yang tersembunyi, dengan menunjukkan untuk memperkenalkan kepada kita kejahatan di bawah warna setiap kecakapan yang sangat cerdik dan dengan berubah pada mata kita ke dalam malaikat cahaya (Coll. 1,19). Ia bertingkah laku entah sebagai ular yang cerdik, entah sebagai malaikat terang.
Di bawah kedua gambaran biblis itu, Kassianus melukiskan kepada kita “penyelundupan” setan (cf. Coll. 2,10-11; 8,11; 10,11; 18,16; 23,12; 7,21). Itu dikatakan bahwa: penyelundupan setani itu sama sekali ada dalam keluwesan dan kelicikan yang lihai. Setiap saat (Inst. 2,13; 3,5; 10,1), setiap jiwa khususnya, mempunyai pergulatannya sendiri untuk dipertahankan (Coll. 5,27).
Anekdot-anekdot yang beredar melalui padang gurun mengatakan dalam hal itu tentang penipuan dari musuh rahib yang agung itu.
Di sini, seorang eremit yang diperhatikan menyerah kepada godaan besar dan penggoda yang keras kepala (Coll. 8,16); di sana “malaikat terang” nampak di bawah wajahnya yang sejati, sementara ia membangkitkan gelora terang-terangan seorang rahib yang sengsara; itu ada pada wajahnya dan seorang Etiopia sehingga ia dikenal oleh seorang lainnya (Coll. 9,6).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar