HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
AJARAN ROHANI KASSIANUS (PART II):
SUATU KESEMPURNAAN MONASTIK
Sekarang kita memahami mengapa Kassianus hanya menulis untuk para rahib:
1) Allah dan Jiwa Manusia
Tidak pasti sama sekali bahwa ia mengangkat suatu sikap yang pesimis terhadap dunia dan kenyataan materiil. Sebaliknya, ia mengikuti Origenes, bangkit melawan dualisme bidaah-bidaah yang mendua: gnostisisme dan manicheisme.
“Tidak ada sesuatupun yang baik kecuali Allah sendiri” (Coll. 23,9; Coll. 6,19). Dalil yang bagaikan kunci/sendi utama dari ajaran Kassianus berarti bahwa pada hakikatnya hanya Allahlah yang memiliki kesempurnaan sebab Dia melululah spiritualitas murni: “Ia tidak dapat dilihat, tak teruraikan dengan kata-kata, tidak dapat dipahami, melampaui dari segala ungkapan, sederhana dan tak tersusun” (Inst. 8,4; Coll. 10,3). Para penghojat adalah para antropomorfit dan pada umumnya semua orang yang melalui suatu litteralisme yang kasar menganggap penderitaan dan kesusahan jiwa manusia berasal dari Allah. Allah secara sempurna adalah sederhana (tidak tersusun). Suatu pelipatgandaan disebut gerakan, yakni perubahan, kemungkinan bertumbuh atau berkurang. Kebaikan Allah berada di dalam keadaan yang tak berubah (Coll. 6,14-16). Di sana orang mengenal kembali ide-ide yang berdekatan dengan Origenes dan lebih tepatnya dengan Evagrius.
Menghadapi keadaan yang tak berubah pada Allah itu, alam ciptaan pada hakikatnya berubah dan tidak tetap. Dengan menyimpulkan bahwa dari dirinya bersifat jahat, tentu melupakan bahwa ia datang dari Allah. Sebenarnya, ada penciptaan “ex nihilo”, sebab kebaikan Allah meliputi kesuburannya: bagaimana membayangkan sesuatu yang tidak didiami dan terasing? (Coll. 8,17). Tetapi ciptaan tidak memiliki yang baik kecuali apa yang dipegangnya dari Allah: barang-barang materiil harus berguna bagi manusia di dalam hidupnya di dunia dan terutama untuk membantu mengenal Pencipta mereka. Ciptaan-ciptaan rohani mencita-citakan keadaan yang tak berubah dan hidup abadi yang membentuk partisipasi mereka yang tertinggi kepada Allah yang baik sendiri, sebab “oleh dirinya sendiri tidak ada sesuatupun yang stabil, tidak berubah, tidak ada sesuatupun yang baik daripada Allah sendiri” (Coll. 23,3). Bagi Kassianus, seperti para gurunya dari sekolah Alexandria, kita melihatnya, problem tentang kesempurnaan kristen tiada lain kecuali problem perpaduan makhluk rohani dengan kesempurnaan ilahi.
Kemungkinan perpaduan itu didasarkan atas suatu keserupaan kodrat yang mengalir dari asalnya sendiri dari jiwa. Daging dilahirkan dari daging, benihnya berasal dari tanah ia akan kembali kepada tanah. Roh tidak dilahirkan jiwa tidak dilahirkan oleh jiwa lain: diciptakan secara langsung oleh Allah, jiwa dibuat untuk kembali kepada Allah (Coll. 8,25).
Sejak dari asalnya, jiwa manusia menerima dari Allah di dalam kurnia rahmat: libre arbitre (kemampuan kehendak untuk memilih dan menentukan) (Coll. 12, 18), tetapi sekaligus pengetahuan akan suatu hukum yang dimasukkan di dalamnya dengan kodratnya. Oleh karena itu, partisipasinya kepada kebaikan Allah terdapat di dunia ini merupakan penerimaan bebas dari kehendak ilahi. Hukum Musa adalah hanya suatu obat yang diberikan pada manusia karena ketidak setiaannya: hukum itu bagi manusia diletakkan dari luar; perintah-perintahnya dan penegasan-penegasannya tidak berguna jika kebebasan dan dosa merusak pengetahuan yang dimiliki manusia dari hukum batin yang diukir di dalam dirinya oleh Allah (Coll. 8,23). Jadi di bawah bentuk itu penerimaan akan ketergantungannya terhadap Penciptanya dikenakan pada setiap manusia terhadap Penciptanya dikenakan pada setiap manusia karena kodratnya. Tetapi bagi orang kristen, kemungkinan suatu persatuan yang paling intim dengan Allah mengikatnya di dalam suatu tata hidup yang lebih sempurna. Dalam terang pewahyuan, ia sadar bahwa ia membawa gambar ilahi di dalam bagian yang paling berharga dari jiwanya ia mengakui bahwa ia diarahkan kepada suatu hidup kekal (Coll. 1,14). Cintakasih di mana martabatnya sebagai anak angkat itu terungkap (Coll. 11) menjadi kaidah hidup moralnya. Ideal hidup yang mengalir di dalamnya, bertentangan dengan persesuaian yang sederhana dari manusia pada kodratnya – menurut rumus yang berharga dari Kassianus – sebagai “Kebebasan rahmat” dengan “Kewajiban akan hukum”. Tetapi ia memasukkan serta penerimaan utuh akan Injil. Jadi pengarang Collationes itu seperti yang sudah dilakukan Origenes, meninggikan nilai atas kesempurnaan kristen yang secara resmi telah diakui oleh Clemens Alexandria. Ia menentukan ketidaksesuaian hidup perkawinan dengan kesempurnaan kristen.
2) Para Hamba Hukum
Kassianus tidak menghukum perkawinan (Coll. 21). Sebuah wejangan yang panjang dari Abas Yohanes menerangi secara sempurna bahwa pengingkaran rahib adalah suatu nasehat, bukan suatu kewajiban (Coll. 21,2). Kassianus melihat secara tepat dalam kemuliaan hati yang samasekali spontan itu suatu ciri hakiki dari kesempurnaan Injili.
“Memberikan hasil yang pertama dan pajak penghasilan kepada Tuhan” hanyalah “sub legis terrore consistere”. “Rahmat Injil” merupakan suatu puncak di mana orang kristen tiba di sana karena suatu kurnia yang melampaui tuntutan-tuntutan hukum yang keras. Hanya mereka yang mengingkari perkawinan atau sekurang-kurangnya mengingkari penggunaannya, dapat sampai ke sana.
Tetapi bagaimana halnya dengan orang-orang kristen yang tidak memutuskan “untuk mengingkari dunia dan mati terhadap dunia itu”? Mereka tidak harus mencampurkan dengan “para pelanggar hukum”. Jika mereka tidak sampai pada puncak di mana Injil sebetulnya menghendaki membawa mereka naik ke sana, mereka tidak tenggelam “ad ima” sampai yang paling dalam. Dengan tunduk kepada kebutuhan, mereka dirampas di dalam dunia ini dan dalam yang lain dari kemuliaan para orang-orang sempurna. Mereka itu terdiri dari “orang-orang yang jujur”, tetapi tidak terdiri dari mereka yang memiliki kesempatan baik, kehormatan maupun kemuliaan atas kerangka hidup rohani. (Coll. 21,6).
Menurut Kassianus, hidup perkawinan, dari pihak orang kristen menunjukkan penolakan yang melekat secara bebas pada program kemuliaan yang ditawarkan Allah kepadanya. Lagi pula hidup perkawinan mengandaikan sebagai penerimaan suatu perhambaan tertentu berhadapan dengan dosa. Perkawinan itu menenangkan nafsu dan menyalurkannya: Perkawinan tidak menghancurkan nafsu itu. Itu merupakan suatu nyala api yang mendapat santapan: sukarlah bahwa kadang-kadang ia tidak memancar ke luar dari perapian. Tidak memotong dari yang halal berarti membahayakan diri untuk menerima yang tidak halal. Demikian melalui fakta melulu untuk tidak meletakkan apapun pada perlindungan, maka kehendak itu dikotori (Coll. 21,33).
Sebaliknya, pengingkaran jiwa religius mengijinkan bagi api kasih untuk membakar keinginan-keinginan daging. “Rahmat Injil” membebaskan ancaman-ancaman dosa. Rahmat itu tidak puas dengan memotong ranting-ranting dosa. Ia mencabut sampai ke akar-akarnya suatu kehendak jahat (Coll. 21,33).
Jadi, siapa saja tidak melakukan apa yang diajarkan Injil tentang yang paling sempurna, meskipun sebenarnya ia sudah dibaptis atau mengenakan segi lahiriah rahibnya, ia tidak ada “di bawah rahmat”, tetapi “di bawah hukum”, diombang-ambingkan di dalam rantai belenggu dosa. Pasti, dua kali bersalah, yaitu orang-orang kristen tidak senang merendahkan nasihat-nasihat Kristus, dan melanggar hukum Musa. Sebaliknya, rahib sendiri mengalahkan kebebasan yang dibicarakan Sang Rasul dan yang menemukan diri “di mana ada Tuhan”, sebab ia menerima dalam kepenuhannya, kekerasan kesempurnaan injili (Coll. 21,34).
Publik kepada siapa Kassianus menunjukkan tulisannya, adalah seperti diketahui, secara ketat adalah terbatas. Ia tidak menghukum atau merendahkan mereka yang menyebutnya: “para pengawas hukum”. Ia menundukkannya, akan tetapi, di hadapan kesempurnaan injili kepada suatu hukuman berat yang bagi kita saat ini nampaknya terlalu keras.
3) Para Pengingkar, Senobit dan Anakorit
Kassianus dengan senang memberi nama “Pengingkar” kepada para rahib. Demikian ia menggarisbawahi segi negatif dari status yang mana mereka ini membuat kaul: demi “menyatakan keinginan untuk kembali kepada Allah”, mereka harus “mengingkari dunia” (Inst. 4,1). Kassianus memandang “pengingkaran dunia ini” sebagai suatu prasetya tanpa menunjuk khusus di lain tempat di bawah bentuk mana ia dipenuhi. Itulah “oratio”: kita membuat atau mengucapkan suatu kaul bila, sambil mengingkari dunia ini, kita berjanji menerapkan diri kita dengan seluruh kekuatan kita, kepada “pengabdian kepada Allah”. Gambaran, yang mengikuti pada suatu janji akan kemiskinan dan kemurnian tidak cukup jelas sehingga orang dapat mengenal bekas suatu rumusan kaul dalam arti khas. (Coll. 9,12).
Kassianus berusaha menemukan makna dari “pengingkaran” itu dengan menelusuri sampai pada apa yang dianggapnya merupakan asal mula kerahiban. Tradisi yang mana ia menjadi gemanya itu, menarik minat kita tidak karena nilainya yang obyektif, tetapi karena konsepsinya yang dicerminkan dari hidup kerahiban itu.
a) Hidup Apostolik
Menurut tradisi itu, di mana Kassianus selanjutnya merupakan saksi ternama dan paling kuno, “hidup apostolik”-lah yang berkembang di dalam biara-biara. Melalui sana, orang mendengar ideal dan kebiasaan-kebiasaan hidup bersama yang ditetapkan para rasul di Yerusalem, yang dihayati secara sempurna oleh orang-orang kristen pertama. Orang-orang kapir dan orang-orang Yahudi yang masuk ke dalam Gereja dalam jumlah yang besar dan sulit dipersamakan oleh agama kristen merupakan alasan dari suatu pemerosotan tertentu semangat awali. Pemilikan bersama harta-harta dari kekayaan yang begitu khas dari masyarakat kristen pada permulaannya berhenti untuk dimengerti. Dengan menolak mengadakan perjanjian dengan pemerosotan itu, para kaum beriman menjauhkan diri dari kota-kota untuk berlindung dari terjangkitnya pemerosotan semangat itu: mereka mendiami desa-desa di luar kota sambil membentuk di sana sedikit demi sedikit “komunitas”nya (coenobia) di mana dihayati semangat yang sesuai dengan jaman apostolik semula. Kata Kassianus, semacam itulah asal mula senobit dan biara-biara (Coll. 18,5). Jadi itu merupakan ide hakiki komunitas yang membawa kepada percobaan-percobaan yang harus ditanggung postulan untuk menyatakan pengingkarannya. Kemiskinan itu bernilai terutama karena semangat ketergantungan yang harus diberi jaminan. Juga perlulah bahwa kemiskinan itu menterjemahkan suatu kelepasan batin yang mutlak berhadapan dengan barang-barang yang ditinggalkan; kesalahan mana makna tentang tata tertib monastik, tentang ketaatan dan kerendahan hati yang dimaklumkan, sambil menjadikan sia-sia setiap ketabahan (Inst. 4,3). Tuntutan lain dari hidup bersama: penghapusan dari setiap ketidaksamaan dari nasib baik. Makanan, pakaian, segalanya harus benar-benar bersama bagi semua orang yang dipandang Kassianus sebagai suatu kesalahan sejati (crimen) bagi rahib, fakta mengatakan: “Bukuku, mejaku, ….”. Partikularisme itu menghancurkan hati dan kekuasaan Abas (Inst. 4,5). Kassianus mungkin membayangkan kepada para Therapeutes yang dibicarakan Philo ketika ia mengingat bahwa para pendahulu pertama para rahib disebut: monaxontes. Malah ketika mereka dikelompokkan, julukan “terasing” dibenarkan oleh sikap mereka menurut pertimbangan masyarakat kristen: “mereka hidup terasing, dengan menolak perkawinan dan hidup keluarga”. Melindungi melawan terjangkitnya penyakit menular dari kelalaian, pertarakan mempunyai suatu makna rohani. Tentang hal itu kita akan membicarakannya lagi. Ia juga membantu untuk membangun biara dalam masyarakat tertutup di mana prinsip injil dan teladan gereja purba dapat memelihara kekuatannya yang penuh dan menyucikan (Coll. 18,5). Ide peraturan-peraturan yang dibukukan tidak diketemukan pada Kassianus, tetapi sejumlah rumusan-rumusannya disatukan pada harta warisan dalam mana peraturan-peraturan hidup religius yang utama menimba dalam masa depan.
b) Anakorit dan Senobit
Kassianus melahirkan anakorit dari tubuh senobit sebagai bunga dan buahnya. Tanpa menelusuri sampai pada para rasul, institusi mereka bersandarkan diri pada St. Paulus Eremit dan St. Antonius. Alasan pemisahan mereka ke dalam padang gurun bukanlah sifat pengecut, meskipun penganiayaan tidak asing bagi hati mereka yang tetap teguh. Mereka ingin mencapai “suatu jenis kesempurnaan yang lain”. Model mereka dalam Perjanjian Lama adalah Elia dan Elisa, sedangkan dalam Perjanjian Baru, adalah Yohanes Pembaptis (Coll.18,6). Mereka telah menciptakan “suatu tata kehidupan rahib yang kedua”, cara yang sama dengan yang mereka kejar sebagai tujuan mereka yang berbeda dengan cara kehidupan senobit. Mereka itu orang-orang terlatih, dan cacat-cacat mereka ditelanjangi oleh kehidupannya di dalam sebuah biara senobit. Mereka menghadapi setan tidak lagi dalam tipu muslihat yang sembunyi-sembunyi, tetapi di dalam gebrakannya yang terbuka tanpa tedeng aling-aling. Kesempurnaan status mereka pasti mengundang cinta akan seluruh keutamaan; namun cinta akan kesunyian, kesederhanaan, kekerasan deraan, merupakan karakteristik fisionomi moral mereka (Inst. 5,36).
Senobit dan anakorit membentuk dua jenis rahib yang disebut Kassianus: “sempurna”. Namun ia tidak menyembunyikan apa-apa tentang kekagumannya bagi hidup kontemplatif dari jenis yang kedua itu. Ia tidak berhenti memuji “para atlit Kristus”, “orang-orang luhur”, “binatang-binatang yang bersinar di dunia ini” (Coll.11, Praef; 3,1). Ia mengagungkan tata hidup anakorit sebagai “yang paling luhur”, kemajuan mereka dalam keutamaan sebagai yang “paling tinggi” (Inst. 5,36). Melalui ungkapan yang jelas dari pengutamaan itu, Kassianus setia pada kecenderungan-kecenderungan gurunya dari Alexandria.
Tujuan hidup monastik didefinisikan, seperti yang telah kita ketahui: persatuan dengan Allah melalui roh (mens). Semacam itu harus merupakan usaha kita yang prinsipiil, semacam itulah orientasi abadi kita: senantiasa bersatu dalam roh dengan Allah dan hal-hal ilahi (Coll. 1,8). Masing-masing dari bentuk hidup kerahiban mengarah menurut caranya kepada ideal tinggi yang tidak henti-hentinya berlawanan dengan “hukum dosa”. “Tujuan senobit ialah untuk matiraga dan untuk menyalibkan kehendak-kehendaknya dan sesuai dengan perintah keselamatan akan kesempurnaan injili, untuk tidak memimpikan sesuatupun pada keesokan harinya ….. Tujuan eremit ialah memiliki semangat yang bebas dari seluruh hal duniawi dan bersatu dengan Kristus, sedemikian seperti kelemahan manusia mampu ada di dalamnya.”
Tujuan senobit dilukiskan dengan lebih mendetail dan pengajaran abas Pinufius yang dilaporkan pada buku IV dari Institutiones. Dalam hidup bersama, persatuan dengan Kristus dinyatakan melalui “meniru keutamaan-keutamaan-Nya dan penderitaan-Nya”. Senobit “menyalibkan kehendaknya” (Inst. 4,5), mati terhadap keinginan-keinginannya, terhadap afeksi-afeksinya, mati bagi dunia bersama Kristus yang hidup di dalamnya, ketakutan akan Allah menaklukkannya dari keinginan-keinginannya yang penuh kepada hukum ilahi. Hukum ilahi ini menggantikan kehendaknya sendiri, karena seorang manusia yang tersalib hanya dapat dilepaskan oleh “unsur-unsur dunia ini”.
Meneladan Kristus melalui “hidup aktif” dari coenobium (Coll. 1 Praef) merupakan persiapan suatu persatuan yang lebih intim. Biara para senobit melalui tata tertib lahiriahnya merupakan tempat latihan (palestra) yang mengawali kontemplasi (Coll. 18,11).
Apa yang mencirikan hidup anakorit yaitu tempat yang dibuatnya kepada “kontemplasi akan Allah”: segala sesuatu diarahkan kepada kontemplasi itu. Kita harus menetapkan dengan tepat terdiri dari apa persatuan erat dengan Allah itu. Di sini kita mencatat bahwa bagi anakorit persatuan itu disertai ekstase dan pelarutan yang membawa jiwa kepada suatu keadaan/status kemurnian yang tidak dikenal oleh sebagian besar para senobit (Coll. 3,7;19,9).
Jika para penyepi, “Rahasia padang gurun” menyimpan kenikmatan yang merupakan bagaikan suatu antisipasi kebahagiaan malaikati (Coll. 19,5;10,7), pengingkaran itulah yang diikrarkan mereka, memisahkan mereka, tidak hanya dari barang-barang profan, tetapi juga dari masyarakat manusiawi itu sendiri. Status persatuan ilahi menuntut suatu kebebasan yang tidak dapat disesuaikan dengan kesibukan-kesibukan perdagangan manusia. Diceritakan tentang abas Paphnucius yang liar bahwa “ia hidup dengan para malaikat” (Coll. 19,5).
Jadi “mati demi hidup bersama Kristus” seperti yang diharapkan Sang Rasul, benar-benar sudah merupakan apa yang dilakukan anakorit (Coll. 23,5). Senobit juga mencita-citakan persatuan surgawi itu. Realisasinya yang berdaya guna baginya akan tetap tinggal, kadang-kadang, merupakan kekecualian: karya-karya yang dikerjakan hidup komuniter dan yang menyebarkan pikiran, biasanya merupakan suatu halangan (Coll. 19,8). Menuju tujuan bersama mereka, senobit cenderung mengarah melalui suatu jalan yang lebih pasti, anakorit melalui suatu jalan yang lebih sublim (luhur). Yang satu dan yang lain mengatasi problem kesempurnaan pribadi mereka melalui ketulusan suatu hidup yang setia kepada ikatan mereka. Orang memahami bahwa untuk menandai tiruan dari monakisme, Kassianus senang dengan melaporkan tipuan yang mendalam. Melalui bibir Abas Piamon, ia melukiskan para Sarabait yang tidak sabar, loba, musuh dari segala sesuatu yang melawan “kehendaknya”. Mereka itu meminjam pakaian luar para “pengingkar”, merampas tempat tinggal rahib; mereka berbuat sebaliknya dari “pengingkaran” batin: segala sesuatu yang mereka umumkan di luar, berbalik menentang mereka (Coll. 18,17).
c) Panggilan
Kassianus mengerti melindungi terutama kebebasan manusia dan bimbingan rahmat yang supel. Sebagai seorang realis, ia menyaksikan jarangnya suatu “Kesempurnaan yang terlaksana” yang mencapai puncak tinggi persatuan kontemplatif tanpa memotong sesuatupun dari pemeliharaan yang cermat akan cinta kasih terhadap manusia (Coll. 19,8-9). Namun ajaran tentang tubuh mistik membenarkan optimismenya. Sia-sia nampaknya bagi ambisi rahib yang memikir bersinar dalam seluruh keutamaan (Coll. 14,5). Apa yang penting, ialah bahwa dalam Gereja tinggal kesempurnaan Kristus seperti dipisahkan antara anggota-anggotanya. Untuk menyusun kembali kesempurnaan itu dalam kebersamaannya, rahib harus meniru lebah dan mengumpulkan sambil menjaga dalam yang seseorang suatu keutamaan tertentu, dalam lain orang suatu keutamaan yang lainnya (Inst. 5,4). Sebagai “yang berguna” dan “setiawan”, itulah usaha yang tabah dan sesuai untuk status hidup yang dipilihnya, menurut “rahmat yang diterima. Jadi orang dapat mengagumi para asket besar, memujinya, tetapi orang hendakya menjaga diri dari “meninggalkan profesinya” selama orang tidak menjadi sempurna di dalamnya. Godaan untuk meniru tetangga sesamanya merupakan induk dari ketidak-tetapan (Coll. 14,4-7). Kadang-kadang Kassianus menunjukkan diri keras bagi ketidak-tetapan itu, kadang-kadang ia menasehatkan kebijaksanaan, dalam pilihan awali suatu bentuk kehidupan. Ia mengulangi bahwa segalanya tidak cocok untuk semua orang. Apakah Daud sebenarnya mendapatkan kemenangan di bawah baju zirah Saul? Kassianus tidak mengharapkan bahwa semua muridnya melarikan diri ke padang gurun: “untuk banyak orang, anakoretisme, yang jauh dari membawa buah, tentu akan merugikan” (Coll. 24,8). Sebelum menetapkan niatnya, masing-masing harus mengukur kekuatannya. “Diskresio” yang menenangkan pedoman-pedoman Kassianus oleh pikiran untuk menyesuaikannya, memperingatkannya bahwa rahmat, di bawah tanda suatu panggilan Allah, mendominir panggilan rohani kita.
Ia membedakan tiga sifat hakiki “panggilan” pada “pengingkar” monastik. Allah berbicara secara langsung: itulah kasus Abraham dan St. Antonius. Allah berbicara melalui teladan atau pengajaran seseorang: itulah Israel yang diselamatkan melalui Musa; atau cara yang paling kurang tinggi dan kurang pasti: Allah berbicara melalui kejadian-kejadian: semacam Abbas Musa yang menjadi rahib untuk menghindari hukuman atas kejahatan-kejahatannya. Kassianus mengakui bahwa ke-”tiga panggilan” itu tidak sama tinggi, tetapi terutama ia menekankan perlunya berhubungan dengan ketabahan dalam hal itu (Coll. 3,3-5). Sebagai seorang realist, pengarang Collationes itu tetap optimis, sebab ia tahu bahwa Allah adalah Tuhan dari kurnia-kurnia, dan seorang tuan yang tidak keliru akan usaha-usaha yang setia dan murah hati dari hamba-hambanya. Juga Collationes sampai pada halaman-halaman yang mengagungkan “kelembutan dan kenikmatan kuk Kristus”. Kelembutan itu merupakan akibat dari suatu hidup yang dipautkan pada suatu “jalan kesempurnaan” yang dikehendaki Kristus, suatu matiraga yang melarutkan diri kita untuk menyerahkan diri kita kepada Kristus yang hidup di dalam diri kita. Di hadapan kegembiraan rohani, buah persatuan dengan Kristus itu, Kassianus puas dengan mengeluarkan lagi apa yang dari yang menyesatkan kegairahan rahib menjadi korban dari nafsu-nafsunya sendiri. Sebagai yang tabah di antara godaan-godaan dunia, rahib yang berjala di atas “jalan surgawi” di mana Kristus dan para kudusnya telah mendahuluinya; sebagai orang yang tidak masuk akal, orang yang sombong menjauhkan diri dari jalan yang lurus. Untuk yang pertama, kesusahan-kesusahan berbalik menuju kegembiraan. Sekian besar harta-harta yang diberikan kesusahan-kesusahan itu, mengatasi mereka dari dunia. Kassianus menolak untuk mengikuti kaum millenaris dalam penerangan bahwa mereka memberikan seratus lipat yang dijanjikan oleh Injil. Orang-orang yang sempurna, yang bertingkah laku benar-benar sebagai anak-anak angkat Allah, dalam pewaris kemuliaannya, mengambil faedah dari seratus lipat itu sejak hidup ini. Pengingkaran terhadap keluarganya menurut kodrat memberi mereka banyak saudara tercinta dalam Kristus, pengingkaran terhadap barang-barang fana memperoleh bagi mereka banyak usaha baru, di mana mereka itu seimbang lebih mereka daripada hidup mereka terjadi lebih tulus. Tetapi Kassianus secara sempurna menerangi bahwa perspektif yang optimis itu di dua-kalikan oleh tuntutan-tuntutan yang paling menyalibkan.
Pusat dari spiritualitas itu ialah dalam Allah. Setiap askese Kassianus merupakan suatu usaha metodis deifikasi (pengilahian). Ia mempertimbangkannya di bawah dua segi dasari: yang satu: “aktif” atau “praktis”; yang lain “kontemplatif” atau “teoritis”.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar