HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
AJARAN ROHANI KASSIANUS (PART I).
I) Prinsip Umum
Apa yang baru kita bicarakan tentang sumber-sumber Kassianus akan membuat kita mengerti bahwa kita mencari lebih kurang untuk menemukan di dalam ajarannya itu suatu pikiran asli daripada mutu seorang pengarang populer yang istimewa.
Ia memiliki karunia untuk mempersembahkan kepada sejumlah generasi rahib suatu pengajaran lengkap sekaligus tinggi, teoritis dan praktis sehubungan dengan hidup religius.
Institutiones mengetengahkan “manusia lahiriah”.
Itulah buku pegangan permulaan pada tata tertib senobit yang menurut Kassianus menyajikan “hidup” aktif (hidup askesis) sebagai persiapan menuju kontemplasi.
Collationes diterapkan untuk pembentukan “manusia batin”: itulah sebuah karangan tentang kontemplasi yang bernilai sama bagi senobit dan anakorit, meskipun anakorit merealisir kesempurnaan secara lebih pasti daripada senobit.
Terutama di dalam karya Collationes itu, kita akan menemukan karakteristik umum yang membuat dari ajaran itu:
A) MISTIK INTELEKTUALIS.
B) AJARAN KESEMPURNAAN HIDUP MONASTIK.
A) MISTIK INTELEKTUALIS.
Eudemonisme (sistim moral yang bertujuan kebahagiaan manusia-epikurisme/stoicisme) dan tanpa pamrih.
Antinomi yang diberikan ajaran injili itu diutarakan oleh Kassianus sejak Collationes fasal 1, dengan membedakan usaha-usaha yang dipandang dalam dirinya sendiri dan upah ganjaran dari usaha itu.
Seperti kerja buruh, keberanian serdadu atau perniagaan pedagang, karya asketis mengarah untuk memperoleh suatu ganjaran yang merupakan tujuannya yang terakhir (telos), tetapi itu sudah bernilai dan disebut khusus oleh tujuan langsung (scopos).
Terhadap tujuan langsung (dekat) itu karya asketis diarahkan. Pengolahan tanah, menggarap tanah dan mempersiapkan panen, demikian pula askesis memurnikan hati dan hidup abadi memahkotai kemuliaan hati.
“Tujuan terakhir rahib yaitu Kerajaan Allah atau kerajaan surga. Tujuannya yang langsung (dekat) atau destinatio, scopos, yakni kemurnian hati. Tanpa kemurnian hati tidak mungkinlah bagi manusia untuk mencapai tujuan terakhir itu” (Coll. 1).
Tata tertib monastik pertama-tama diatur menuju kemurnian hati: kesunyian, kekerasan, kemiskinan, bacaan Kitab Suci, praktek-praktek keutamaan, semua latihan bertujuan tidak lain kecuali untuk memperoleh apa yang disebut Kassianus: mentis (cordis) nostrae puritas tranquillitasque (Coll. 1,1).
Melalui uraian itu, ia menyebut apatheia dari guru-gurunya sekolah Alexandria dengan menghindari kata yang dicari kompromi baginya sendiri, di Barat, melalui penggunaan kata yang dilakukan oleh kaum Pellagian.
Namun tujuan langsung (dekat, scopos, destinatio) tata tertib religius itu hanya mempunyai nilainya karena tujuan akhir yang disyaratkannya.
Kerajaan Allah pastilah merupakan ganjaran surgawi, hidup kekal yang dimiliki di seberang sana, tetapi tidak satu-satunya. Perlulah menjelaskan dengan tepat bahwa setiap hidup rahib harus mengarah kepada suatu persatuan roh, se-akrab dan se-kontinu mungkin dengan Allah.
Kesatuan roh itu baginya sejak di dunia ini merupakan ganjaran surga yang dinikmati sebelumnya. “Ut divinis rebus ac Deo mens semper inhereat” (Coll. 1,8), ideal monastik yang terungkap demikian itu mendamaikan dengan berani suatu ide yang sangat murni tentang keilahian dengan perspektif suatu pengilahian nyata dari manusia dengan cara kontemplasi.
Filsafat dari kelompok Alexandria menyatakan bahwa antara Allah, makhluk yang secara sempurna bersifat simplex (sederhana) dan rohani dengan materi yang bersifat multiplex (ganda) dan terpisah-pisah, manusia mempunyai kemampuan untuk ambil bagian melalui pengetahuan (gnose), yaitu melalui setiap kegiatan rohaninya, menurut hakikat dari obyek-obyek atas mana manusia melakukannya. Setiap karya, malah yang secara sempurna dapat dipuji, selama ia membawa atas suatu obyek duniawi, memencarkan roh.
Sebaliknya kontemplasi yang mempunyai untuk batas-batas “hal-hal ilahi” atau Allah sendiri, cenderung untuk menyederhanakan roh manusia sampai kepada kesederhanaan sempurna dari pandangannya tentang “Allah sendiri” (Dei solius intuitus) (Coll. 1,8).
Jaminan Kassianus untuk mengusulkan kepada para rahib akan perspektif yang begitu tinggi itu mempunyai garansinya: pengalaman dari mereka yang telah dikunjunginya di Mesir.
Para anakorit yang tidak mempunyai kegelisahan lain, tidak mempunyai pikiran lain kecuali membawa sejak di dunia ini hidup surgawi, merealisir kebahagiaan yang dijanjikan Allah (Coll. 1,10).
Penglihatan yang pasti berbeda dengan penglihatan surga, hanyalah melalui ketajamannya yang paling kecil, tetapi penglihatan nyata dan langsung, sebab dalam jiwa kontemplatif, “Allah dilihat atau dimiliki melalui intuisi-intuisi murni” (Coll. 1,15).
Untuk mengungkapkan perubahan yang meningkat secara bertahap yang terpenuhi melalui kontak yang halus dan tiada henti antara pikiran dengan Allah, Kassianus disiapkan oleh gambaran-gambaran biblis yang dipinjam dari pada guru-gurunya.
1) Kerajaan Allah.
Berhadapan dengan ideal serupa itu, rahib yang menguji diri hanya dapat dikeruhkan. Benar-benar jauh dari bertemu di dalam dirinya kesatuan dan kesahajaan, ia hanya melihat di dalamnya kegelisahan dan pikiran-pikiran yang mencemaskan: keresahan akan hidup sosial dan jasmani (Coll. 1,12), pikiran-pikiran yang tanpa dikehendaki (Coll. 1,16), yang terutama cenderung kepada kejahatan: cacat-cacat (Coll. 1,13).
Kassianus membicarakan kontemplasi dalam Collationes 1. Juga kontemplasi itu tidak diberikan kepadanya tanpa menimbulkan antagonisme (pertentangan) dari segala sesuatu yang merintanginya seperti iringan dari segala sesuatu yang menyertai. Abbas Musa mengungkapkan dengan melawankan “Kerajaan Allah dengan Kerajaan Setan”.
Jika kita berhubungan dengan para murid Alexandria, “Kerajaan Allah” itulah kontemplasi, tetapi kontemplasi sejauh dituntut oleh kesempurnaan, sebab “pengetahuan rohani” tidak berjalan tanpa kemurnian hati (apatheia) dan praktek-praktek keutamaan, sedangkan “Kerajaan Setan” merintis dari suatu jalan melalui pengembang-biakan cacat-cacat (Coll. 1,14).
Sebenarnya di dalam diri kita hanya dapat ada pengetahuan atau tidak tahu kebenaran, cinta akan cacat atau keutamaan. Melalui hal itu, kita memberikan kerajaan hati kita entah kepada setan entah kepada Kristus (Coll. 1,13). Juga segala sesuatu yang membahagiakan para kudus di surga: keadilan, damai, kegembiraan, kehidupan, semua itu memberikan ciri khas “Kerajaan Allah dalam diri kita”, sedangkan tanda-tanda khas para “Kerajaan Setan” yaitu: ketidakadilan, perselisihan, dan terutama maut (Coll. 1,14).
2) Gambar dan Keserupaan dengan Allah.
Tetapi, telah kita bicarakan, salah satu dari hasil-hasil kontemplasi ialah merubah jiwa menurut gambar dan keserupaan dengan pokok tujuannya. Diterima oleh manusia sebagai suatu keistimewaan, pada awalnya, “gambar dan keserupaan dengan Allah” baginya memberikan keadaan abadi (Coll. 1,14).
Penggoda, dengan ”memasukkan manusia ke dalam keadaan yang dapat mati”, telah menghancurkan hak istimewa itu. Dosa Adam membuka perbudakan yang dikehendaki sedangkan Kristus membebaskan kita dari perbudakan itu.
Konsep yang dibuat Kassianus tentang dosa asal dan penebusan mengingatkan garis-garis ajaran St. Ireneus.
Hal itu melalui semacam kontrak yang diputuskan dengan setan, untuk membayar buah larangan, maka Adam melepaskan “kebebasan awali”-nya.
Ia menyetujui bagi dirinya dan keturunannya suatu perbudakan (servitus, famualtus) yang tidak dapat melukai hak-hak Allah, tetapi yang mengekang orang yang bersalah itu kepada dosa dan cacat-cacat.
Suatu perpaduan yang tinggi menguasai rencana penyelamat dan menghendaki bahwa Allah mengatur, bukan hak-hak setan, tentang kebaikan dan keadilan dari rencana penciptanya: jadi dia harus melindungi peranan “keputusan bebas” (liberum arbitrium) dalam karya keselamatan manusia.
Dengan bayaran darah-Nya, Kristus telah membebaskan manusia dari rantai-rantainya semula, yaitu dosa Adam dan membuat mampu (reformare) untuk memperoleh kembali status kebebasannya yang awali. Ia segera dapat menyelamatkan secara definitif. Ia tidak membuatnya demi menghormati pernyataan kebenaran ilahi dan oleh karena dosa yang akan berlipat ganda.
Jadi sebelum kematian Penyelamat, manusia dialami “sub avita condocione”, tidak terkutuk, tetapi tunduk kepada suatu bentuk pemerintah ketakutan dan kekerasan. Kepada bentuk itu, Kristus mengganti dengan “rahmat Injil” (Coll. 21,34, Coll. 11).
Meskipun ia sama sekali bukan Pellagian, Collationes lebih berhenti pada contoh-contoh yang diberikan oleh Kristus daripada pahala kematiannya.
Penyelamat, pertama-tama mengajar kita, dengan menerima diri-Nya sendiri digoda, bagaimana cacat-cacat dikalahkan. Di dalam diriNya, “gambar dan keserupaan dengan Allah” itu tetap utuh: dengan lahir seorang perawan, Ia lepas dari terjangkitnya dosa asal.
Tetapi tiga pukulan yang harus ditanggungnya seperti Adam, mengajar kita, bahwa tiga cacat dapat selalu mendekati hati manusia untuk menghasilkan semua yang lain setelah cacat-cacat itu: kelahapan mengambil akarnya dalam dasar suatu kodrat jasmani sekaligus rohani (Coll. 5,19); kehormatan yang sia-sia dan kesombongan merupakan cacat-cacat yang mengarah secara langsung kepada semangat dan terhadap cacat-cacat itulah malaikat-malaikat yang jahat jatuh (Coll. 5,7).
Karena “gambar dan keserupaan dengan Allah”, sebagai akibat dari kontemplasi, yang dibawanya di dalam dirinya sebagai yang tidak bersalah, Kristus tidak dapat dikalahkan oleh satupun dari ketiga cacat itu dan tetap kebal terhadap cacat-cacat yang lain.
Demikian rahib, selama kontemplasi akan Allah, menjadi “serupa dengan Allah” mengalahkan cacat-cacat. Rahib yang jatuh kepada salah satu dari ketiga cacat pertama, menjadi hamba dari cacat-cacat lainnya.
Tetapi mengalahkan cacat-cacat, itulah memasuki keutamaan-keutamaan, atau apa yang datang kembali kepada yang sama bagi Kassianus, itu mengutuhkan kembali jiwa ke dalam memiliki kebaikan-kebaikan untuk mana Allah telah membuatnya.
Kemenangan Israel (contemplatio rerum summarum atque sanctorum) sebenarnya benar-benar seperti itu, karena ia menetapkan suatu keutamaan pada tempatnya yang diduduki cacat yang berlawanan dengan membawa rahib kepada “gambar dan keserupaan dengan Allah” (yang merupakan kesempurnaan semula manusia, Coll. 5,23).
Kassianus melukiskan dalam Collationes 11, melalui perlawanan dengan usaha yang tekun dan penuh minat dari orang Kristen biasa, tata keutamaan dan kebebasan yang memberikan ciri khas hidup monastik.
Dengan mempraktekkan kebaikan melalui kasih akan kebaikan itu sendiri, rahib menempatkan diri pada suatu lapisan kesempurnaan yang tidak hanya manusiawi, tetapi yang ilahi sekian benar sehingga tanpa pamrih merupakan keutamaan Allah sendiri.
Persamaan ilahi itu adalah karya kontemplasi karena persamaan itulah yang menjadikan rahib: “gambar dan keserupaan dengan Allah”. Tetapi, sekaligus, persamaan itu atas kerangka psikologis merealisir “pengangkatan” sebagai anak.
Pada perasaan komunitas baik takut maupun harapan tidak mencapai hak-hak yang diambil oleh seorang putera berhadapan dengan harta ayahnya. Rahib, yang didahului oleh belas kasihan Allah, yang oleh kontemplasi dibentuk menurut ”gambar dan keserupaan dengan Allah”, mengikuti Putera sejati yang berkata: “Segala sesuatu yang dimiliki Bapaku, adalah milikku” (Coll. 11,7).
Demikian Kasih mengatur hidup orang kristen yang sempurna dan tempat di bawah suatu tata kebebasan yang berbeda dengan spontanitasnya dalam kebaikan dan ketetapan dari paksaan yang seperti budak atau dari keutamaan-keutamaan yang bersangkutan, tetapi kasih itu tidak mencapai kesempurnaan, kecuali melalui kontemplasi dan dalam kontemplasi. Dengan cara itu, Allah membaharui roh manusia menurut “gambar dan keserupaan”-Nya.
“Serupa dengan Allah”, bagi rahib hal itu tidak cukup mengatakan bahwa kontemplasi mengilahikan. Kasih tidak mempunyai sesuatupun dari suatu usaha yang meninggikan manusia ke lapisan keilahian; terlebih Tuhanlah yang memberikan diri dalam suatu kehadiran yang mengubah manusia, status perubahan yang paling sempurna dilukiskan kepada kita oleh Kassianus berhubungan dengan “berdoa terus-menerus”.
Kita akan datang kembali kepada hal itu lebih lanjut dalam membicarakan tentang doa, tetapi terlebih dahulu perlulah kita membenarkan pengarang kita dari setiap dugaan tentang pantheisme.
Teks-teks paling kuat yang kita tarik dalam karyanya, senantiasa menghormati keutuhan pribadi rahib pun di dalam persatuan yang paling tinggi dengan Allah. Kebahagiaan surga, menurut dia, tidak membatalkan kemampuan-kemampuan rohani.
Sebaliknya, kebahagiaan itu menghidupkan kemampuan-kemampuan rohani dan meningkatkan kebaikannya (Coll. 1,14). Namun pada waktu itulah terealisir secara penuh kata Sang Rasul: “Allah akan merupakan segala dalam segalanya, tetapi sejak di dunia ini rahib berusaha menghayati kata itu dalam tindakan dan pikirannya” (Coll. 7,6).
Jadi hal itu berkenaan dengan suatu persatuan jiwa dengan Allah dalam suatu kegiatan yang mana Allah merupakan tujuan akhirnya, tetapi bukan hakikatnya yang satu-satunya.
Dalam Coll. 10, ungkapan Paulus yang sama, sebenarnya, mencirikan suatu keadaan jiwa yang dimurnikan dan hidup dalam suatu pertukaran kasih dengan Allah yang analog dengan persatuan pribadi-pribadi ilahi dan yang mengubah rahib, tidak dalam adanya, tetapi dalam kegiatannya: “kasihnya, hasratnya, geloranya, usahanya, pikirannya, segala yang dihayatinya, segala sesuatu yang dihirup, hendaklah adalah Allah” (Coll. 10,6-7).
Disini kita sekaligus mengakui kepenuhan dan batas-batas yang perlu diberikan terhadap pengilahian rahib melalui kontemplasi dan cintakasih: cintakasih menghubungkan baginya perasaan anak yang dibicarakan Tuhan: “ut dilectio qua dilexisti me in eis sit et ipsi in nobis” (Coll. 10,7).
Cintakasih mendasarkan suatu keakraban dengan Allah yang tidak lagi memiliki suatupun tentang ketakutan akan Allah atau minat terhadap upah, tetapi mengingatkan hormat anak terhadap ayahnya, saudara terhadap saudaranya, sahabat terhadap sahabatnya, mempelai terhadap pengantinnya (Coll. 11,13), seperti doa “Bapa Kami” mengajar kita untuk memintanya (Coll. 9,10). Tidak sesuatupun dalam segalanya itu membuat berpikir akan suatu peleburan hakikat yang bersifat pantheistis.
Jadi spiritualitas Kassianus yang secara tepat mereproduksikan spiritualitas Evagrius dan Origenes adalah suatu mistik. Untuk dia, Allah menjadikan dirinya hadir pada jiwa dan mengubahnya melalui suatu persatuan, pengetahuan, dan sekaligus cintakasih; yang mana “semangat, hati” (mens, cor) merupakan alatnya.
Tetapi karena “pengetahuan” yang berkenaan dengan hal itu bukan suatu spekulasi melalui jalan dialektik abstrak, tetapi suatu pengalaman yang konkret dan hidup, maka pengetahuan itu menuntut syarat-syarat lahiriah dan batiniah, yang faktanya terdapat jarang atau tidak pernah terealisir di luar hidup monastik.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar