HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
MONK. MISSION. MERCY:
Selamat Datang Beato Baru dari Trappist:
“The Monks of Tibhirine" :
One of the most inspiring of real stories in contemporary church history....
Hope, Faith, Love, and Terror.
Pada malam 26–27 Maret 1996, tujuh rahib trappist / OCSO dari Biara Atlas di Tibhirine, dekat Médéa, Aljazair, diculik pada masa Perang Saudara Aljazair. Mereka ditahan selama dua bulan, dan ditemukan tewas pada akhir Mei 1996.
Peristiwa penculikan dan kematian mereka memang masih kontroversial; Kelompok Islamis Bersenjata (Groupe Islamique Armé, GIA) mengklaim pertanggungjawaban untuk kedua peristiwa tersebut. Di lain segi, pada 2009 yang lalu, seorang pensiunan Jenderal François Buchwalter mengabarkan bahwa para rahib tersebut "tak sengaja" dibunuh oleh Angkatan Darat Aljazair.
Kronologinya sebagai berikut:
Sekitar 1:15 AM pada 27 Maret 1996, sekitar dua puluh anggota Grup Islamis Bersenjata datang ke biara Tibhirine dan menculik tujuh rahib trappist. Dua lainnya, Romo Jean-Pierre OCSO dan Romo Amédée OCSO, sedang berada di ruangan terpisah dan terabaikan dari sergapan para penculik tersebut.
Setelah para penculik pergi,kedua rahib yang terpisah itu berupaya untuk menghubungi polisi, namun ternyata jaringan teleponnya diputus. Sehingga, mereka menunggu sampai pagi untuk datang ke kantor polisi di Médéa.
Adapun, dua rahib trappist di Tibhirine yang selamat ini diminta meninggalkan Aljazair dan dipindahkan ke sebuah biara Trappist di dekat Midelt, Maroko.
Adapun seluruh tujuh rahib yang dibunuh adalah orang Perancis semuanya, al: Dom Christian de Chergé, Bruder Luc (lahir dengan nama Paul Dochier), Romo Christophe (Lebreton), Bruder Michel (Fleury), Romo Bruno (lahir dengan nama Christian Lemarchand), Romo Célestin (Ringeard), dan Bruder Paul (Favre-Miville).
Beberapa tahun kemudian, muncullah film "Of Gods and Men" yang berdasarkan pada peristiwa tragis tersebut. Ini adalah sebuah film drama Perancis tahun 2010 yang disutradarai oleh Xavier Beauvois, dibintangi oleh Lambert Wilson dan Michael Lonsdale.
Judul bahasa Perancis aslinya adalah "Des hommes et des dieux", yang artinya "Dari Manusia dan dari Allah" dan merujuk kepada sebuah ayat dari Alkitab yang muncul pada permulaan film tersebut.
Film tersebut berkisah di biara Tibhirine, dimana enam biarawan Trappist (OCSO) hidup tentram dengan sebagian besar penduduk Muslim di Aljazair, sampai tujuh orang diantara mereka diculik dan dibunuh pada 1996 ketika berkecamuk Perang Saudara Aljazair.
Jelasnya, film ini memang berdasarkan kisah nyata para rahib Trappist yang menetap di pertapaan Tibhirine di pegunungan Atlas, Aljazair, sebelum akhirnya mereka diculik oleh kelompok pemberontak "Groupe Islamique Armé" (GIA) untuk dijadikan sandera pada tahun 1996.
Dalam film, digambarkan kegiatan rutin para rahib dalam semangat dasar "ora et labora", berdoa dan bekerja lewat tiga pilar khas tradisi benediktin: "opus dei, opus manuale dan lectio divina", serta tentunya interaksi dan pelbagai kontribusi dengan masyarakat sekitar yang notabene beragama Islam.
Di tengah-tengah ancaman konflik bersenjata, para rahib awalnya tidak satu suara ketika menentukan apakah harus tinggal atau pindah dari biara tersebut.
Kaum pemberontak sendiri pernah mendatangi biara untuk meminta bantuan medis atas anggotanya yang tertembak. Sedangkan pihak pemerintah meminta (dengan sedikit paksaan) mereka untuk pindah karena keselamatan mereka tidak terjamin.
Keputusan bulat para rahib untuk tetap tinggal berakhir tragis, 7 rahib diculik pada tanggal 27 Maret 1996, dan hanya 2 rahib yang lolos dari penculikan itu. Tanggal 21 Mei 1996 tentara pemerintah menemukan hanya kepala mereka yang terpancung, sedangkan jasadnya tidak pernah ditemukan.
Ya, film ini bisa jadi sangat menyentuh hati nurani, dan mencoba membuka ruang ‘kesadaran’ atau ‘mengetuk’ hati nurani pertobatan bagi para pelaku teror, kekejian, dan kejahatan kemanusiaan, ketika selesai menyaksikan film ini.
Barangkali ini adalah kisah cinta yang paling dalam dan ‘mencemaskan’. Dimulai dengan ditemukannya tujuh kepala manusia di tepi jalan di dekat Medea, Aljazair, 90 km dari ibu kota. Diantara kepala-kepala terpenggal itu ada yang dibungkus plastik dan tergantung di pohon-pohon pada menjelang akhir bulan Mei 1996. Tujuh kepala itu berasal dari tujuh biarawan rahib trappist dari bukit Tibhirine, yang mana tidak diketahui dimana tubuh mereka.
Dua bulan sebelumnya, lewat tengah malam, sekitar 20 orang bersenjata memasuki Notre Dame de l’Atlas, sebuah biara Trappis (OCSO). Gerombolan bersenjata itu dengan kasar membangunkan para penghuninya, lalu dengan paksa mereka mengangkut para rahib yang kebanyakan orang-orang tua itu dalam sebuah konvoi mobil yang segera berlalu.
Dari sembilan biarawan trappist itu, hanya dua orang yang selamat, luput dari penculikan.
Kemudian diketahui, para rahib warga negara Perancis itu diculik oleh “Kelompok Islam Ekstrim Radikal” bersenjata, sebagai sandera.
Kelompok Islam Ekstrim Radikal itu menuntut agar pimpinan mereka yang ditangkap oleh pasukan Perancis dibebaskan. Dengan ancaman : jika ditolak, para sandera akan mati !
Dan rupanya tak ada perundingan. Ketujuh biarawan trappist itu pun dibunuh dengan keji dan dipenggal kepalanya, 21 Mei 1996.
Ya, perang ikut memusnahkan para rahib Trappis di Tibhirine yang sedang khusyuk berdoa, rajin bertani, dan rukun bertetangga itu. Inilah ekses Perang Saudara Aljazair sejak 1991, ketika “kaum Islamis garis keras” melawan pemerintah Perancis dengan perlawanan gerilya yang garang dan ganas; bahkan sesama Group-Group “Islamis” itu sendiri malahan kerap saling bentrok, baku hantam dan saling membunuh.
Penculikan dan pembantaian juga makin sering tejadi. Hingga tahun 2000 saja, sudah 150.000an orang tewas. Perang dan konflik di mana saja selalu mengerikan dan memakan korban : yang berdosa dan yang tak berdosa, bahkan yang tak tahu apa-apa sekali pun.
Ada pertanyaan menggelitik yang menggoda hati : “Mengapa dalam situasi mencekam penuh ketakutan, terror dan pembunuhan, para biarawan trappist itu tak mau meninggalkan bukit tempat biara mereka? Bahkan mengapa mereka menolak perlindungan pasukan pemerintah?”
Tujuh tahun kemudian terbit sebuah buku John Kiser, “The Monks of Tibhirine : Faith, Love, and Terror in Algeria”. Dalam salah satu wawancara John Kiser menawarkan sebuah jawaban : ‘SEMUA KARENA: "SEBUAH CINTA" .. LOVE ..'
Dalam bahasa Indonesia, kata LOVE bisa juga berarti KASIH, dan agaknya itulah kaitan dan getar hati yang terdalam, yang membuat kesembilan rahib itu tak mau pergi dari biaranya di Tibhirine.
Film ini dengan takzim mengisahkan kembali hari-hari terakhir di biara itu. Tanpa menyimpulkan tapi satu adegan kecil agaknya bisa menjelaskan. Biarawan tua yakni rahib Luc Dochier, yang menjadi dokter gigi bagi dusun kecil itu, tampak duduk di bawah pohon, sementara disampingnya duduk seorang anak perempuan yang curhat kepadanya, karena sedang jatuh cinta.
“Apakah Romo pernah jatuh cinta?”
“Pernah, beberapa kali” Jawab biarawan tua itu. “Sampai akhirnya aku menemukan cinta yang lebih besar, lebih agung.”
CINTA YANG LEBIH BESAR itu tentu saja cinta kepada Tuhan. Juga cinta dalam Tuhan: kasih yang tak terlarai, tapi yang tak mudah, sebab kasih itu membuat iman tak berdiri sendiri, bahkan merapat dan bersentuhan dengan dunia yang berdosa, berbeda, dan tak terduga. Juga kasih itu tak mudah karena mmpu mengubah seseorang hingga bersedia (rela; ikhlas) menempuh jalan-jalan sulit seperti : kemiskinan, kegagalan, dan KEMATIAN.
WE LOVE TRAPPIST...
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
SINEMALOKA
Film “Of Gods and Men” atau dalam bahasa Perancisnya “Des Hommes et Des Dieux” yang disutradarai oleh Xavier Beauvois ini bercerita mengenai kehidupan sehari-hari 8 rahib Cistersian (OCSO/Trappist) asal Perancis, yaitu Christian (Abas/Pemimpin biara), Luc, Christophe, Célestine, Amédée, Jean-Pierre, Michel, Paul, dan 1 rahib tamu, yaitu: Bruno, yang tinggal di sebuah biara di Desa Tibhirine, Algeria dan hidup berdampingan dengan damai diantara penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Para rahib memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk, bantuan menulis surat, memperhatikan anak-anak, dan menanam tanaman pangan. Selain itu, para rahib juga turut hadir dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh penduduk dan sering bertukar pikiran dan berdiskusi dengan pemimpin umat di desa tersebut.
Di lain pihak, para penduduk tidak merasa segan dan takut untuk datang dan berbincang-bincang dengan para rahib, apabila mereka membutuhkan sesuatu. Dengan kata lain, perbedaan yang mereka miliki tidak menghalangi mereka untuk dapat menyatu dan menjadi bagian satu sama lain.
Kedamaian dan keharmonisan yang mereka alami terusik oleh kehadiran kelompok Islam Fundamentalis yang dipimpin oleh Ali Fayatia. Kelompok ini sering menimbulkan kekacauan di masyarakat dan tidak segan-segan membunuh penduduk untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah Samira, seorang gadis yang berusia 18 tahun, yang dibunuh karena tidak mengenakan kerudung/jilbab. Munculnya kelompok tersebut telah menimbulkan keresahan dan ketakutan di antara penduduk, termasuk para rahib.
Berkenaan dengan adanya kekacauan tersebut, pemerintah mulai bertindak. Pemerintah berusaha untuk melindungi warga asing yang ada di negaranya, termasuk para rahib ini.
Pemerintah membujuk dan meminta para rahib ini untuk segera meninggalkan biaranya dan kembali ke Perancis. Atau, para rahib menerima tawaran agar biaranya dijaga oleh beberapa aparat keamanan. Tawaran pemerintah tersebut ditolak dengan halus, sedangkan permintaan untuk pergi dari desa, para rahib belum dapat memutuskannya.
A.
Tinggal atau Pergi?
Pengambilan keputusan untuk tinggal atau pergi, bukanlah suatu keputusan yang mudah bagi para rahib. Kedekatan dengan penduduk dan misi ordo yang harus diemban menjadi bahan pertimbangan yang sangat rumit.
Apalagi ditambah dengan kedatangan para teroris pada malam natal untuk meminta obat-obatan dan bantuan dokter, yang kemudian ditolak oleh Dom Christian, semakin membuat para rahib galau, cemas, dan mempertanyakan keberadaannya.
Para rahib pun berdiskusi dan berpikir bersama. Célestine membuka suara dengan menyatakan ketakutan dan kekhawatirannya ketika ia berhadapan dengan para teroris yang datang ke biara. Ia berkesimpulan bahwa para rahib harus pergi dan mengungsi ke tempat lain yang lebih aman. Pendapat Célestine didukung oleh Paul, yang mengatakan bahwa pergi adalah solusi yang baik, yaitu kembali ke Perancis atau ke biara lain yang lebih aman di Afrika.
Kegalauan dan kegelisahan yang dialami oleh beberapa rahib, seperti Célestine dan Paul menunjukkan bahwa mereka menganggap bahwa orang lain adalah "neraka" bagi mereka, dalam hal ini adalah para teroris. Hal tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Jean-Paul Sartre, bahwa orang lain adalah neraka bagi saya. Para rahib seperti Célestine dan Paul merasa bahwa kehadiran para teroris telah mengusik hidupnya. Dengan kata lain, mengusik eksistensinya.
Di lain pihak, salah seorang rahib yang bernama Jean-Pierre menyatakan pendapatnya: “To leave is to run away, and to leave the village to the terrorists”. Dengan kata lain, ia menyatakan untuk tetap tinggal. Kesadaran ini lebih didasarkan bahwa Jean-Pierre telah menemukan eksistensi dirinya bersama penduduk yang ada di sekitarnya.
Diskusi yang dilakukan oleh para rahib ini belum dapat mencapai satu keputusan yang bulat apakah mereka akan pergi atau tetap tinggal.
Dari 8 rahib yang terdapat di biara tersebut, terdapat 3 keputusan yang berbeda. Célestine, Paul, dan Christophe berpendapat bahwa para rahib harus pergi, sementara Jean-Pierre, Luc, dan Michel berpendapat bahwa para rahib labih baik tetap tinggal di biara. Sedangkan Amédée dan Christian berpendapat bahwa para rahib hendaknya tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
B.
Desa ini Tumbuh Bersama Biara.
Proses pengambilan keputusan ternyata bukan sesuatu yang mudah dilakukan oleh para rahib. Kesadaran akan ke-aku-an para rahib turut dipertanyakan. Untuk itu para rahib terus mencari dan mencari jalan dan cara yang paling baik.
Para rahib terus berdoa, merenung dalam karyanya, bermeditasi, berbagi satu sama lain, dan mengunjungi berbagai pihak yang berada di sekitar biara. Secara tidak langsung, proses pencarian ini mengantarkan para rahib untuk menemukan kesadaran ke-aku-annya yang utuh.
Kunjungan dan perbincangan para rahib dengan penduduk sekitar, terutama dengan seorang haji yang merupakan pemimpin umat setempat telah banyak membuka cakrawala dan jalan bagi para rahib. Kala itu, para rahib yang terdiri atas Christian, Amédée, dan Paul berkunjung ke rumah Pak haji.
Para rahib menceritakan kegalauannya atas kedatangan para teroris ke biaranya dan adanya tawaran dari pihak pemerintah dan aparat keamanan. Pada intinya, para rahib meminta masukan dan saran kepada Pak haji mengenai tindakan yang harus mereka ambil.
Pak haji memberi komentar: “Forget the army! It’s a disaster. The army won’t come. The protection is you. The village grew up with the monastry”.
Dalam hal ini, Pak haji ingin menegaskan bahwa peristiwa yang terjadi saat ini adalah sebuah bencana yang harus dihadapi bersama-sama. Selain itu, terdapat suatu makna lain, yaitu penduduk desa dan para rahib adalah satu. Artinya mereka telah tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, serta menjalin relasi dengan baik.
Lebih lanjut, Amédée mengatakan bahwa kami mungkin akan pergi, dan ditambahkan oleh Paul: “We’re like birds on a branch. We don’t know if we’ll leave”. Namun pernyataan Paul tersebut disanggah oleh seorang ibu, yang kemungkinan adalah istri Pak haji dengan mengatakan bahwa kami-lah (penduduk) burung-burung tersebut dan kalianlah (para rahib) ranting-rantingnya. Jika kalian pergi, kami akan kehilangan kehilangan pijakan.
Percakapan dan diskusi antara para rahib dan penduduk ini sangat menarik. Penduduk, yang diwakili oleh Pak haji dan seorang ibu menganggap bahwa para rahib bukanlah orang lain. Hal ini sesuai dengan yang digagas oleh filosof Spanyol, Ortega y Gasset yang mengatakan bahwa manusia adalah dia yang belum-penuh. Dalam hal ini manusia menginginkan dan merindukan seseorang untuk memenuhi kekurangan dari “aku”.
Dalam konsep tersebut, manusia berelasi artinya memberi ruang agar manusia lain memenuhi dirinya. Pak haji dan penduduk desa merasakan bahwa kehadiran para rahib dengan segala karyanya telah memberi makna dan mampu “memenuhi kekurangan akan “aku” bagi para penduduk. Begitu juga, para rahib yang sedang mencari kesadaran “aku”.
Bila ditinjau dari kerangka I-Thou yang digagas olah Martin Buber, relasi yang ditunjukkan oleh para rahib dan penduduk telah menunjukkan suatu relasi yang menampilkan keseluruhan kodrat manusia yang paling mungkin, yaitu Aku adalah “aku” ketika berelasi dengan “engkau”, tanpa “engkau”, tidak ada ada “aku”. Dengan kata lain keberadaan para rahib telah mengantarkan para penduduk kepada religiusitas manusia, yaitu terjadinya keutuhan “aku”. Hal ini seperti yang dikatakan oleh seorang ibu tadi: “We’re the birds, you’re the branch. If you go, we lose our footing”.
Satu peristiwa lain, yang turut meneguhkan kesadaran “aku” dari para rahib adalah ketika mobil yang dikendarai oleh Christian dan Célestine mengalami kerusakan di jalan. Saat itu muncul rombongan ibu-ibu yang melintasi jalan tersebut. Dengan tanggap para ibu langsung membantu para rahib untuk memperbaiki mobilnya.
Peristiwa sederhana ini semakin menegaskan keberadaan para rahib yang begitu bermakna bagi para penduduk. Dengan kata lain, para rahib bukan orang lain. Para rahib adalah bagian dari hidup para penduduk.
C.
Akhirnya.
Setelah melalui proses pencarian dan permenungan, para rahib berkumpul untuk memutuskan sikapnya, apakah mereka akan pergi dari desa atau tetap tinggal di desa tersebut.
Dalam suasana "silentium", keheningan dan ketenangan, para rahib mulai berpendapat satu demi satu. Luc memulai dengan mengatakan: “I’ve told you my position on this matter and my calling is to be here with everyone”. Amédée berpendapat: “I don’t see myself leaving. Leaving would lead nowhere”.
Sedangkan Célestine menyatakan pendapatnya: “I’m not ready to leave myself”. Berbeda dengan Paul yang mengatakan: “Last night I thought about leaving. I’m not comfortable with it. Not at peace. Deciding to run of like that makes no sense. We didn’t come here for our own personal interest”. Jean-Pierre manyambung: “I still think that our mission here is not finished. I’m staying”.
Michel melanjutkan: “I prayed all morning while I was cooking. The disciple is not above his master. This is no time for me to stay”.
Sedangkan Chritophe berpendapat: “Let God set the table here for everyone. Friends and enemies”.
Dan akhirnya Christian: “Wildflowers don’t move to find the sun’s rays. God makes them fecund wherever they are”.
Pertanyaan akhir yang diajukan oleh Christian sebagai Abas / Pemimpin biara: “Who prefers to stay?” Satu persatu dari para rahib menyatakan bahwa mereka tetap tinggal di biara dan desa ini dengan mengacungkan jarinya. Akhirnya, para rahib dapat mencapai kebulatan pendapat dan mencapai keputusan yang sama.
Satu peristiwa yang cukup mengharukan adalah perjamuan makan bersama. Sebenarnya perjamuan ini adalah perjamuan makan biasa seperti hari-hari lain. Namun dengan disepakatinya sebuah keputusan bahwa para rahib memilih tinggal, membuat suasana makan malam menjadi berbeda, apalagi ditambah dengan iringan instrumen “Swan Lake” karya Tcahikovsky. Para rahib serasa menemukan keberadaannya, eksistensinya, dan keutuhan “aku”. Para rahib makan bersama dan saling tersenyum dan memandang satu sama lain, seakan-akan mengungkapkan bahwa keberadaannya ada karena orang lain.
Ungkapan-ungkapan perasaan dan keputusan yang dinyatakan oleh para rahib menunjukkan bahwa mereka telah menemukan kesadaran “aku”. Keberadaan para rahib bukanlah sebagai orang lain bagi para penduduk.
Para rahib mampu mengisi kepenuhan akan aku-nya para penduduk dengan pelayanan yang mereka berikan. Begitu pula sebaliknya, para penduduk mampu mengisi kepenuhan akan aku-nya para rahib melalui interaksi dan relasi antar mereka.
Dengan kata lain, para rahib telah menyatu dengan penduduk. Selain itu, keputusan para rahib untuk tetap tinggal di biara menunjukkan bahwa para rahib telah mencapai religiusitas manusia, seperti yang digagas oleh Martin Buber.
Hal ini disebabkan bahwa religiusitas bersifat relasional dan benih-benih religiusitas hanya akan tumbuh dalam relasi dialogal, yang dapat dicapai melalui relasi perdamaian dengan sesamanya.
Hal tersebut mengandung makna bahwa relasi tersebut bertumpu pada kesadaran yang mendalam tentang “aku” manusia. Jika seseorang menyadari bahwa dirinya memiliki “aku” dan sesamanya juga memiliki kesadaran yang sama “aku”-dirinya, maka relasi keduanya sebenarnya merupakan bentuk penyatuan dua “aku". Dengan demikian terjadi pemenuhan yang terpadu, yang sempurna, yaitu kepenuhan/keutuhan “aku”.
Akhirnya, keputusan para rahib untuk tetap tinggal di biara dan desanya ingin menyatakan bahwa para rahib ada karena para penduduk ada, walaupun penuh dengan risiko. Dengan kata lain, “Aku ada karena engkau ada”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar