Ads 468x60px

60 hari menjelang Hari Raya Paskah



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Hari Minggu (4/2) sebelum Rabu Abu (14/2) konon disebut hari Minggu "Sexagesima", yang berarti : "60 hari menjelang Hari Raya Paskah."
Hari Minggu (11/2) sebelum Rabu Abu (14/2) konon disebut hari Minggu "Quinquagesima", yang berarti : "50 hari menjelang Hari Raya Paskah."
Iesus illum qui eum quaerit, sinit se inveniri, sed ad eum quaerendum oportet nos movere, exire.
Jesus wants to be found by those who look for Him. But to look for Him we have to get up and go out.
Yesus ingin ditemukan oleh orang-orang yang mencari-Nya. Tetapi untuk mencari-Nya, kita harus bangun dan berjalan keluar.
Slmt ber-"PDAM"
P uasa
D oa
A mal
M atiraga
Cari sagu cari bahan
Hari Minggu harinya Tuhan
Dari desa bawa soto babat
Klo misa jgn terlambat
Ada galah di Korintus
Pergilah kamu diutus
Dari Brastagi ke Pasar Koja
Ayo kita pergi ke gereja....
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
HARI MINGGU = “HARI TUHAN”
(Dies Domini, Diae Ecclesiae)
Cari sagu di Pasar Koja – Hari Minggu, jangan lupa ke gereja
Mengapa Ekaristi hari Minggu itu begitu penting? Karena hari Minggu adalah hari Tuhan. Minggu berasal dari kata Portugis Dominggos, suatu bentukan kata dari kata dasar bahasa Latin Dominus yang berarti Tuhan. Maka hari Minggu berarti hari Tuhan.
Mengapa hari itu disebut hari Tuhan? Karena pada hari itu Tuhan Yesus bangkit dari wafat-Nya. Maka kalau orang Yahudi punya hari Sabat, kita mempunyai hari Minggu. Hari Minggu dulu dibuat libur bukan sekedar untuk istirahat dari kerja saja, karena capai. Bukan! Hari Minggu dibuat libur agar orang bisa mempunyai waktu untuk Tuhan, yakni mengikuti Ekaristi. Sayang sekali, kini banyak orang menggunakan weekend hanya untuk istirahat dan lupa Ekaristi.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1166
“Berdasarkan tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paska sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau Hari Minggu” (Sacrosanctum Concilium 106). Hari kebangkitan Tuhan adalah serentak “hari pertama dalam minggu”, mengenangkan hari pertama ciptaan, dan “hari kedelapan” di mana Kristus sesudah “istirahat”-Nya pada Sabtu agung menerbitkan hari “yang Tuhan janjikan”, “hari yang tidak mengenal malam” (Liturgi Bisantin). “Perjamuan Tuhan” adalah sentrumnya, karena di sana seluruh persekutuan umat beriman menemui Tuhan yang telah bangkit, yang mengundang mereka ke pesta pedamuan-Nya (Bdk. Yoh 21:12; Luk 24:9b)….
KGK 1167
"Benarlah bahwa hari Minggu adalah hari, di mana umat beriman berkumpul untuk perayaan liturgi, “untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati” (Sacrosanctum Concilium 106).
KGK 1193
"Hari Minggu, “hari Tuhan” adalah hari perayaan Ekaristi yang utama, karena ia adalah hari kebangkitan. Ia adalah hari perhimpunan liturgi, hari keluarga Kristen, hari kegembiraan dan hari senggang. Ia adalail “inti dan dasar seluruh tahun liturgi” (SC 106).
KGK 2175
"Hari Minggu jelas berbeda dari hari Sabat, sebagai gantinya ia – dalam memenuhi perintah hari Sabat – dirayakan oleh orang Kristen setiap minggu pada hari sesudah hari Sabat. Dalam Paska Kristus, hari Minggu memenuhi arti rohani dari hari Sabat Yahudi dan memberitakan istirahat manusia abadi di dalam Allah. Tatanan hukum mempersiapkan misteri Kristus dan ritus-ritusnya menunjukkan lebih dahulu kehidupan Kristus" (Bdk. 1Kor 10:11)….
KGK 2177
"Perayaan hari Minggu yakni hari Tuhan dan Ekaristi-Nya merupakan pusat kehidupan Gereja. “Hari Minggu di mana dirayakan misteri Paska dari tradisi apostolik, harus dipertahankan sebagai hari pesta wajib yang paling pertama di seluruh Gereja” (CIC, can. 1246, 1)….
KGK 2042
"Perintah pertama (“Engkau harus mengikuti misa kudus dengan khidmat pada hari Minggu dan hari raya“) menuntut umat beriman supaya mengambil bagian dalam Ekaristi, manakala persekutuan Kristen berkumpul pada hari peringatan kebangkitan Tuhan" (Bdk. CIC, cann. 1246-1248; CCEO, can. 881, 1.2.
Lalu Ekaristi hari Minggu merupakan Ekaristi umat, artinya perayaan liturgi hari Minggu merupakan perayaan liturgi seluruh umat beriman. Maka sebaiknya yang namanya Perayaan Ekaristi keluarga atau untuk ujud pribadi janganlah mengorbankan Perayaan umat hari Minggu. Ekaristi hari Minggu untuk ujud keluarga atau pribadi sebaiknya sungguh dikonsultasikan dengan pastor paroki, dan jangan asal punya kenalan Romo sendiri lalu langsung Ekaristi, tanpa ambil pusing dengan kebiasaan dan kebijaksanaan paroki setempat.
Kitab Hukum Kanonik, Kan. 1246
§ 1 Hari Minggu, menurut tradisi apostolik, adalah hari dirayakannya misteri paskah, maka harus dipertahankan sebagai hari raya wajib primordial di seluruh Gereja. Begitu pula harus dipertahankan sebagai hari-hari wajib: hari Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Penampakan Tuhan, Kenaikan Tuhan, Tubuh dan Darah Kristus, Santa Perawan Maria Bunda Allah, Santa Perawan Maria dikandung tanpa noda dan Santa Perawan Maria diangkat ke surga, Santo Yusuf, Rasul Santo Petrus dan Paulus, dan akhirnya Hari Raya Semua Orang Kudus.
§ 2 Namun Konferensi para Uskup dengan persetujuan sebelum- nya dari Takhta Apostolik, dapat menghapus beberapa dari antara hari- hari raya wajib itu atau memindahkan hari raya itu ke hari Minggu.
KHK Kan. 1247
Pada hari Minggu dan pada hari raya wajib lain umat beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam Misa; selain itu, hendaknya mereka tidak melakukan pekerjaan dan urusan-urusan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Allah atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga.
Kekhususan adalah pada hari peringatan wafat Tuhan, walaupun tidak dirayakan dengan perayaan Ekaristi, namun umat wajib mengikuti ibadat pada peringatan wafatNya Tuhan Yesus.
Pastinya:
Setiap hari Minggu, kita berkumpul bersama sebagai suatu Gereja dengan hati penuh sukacita untuk beribadat kepada Allah yang Mahakuasa.
Kita mengenangkan dan menyatakan iman kita sekali lagi akan misteri keselamatan kita, yaitu bahwa Yesus Kristus, Putra Allah, sengsara, wafat dan bangkit pada hari ketiga demi keselamatan kita.
Peristiwa-peristiwa Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah dirangkum sepenuhnya dan seluruhnya dalam Kurban Kudus Misa. Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium) Konsili Vatikan II menegaskan, “Sebab melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, `terlaksanalah karya penebusan kita'. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang sejati.” (SC #2).
Di samping itu, dalam Perayaan Misa, setiap umat beriman Katolik diperkaya dengan rahmat yang berlimpah:
Pertama, kita diberi santapan Sabda Tuhan - kebenaran Allah yang kekal, yang telah dinyatakan kepada kita dan ditulis di bawah ilham Roh Kudus. Kita kemudian menanggapi Sabda Tuhan dengan menyatakan Iman Katolik yang Kudus seperti yang diungkapkan dalam Syahadat Para Rasul, dengan mengatakan tidak saja AKU percaya “sebagai satu pribadi, melainkan aku percaya” sebagai bagian dari Gereja.
Kedua, jika kita berada dalam keadaan rahmat, maka kita beroleh kesempatan untuk menerima Kristus dalam Ekatisti Kudus. Dengan yakin kita percaya bahwa Kristus sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus, dan kita sungguh menerima Tubuh-Nya, Darah-Nya, Jiwa-Nya dan Keallahan-Nya dalam Komuni Kudus. Tidak saja Ekaristi Kudus mempersatukan kita secara intim mesra dengan Kristus, tetapi juga mempersatukan kita dengan saudara-saudara kita di seluruh Gereja universal dalam satu persekutuan. Ekaristi Kudus sungguh suatu karunia yang luar biasa agung!
Dengan pemahaman ini, jangan seorang pun berpikir bahwa menghadiri Misa hanyalah untuk memenuhi kewajiban. Ikut ambil bagian dalam Perayaan Misa merupakan suatu hak istimewa, dan karenanya semua umat beriman Katolik sepatutnya rindu untuk ambil bagian di dalamnya. Yang ada di benak kita janganlah “Aku wajib melakukannya”; melainkan, selayaknya kita berpikir “Aku rindu melakukannya.”
Namun demikian, karena Perayaan Misa menawarkan karunia yang begitu berharga, menyediakan kelimpahan rahmat yang luar biasa, dan mempersatukan kita semua sebagai satu Gereja, kita sungguh mempunyai kewajiban kudus untuk ikut ambil bagian di dalamnya.
Ingat bahwa perintah ketiga dalam Sepuluh Perintah Allah adalah, “Kuduskanlah hari Tuhan.” Bagi bangsa Yahudi, hari Sabat dalam Perjanjian Lama adalah hari Sabtu, sebagai tanda akan “hari istirahat” setelah penciptaan.
Bagi umat Kristiani, kita selalu menguduskan hari Minggu, hari kebangkitan Tuhan. Sama seperti penciptaan dimulai pada hari pertama dalam minggu dengan perintah Tuhan, “Jadilah terang,” demikian juga Kristus, sang Terang yang datang untuk menghalau kegelapan dosa dan maut, bangkit dari antara orang mati pada hari pertama dalam minggu, sebagai tanda akan ciptaan yang baru.
Mengingat betapa agungnya Misa dan juga seturut teladan Perjanjian Lama yang dengan tepat diteruskan oleh Gereja, Kitab Hukum Kanonik (CIC # 1246) menetapkan, “Pada hari Minggu menurut tradisi apostolik dirayakan misteri paskah, maka harus dipertahankan sebagai hari raya wajib yang primordial di seluruh Gereja.”
Lagipula, “Pada hari Minggu dan pada hari-hari raya wajib lainnya orang-orang beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam Misa.” (# 1247).
Oleh sebab itu, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Barangsiapa melalaikan kewajiban ini dengan sengaja, melakukan dosa berat.” (# 2181).
Paus Yohanes Paulus II juga mengulang kembali perintah gereja ini dalam surat apostolik Dies Domini (Menghormati dan Merayakan Hari Tuhan, # 47, 1998).
Tentu saja, ada situasi-situasi khusus di mana orang dibebaskan dari kewajiban merayakan Misa, misalnya, jika seseorang sakit, dalam keadaan gawat darurat, atau tidak dapat ikut serta dalam Misa tanpa menanggung suatu beban yang berat.
Seorang imam dapat juga memberikan dispensasi kepada seseorang dari kewajiban merayakan Misa oleh karena suatu alasan yang serius. Misalnya, tak seorang pun, termasuk Tuhan sendiri, mewajibkan seseorang merayakan Misa padahal orang tersebut sakit parah hingga tak mungkin pergi menghadiri Misa; tak ada keutamaan yang dapat diperoleh dengan memperburuk kondisi kesehatannya sendiri, sekaligus menulari orang-orang lain dalam Gereja.
Atau, dalam hal terjadi serangan badai, seseorang haruslah menimbang dengan bijaksana apakah ia dapat melakukan perjalanan dengan aman untuk merayakan Misa tanpa membahayakan dirinya sendiri sekaligus membahayakan nyawa orang lain. Ketika situasi-situasi sulit seperti itu terjadi, yang menghalangi seseorang merayakan Misa, maka orang tersebut wajib meluangkan waktu untuk berdoa, mendaraskan doa-doa dan membaca bacaan-bacaan Kitab Suci yang dibacakan pada hari itu, atau menyaksikan perayaan Misa di televisi dan setidak-tidaknya ikut ambil bagian dalam roh / semangat. Ingatlah bahwa ketika situasi-situasi sulit seperti di atas terjadi, orang tidaklah berdosa berat jika ia melewatkan Misa.
Dalam menimbang pertanyaan tersebut, orang haruslah merenungkan dengan sungguh akan betapa berharganya Misa dan Ekaristi Kudus. Setiap hari, umat beriman Katolik di Republik Rakyat Cina mengambil resiko kehilangan kesempatan dalam bidang pendidikan dan ekonomi, dan bahkan resiko kehilangan nyawa mereka sendiri agar dapat ikut ambil bagian dalam Misa. Di daerah-daerah misi, orang harus melakukan perjalanan bermil-mil jauhnya untuk merayakan Misa. Mereka rela mengambil resiko dan rela menanggung pengorbanan itu sebab mereka sungguh percaya akan Misa dan akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi Kudus.
Ketika seseorang dengan sengaja mengabaikan Misa untuk pergi shopping, menyelesaikan pekerjaan, tidur beberapa jam lebih lama, menghadiri pesta atau acara ramah-tamah, atau berekreasi, orang tersebut mengijinkan sesuatu mengambil alih tempat Tuhan. Sesuatu itu menjadi lebih berharga daripada Ekaristi Kudus.
Sayangnya, saya mengenal keluarga-keluarga yang dapat berjalan kaki saja ke Gereja, tetapi memilih untuk tidak ikut merayakan Misa; ironisnya, mereka menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Katolik. Ya, perilaku demikian sungguh mencerminkan sikap acuh tak acuh terhadap Tuhan dan dengan demikian orang melakukan dosa berat.
Tuhan haruslah mendapat tempat utama dalam hidup kita. Pada hari Minggu, kewajiban utama kita adalah beribadat kepada Tuhan dalam Misa Kudus sebagai suatu gereja dan kita akan diperkaya dengan rahmat-Nya.
The Didascalia, sebuah tulisan dari abad ketiga mendesak kita:
“Tinggalkan segala sesuatu pada Hari Tuhan dan dengan saleh bergegaslah menuju pertemuan jemaatmu, sebab itulah ibadatmu kepada Tuhan. Jika tidak, alasan apakah yang dapat mereka sampaikan kepada Tuhan, mereka yang tidak berkumpul bersama pada Hari Tuhan untuk mendengarkan Sabda Kehidupan dan menerima Santapan Ilahi yang tak akan berakhir selamanya?”
======
Katolik Mengubah Hari Sabat ke Hari Minggu?
(katolisitas.com)
Dikatakan dalam Kitab Keluaran “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (lih. Kel 20:8; bdk Ul 5:12; Yeh 20:20).
Yesus sendiri menyatakan “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Mat 5:17).
Kalau dalam PL dikatakan bahwa kita harus menguduskan hari Sabat dan Yesus tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat, maka mengapa sekarang umat Kristen secara umum beribadah pada hari Minggu?
A.
Tuhan memerintahkan hari Sabat sebagai hari Tuhan.
Sabat (Ibrani: shabbath) adalah dimulai dari hari Jumat sore (matahari terbenam) sampai Sabtu sore (matahari terbenam). Dan secara prinsip, Allah menginginkan manusia untuk menyembah-Nya secara khusus, karena Allah adalah Pencipta dan Pemelihara kehidupan. Sabat, hari ke tujuh dalam penciptaan, adalah hari khusus yang diberkati dan dikuduskan oleh Allah, karena Allah berhenti dari segala pekerjaan ciptaan yang telah dibuat-Nya (lih. Kej 2:2-3; Kel 20:11).
Karena Sabat adalah hari yang dikuduskan oleh Allah, maka Allah melarang umat-Nya untuk bekerja pada hari Sabat (Kel 20:9-11). Sabat merupakan tanda peringatan antara manusia dengan Allah dan menjadikannya perjanjian kekal (lih. Kel 31:13; Kel 31:16; Kel 31:17).
Lebih lanjut Allah juga memerintahkan untuk memelihara hari Sabat (Im 19:3, Im 19:30) dan yang melanggar hari Sabat dihukum mati (lih. Kel 31:14; Kel 31:15; Bil 15:32-36). Dari ayat-ayat tersebut di atas, dan masih banyak ayat-ayat yang lain, hari Sabat memang ditentukan oleh Tuhan sendiri yang harus dijalankan oleh umat-Nya secara turun-temurun.
B.
Perjanjian Baru Menggenapi dan Menyempurnakan Perjanjian Lama.
Kita masih mengingat bahwa Yesus sendiri beberapa kali berdebat dengan kaum Farisi yang memberikan beban yang tak tertanggungkan kepada manusia (Mat 23:4) dan kemudian Yesus menyatakan bahwa hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya (Mrk 2:27).
Yesus sendiri menyembuhkan orang pada hari Sabat dan membela muridnya ketika mereka mengambil makanan di ladang, dan Yesus mengutip tentang apa yang dilakukan oleh Daud (Mat 12:3; Mrk 2:25; Luk 6:3; Luk 14:5).
Lebih lanjut, Rasul Paulus menegaskan bahwa hari Sabat tidak mengikat umat Kristen (Kol 2:16; Gal 4:9-10; Rom 14:5-6). Demikian pula Rasul Yohanes menuliskan wahyu yang diterimanya pada hari Tuhan (Why 1:10).
Kebangkitan Tuhan adalah menjadi pokok iman Kristen dan kebangkitan Yesus terjadi pada hari Minggu, yang disebut sebagai hari pertama di dalam minggu (Luk 24:1).
Setelah kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus menampakkan diri dalam perjalanan ke Emmaus, dan melakukan pemecahan roti di depan murid-murid-Nya pada hari kebangkitan-Nya, yaitu hari Minggu, hari pertama minggu itu (Luk 24:13-35, Luk 24:1). Jemaat Kristen perdana yang non Yahudi merayakan hari Tuhan pada hari Minggu (Kis 20:7; 1 Kor 16:2).
Selanjutnya, maka perayaan Hari Tuhan bagi umat Kristen adalah hari Minggu yang dikatakan sebagai hari pertama di dalam minggu, dan bukan hari terakhir dalam minggu (bukan Sabat).
C.
Dasar dari Kitab Suci tentang Perayaan Hari Minggu sebagai Hari Tuhan.
Berikut ini adalah ayat-ayat Kitab Suci yang menjadi dasar ajaran Gereja untuk merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu, sebagaimana dipaparkan oleh Paus Beato Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya, Dies Domini:
20.
Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian terjadi pada “hari pertama setelah hari Sabat” (Mrk 16:2, 9; Luk 24:1; Yoh 20:1).
Pada hari yang sama, Tuhan yang bangkit menampakkan diri kepada dua orang murid ke Emaus (lih. Luk 24:13-35) dan kepada kesebelas Rasul yang berkumpul bersama (cf. Luk 24:36; Yoh 20:19).
Seminggu kemudian -seperti yang dihitung oleh Injil Yohanes (lih. Yoh 20:26)- para murid berkumpul kembali sekali lagi, ketika Yesus menampakkan diri kepada mereka dan membuat-Nya dikenali oleh Tomas, dengan memperlihatkan kepadanya tanda-tanda dari Sengsara-Nya.
Hari Pentakosta -hari pertama dari delapan minggu setelah Paska Yahudi (lih. Kis 2:1), ketika janji yang dibuat oleh Yesus kepada para Rasul setelah Kebangkitan-Nya digenapi dengan pencurahan Roh Kudus (lih. Luk 24:49; Kis1:4-5)- juga terjadi pada hari Minggu.
Ini adalah hari proklamasi yang pertama dan Baptisan yang pertama: Petrus mengumumkan kepada orang-orang yang berkerumun bahwa Kristus telah bangkit dan “mereka yang menerima sabda-Nya dibaptis” (Kis 2:41).
Ini adalah hari epifani Gereja, dinyatakan sebagai bangsa yang di dalamnya anak-anak Allah yang terpencar dikumpulkan dalam kesatuan, melampaui semua perbedaan mereka.
21.
Adalah untuk alasan ini maka sejak dari zaman para Rasul, “hari pertama setelah hari Sabat”, hari pertama minggu, mulai membentuk ritme kehidupan bagi para rasul Kristus (lih. 1Kor 16:2).
“Hari pertama setelah hari Sabat” adalah juga hari di mana jemaat di Troas berkumpul “untuk memecahkan roti”, ketika Paulus mengucapkan perpisahan dan secara mukjizat menghidupkan Eutikhus kembali (lih. Kis 20:7-12).
Kitab Wahyu memberikan bukti praktek untuk menyebut hari pertama minggu sebagai “Hari Tuhan” (Why 1:10). Ini kini menjadi sebuah ciri yang membedakan umat Kristen dari dunia di sekitar mereka… Dan ketika umat Kristen menyebut “Hari Tuhan”, mereka memberikan kepada istilah ini arti yang penuh dari pemberitaan Paskah: “Yesus Kristus adalah Tuhan” (Flp 2:11; lih. Kis 2:36; 1Kor 12:3).
Maka Kristus diberi gelar yang sama, yang oleh kitab Septuaginta biasanya digunakan untuk menerjemahkan apa yang dalam wahyu Perjanjian Lama adalah nama Tuhan yang melampaui segala ucapan: YHWH.
22.
Di masa Kristen awal, ritme mingguan dari hari-hari, umumnya tidak menjadi bagian kehidupan di kawasan di mana Injil tersebar, dan hari-hari perayaan kalender Yunani dan Romawi tidak bertepatan dengan hari Minggu-nya umat Kristen.
Maka, untuk umat Kristen, adalah sangat sulit untuk melaksanakan/ menerapkan Hari Tuhan pada suatu hari tertentu dalam setiap minggu. Hal ini menjelaskan mengapa umat beriman harus berkumpul sebelum matahari terbit.
Namun demikian kesetiaan terhadap ritme mingguan kemudian menjadi norma, sebab hal itu berdasarkan atas Perjanjian Baru dan berkaitan dengan wahyu Perjanjian Lama.
Ini sungguh digarisbawahi oleh para Apologist dan para Bapa Gereja dalam tulisan-tulisan dan khotbah mereka, di mana dalam mengatakan Misteri Paska, mereka menggunakan teks Kitab Suci yang sama, yang menurut kesaksian St. Lukas (lih. Luk 24:27, 44-47), Kristus yang bangkit sendiri telah menjelaskan kepada para murid. Menurut terang teks-teks ini, perayaan hari Kebangkitan tersebut memperoleh nilai doktrinal dan simbolis yang mampu menyatakan keseluruhan misteri Kristiani dalam segalanya yang baru.
23.
Adalah ke-baru-annya [Misteri Kristiani] ini yang dalam katekese abad-abad pertama ditekankan sebagaimana diarahkan untuk menunjukkan keutamaan hari Minggu dibandingkan dengan Sabat Yahudi.
Adalah di hari Sabat bangsa Yahudi harus berkumpul di sinagoga dan untuk beristirahat dengan cara yang ditentukan oleh hukum Taurat.
Para Rasul, secara khusus St. Paulus, pada awalnya terus hadir di sinagoga sehingga di sana mereka dapat mewartakan Yesus Kristus, menjelaskan “perkataan nabi-yang dibacakan setiap hari Sabat” (Kis 13:27).
Sejumlah komunitas [jemaat] melaksanakan Sabat sementara juga merayakan hari Minggu. Namun demikian, segera, kedua hari mulai dibedakan dengan lebih jelas, utamanya sebagai reaksi terhadap tuntutan sejumlah orang Kristen yang berasal dari kaum Yahudi, yang membuat mereka cenderung untuk mempertahankan kewajiban hukum Taurat yang lama ….
Pembedaan hari Minggu dari Sabat Yahudi bahkan bertumbuh lebih kuat dalam pemahaman Gereja, meskipun terdapat masa dalam sejarah, ketika, karena kewajiban istirahat Minggu begitu ditekankan, sehingga Hari Tuhan cenderung menjadi mirip dengan hari Sabat. Tambahan lagi, terdapat kelompok-kelompok dalam kalangan Kristen yang melakukan baik Sabat maupun Minggu sebagai “dua hari yang bersaudara.”
24.
Perbandingan hari Minggu Kristen dengan hari Sabat menurut visi Perjanjian Lama mendorong besarnya perhatian pandangan-pandangan teologis. Secara khusus, di sana timbul kaitan yang unik antara Kebangkitan dan Penciptaan.
Pandangan Kristen secara spontan menghubungkan Kebangkitan Kristus, yang terjadi “di hari pertama minggu itu”, dengan hari pertama dari hari kosmik (lih. Kej 1:1-24) yang membentuk kisah Penciptaan di Kitab Kejadian: hari penciptaan terang (lih. Kej 1:3-5).
Kaitan ini mengundang sebuah pemahaman Kebangkitan sebagai awal dari ciptaan yang baru, buah-buah sulung yang tentangnya Kristus yang mulia adalah, “yang sulung dari segala ciptaan” (Kol 1:15) dan “yang sulung dari antara orang mati” (Kol 1:18).
25.
Akibatnya, hari Minggu adalah hari di atas semua hari yang lain, yang memanggil umat Kristen untuk mengingat keselamatan yang diberikan kepada mereka dalam Baptisan dan yang telah membuat mereka baru di dalam Kristus.
“…Dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati… (Kol 2:12; lih. Rom 6:4-6).
Liturgi menggarisbawahi dimensi baptis dari hari Minggu, baik dengan menyebutnya sebagai perayaan baptisan- sebagaimana pada Malam Paska- pada suatu hari dalam minggu “ketika Gereja memperingati Kebangkitan Tuhan”, dan dengan menganjurkan pemercikan air suci sebagai ritus tobat yang layak di awal Misa, yang mengingatkan akan saat Baptisan yang melaluinya lahirlah semua kehidupan Kristiani.” (Paus Yohanes Paulus II, Dies Domini, 20-25)
D.
Dasar dari Tradisi Suci: Ajaran para Bapa Gereja.
Memang pada awalnya, sejumlah para murid merayakan ibadah pada hari Sabat dan hari Minggu, namun segera di zaman Gereja awal jemaat telah beribadah pada hari Minggu untuk memperingati dan merayakan hari Kebangkitan Kristus, sebagai penggenapan makna hari Sabat Perjanjian Lama.
Demikianlah, para Bapa Gereja membandingkan hukum Sabat dengan hukum sunat; dan seperti halnya para Rasul tidak lagi memberlakukan sunat (Kis 15, Gal 5:1-6) demikian pula halnya dengan Sabat.
Ibadah pada hari Minggu telah dilakukan oleh jemaat perdana, sebagaimana diketahui dari tulisan-tulisan para Bapa Gereja:
1. Didache (70)
“Tetapi setiap hari Tuhan…. berkumpullah kamu bersama dan pecahkanlah roti, dan mengucap syukurlah setelah mengakukan dosa-dosamu, supaya kurbanmu menjadi murni. Tetapi jangan ada seorang yang berselisih dengan sesama saudara yang datang bersama denganmu, sebelum mereka berdamai, supaya kurbanmu tidak menjadi profan.” (Didache 14)
2. St. Barnabas (74)
“Kami merayakan hari kedelapan (Minggu) dengan sukacita, yaitu hari di mana Yesus bangkit dari kematian.” (Letter of Barnabas 15:6–8)
3. St. Ignatius dari Antiokhia (35-107)
Dalam suratnya kepada jemaat di Magnesia, St. Ignatius mengatakan: “Jika mereka yang hidup di keadaan terdahulu harus datang menuju pengharapan yang baru, dengan tidak lagi menerapkan hari Sabat tetapi melestarikan Hari Tuhan, [yaitu] pada hari hidup kita telah muncul melalui Dia dan kematian-Nya …., rahasia/ misteri itu, yang darinya kita menerima iman kita, dan di dalamnya kita berteguh agar dapat dinilai sebagai para murid Kristus, Pemilik kita satu-satunya, bagaimana mungkin kita lalu dapat hidup tanpa-Nya, sedangkan faktanya, para nabi juga, sebagai para murid-Nya di dalam Roh Tuhan, menantikan Dia sebagai Pemilik [mereka]?” (St. Ignatius, To the Magnesians 9, 1-2: SC 10, 88-89.)
4. St. Yustinus Martir (150-160)
“Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan- tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengijinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata- kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal- hal yang baik tersebut.
Lalu kami semua berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa- doa dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan (persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan, dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia (pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan.
Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, …. telah menciptakan dunia; dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati. Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada hari setelah hari Saturnus itu, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal- hal ini…..” (St. Justin, First Apology, ch. 67)
5. Tertullian (203)
“… Sebab jika sunat memurnikan seseorang, karena Tuhan menciptakan Adam tak disunat, mengapa Ia tidak menyunatkan Adam setelah ia berdosa, jika sunat memurnikan?… Maka karena Tuhan menciptakan Adam tak disunat dan tak menerapkan Sabat, demikian juga Habel, yang mempersembahkan kurban, juga tak disunat dan tak menerapkan Sabat, namun dipuji oleh Tuhan (lih. Kej 4:1-7, Ibr 11:4)… juga Nuh, tak disunat, dan tak menerapkan Sabat, Tuhan membebaskannya dari air bah.
Sebab Henokh juga, orang yang paling benar, tidak disunat dan tak menerapkan Sabat, diangkat dari dunia, yang tidak mengalami kematian, menjadi kandidat bagi kehidupan kekal, ia menunjukkan kepada kita bahwa kita juga dapat, tanpa beban hukum Musa, berkenan kepada Tuhan” (Tertullian, An Answer to the Jews 2)
6.Teks Didascalia (abad ke-3)
“Para Rasul selanjutnya menentukan: Pada hari pertama dalam minggu, biarlah diadakan ibadah, dan pembacaan Kitab Suci, dan kurban (kurban Misa), sebab pada hari pertama minggu [hari Minggu] Tuhan kita bangkit dari tempat orang mati, dan di hari pertama minggu Ia bangkit ke atas dunia, dan di hari pertama minggu, Ia naik ke Surga, dan di hari pertama minggu Ia akan datang kembali di akhir nanti dengan para malaikat surgawi.” (Didascalia, II)
“Tinggalkan segala sesuatu pada Hari Tuhan…, dan berlarilah dengan rajin kepada Ibadahmu, sebab itu adalah pujian bagi Tuhan. Jika tidak, dalih apakah yang mereka buat di hadapan Tuhan, mereka yang tidak bersekutu pada Hari Tuhan untuk mendengarkan sabda kehidupan dan makan santapan rohani yang bertahan selamanya?” (Didascalia, II, 59, 2-3: ed. F. X. Funk, 1905, pp. 170-171.)
7. Pernyataan para martir di zaman Diocletian (sekitar tahun 303)
Di zaman penganiayaan Diocletian di sekitar tahun 303, perkumpulan jemaat dilarang dengan keras, namun banyak di antara mereka dengan berani menentang dekrit kerajaan Roma, dan menerima kematian daripada kehilangan kesempatan mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu, sebagaimana disebutkan oleh St. Yustinus sebagai “Ibadah Minggu/ the Sunday Assembly“. Inilah yang terjadi pada para martir di Abitinam di Prokonsular Afrika, yang menjawab demikian kepada para penganiaya mereka: “Tanpa takut apapun kami merayakan Perjamuan Tuhan, sebab hal itu tak dapat dilewati, itu adalah hukum kami; Kami tak dapat hidup tanpa Perjamuan Tuhan.” Salah satu dari para martir itu mengatakan, “Ya, saya pergi ke Ibadah, dan merayakan Perjamuan Tuhan, dengan saudara-saudariku, sebab aku seorang Kristen.” (Acta SS. Saturnini, Dativi et aliorum plurimorum Martyrum in Africa, 7, 9, 10: PL 8, 707, 709-710.)
8. Eusebius dari Kaisarea (312)
“Mereka [para orang kudus di zaman awal Perjanjian Lama] tidak melakukan sunat tubuh, demikian pula kita [umat Kristen]. Mereka tidak menerapkan Sabat, demikian juga kita. Mereka tidak pantang jenis-jenis makanan tertentu, juga mereka tidak membedakan hal-hal lain yang disampaikan oleh Musa untuk diturunkan sebagai simbol-simbol; demikian pula, umat Kristen di masa sekarang tidak melakukan hal-hal itu.” (Eusebius, Church History 1:4:8)
“Hari terang-Nya (Kristus) … adalah hari kebangkitan-Nya dari mati, yang… adalah satu-satunya dan hari yang sungguh kudus dan hari Tuhan, lebih baik daripada hari apapun yang umumnya kita pahami, dan lebih baik dari hari-hari yang dikhususkan oleh hukum Musa untuk perayaan-perayaan, bulan baru, dan Sabat, yang dikatakan oleh Rasul Paulus sebagai bayangan dari hari-hari … [bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus (Kol 2:17)] (Proof of the Gospel 4:16:186)
9. St. Athanasius (345)
“Hari Sabat adalah akhir dari penciptaan yang pertama, sedangkan hari Tuhan adalah awal dari penciptaan yang kedua, di mana Ia memperbaharui dan memperbaiki yang lama, dengan cara yang sama seperti Ia menentukan bahwa mereka harus menerapkan Sabat sebagai peringatan akan akhir dari penciptaan pertama, maka kita menghormati hari Tuhan sebagai peringatan akan penciptaan yang baru.” (St. Athanasius, On Sabbath and Circumcision 3)
10. St. Sirilus dari Yerusalem (Catechetical Lectures 4:37)
“Jangan kamu jatuh ke sekte Samaria atau sekte Judaisme, sebab Yesus Kristus telah menebus kamu. Hindarilah pelaksanaan Sabat dan menyebut daging apapun sebagai halal atau haram” (Catechetical Lectures 4:37)
11. St. Basil (329-379)
St. Basilus menjelaskan bahwa hari Minggu melambangkan hari yang sungguh-sungguh satu-satunya yang akan sesuai dengan saat ini, suatu hari tanpa akhir yang tidak mengenal senja maupun pagi, suatu masa yang tak akan punah, yang tak akan menjadi tua; Minggu adalah nubuat kehidupan tanpa akhir yang memperbarui pengharapan umat Kristen dan menguatkan mereka di sepanjang jalan mereka. (St. Basil, Cf. On the Holy Spirit, 27, 66: SC 17, 484-485)
12. Konsili Laodikia (360)
“Orang-orang Kristen jangan menjadi kaum Yahudi dan tidak melakukan apa-apa pada hari Sabat, tetapi harus bekerja pada hari itu; namun demikian, mereka harus, secara khusus menghormati hari Tuhan, dan jika mungkin, tidak bekerja pada waktu itu, sebab mereka adalah orang-orang Kristen.” (Canon 29)
13. St. Hieronimus (347-420)
“Sunday is the day of the Resurrection, it is the day of Christians, it is our day, Hari Minggu adalah hari Kebangkitan [Kristus], hari itu adalah hari umat Kristen, itu adalah hari kita.” (St. Jerome, In Die Dominica Paschae II, 52: CCL 78, 550.)
14. St. Yohanes Krisostomus (387)
“Ketika Ia [Tuhan] bersabda, “Jangan membunuh…” Ia tidak menambahkan, “sebab pembunuhan adalah sesuatu yang jahat.” Alasannya adalah bahwa hati nurani telah mengajarkan ini sebelumnya, dan maka Ia berkata, seperti kepada mereka yang tahu dan mengerti hal ini.
Maka ketika Ia bersabda tentang perintah yang lain, yang tidak diketahui oleh kita melalui hati nurani, Ia tidak hanya melarang tetapi memberikan alasannya.
Ketika, contohnya, Ia memberi perintah tentang Sabat, “Pada hari ketujuh, janganlah kamu bekerja”- Ia menerangkan pula alasannya mengapa demikian. Apakah ini? “Sebab pada hari ketujuh Tuhan beristirahat dari semua pekerjaan-Nya yang telah Ia lakukan” (lih. Kej 20:10-11) … Sebab untuk maksud apa, aku bertanya, Ia menambahkan alasan untuk menghormati Sabat, tetapi tidak melakukannya ketika melarang pembunuhan?
Sebab perintah ini bukanlah merupakan perintah-perintah yang terpenting. Itu tidak termasuk perintah yang secara akurat ditentukan oleh hati nurani kita, tetapi sesuatu yang partial dan sementara, dan karena itu tidak diberlakukan kemudian.
Tetapi perintah-perintah yang penting dan mendukung kehidupan kita adalah berikut ini: “Jangan membunuh… jangan berbuat zinah…. jangan mencuri.” Pada hal ini, Ia tidak menambahkan alasan, atau memberikan instruksi apapun tentang hal itu, tetapi sudah cukup dengan larangan yang apa adanya (bare).” (St. John Chrysostom, Homilies on the Statutes 12:9)
“Kamu telah mengenakan Kristus, kamu telah menjadi anggota Tuhan dan telah termasuk dalam kota surgawi, dan kamu masih tunduk takut dalam hukum itu [hukum Musa]?
Bagaimana mungkin kamu mencapai Kerajaan Allah? Dengarkanlah perkataan Rasul Paulus, bahwa pelaksanaan hukum Musa mengabaikan Injil, dan pelajarilah, jika kamu mau, bagaimana hal ini dapat terjadi, dan gemetarlah dan hindarilah jebakan ini. Mengapa kamu menerapkan Sabat dan berpuasa dengan orang- orang Yahudi?” (St. John Chrysostom, Homilies on Galatians 2:17)
“Ritus sunat dihormati dalam ketentuan Yahudi, …. dan Sabat lebih rendah tingkatannya dari sunat… Ini [sunat] dianggap lebih agung daripada Sabat, sebab tidak dihapuskan pada waktu-waktu tertentu. Maka ketika sunat tidak dilakukan lagi, terlebih lagi Sabat.” (St. John Chrysostom, Homilies on Philippians 10)
15. Konstitusi Apostolik (400)
“Dan pada hari kebangkitan Tuhan yaitu Hari Tuhan, berkumpullah dengan rajin, memuji Tuhan yang oleh Kristus menciptakan alam semesta, dan mengutus-Nya kepada kita, dan dengan rela membiarkan Ia menderita, dan membangkitkan-Nya dari kematian. Kalau tidak, pembelaan apa yang akan Ia buat kepada Allah, bagi mereka yang tidak bersekutu pada hari itu [hari Tuhan]… yang di dalamnya dibacakan bacaan dari para nabi, pewartaan Injil dan kurban penebusan, karunia makanan yang kudus…” (Apostolic Constitutions 2:7:60)
16. St. Agustinus (354-430)
St. Agustinus, juga mengajarkan tentang hari Minggu sebagai Hari Tuhan, sebagai berikut: “Oleh karena itu, Tuhan juga telah menempatkan meterai-Nya pada hari-Nya, yang adalah hari ke-tiga setelah Sengsara-Nya.
Namun demikian, dalam siklus mingguan, hari itu [Minggu] adalah hari ke-delapan setelah hari ke-tujuh, yaitu hari setelah hari Sabat, dan hari yang pertama dalam minggu.” (St. Augustine, Sermon 8 in the Octave of Easter 4: PL 46, 841.)
“Sekarang, … manakah di antara kesepuluh perintah ini, kecuali pelaksanaan Sabat, yang harus tidak dilakukan oleh seorang Kristen… Manakah dari perintah-perintah ini yang orang katakan umat Kristen harus tidak melaksanakannya? … Bukanlah hukum yang ditulis di atas kedua loh batu itu yang dijabarkan oleh Rasul Paulus sebagai ‘hukum tertulis yang mematikan’ (2Kor 3:16), tetapi hukum sunat dan ritus-ritus lainnya yang kini tidak berlaku.” (St. Agustinus, The Spirit and the Letter 24)
Dalam pengajarannya tentang akhir zaman, yang menggenapi simbolisme akhir dari hari Sabat, St. Agustinus menyimpulkan hari akhir itu sebagai, “kedamaian dari ketenangan, kedamaian Sabat, sebuah kedamaian tanpa senja.” (St. Augustine, Confession, 13, 50: CCL 27, 272.) Dengan merayakan hari Minggu, baik sebagai hari pertama dan hari kedelapan, umat Kristiani diarahkan kepada tujuan akhir kehidupan kekal. (cf. St. Augustine, Epistle. 55, 17: CSEL 34, 188)
17. St. Gregorius Agung (597)
“Telah sampai ke telingaku bahwa orang- orang tertentu dengan roh yang menyimpang telah menebarkan di antara kamu sesuatu yang salah dan berlawanan dengan iman yang kudus, dengan melarang pekerjaan apapun untuk dilakukan pada hari Sabat.
Dengan apakah aku akan menyebut orang-orang ini selain pengkhotbah antikristus, yang ketika datang akan menyebabkan hari Sabat seperti hari Tuhan, harus dibebaskan dari semua pekerjaan. Sebab ia [sang Antikristus] berpura-pura mati dan bangkit lagi, ia menghendaki agar hari Tuhan dihormati; dan karena ia mengharuskan orang-orang untuk menjadi Yahudi, supaya ia mengembalikan lagi ritus hukum Musa, dan untuk menundukkan pengkhianatan kaum Yahudi, ia menghendaki hari Sabat untuk diterapkan.
Sebab ini yang dikatakan nabi, “Janganlah membawa barang-barang melalui pintu-pintu gerbang kota ini pada hari Sabat (Yer 17:24) dapat dipegang sepanjang itu diperbolehkan oleh hukum untuk dilakukan sesuai dengan apa yang tertulis. Tetapi setelah itu, rahmat Allah yang mahabesar, Tuhan kita Yesus Kristus, telah muncul, perintah-perintah hukum yang dikatakan secara figuratif tidak dapat dilakukan sesuai dengan apa yang tertulis.
Sebab jika barangsiapa mengatakan bahwa ini tentang Sabat adalah harus dilakukan, ia harus juga mengatakan bahwa kurban-kurban binatang juga harus dilakukan. Ia juga harus berkata juga, bahwa perintah tentang sunat tubuh harus juga dipertahankan. Tetapi biarlah ia mendengar Rasul Paulus berkata menentang dia: “Jika kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu (Gal 5:2)” (St. Gregory the Great, Letters 13:1)
Maka menurut Paus Yohanes Paulus II, mengutip pengajaran para Bapa Gereja di atas: “Maka, lebih dari “penggantian” bagi hari Sabat, hari Minggu adalah penggenapannya, dan dalam arti tertentu adalah kelanjutannya dan ekspresi yang penuh dalam pengungkapan sejarah keselamatan menurut ketentuan, yang mencapai puncaknya di dalam Kristus.” (Paus Yohanes Paulus II, Surat Apostolik, Dies Domini, 59).
Tak mengherankan jika Konsili-konsili para Uskup pun menetapkan bahwa hari Minggu adalah hari Ibadah bagi umat Kristen, dimulai dari Konsili Elvira (300), Konsili Laodikia (abad ke-4), Konsili Orleans (538).
Dasar dari ajaran Magisterium Gereja Katolik
Berikut ini adalah apa yang diajarkan oleh Katekismus Gereja Katolik tentang hari Sabat dan Hari Tuhan:
KGK 2168
Perintah ketiga dari dekalog menekankan kekudusan Sabat. “Hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, hari kudus bagi Tuhan” (Kel 31:15).
KGK 2169
Dalam hubungan ini, Kitab Suci mengenangkan perbuatan penciptaan: “Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (Kel 20:11).
KGK 2170
Alkitab melihat dalam hari Tuhan juga satu peringatan akan pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir: “Sebab haruslah kau ingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu, dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya Tuhan, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat” (Ul 5:15).
KGK 2171
Allah telah percayakan Sabat kepada Israel supaya ia mematuhinya sebagai tanda perjanjian yang tidak dapat diputuskan (Bdk. Kel 31:16). Sabat itu untuk Tuhan; ia telah dikhususkan dan ditahbiskan untuk memuja Allah, karya penciptaan-Nya dan karya-karya penyelamatan-Nya untuk Israel.
KGK 2172
Perbuatan Allah adalah contoh untuk perbuatan manusia. Allah berhenti pada hari ketujuh dan “beristirahat” (Kel 31:17). karena itu, manusia harus berhenti pada hari ketujuh dan orang lain, terutama orang miskin dapat “melepaskan lelah” (Kel 23:12). Sabat menghentikan sebentar pekerjaan sehari-hari dan memberi istirahat. Itulah hari protes terhadap kerja paksa dan pendewaan uang (Bdk. Neh 13:15-22; 2 Taw 36:21).
KGK 2173
Injil memberitakan kejadian-kejadian, di mana Yesus dipersalahkan karena Ia melanggar perintah Sabat. Tetapi Yesus tidak pernah melanggar kekudusan hari ini (Bdk. Mrk 1:21; Yoh 9:16). Dengan wewenang penuh Ia menyatakan artinya yang benar: “Hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:2). Dengan penuh belas kasihan Kristus menuntut hak, supaya melakukan yang baik daripada yang jahat dan menyelamatkan kehidupan daripada merusakkannya pada hari Sabat (Bdk. Mrk 3:4)..
Hari Sabat adalah hari Tuhan yang penuh kasih dan penghormatan Allah (Bdk. Mat 12:5; Yoh 7:23). “Jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2:28).
KGK 2174
Yesus telah bangkit dari antara oang mati pada “hari pertama minggu itu” (Mat 28:1; Mrk 16:2; Luk 24:1; Yoh 20:1). Sebagai “hari pertama”, hari kebangkitan Kristus mengingatkan kita akan penciptaan pertama. Sebagai “hari kedelapan” sesudah hari Sabat Bdk. Mrk 16:1; Mat 28:1, ia menunjuk kepada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi warga Kristen, ia telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, “hari Tuhan” [he kyriake hemera, dies dominica], “hari Minggu”.
“Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus. Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini” (Yustinus, apol. 1,67).
KGK 2175
Hari Minggu jelas berbeda dari hari Sabat, sebagai gantinya ia – dalam memenuhi perintah hari Sabat – dirayakan oleh orang Kristen setiap minggu pada hari sesudah hari Sabat. Dalam Paska Kristus, hari Minggu memenuhi arti rohani dari hari Sabat Yahudi dan memberitakan istirahat manusia abadi di dalam Allah. Tatanan hukum mempersiapkan misteri Kristus dan ritus-ritusnya menunjukkan lebih dahulu kehidupan Kristus Bdk. 1Kor 10:11.
“Kalau mereka yang berjalan-jalan di dalam kebiasaan lama sampai kepada harapan baru dan tidak lagi menaati hari Sabat, tetapi hidup menurut hari Tuhan, pada hari mana kehidupan kita juga diberkati melalui Dia dan kematian-Nya… bagaimana kita dapat hidup tanpa Dia?” (Ignasius dari Antiokia, Magn. 9, 1).
KGK 2176
Perayaan hari Minggu berpegang pada peraturan moral, yang dari kodratnya telah ditulis dalam hati manusia: memberikan kepada Allah “satu penghormatan yang tampak, yang resmi dan yang teratur sebagai peringatan akan perbuatan baik dan umum, yang menyangkut semua manusia” (Tomas Aqu., Summa Theology. 2-2,122,4). Perayaan hari Minggu memenuhi perintah yang berlaku dalam Perjanjian Lama, yang mengambil irama dan artinya di dalam perayaan setiap minggu akan Pencipta dan Penebus umat-Nya.
E.
Kesimpulan
Dari keterangan tersebut di atas, kita melihat bahwa adalah Allah sendiri, yang menghendaki Gereja-Nya merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu.
Gereja Katolik, yang berpegang kepada ajaran para Rasul, hanya mengikuti apa yang difirmankan oleh Allah dalam Perjanjian Baru, sebagai penggenapan dan penyempurnaan Perjanjian Lama. Karena makna Kebangkitan Kristus menggenapi makna penciptaan, maka kita tidak lagi merayakan hari terakhir penciptaan, namun hari pertama penciptaan, karena di dalam Kristus, melalui Pembaptisan, umat Kristen dijadikan ciptaan yang baru. Dan karena Kebangkitan Kristus terjadi pada hari Minggu, maka kita merayakan Hari yang menjadikan kita ciptaan baru yang menggabungkan kita menjadi anggota Kristus itu, sebagai Hari Tuhan.
Inilah yang menjadi tanda bahwa kita adalah umat Kristen, yaitu kita telah dijadikan anggota Kristus, karena Kebangkitan-Nya.
Maka hal menjadikan hari Minggu sebagai Hari Tuhan, telah lama dilaksanakan oleh jemaat perdana sebelum zaman Konstantin di abad ke-4.
Mari kita bersama-sama mensyukuri akan karunia hari Minggu, hari bagi umat Kristen untuk beribadah kepada Tuhan secara khusus.
Namun kita juga dipanggil untuk beribadah setiap hari, dengan ucapan syukur dan senantiasa mengingat Yesus Tuhan kita dan mengikutsertakan Dia dalam kehidupan kita sehari-hari. Terpujilah Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar