HPN 2018
Menyambut Perayaan Hari Pers Nasional 2018, yang dipusatkan di Padang, Sumatera Barat:
"Local wisdom" dua pendiri Harian Kompas tentang jurnalisme dan falsafah yang dianut oleh para wartawan mereka dalam bertindak.
NB:
1.
Sketsa Historiografi HPN.
PERINGATAN Hari Pers Nasional (HPN) setiap tanggal 9 Februari didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.
Keputusan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 itu menyebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Akan tetapi, sebelum keputusan itu, HPN telah digodok sebagai salah satu butir keputusan Kongres ke-28 Persatuan Wartawan (PWI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1978.
Kesepakatan tersebut, tak terlepas dari kehendak masyarakat pers untuk menetapkan satu hari bersejarah untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.
Pada sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung tanggal 19 Februari 1981, kehendak tersebut disetujui oleh Dewan Pers untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah sekaligus menetapkan penyelenggaraan Hari Pers Nasional.
Lebih jauh, HPN tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah mengenai peran penting wartawan sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Sebagai akivis pers, wartawan bertugas dalam pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional serta sebagai aktivis politik yang menyulut perlawanan rakyat terhadap kemerdekaan.
Peran ganda tersebut tetap dilakukan wartawan hingga setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bahkan, pers kemudian mempunyai peran strategis dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Pada 1946, aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia kemudian beroleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Lahirnya PWI di tengah situasi perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan, serta integritas bangsa dan negara.
Kehadiran PWI juga diharapkan mampu menjadi tombak perjuangan nasional menentang kembalinya konolialisme dan dalam menggagalkan negara-negara boneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.
Sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Hadir dari kesadaran itu, pada 6 Juni 1946 di Yogyakarta, tokoh-tokoh surat kabar dan tokoh-tokoh pers nasional berkumpul untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS).
SPS menyerukan agar barisan pers nasional perlu segera ditata dan dikelola baik dalam segi ide serta komersialnya. Hal itu mengingat bahwa pada kala itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.
Jika ditilik lebih jauh, sebetulnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya telah ada empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946. Karena kesamaan itulah, banyak orang yang kemudian menjuluki SPS dan PWI sebagai “kembar siam”.
Pada 9-10 Februari itulah, wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Mereka datang dari beragam kalangan wartawan, seperti pemimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan.
Dari pertemuan besar pertama itu, mereka berhasil memutuskan beberapa poin di antaranya :
(a) menyetujui dibentuknya PWI yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarto Tjokrosisworo,
(b) membentuk 8 komisi yang bertugas merumuskan hal ihwal persurat-kabaran nasional serta usaha koordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional dengan satu tujuan, yaitu ”Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.”
Kemudian, komisi 10 orang tersebut dinamakan ”Panitia Usaha”.
Baru setelah 26 tahun, pengalaman pers nasional dan kesulitan di bidang percetakan kemudian melahirkan Serikat Grafika Pers (SGP) pada pertengahan tahun 1960-an. Kesulitan semakin mencekik ketika kemerosotan peralatan cetak dalam negeri digempur kecanggihan teknologi mutakhir luar negeri.
Kelimpungan dengan hal itu, tergeraklah keinginan untuk meminta pemerintah ikut mengatasi kesulitan tersebut untuk memperbaiki keadaan pers nasional dan berkontribusi dalam pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers. Hingga akhirnya, pada Januari 1968 dilayangkan nota permohonan kepada Presiden Soeharto.
Menanggapi hal itu, pemerintah mengesahkan Undang-Undang penanaman modal dalam negeri yang menyediakan fasilitas keringanan pajak dan bea masuk serta dimasukkannya grafika pers dalam skala prioritas telah memacu berdirinya usaha-usaha percetakan baru.
Menyusul berbagai kegiatan persiapan, berlangsunglah Seminar ke-1 Grafika Pers Nasional pada Maret 1974 di Jakarta. Kemudian, keinginan untuk membentuk wadah grafika pers SGP terwujud pada 13 April 1974.
Persatuan Perusahaan periklanan Indonesia (P3I) ditetapkan sebagai anggota organisasi pers nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers.
Penetapan tersebut, disusul bahwa bidang usaha (aspek komersial) periklanan berada di bawah pembinaan Departemen perdagangan dan Koperasi sedangkan bidang operasionalnya (aspek idenya) ditempatkan dalam pembinaan Departemen Penerangan.
Pers selalu mengalami dinamika permasalahannya dari masa ke masa. Bukan saja pada masa Orde Baru, namun juga sebelum Orde Baru hingga saat ini mulai dari belenggu kolonialisme hingga kebebasan pers yang dibungkam. Maka dari itu, diharapkan, melalui peringatan HPN, insan pers dan masyarakat sudah seharusnya senantiasa berbenah dan mewujudkan cita-cita Indonesia.
2.
KILAS BALIK:
"SERUAN PASTORAL KWI MENYAMBUT PILKADA SERENTAK"
PILKADA YANG BERMARTABAT
SEBAGAI PERWUJUDAN KEBAIKAN BERSAMA
Saudara-saudari yang terkasih.
Bangsa kita akan menyelenggarakan Pilkada serentak di banyak daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Melalui Pilkada kita memilih pemimpin daerah yang akan menduduki jabatan hingga lima tahun ke depan.
Marilah kita jadikan Pilkada sebagai sarana dan kesempatan untuk memperkokoh bangunan demokrasi dan upaya nyata mewujudkan kebaikan bersama.
Sikap ini dianjurkan oleh ajaran Gereja: “Hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum” (Gaudium et Spes 75).
Oleh karena itu, kita harus berpartisipasi dalam Pilkada dengan penuh tanggungjawab berpegang pada nilai-nilai kristiani dan suara hati.
Saudara-saudari yang terkasih,
Selain berharap, kita juga terpanggil untuk ikut bertanggungjawab agar Pilkada berjalan dengan bermartabat dan berkualitas.
Sebagai bentuk dukungan dan partisipasi yang optimal terhadap Pilkada, kita perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
A.
Ikutlah mengawal proses Pilkada.
Bersama warga masyarakat kita mengawal Pilkada agar berjalan dengan damai dan sesuai dengan amanat undang-undang.
Hal penting dalam proses Pilkada yang perlu dikawal adalah tersedianya fasilitas yang memadai bagi berlangsungnya hubungan pengenalan secara timbal balik antara calon dengan pemilih dan kepastian bagi setiap warga negara untuk menggunakan hak memilih secara Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan Jurdil (Jujur, Adil).
Proses Pilkada yang damai menjadi syarat penting yang harus dikawal semua pihak. Jangan sampai terjadi kekerasan dalam bentuk apapun, baik secara terbuka maupun terselubung.
Apabila kekerasan terjadi, damai dan rasa aman tidak akan mudah dipulih-kan. Kita perlu waspada terhadap berbagai upaya untuk memecah belah dalam proses Pilkada. Kedamaian dan persatuan tidak boleh dikorbankan demi target politik tertentu dalam Pilkada.
B.
Mengantisipasi munculnya masalah dan ancaman.
Hal-hal yang berpotensi menimbulkan masalah dan harus diantisipasi adalah: pertama, siasat politik yang tidak sehat atau menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.
Kedua, kemampuan dan integritas penyelenggara Pilkada (KPU dan PANWASLU).
Proses Pemilu terdahulu memberi bukti ada penyelenggara Pemilu yang tersangkut masalah dan membuat masalah karena tidak netral bahkan ikut memanipulasi suara.
Pelanggaran yang berpotensi menimbulkan masalah harus diantisipasi bersama dan harus ada penegakkan hukum yang adil dan efektif untuk memberi jaminan terselenggaranya Pilkada yang berkualitas dan bermartabat.
Apabila Pilkada telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan undang-undang, hendaknya kita rela menerima hasilnya dan siap memberikan dukungan untuk menjadi pemimpin bagi seluruh warga masyarakat.
Segala perbedaan pendapat dan pilihan politik, hendaknya berhenti saat kepala daerah hasil Pilkada dilantik.
C.
Pilihlah dengan cerdas dan bertanggungjawab.
Gereja hendaknya mendorong umat untuk menggunakan hak dengan berpartisipasi dalam Pilkada dan memastikan tidak membawa lembaga Gereja masuk ke dalam politik praktis. Setiap warga negara yang telah memiliki hak suara harus ikut terlibat menentukan dan memilih siapa yang akan menjadi pemimpin daerah melalui mekanisme yang telah ditentukan oleh peraturan dan undang-undang yang berlaku.
Ikut memilih dalam Pilkada merupakan hak dan panggilan sebagai warga negara.
Dengan ikut memilih berarti kita ambil bagian dalam menentukan arah perjalanan dan kelangsungan kehidupan daerahnya.
Oleh karena itu, penting disadari bahwa pemilih tidak saja memberikan suara, melainkan menentukan pilihan dengan cerdas, bertanggungjawab, dan sesuai dengan suara hati. Kita yang punya hak suara janganlah Golput!
D.
Pahamilah kriteria pilihan dan kiat dalam memilih dengan tepat.
Para calon pemimpin daerah yang akan kita pilih harus dipastikan orang bijak, yang menghayati nilai-nilai agamanya dengan baik dan benar, peduli terhadap sesama, berpihak kepada rakyat kecil, cinta damai dan anti kekerasan serta peduli pada pelestarian lingkungan hidup.
Calon pemimpin daerah yang jelas-jelas berwawasan sempit, cenderung mementingkan kelompok, terindikasi bermental koruptif dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan jangan dipilih.
Hati-hatilah supaya kita tidak terjebak dan ikut dalam politik uang yang dilakukan calon untuk mendapatkan dukungan suara. Penting untuk kita ingat bahwa politik uang bertentangan dengan ajaran Kristiani dan merusak asas-asas demokrasi.
E.
Berdoalah untuk pelaksanaan Pilkada.
Marilah kita mengiringi proses pelaksanaan Pilkada dengan doa. Kita memohon berkat Tuhan agar Pilkada berlangsung dengan damai dan menghasilkan pemimpin daerah yang berintegritas serta mau berjuang keras memperhatikan rakyat demi terwujudnya kesejahteraan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar