Ads 468x60px

PARA MARTIR KOPTIK: TIGA TAHUN DALAM KENANGAN KEMARTIRAN



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
PARA MARTIR KOPTIK:
TIGA TAHUN DALAM KENANGAN KEMARTIRAN
Minggu (15/2/2015) - Kamis (15/2/2018).
Otoritas Libya secara resmi memberitakan bahwa mereka telah menemukan pada hari Jumat Pertama, 6 Okt lalu, tubuh dari 21 warga Mesir Koptik yang dipenggal kepalanya tahun 2015 oleh ISIS (Daesh) di pesisir pantai dari kota Sirte.
Bukan itu saja, telah ditemukan pula kepala-kepala yang dipenggal bersebelahan dengan tubuh mereka. Sekarang tengah dilakukan tes DNA untuk mengidentifikasi satu per satu para korban terorisme ini.
Akhirnya.....
Kekerasan yang sudah terjadi semoga bukan cuma cerita yang sesak dengan banyak keharuan pilu dan rintihan kelu.
Disana, semoga kita juga masih mendengar harapan iman dan kasih yang tumbuh:
Bahwa manusia pada dasarnya baik
Bahwa manusia diciptakan dengan nurani dan roh imani.
Bahwa ada yang tak mudah lapuk dalam diri manusia
Bahwa ada sesuatu yang berharga dan khas surga
Bahwa manusia itu baik dan menghasrati kebaikan.
Bahwa seperti dikatakan oleh Jürgen Moltmann, pada dasarnya setiap manusia adalah homo sympathetikos, makhluk yang berbela rasa dan simpati kepada sesama.
Bahwa akan muncullah kalimat
“Aku akan memaafkanmu, meski yang kau lakukan padaku sungguh tak termaafkan.”
Semoga..
Deus providebit
Tuhan yang menyelenggarakannya.
Nama Allah dimuliakan
dengan menyelamatkan nyawa, bukan menghilangkannya;
dengan membawa rekonsiliasi dan damai, bukan perpecahan dan perang;
dengan menunjukkan belas kasihan dan kasih sayang, bukan ketidakpedulian dan kebrutalan.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
The Coptic Orthodox Church will dedicate on Thursday a new church to the 21 Martyrs of Libya, who were beheaded by the Islamic State, three years after their deaths.
The church will be opened Feb. 15, according to Fides News Agency. It is located in the village of al-Our in Egypt’s Minya Governorate. The village was home to 13 of the martyred men.
“Any way that the Church of today can honor her martyrs is a blessing. The story of these 21 brave men is worth telling. In way too many places Christians are under siege from the dark forces of extreme hatred, and their freedom is conditioned by this hatred,” Bishop Gregory Mansour of the Maronite Eparchy of Saint Maron of Brooklyn told CNA.
The church may someday house the 21 martyrs’ remains, which were identified in a mass grave on the Libyan coast in September.
The Coptic Orthodox Church recognized the 21 Coptic Christians as martyrs to be commemorated every Feb. 15 within only a week of their murder in 2015 along the Libyan coast, which was filmed by the Islamic State and released in an internet video.
The Coptic Orthodox Church is an Oriental Orthodox Church, meaning it rejected the 451 Council of Chalcedon, and its followers had historically been considered monophysites – those who believe Christ has only one nature – by Catholics and the Eastern Orthodox, though they are not considered so any longer.
Although Egyptian President Abdel Fattah el-Sisi authorized the building of the new church, its construction in a village that is 70 percent Muslim has faced resistance.
“Some of the villagers protested and threw stones when construction started on the church. Churches are a sensitive subject throughout Egypt, even though about 10 percent of the population is Christian. It's hard to get permits to build them,” Jane Arraf of NPR reported from al-Our.
Christians in Egypt face a constant threat of violence. Earlier this week, a man was found guilty of stabbing Coptic Orthodox priest, Samaan Shehata, to death last October.
On Palm Sunday last year, two Islamic State suicide bombings at Coptic churches in Egypt claimed the lives of 47 people.
“We pray for our Coptic brethren as they continue to witness to their beautiful faith and way of life in Christ Jesus. They live in the most terrifying of circumstances, never knowing the hour or the place of the next attack. May the prayers of the Mother of God be their comfort and strength,” said Bishop Mansour, who continued: “Egypt was the first place of refuge for the holy family and continues to be a place of refuge for God’s holy family, mystically present in his Coptic Christians.”
A.
AKSI TEROR ISIS: DEHUMANUSASI !
Kelompok militan ISIS terus menebar teror. Mereka memenggal 21 warga Kristen Koptik Mesir yang ditangkap di Libya, dan ditampilkan dalam sebuah rekaman video.
Video berdurasi lima menit itu, dikutip dari media Mesir Ahram, dirilis pada Minggu (15/2/2015) oleh sayap media ISIS, Al Hayat Media Center. Seperti rekaman pembunuhan yang sudah-sudah, video kali ini juga dikoreografi dengan apik. Biadab!
Terlihat beberapa anggota ISIS berpakaian dan bertopeng hitam membawa masing-masing satu orang yang diduga warga Kristen Koptik Mesir yang mengenakan pakaian terusan oranye, baju yang dipakai tereksekusi dalam video-video sebelumnya.
Video yang direkam di tepi pantai diberi judul, "Pesan Yang Ditulis dengan Darah Bagi Negara Salib". Mereka lantas digorok dengan belati. Video diakhiri dengan lautan yang memerah akibat darah para korban.
Seorang anggota ISIS yang berpakaian loreng mengatakan dalam video bahwa ini adalah pembalasan terhadap perang yang dilancarkan negara-negara terhadap ISIS. Kelompok yang telah menguasai sebagian Irak dan Suriah ini mengancam akan mengeksekusi lebih banyak lagi jika serangan tidak dihentikan.
Dia lalu menyebut nama Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda yang terbunuh dalam serangan Amerika Serikat pada 2011. Jasad Osama saat itu dilarung di laut. AS beralasan, dengan cara ini kuburan Osama tidak akan disakralkan oleh para pengikutnya.
"Laut tempat kalian menyembunyikan mayat Osama bin Laden, kami bersumpah dengan nama Allah, akan mencampurnya dengan darah kalian," kata pria berbaju loreng.
Sebuah teks berbahasa Inggris dalam video itu bertuliskan, "Darah ini hanya sebagian yang menanti kalian, sebagai pembalasan dendam atas Camelia dan saudari-saudarinya."
Camelia Shehata sendiri adalah istri dari pendeta Koptik yang dituduh ditahan oleh Gereja setelah menyatakan masuk Islam padahal klaim sepihak ala ISIS ini dibantah oleh Camelia. Kasus ini pada 2010 lalu, menyebabkan gesekan antara umat Islam dan Kristen Koptik di Mesir.
Eksekusi itu diduga dilakukan di hari yang sama saat para korban diculik, yang sebelumnya dipublikasi oleh Dabeq, majalah ISIS berbahasa Inggris. Dabeq menuliskan bahwa penculikan itu untuk membalaskan dendam wanita Muslim yang "disiksa dan dibunuh oleh gereja Koptik Mesir" dan ekspansi ISIS ke Libya membuat mereka semakin "mudah menangkap penganut Koptik."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty membenarkan bahwa sekitar 21 warga Mesir diculik dalam dua peristiwa berbeda di negara tetangga Libya. Hari berkabung tujuh hari ditetapkan di Mesir. Pemerintah Presiden Abdel Fattah El-Sisi bersumpah akan menuntut balas.
Warga Kristen Koptik Mesir yang mencari nafkah di Libya kerap menjadi sasaran pembunuhan oleh para militan. Tahun lalu, mayat tujuh warga Libya ditemukan dengan lubang peluru dekat kota Benghazi.
Video kali ini juga dirilis tidak lama setelah rekaman eksekusi pilot Yordania Muath al-Kassesbeh, serta dua warga Jepang Kenji Goto dan Haruna Yukawa.
B.
REAKSI KELUARGA KORBAN.
Isak tangis memenuhi gereja tanpa atap dari sebuah desa miskin di selatan Mesir saat doa dipanjatkan oleh beberapa keluarga Kristen Koptik yang dipenggal di Libya oleh ISIS.
"Anak saya berangkat ke Libya 40 hari yang lalu setelah menyelesaikan dinas militernya," kata Boshra, seorang PNS berusia 50-an, yang menceritakan kisah anaknya yang bernama Kirollos yang masih berusia 22 tahun: "Dia pergi untuk mencari uang untuk biaya pernikahan,"Dia berhenti sejenak. "Kini dia pergi untuk menikah di surga, di mana ia akan bertemu dengan Kristus," Boshra terisak.
Kristen Koptik menempati sekitar 10 persen dari penduduk Mesir, negara yang paling padat penduduknya di dunia Arab. Seperti ratusan ribu rekan-rekan mereka yang bekerja di Libya dalam industri konstruksi atau jasa, orang orang Kristen itu juga pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Kirollos sendiri mendapatkan hampir $ 25 per hari - lima kali lipat lebih banyak daripada apa yang bisa ia harapkan kalau bekerja di daerahnya sendiri.
Sebagian orang yang pernah pergi ke Libya dan telah kembali dengan aman dan sehat mengecam tindak kejahatan ISIS kepada mereka dan mengatakan mereka menderita di sana karena agama mereka.
Ya, Libya pada tahun 2015 adalah sebuah negara di luar kendali, di mana milisi bersenjata mengamuk dan memperebutkan kekuasaan dengan cara anarkis dan tidak beradab: "Orang-orang Libya akan memaksa kami keluar dari mobil dengan dalih memeriksa paspor kami," kata Emad Khalaf. "Ketika mereka melihat salib tato di pergelangan tangan kami, mereka akan memukul kami dan mencuri uang kami."
Emad Khalaf beruntung - dia pulang hampir delapan bulan yang lalu dari Benghazi, sebuah kota terbesar kedua di Libya, dimana kekerasan terus berkecamuk.
Untuk kerabat dari orang yang telah meninggal, satu-satunya harapan sekarang adalah bahwa mereka bisa mendapatkan tubuh jenasah kembali sehingga mereka dapat diberikan pemakaman secara kristiani yang layak.
Mesir sendiri telah bereaksi dengan cepat setelah rilis pemenggalan video. Saat fajar hari Senin, pesawat tempur yang membom sasaran jihad di Libya sebagai tanggapan. Pihak berwenang Mesir juga telah menawarkan kompensasi kepada keluarga korban - lebih dari $ 25.000, setengah dari yang dijanjikan oleh perusahaan swasta. Tapi, ada juga seorang ayah yang hancur hatinya karena kehilangan kedua putranya Samuel, 26 dan Bishoy 23 tahun: "tidak ada yang bisa menggantikan anak-anak kami."
Paus Koptik sendiri mengatakan bahwa ke-21 orang tersebut telah menjadi martir bagi Kristus :
Milad Makeen Zaky
Abanub Ayad Atiya
Maged Solaiman Shehata
Yusuf Shukry Yunan
Kirollos Shokry Fawzy
Bishoy Astafanos Kamel
Somaily Astafanos Kamel
Girgis Milad Sinweet
Malak Ibrahim Sinweet
Tawadros Yusuf Tawadros
Mina Fayez Aziz
Hany Abdelmesih Salib
Bishoy Adel Alham Wilson
Ezay Bishri Naseef
Loqa Nagaty
Gaber Munir Adly
Esam Badir Samir
Malak Farag Abram
Sameh Salah Faruq
A worker from Awr Village
C.
REAKSI GEREJA KOPTIK.
Gereja Ortodoks Koptik telah mengumumkan bahwa pembunuhan 21 umat Kristiani Mesir yang dibunuh oleh ISIS di Libya akan diperingati dalam kalender Gerejanya.
Paus Tawadros II mengumumkan bahwa nama-nama para martir itu akan dimasukkan dalam Synaxarium Koptik, padanan kata dari Gereja Oriental itu dengan Martirologi Romawi. Prosedur ini juga setara dengan kanonisasi dalam Gereja Latin.
Sesuai laporan Junno Arocho dari Radio Vatikan 21 Februari 2015, kemartiran dari 21 umat Kristiani itu akan diperingati pada Amshir ke-8 dari kalender Koptik, atau tanggal 15 Februari dari kalender Gregorian. Peringatan itu jatuh di hari Pesta "Yesus Dipersembahkan di Bait Allah."
Di lain segi, meskipun mengakibatkan kekhawatiran bahwa ISIS semakin mendekati Eropa, pembunuhan-pembunuhan itu juga memperkuat iman banyak orang. Dalam wawancara dengan saluran Kristen SAT-7 ARABIC di hari Rabu, tanggal 18 Februari 2015, Beshir Kamel, saudara dua martir Koptik itu, bahkan mengucapkan terima kasih kepada ISIS karena memasukkan ungkapan iman mereka dalam video-video sebelum membunuh mereka.
"ISIS memberikan kepada kita lebih dari apa yang kita minta, saat mereka tidak mengedit bagian di mana mereka menyatakan iman mereka dan memanggil Yesus Kristus. ISIS membantu kita memperkuat iman kristiani kita," katanya.
Beshir mengatakan bahwa ia bangga saudara-saudaranya yang bernama Bishoy dan Samuel, seraya mengatakan bahwa kemartiran mereka adalah "lencana kehormatan untuk Kristianitas."
Wawancara Beshir Kamel dengan SAT 7-ARABIC dengan cepat tersiar lewat internet, dalam beberapa jam setelah di-posting sudah tercatat lebih dari 100.000 view. Ketika ditanya apa reaksinya kalau ia melihat seorang militan ISIS, Beshir Kamel mengingat jawaban ibunya:
"Ibuku, seorang wanita tak berpendidikan yang berusia enam puluhan, mengatakan bahwa dia akan meminta (militan ISIS itu) untuk masuk ke rumahnya (ibu itu) dan meminta kepada Allah untuk membuka matanya (militan ISIS itu) karena dialah (militan ISIS itu) yang menyebabkan anaknya memasuki kerajaan surga," kata Beshir Kamel.
D.
REAKSI PAUS FRANSISKUS.
"Warga Koptik dibunuh hanya karena mereka umat Kristen." Demikian perkataan Sri Paus yang dikutip oleh surat kabar Il Giornale, 16 Februari 2015.
Sri Paus telah meminta agar umat beriman tidak melupakan ekumenisme dan mengingatkan bahwa itu merupakan "darah saudara-saudari kita umat kristen di tanah Yesus."
Suatu pembunuhan keji yang telah dilakukan di Libya oleh tangan-tangan orang-orang yang mengakui Daulah Islamiyyah (ISIS) pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi dan telah menunjukkan kepada dunia kekejaman pembantaian ke-21 warga kristen kopti Mesir.
Warga Mesir yang tinggal di Libya untuk bekerja, mencari nafkah bagi keluarga masing-masing. Dan yang telah dibunuh dengan cara yang paling kejam.
Paus Fransiskus mengatakan pada pagi hari, "Mereka telah dibunuh hanya karena mereka umat kristen." Sebuah teriakan kesedihan hati bagi "darah dari saudara-saudari umat kristen di tanah Yesus", yang "merupakan sebuah kesaksian yang berteriak, baik mereka umat katolik, ortodoks, kopti, luteran, itu semua tidak penting, karena darahnya tetap sama."
Berbicara dengan beberapa perwakilan dari Gereja dari Skotlandia, Sri Paus meminta agar tetap "melangkah maju dengan ekumenisme, menjadi saksi oleh ekumenisme darah", dengan mengingat "saudara-saudari kita yang mati hanya karena mengakui Kristus." Lebih lanjut, Paus Fransiskus berkata: "Para martir semuanya itu adalah umat kristen." (Il Giornale, 16 Feb 2015)
D.
VARIA REFLEKSI:
Paus Fransiskus :
"Nama Allah dimuliakan
dengan menyelamatkan nyawa, bukan menghilangkannya;
dengan membawa rekonsiliasi dan damai, bukan perpecahan dan perang;
dengan menunjukkan belas kasihan dan kasih sayang, bukan ketidakpedulian dan kebrutalan.
1.Kekerasan mengingatkan bahwa kini kita hidup di “era korban”. Di satu sisi, kita mewarisi sejarah yang penuh dengan pengalaman brutal dengan korban. Di sisi lain, kita hidup pada masa ketika manusia dengan mudah mengorbankan orang lain demi memuaskan insting primitif mereka akan kekuasaan.
2.Kekerasan dengan aneka ria cerita korban tak cuma menghiasi buku-buku sejarah, tapi telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Ada banyak tragedi yang pernah terjadi dalam sejarah di masa lalu, tetapi dampak dan bekas goresannya masih bisa kita lihat sekarang. Holocaust di Eropa, kamp Gulag di Rusia, eksterminasi Bosnia-Herzegovina, hingga pembantaian ratusan ribu tertuduh komunis di Jawa adalah peristiwa-peristiwa traumatik yang tak cuma bagian dari masa lalu.
3.Kekerasan menjadi seperti sebuah spiral. Ia seperti bergerak tak putus-putus dari satu garis ke garis lain. Menyalakan api di sini, membubuhkan bara di sana.
4.Kekerasan menjadi seperti bakteri, ia merambah ke mana-mana dan, dengan atau tanpa sadar, membentuk cara pandang “kita” terhadap “mereka”.
5.Kekerasan, kata Emmanuel Levinas, bahkan bermula ketika kita memberanikan diri menyentuh Wajah sang lain, ketika terbersit kehendak untuk mengurai dan membiarkan kemisteriusannya tersingkap.
6.Kekerasan kadang bermula dari sini: hasrat keras untuk menaklukkan dan menguasai yang-beda. Inilah sesuatu yang “keras”, yang destruktif dalam diri manusia.
7.Kekerasan terjadi di masa ketika konon katanya peradaban manusia mencapai puncaknya. Nyatanya: kita, entah sendiri atau berbondong-bondong, melihat dengan telanjang betapa yang “keras”, yang destruktif itu begitu mudah muncul di mana-mana dan menyisakan luka dan “neraka” yang terbuka.
8.Kekerasan bukanlah drama biasa. Ia adalah kejahatan dalam bentuknya yang absolut, yang tak tertampik karena kekejiannya yang kadang amat menyengat dan sangat , entah verbal- entah fisikal.
9.Kekerasan terus ada dan mengada, karena meskipun konon tercipta sebagai makhluk yang tak bernoda dan fitri, ada sisi gelap dalam diri manusia yang dihuni oleh semacam ketakaburan. Dan dari sanalah kekerasan itu muncul.
10.Kekerasan berkembang dari ketakaburan bahwa ada yang “murni” dalam hidup, masyarakat, dan negara, yang harus dijaga agar tak terkontaminasi oleh yang-beda. Mereka melakukannya, sekali lagi, demi “kemurnian” ala mereka.
11.Kekerasan selalu punya alibi. Dan itu tak semata lahir dari kebencian. Ia juga berbiak dari ambisi untuk menertibkan, dari otoritas untuk mengatur dan menundukkan yang-beda.
12.Kekerasan karena itu tak akan pernah berhenti di Manchester, London, Prancis, Amerika, Mosul Irak, Alepo Suriah, Mesir, Turki, Belgia, Jerman dan Jakarta. Dalam kehidupan yang terus berputar, kita akan menemukan kekerasan itu terulang di tempat lain, kadang tidak jauh bahkan bisa jadi di sekitar rumah dan halaman kita
13.Kekerasan, mungkinkah ia berakhir? Jika setiap waktu terjadi kekerasan di mana-mana mungkinkah ia memiliki titiknya? Mungkinkah kita memutus mata rantai kekerasannya?
14.Kekerasan pada setiap ceritanya pasti membawa tumbalnya masing-masing. Disana ada korban yang terluka, yang celaka, yang berduka dan mengalami “neraka”, yang nahas dan buas. Dan luka korban itu bukan tak mungkin suatu waktu akan mengeras menjadi kebencian, bukan?
15.Kekerasan pada setiap ceritanya pasti juga bisa hadir sebagai “auto-imunitas”. Ia seperti tubuh, memiliki mekanisme yang membuatnya kebal. Tak lain lewat kebencian baru, yang lahir sering kali justru dari luka dan trauma para korban.
16.Kekerasan pada setiap ceritanya pasti juga bisa hadir sebagai sebuah upaya “bunuh diri”: dengan kekerasan, para pelaku menularkan infeksi baru kepada korban, yang akan membalas balik kekerasan itu kepada pelaku.
17.Kekerasan yang penuh benci dan caci bisa beranak-pinak menjadi kekerasan dengan benci dan caci yang baru, dan seterusnya dan seterusnya. Kekerasan menjadi amat mengerikan justru karena ia bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja dan dengan cara apa saja.
18.Kekerasan melumpuhkan imajinasi karena ia kerap membuat kita tak mampu berpikir siapa yang salah, sebab siapa pun ternyata bisa bersalah, pernah bersalah. Saya, Anda, dan mereka bukanlah manusia yang bebas dari infeksi kekerasan. Hari ini, saya menyiksa Anda, tapi besok atau lusa, siapa tahu, Anda akan datang membunuh saya.
19.Kekerasan yang pernah menimpa para korban meninggalkan luka traumatik yang mendalam. Trauma itu sering kali mengeras dan melahirkan kekerasan baru yang dilakukan atas dasar balas dendam (vengeance) dan keinginan untuk membayar “mata dibalas mata”, satu-nyawa-untuk-satu nyawa—sebuah asas talion (pembalasan) yang kadang ditegakkan atas nama Tuhan dan agama.
20.Kekerasan selalu melahirkan lingkaran setan yang tak berkesudahan. Kekerasan selalu membuat korban kian terpuruk lebih dalam dan kehilangan masa depannya sebagai seorang manusia karena balas dendam bukanlah akhir dari kisah kekerasan.
21.Kekerasan perlu dilawan. Itu pasti. Tapi dengan apa? Dengan “kelembutan”? Ya “kelembutan”, semacam kerendahan hati untuk mengakui betapa masing-masing kita bisa berbuat jahat, justru karena kita tak menginginkannya. Dan cermin dari “kelembutan” yang rendah hati itu adalah kesediaan untuk memberi maaf kepada siapa pun yang salah.
22.Kekerasan perlu dilawan dengan memberi maaf? Ya, memberi maaf. Bukan hal yang mudah, memang, terutama karena orang lebih percaya bahwa kekerasan harus dibalas dengan yang setimpal, dan “kesetimpalan” itu identik dengan “keadilan”. Jika misalnya saya mencucuk hidung Anda hingga kesakitan, maka Anda harus membalasnya hingga saya kesakitan. Itu baru “adil”.
23.Kekerasan yang mau dilawan dengan kelembutan, membuat kita bisa bertanya, dengan apa kita mengukur “kesakitan” itu? Mungkinkah kita menakar penderitaan kita dan orang lain, dengan cara dan hitungan yang persis sama? Itulah persoalan yang kita hadapi setiap kali kita gigih bicara tentang keadilan. Apakah “keadilan” itu, tetap tak akan terjawab. Keadilan adalah sebuah aporia: kita tak dapat menentukan dengan pasti batas-batasnya, terutama apabila kita berpikir bahwa keadilan adalah sebuah simetri kekerasan: satu nyawa untuk satu nyawa, sebiji mata untuk sebiji mata, sepotong gigi untuk sepotong gigi.
24.Kekerasan mengajak kita untuk terus bertolak ke tempat yang lebih dalam, yakni bagaimana “melampaui” keadilan sekaligus bergerak “menuju” keadilan. Dengan kata lain, keluar dari konsep keadilan sebagai “simetri” dan menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang tak-mungkin (l’impossible) atau yang belum mungkin: keadilan sebagai agenda yang tak pernah selesai, justru karena orang tak tahu cara terbaik menerapkan keadilan oleh sebab yang adil saat ini atau di sini belum tentu adil besok atau di sana.
25.Kekerasan bukan konsep. Begitu juga dengan keadilan. Kita tak dapat membayangkan ia berdiri utuh sebagai sesuatu yang “koheren”. Ia tak dapat diukur dan karenanya selalu bersifat anekonomis dan asimetris: keadilan, berbeda dengan pembalasan, tak dapat ditebus. Keadilan hampir selalu berupa “keadilan-yang-akan datang” (la justice à venir). Kita tak sekali-kali dapat menangkap keadilan atau mengklaim bahwa “tindakan saya adil”. Keadilan selalu mrucut dari jangkauan kita.
26.Kekerasan ditanggapi dengan apa? Dalam kaitan inilah, memberi maaf lebih dari sekadar momen yang berharga. Kesediaan memberi maaf dari sang korban menunjukkan bahwa ada yang terwakilkan oleh bahasa hukum. Kekerasan akan terus terjadi dan memakan korban. Tapi setiap kali kekerasan itu terpatahkan secara radikal ketika kita mendengar korban berkata: “Aku memaafkanmu”.
27.Kekerasan dilawan dengan “kelembutan”, karena maaf itu tak menuntut balas. Sang pemberi maaf tidak memegang kendali apa pun untuk memaksa pelaku kekerasan untuk bertobat atau mengubah perilakunya. Pemaafan niscaya muncul dari keadaan “tak bersyarat”, ketika korban memberikan segalanya tanpa mengharapkan apa-apa.
28.Kekerasan mengajak kita untuk semakin memahami arti “kelembutan”, kerendahan hati - seperti dikatakan Gandhi, hanya orang yang berhati baja yang bisa meminta dan memberikan maaf. “Memaafkan yang tak termaafkan”: jelas ini bukan hal yang mudah. Terutama karena di dalam diri kita masing-masing kadang masih ada sisa-sisa dengki, yang mau agar kekerasan itu terus berlanjut untuk menuntaskan dendam yang tak terbalas, bukan?
29.Kekerasan dekat dengan kekejian dan walaupun kita tahu bahwa ada yang keji dalam hidup, kita tetap yakin ada sisi terang yang terselubung dalam hati manusia, betapapun kita ingin menutupnya dengan senjata dan tahta, dosa dan kuasa, teror dan horor.
30.Kekerasan dalam kacamata positif mengajar kita untuk memaafkan yang tak termaafkan? Alangkah beratnya! Hanya orang yang berbesar hati yang bisa melakukannya. Maka benar kata Mahatma Gandhi: “The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong.” Memaafkan yang tak termaafkan: dengan itu, sejarah kekerasan diakhiri secara radikal. Dengan itu pula, korban terlahirkan kembali sebagai manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar