WELCOME HOME PATER.
Puji Tuhan Romo Karl Edmund Prier SJ, sudah boleh pulang kembali setelah dirawat
di RS Panti Rapih Jogjakarta.
AMDG
Berkah Dalem
NB:
ROMO PRIER..
Si - "Kasman" ("beKAS jerMAN", penuh "KASih dan iMAN")
Tdk ada hujatan marah dendam & caci benci yang keluar dari mulut Rama Prier. Tidak mudah menyalahkan orang lain dan berjiwa besar mengakui keterbatasan diri insani. Inilah "rasa INDONESIA" yang sesungguhnya. Maturnuwun Rama. Berkah Dalem
Romo Karl Edmund Prier :
"Saya Tak Lari, Itu Salah Saya"..
A.
REPOST:
MENGAPA ROMO TIDAK LARI SAJA?
Romo "Kasman" ("beKAS jerMAN", penuh KASih dan iMAN) bernama panjang Karl Edmund Prier, SJ ini adalah salah satu sosok dibalik pengembangan musik liturgi Gereja Katolik. Bagi pengguna buku Madah Bakti, pun akan familiar dengan namanya bila sering memakai buku lagu legendaris itu.
Pria yang murah senyum dan menghabiskan banyak waktu untuk pengembangan musik liturgi Gereja Katolik ini dikenal pintar, ramah, sederhana, bersosok kalem dan bersuara lembut. Sulit rasanya memang, membayangkan seorang pecinta musik dan ramah diserang penuh amarah.
Saya membayangkan situasinya. Keributan sudah terjadi sejak diluar gereja, sudah ada pembacokan pertama umat yang berada di teras luar. Kemudian dari pintu masuk menuju ke altar masih ada lorong (aisle) diantara bangku dimana pelaku yang dikuasai amarah masih membacok dua orang umat lagi. Jelas ada waktu bagi Romo Prier untuk lari.
Situasinya mendesak, hitungannya detik, lagi pula menghadirkan kepanikan. Apa kira-kira "hal" yang spontan-- pasti gabungan pikiran dan perasaan-- yang menjadi dasar bagi Romo Prier untuk tetap tinggal di altar dan menghadapi momentum pedang yang mendekat, kemudian menyabet kepala serta bahu belakangnya?
****
Saya menduga ada dua pertimbangan. Sekali lagi, ini hanya dugaan saja berdasarkan berbagai informasi media massa yang diolah.
Pertimbangan pertama, keselamatan umatnya.
Romo tahu, dia yang saat itu sedang berada di altar adalah sasaran utamanya. Dengan tetap berada di tempat, maka fokus pelaku adalah kepada diri Romo Prier sendiri, bukan ke obyek lain, apalagi saat itu sudah ada dua umat yang berada di dalam gereja menjadi kurban bacokan (selain seorang yang di teras gereja).
Pertimbangan kedua, Tubuh Kristus dalam rupa hosti suci. Memang, menurut informasi yang ada, saat itu baru pada bagian Gloria (Kemuliaan), sehingga belum dilakukan Persembahan dan hosti belum dikonsekrasikan. Akan tetapi di dalam Tabernakel ada tersimpan hosti yang sudah dikonsekrasikan. Itulah Tubuh Kristus.
Romo Prier tidak bisa membiarkan terjadinya sakrilegi terhadap Tubuh Kristus, maka dia membiarkan tubuhnya sendiri menjadi fokus perhatian penyiksaan oleh pelaku.
Terbukti, bukan hanya menyiksa Romo, pelaku juga menyiksa benda-benda kudus lainnya seperti patung Yesus dan Bunda Maria, namun tidak terhadap Tabernakel dan isinya.
Jadi ada dua hal yang mau diselamatkan oleh Romo Prier: Umatnya dan Tubuh Kristus sendiri.
Umat memang menjadi alasan mengapa Allah melakukan misi penyelamatan melalui putra-Nya Yesus Kristus dua ribu tahun yang lalu. Dan Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani (Lumen Gentium 11). Identitas seorang imam Katolik memang mengakar kepada dua hal ini.
Altar itu adalah tempat dimana kurban dipersembahkan. Umat stasi St Lidwina telah mendapatkan "anugerah" menyaksikan bagaimana imam mereka telah menjadi "imitatio Christi" yang mengurbankan dirinya sendiri dalam peristiwa berdarah Minggu pagi itu.
B.
Sketsa Profil.
Karl Edmund Prier SJ, pastor kelahiran Weinheim, Jerman, 72 tahun lalu, dikenal karena kiprahnya dalam musik liturgi gereja (Katolik). Kemampuannya mengolah dan mencipta lagu serta memainkan organ tidak diragukan lagi.
Saya sendiri pernah diajak ikut dalam PML ketika menjadi frater di Yogyakarta dan bersama Romo Prier dan Paul Widyawan juga pernah asyik menyantap Pecel Madiun bertiga menaiki mobil colt tuanya, di pinggiran jalan sehabis mengajar dari PML, hendak berkunjung ke rumah Paul Widyawan di daerah Godean.
Konon, Romo Prier berkenalan dengan musik klasik saat berusia delapan tahun. Perkenalan itu menjadi awal ketertarikannya menekuni musik. Prier muda belajar main organ dan piano. Saat berlatih memainkan alat musik itu, mau tidak mau dirinya harus memahami teori musik, ilmu harmoni, analisa lagu, dan komposisi.
Pendidikan musiknya terus berlanjut ketika ia terpanggil menjadi imam dan menjadi anggota Societas Jesu (SJ), Serikat Yesus. Ketekunan itu membuahkan hasil.Karl Edmund Prier dipercaya menjadi guru musik di salah satu kolose di Austria.
Minatnya mempelajari musik berkembang ketika pimpinan Serikat Yesus mengutusnya dirinya menjadi misionaris di Indonesia. Prier jatuh cinta pada lagu-lagu tradisional. Itu berawal saat Prier tinggal di daerah Wonosari,GUNUNG KIDUL, Jogjakarta. Waktu itu ia masih frater. Ia tinggal di situ untuk mempelajari bahasa Jawa sebelum kuliah teologi di Sekolah Tinggi dan Filsafat Teologi Kentungan, Jogjakarta.
Pada 1960-an itu keadaan Wonosari memprihatinkan. Listrik tidak ada. Kemiskinan di mana-mana. Nasi tidak ada. Gaplek menjadi makanan sehari-hari penduduk setempat. Ketika Natal dirayakan dengan sederhana di Gereja Wonosari, Prier merasa sedih. Matanya menerawang merindukan kampung halamannya.
"Ah, seandainya saya berada di Jerman. Natal pasti terasa lain. Nyanyian Natal terdengar di mana-mana. Suasana sangat meriah."
Lama-kelamaan ia merasakan sesuatu yang lain yang menyentuh hatinya. Seusai misa, Karl Edmund Prier melihat beberapa jemaat yang datang dari tempat yang jauh enggan pulang dan memilih tetap menginap di gereja. Mereka berkumpul dan merayakan Natal dengan makanan seadanya. Hal ini dilakukan karena takut dengan orang-orang komunis yang berada di sekitar gereja.
Di malam hari, tempat itu dipakai untuk berlatih gamelan. Keramahan orang-orang di sekitar yang selalu menyapanya, bahkan menyuruhnya ikut main gamelan, sungguh membuat Karl Edmund Prier makin dekat dengan budaya dan bahasa Jawa.
Saat melanjutkan pendidikan teologi di STFT Kentungan, berbagai gagasan berkembang dalam benaknya. Ia mendapatkan ide-ide ketika membaca hasil Konsili Vatikan II yang salah satu poinnya berbunyi: "Hendaknya musik gereja berpangkal dari budaya setempat."
Karl Edmund Prier berpikir, "Kalau begitu lagu-lagu inkulturasi harus diciptakan agar liturgi gereja bertambah semarak." Untuk itu, menurut Prier, sebuah pusat musik liturgi harus segera dibentuk. Tepat setelah ditahbiskan, Romo Karl Edmund Prier mengusulkan hal itu kepada pimpinan Serikat Yesus. Ternyata, idenya diterima dengan baik.
Jogjakarta dipilihnya sebagai tempat untuk mengembangkan lembaga itu. Karl Edmund Prier berlasan, Jogja masih sangat menjunjung budaya Jawa dibanding kota-kota lainnya. Karena itu, Pusat Musik Liturgi (PML) didrikan di Jogja pada 1971. "Kota ini akan menjadi tempat untuk mengolah lagu-lagu inkulturasi dari daerah lain," harap Karl Edmund Prier.
Selain menciptakan musik inkulturasi, Karl Edmund Prier juga menciptakan pendidikan musik bagi umat Katolik di Jogjakarta. Ia memberi perhatian khusus terhadap pembinaan organis yang andal. Menurut dia, pendidikan musik harus diterapkan dengan serius dan berkesinambungan. Maka, dia membuat program pendidikan organis selama tiga tahun.
Mereka yang ingin mempelajari alat musik organ diberi pengetahuan tentang teori musik, teori dan praktik dirigen, liturgi, ilmu harmoni, membuat iringan, berlatih paduan suara, dan praktik organ dengan ujian. Juga ada pentas tiga kali setahun.
Ada satu lagu rohani yang selalu menjadi semboyan Karl Edmund Prier. Lagu itu berjudul NYANYIKAN LAGU BARU BAGI TUHAN. Kata demi kata yang menjadi syair kidung itu memberinya dorongan untuk terus berkarya,mencipta lagu, membuat komposisi musik.
"Menyanyikan lagu baru bagi Tuhan berarti menciptakan lagu baru. Lagu Indonesia yang inkulturatif sesuai dengan cita-cita Konsili Vatikan II," tuturnya.
Karl Edmund Prier sangat menghargai kerja tim. Hal itu dibuktikan saat mengadakan lokakarya komposisi musik gereja. Acara itu selalu menghasilkan lagu-lagu liturgi yang baru. Ia menghendaki setiap lagu yang diciptakan tidak ada nama penciptanya. Maka, tiap karya seni yang dihasilkan lewat acara itu hanya mencantumkan nama "hasil lokakarya komposisi musik gereja".
"Lagu-lagu itu adalah hasil kerja tim PML Jogjakarta. Bukan hasil karya perorangan," ungkapnya.
Karl Edmund Prier selalu memperjuangkan kelestarian lagu-lagu inkulturasi dalam gereja. Ketika pencipta-pencipta lagu rohani yang baru bermunculan, ia tidak merasa tersaingi, bahkan gembira. Namun, ia menyayangkan bila lagu-lagu baru dibuat asal-asalan, tidak liturgis, dan tidak sungguh-sungguh memperhatikan syair. Karya semacam itu hanya bertahan sebentar dan menjadi sampah.
Menurut Karl Edmund Prier, lagu gereja harus dibuat sungguh-sungguh sehingga dapat digunakan untuk membantu umat berdoa. Ia prihatin melihat perkembangan lagu-lagu baru.
"Kini, banyak pencipta lagu rohani yang terpengaruh dengan budaya lagu-lagu pop di televisi sehingga mereka membuat lagu gereja yang ngepop. Mereka merasa bahwa lagu-lagu tersebut sesuai dengan selera anak-anak muda," ujarnya.
Karl Edmund Prier berpendapat, pencipta lagu harus menyadari bahwa umat pergi ke gereja untuk mencari jawaban dari Tuhan atas segala permasalahan hidupnya. Kondisi itu sangat berbeda saat seseorang duduk di depan televisi dengan motivasi mencari hiburan. Maka, lagu gereja yang baik harus mempertimbangkan lirik dan nada yang dapat membantu umat berdoa.
Sejenak Karl Edmund Prier mengingat saat-saat ketika ia masih berada di Jerman. Waktu itu gereja-gereja berusaha menarik kaum muda mengikuti perayaan ekaristi. Mereka boleh menggunakan band dan lagu-lagu pop rohani yang sama sekali tidak liturgis. "Tapi lambat laun anak-anak muda itu tidak menemukan makna liturgi yang sesungguhnya dalam setiap musik yang mereka mainkan," kenangnya.
Karena itu, Karl Edmund Prier terus bersemangat dalam memperkenalkan pemahaman tentang lagu liturgi yang benar kepada masyarakat. Dia juga menginginkan paduan suara berkualitas untuk membawakan semua lagu yang diciptakannya bersama tim PML. Keinginan itu didengar oleh Paul Widyawan. Lahirlah Paduan Suara Vocalista Sonora di Jogjakarta.
Di usia 72 tahun, Karl Edmund Prier terus berkarya. Baginya, tiada hari tanpa musik
Saat ini Romo Prier masih menjalani Operasi di RS pantirapih Karena ada tulang batok kepala yg retak dan patah akibat penyerangan Minggu pagi.
C.
INTERMEZZO:
SEJARAH PML
PUSAT MUSIK LITURGI
Pusat Musik Liturgi didirikan pada tanggal 11 Juli 1971 (tepat pada peringatan St. Benedictus).
Pendirian PML bermula dari kecintaan dan ketertarikan Rm. Karl-Edmund Prier SJ, dan Bpk. Paul Widyawan terhadap musik liturgi (terutama musik inkulturasi) dan budaya Indonesia.
Dalam buku Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia Tahun 1957 – 2007, Rm. Prier menceritakan bahwa ide mendirikan PML bermula dari obrolan berkala dengan Bpk. Paul Widyawan sejak tahun 1967, ketika Rm. Prier masih menjalani studi teologi Di Yogyakarta
Dalam perbincangan tersebut, Rm. Prier dan Bpk. Paul mempunyai pemikiran yang sama untuk menangani musik Gereja secara profesional, seperti yang ditulis Rm. Prier sebagai berikut:
“Dasarnya adalah niat untuk menangani musik Gereja secara profesional: mulai dengan eksperimen untuk menciptakan lagu liturgi baru sesuai dengan cita-cita liturgi baru; dengan melatih lagu baru pada umat dan mendorong umat untuk ikut bernyanyi; dengan memperkenalkan lagu baru pada kor sebagai penyemangat umat untuk ikut bernyanyi; dengan penerbitan lagu baru; dengan rekaman yang memadai”
Cita-cita di atas didasari oleh pengalaman keprihatinan Romo Prier, yang disebutnya sebagai “zaman pra-sejarah PML”.
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya bahwa sebenarnya telah banyak usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak di Nusantara untuk menciptakan dan mengembangkan musik liturgi dalam bahasa pribumi, seperti yang dilakukan oleh Mgr. Van Bekkum SVD di Manggarai, P. Vincent Lechovic SVD di Timor dan Mgr. Soegijapranata di Jawa. Akan tetapi usaha tersebut tidak ditangani secara profesional dan tidak berkelanjutan.
Selain itu terdapat keprihatinan dalam hati Romo Prier dikarenakan ketika beliau tiba di Indonesia pada tahun 1964, beliau menjumpai bahwa di Indonesia, umat masih terpaku pada nyanyian Gregorian.
Nyanyian Gregorian merupakan nyanyian yang sulit sehingga seringkali menjadi siksaan bagi umat ketika dilatih. Tidak ada pilihan lain selain menyanyikan nyanyian Gregorian karena nyanyian dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya masih sangat kurang.
Padahal sebelum ke Indonesia, Romo Prier telah merasakan angin pembaruan liturgi ketika bertugas di Kolose Stella Matutina di Feldkirch (Asutria) pada tahun 1962-1963, di mana Liturgi telah dimeriahkan dengan lagu dan refren yang ditulis dalam bahasa Jerman, dan bukan lagi bahasa Latin.
Romo Prier merasakan ada kemunduran yang dialaminya karena angin pembaruan yang dialaminya di Austria tidak dialami di Indonesia. Keprihatinan tersebut diungkapkan dengan kaliamt berikut ini:
“Ibadat diharapkan dirayakan dengan bahasa Indonesia tetapi tidak ada lagu liturgi Indonesia; umat diharapkan ikut serta secara aktif tetapi tidak ada dirigen untuk melatih dan menyemangati umat; apalagi tidak ada organis; liturgi diharap mencari wajah pribumu dan menimba dari kekayaan musik setempat namun tidak jelas bagaimana caranya”.
Sebenarnya Romo Prier melihat potensi yang sangat besar untuk mengembangkan musik liturgi inkulturatif di Indonesia karena Indonesia memiliki begitu banyak tradisi musik yang bermutu tinggi.
Salah satu contohnya adalah musik gamelan. Menurut pengakuan Romo Prier, sejak pertama kali berkenalan dengan musik gamelan di Paroki Wonosari pada tahun 1964, beliau telah merasakan bahwa “musik ini memuat suatu ungkapan yang mendalam”.
Perasaan yang sama dialami Romo Prier ketika mengikuti Perayaan Ekaristi Hari Raya Kristus Raja di Paroki Ganjuran - Bantul pada akhir November 1964 dan ketika beliau ditugaskan di SMA Loyola Semarang di mana para siswa diajarkan musik Gamelan Supra oleh P. Van Deinse, SJ.
Setelah Konsili Vatikan II, pada tahun 1965 para frater Kolese St. Ignasius (Kolsani) di Yogyakarta berusaha mempelajari dan memperkenalkan apa yang diharapkan dalam Konsili Vatikan II, khususnya menyangkut liturgi. Para frater memusatkan perhatian pada apa yang ditekankan konsili, yakni pentingnya partisipasi umat dalam litugi (SC 113).
Selain itu, Konsili memberi kedudukan pada musik dan nyanyian sebagai bagian yang penting dan integral dari liturgi (SC 112). Nyanyian Gregorian dipandang sebagai nyanyian khas Liturgi Romawi, namun “jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi” (SC 116).
Konsili memberi penghargaan dan tempat yang sewajarnya kepada tradisi musik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah misi, untuk membentuk sikap religius umat setempat dan dalam menyesuaikan liturgi dengan sifat dan perangai umat setempat (SC 119).
Oleh karena itu, “alat-alat musik lain (selain organ pipa) dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman” (SC 120).
Sebagai wujud nyata usaha para frater Kolsani, mereka mengadakan Dies Liturgicus (Hari Liturgi) pada tanggal 18 Desember 1965 di Kolese Ignatius. Dies Liturgicus tersebut berupa seminar, pameran dan perayaan liturgi dalam bahasa Indonesia.
Romo Prier, yang waktu itu masih frater dan bertugas di SMA De Britto, diminta oleh Fr. Artur Waibel untuk menulis sejumlah lagu dalam bahasa Indonesia untuk digunakan dalam perayaan liturgi tersebut.
Awalnya Romo Prier menolak, namun karena didesak maka Romo Prier menyanggupinya. Romo Prier pun menciptakan beberapa lagu Mazmur yang sampai sekarang bisa kita temukan dalam Madah Bakti, antara lain “Bangkitlah” (MB 319) dan “Misa Raya II” (MB 177 dst.).
Setelah Dies Liturgicus, Seksi Musik Liturgi Kolsani melanjutkan usaha pengembangan musik inkulturasi dengan menerbikan buku lagu, yakni “Umat Allah Bernyanyi” (1967), “Kidung Anyar Kagem Gusti” (1968), “Ordinarium” (1971) dan “Enambelas Misa Umat” (1971).
Kegiatan inilah yang mendorong Romo Prier untuk menangani musik Gereja secara profesional. Hal tersebut diperkuat ketika Rm. Frans Harjawiyoto OCSO (Pertapaan St Maria Rawaseneng) mengajak Romo Prier untuk bergabung dalam Seksi Musik PWI Liturgi pada tahun 1967.
Demikianlah akhirnya dalam perbincangan Romo Prier dengan Bapak Paul, beliau melontarkan ide untuk menangani musik Gereja secara profesional di Indonesia. Ide itu kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang mula-mula sebagai impian samar-samar namun semakin konkret.
Rm. Prier menyampaikan ide yang telah digagasnya bersama Bapak Paul kepada Provinsial Jesuit, Rm. Soenarya, SJ. Bahkan setelah ditahbisan menjadi imam pada tahun 1969, Romo Prier mengusulkan kepada provinsial Jesuit agar beliau diperkenankan berkarya di bidang musik liturgi.
Romo Soenarya menanggapi ide tersebut dengan baik dan meminta kepada Romo Prier untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan ide tersebut.
Pada tahun 1970 Romo Prier berangkat ke Jerman untuk cuti dan belajar berbagai hal yang berhubungan dengan musik liturgi untuk mempersiapkan pendirian PML.
Akhirnya setelah kembali ke Indonesia pada pertengahan tahun 1971, Romo Prier bersama Paul Widyawan dan Bapak Bernard Suparyanto mendirikan “bengkel musik” yang kemudian disebut Pusat Musik Liturgi.
Pada awal berdirinya, PML hanya memiliki 2 orang staf, yakni Rm. Karl-Edmund Prier sekaligus sebagai pimpinan PML dan Bapak B. Suparyanto, seorang lulusan AKI (Akademi Kateketik Indonesia) yang sekarang menjadi IPAK SaDar (Ilmu Pendidikan Agama Katolik Sanata Dharma).
Mereka dibantu oleh Bapak Paul Widyawan, sebagai pimpinan Vocalista Sonora, yang sekaligus menjadi partner yang setia hingga saat ini. Mereka juga tidak bekerja sendiri karena mereka menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, entah itu kerjasama dengan orang tertentu, kelompok, lembaga, paroki, maupun keuskupan.
Segera setelah PML didirikan, kelompok paduan suara Vocalista Sonora dan Kursus Organ, yang sudah ada sebelum PML, menjadi partner tetap dan bagian dari PML. Vocalista Sonora adalah kelompok paduan suara yang didirikan oleh Bapak Paul Widyawan pada tahun 1964; sedangkan kursus organ didirikan oleh Romor Frits Smith van Waesberghe, SJ dan Romo Karl-Edmund Prier pada tahun 1966. Kedua kelompok ini sangat membantu PML dalam melaksanakan eksperimen-eksperimennya untuk memajukan musik liturgi yang khas Indonesia.
Sebagai langkah awal mengembangkan dan memajukan musik liturgi yang khas Indonesia, PML memberikan penataran dirigen dan organis di berbagai daerah, entah daerah yang dekat seperti Solo dan Semarang, maupun di daerah yang jauh, antara lain Bandung, Jakarta, Malang dan Surabaya. PML juga mendapat tugas rutin untuk mengurus Misa Muda-mudi di Paroki Kota Baru – Yogyakarta.
Tugas tersebut menjadi kesempatan yang baik bagi PML untuk mengadakan eksperimen yang bermutu. Selain itu, PML bersama Vocalista Sonora mengadakan “Pentas Musik Liturgi” di berbagai daerah, antara lain di Madiun, Surabaya, Jakarta, dan berpuncak pada Tour Natal ke Jawa Barat selama satu minggu.
Buah pertama yang dihasilkan PML dari eksperimennya adalah dengan menyusun dan menerbitkan buku lagu.
Buku lagu pertama yang dihasilkan adalah “Pekan Suci” tahun 1972. Buku tersebut berisikan nyanyian-nyanyian yang berbahasa Indonesia untuk liturgi Minggu Palma sampai Malam Paskah.
Selanjutnya PML menyusun dan menerbitkan buku lagu yang kedua, yakni “Gema Hidup” pada tahun 1973. Buku tersebut berisikan 125 lagu baru dalam bahasa Indonesia yang ditujukan bagi generasi muda.
Selain menyusun kedua buku lagu tersebut dalam bentuk tulisan, PML juga merekam dan mengedarkan rekaman tersebut ke penjuru Nusantara.
Dalam pemasaran ini, PML tidak mengalami banyak kesulitan karena PML dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah yang belajar di Yogyakarta, terutama mahasiswa yang kuliah di IPAK (Ilmu Pendidikan Agama Katolik) yang dulu disebut AKI (Akademi Kateketik Indonesia).
Hasil karya PML itu pun mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak dan digunakan dalam kesempatan-kesempatan liturgi. Sejak saat itu, PML semakin dikenal oleh umat. Lagu-lagu dalam bahasa Indonesia pun semakin dikembangkan dan diperbanyak, entah itu melalui penerjemahan lagu-lagu dari luar negeri ke dalam bahasa Indonesia maupun penciptaan lagu-lagu Indonesia secara khusus.
Pada tahun 1971, Rm. Prier ditunjuk oleh Mgr. Manteiro (ketua Komisi Liturgi MAWI pada waktu itu) untuk menggantikan Rm. Frans Harjawiyoto OCSO sebagai Ketua Seksi Musik Liturgi.
Tugas baru tersebut menjadi peluang untuk semakin mengembangkan musik liturgi yang khas Indonesia sekaligus menjadi tantangan bagi Romo Prier. Di satu pihak, dua tugas yang diemban tersebut memberi keuntungan untuk memperkenalkan dan menyebarkan produk-produk PML melalui sistem hubungan antara Seksi Musik Liturgi dengan keuskupan-keuskupan; namun di lain pihak perhatian Romo Prier menjadi terbagi karena beliau harus merangkap dua tugas, yakni sebagai pimpinan PML dan ketua Seksi Musik Liturgi.
Romo Prier menjelaskan bahwa ketika PML didirikan, ada beberapa orang yang mengusulkan agar PML dimasukkan sebagai bagian dari Komisi Liturgi PWI, yakni seksi Musik Liturgi sebagai instansi resmi yang mengkoordinir musik Gereja di Indonesia.
Akan tetapi usul tersebut tidak bisa diwujudkan agar PML dapat bekerja dengan bebas dan merintis jalan baru. Hal tersebut didasari pertimbangan bahwa jika PML menjadi bagian dari Komisi Liturgi maka PML tidak leluasa melakukan eksperimen, melainkan harus sesuai dengan Komisi Liturgi. PML pun menjadi lembaga “swasta” yang berdiri sendiri sebagai salah satu bidang karya Jesuit di Indonesia yang secara khusus mengurus musik liturgi.
Sebagai lembaga yang “swasta”, PML mengurus sendiri keuangannya. PML menghidupi dirinya dari penjualan hasil produksi terbitan PML dan dari Kursus Musik Gereja yang diadakan di Yogyakarta. Untuk memudahkan PML dalam mengurus beberapa hal tekhnis, maka ketika Pusat Keteketik (Puskat) berkembang, tahun 1974 PML diintegrasikan dan bernaung di bawah payung Puskat, sebagai sesama karya Jesuit yang telah terlebih dahulu ada, agar PML tidak banyak mengurus banyak hal, misalnya bangunan, status, pajak dan izin kursus.
Pada Kongres Liturgi Nasional II untuk seluruh Indonesia pada tanggal 29 Juni – 4 Juli 1973 di Jakarta, PML ditugaskan untuk mengurus nyanyian liturgi selama Kongres berlangsung. Hal ini menjadi kesempatan yang baik bagi PML untuk bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh liturgi dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan sebelum Kongres dimulai, Seksi Musik MAWI (sekarang KWI) bekerja sama dengan Pusat Musik Liturgi telah mengadakan sayembara untuk menciptakan lagu Pernikahan dan lagu Kematian.
Untuk itu, PML mengadakan ceramah dan diskusi-diskusi bergantian dengan ibadat-ibadat, serta pameran dan pementasan hasil sayembara untuk mendukung acara tersebut. Dalam Kongres Liturgi Nasional tersebut diputuskan agar ada bagian khas dalam PWI Liturgi untuk Musik Gereja. Sekretariat ditempatkan di Yogyakarta, dan PML menerima tugas tersebut. PML bekerjasama dengan PWI - Liturgi Seksi Musik sebagai instansi resmi yang bertugas mengkoordinir musik Gereja Indonesia.
Selanjutnya, dari evaluasi pasca Kongres Liturgi tersebut muncul juga ide untuk mengadakan Kongres Musik Liturgi. Para Uskup Indonesia mendukung dan merestui rencana tersebut dalam Sidang Tahunan para Uskup November 1973. Sejak saat itu, Seksi Musik Liturgi ditugaskan untuk mulai mempersiapkannya. Akan tetapi, karena Seksi Musik tidak memiliki tenaga dan waktu yang cukup karena para anggota berkumpul hanya dua bulan sekali, maka tugas persiapan Kongres Musik Liturgi diserahakan kepada PML.
Sebagai langkah awal, PML mengumpulkan data tentang musik liturgi dengan mengedarkan angket nasional untuk menginventarisasi segala kegiatan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, Romo Prier berkeliling ke Flores, Timor dan Sumba selama 1 bulan untuk melengkapi data angket, berkontak langsung dengan calon peserta Kongres dan mengumpulkan naskah lagu dan rekaman lagu inkulturatif. Sementara itu, Bapak Paul Widyawan menciptakan sendra-nyanyi “Pariwara” dan sejumlah nyanyian Misa yang diberi judul “Indonesia Tercinta”.
Kongres Musik Liturgi Nasional yang pertama pun diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 24-30 Agustus 1975 yang dihadiri oleh utusan-utusan dari hampir semua provinsi gerejawi. Tujuan penyelenggaraan Kongres tersebut adalah untuk membahas Indonesianisasi Musik Gereja dan menjalin kontak, bertukar informasi, dan saling mendengarkan apa pun yang pada tingkat regional sudah dikembangkan.
Dalam Kongres tersebut dibicarakan beberapa hal, yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan perkembangan PML, antara lain: (1) perlunya Lokakarya Komposisi Musik Liturgi di daerah-daerah, (2) pentingnya pendidikan pemusik liturgi secara profesional dan (3) keinginan agar Seksi Musik menyusun suatu “Buku doa dan nyanyian umum” untuk seluruh Indonesia yang berisiskan lagu-lagu inkulturasi.
PML kemudian menggunakan poin (1) sebagai cara untuk mengembangkan dan menciptakan lagu liturgi di daerah-daerah. Selanjutnya, dari poin (2) PML mulai memikirkan pendidikan pemusik Gereja yang berkembang menjadi Kursus Musik Gereja.
Akhirnya dari poin (3) PML menerbitkan Buku Lagu dan Doa “Madah Bakti”. Untuk tetap menjalin hubungan dan komunikasi dengan para peserta Kongres, PML menerbitkan majalah bulanan “Warta Musik Liturgi” sejak tahun 1975.
Demikianlah PML terus berkembang dan semakin dikenal, tidak hanya di Yogyakarta/Jawa, tetapi juga di seluruh Indonesia. Selain itu, PML terus menerus bekerja sama dengan berbagai keuskupan, kelompok, lembaga dan orang-orang yang tertarik dan mau mengembangkan musik inkulturasi Indonesia.
Sampai sekarang PML terus menerus berusaha mengembangkan musik liturgi yang khas Indonesia melalu tiga tugas pokok PML, yakni: (1) studi/penelitian, (2) penerbitan, dan (3) pendidikan.
Ketiga tugas tersebut dikemas dalam berbagai kegiatan berupa lokakarya komposisi musik liturgi dan lokakarya tari liturgi ke berbagai daerah, Kursus Musik Gereja, Kursus Organis Gereja Jarak Jauh, Kursus Organis dan Vokal Anak, Kursus Organ dan Ansambel, penataran dirigen, pemazmur, organis di berbagai tempat, pementasan-pementasan paduan suara, ceramah dan pelatihan, menerbitkan buku-buku tentang musik dan liturgi serta buku-buku lagu dan iringan, menerbitkan CD, kaset, DVD dan VCD musik, menerbitkan majalah Warta Musik, merevisi Madah Bakti, dan lain sebagainya.
Dalam pidato peresmian pendirian PML tahun 1971, Rm. Prier menyatakan bahwa “PML didirikan untuk memajukan musik Gereja Indonesia sehingga makin khas Indonesia”.
Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Romo Prier dalam sambutannya pada perayaan 40 tahun PML di Aula Auditorium Puskat. Beliau menyatakan bahwa “Tujuan PML sejak didirikan 40 tahun lalu adalah untuk memajukan musik liturgi yang khas Indonesia, untuk menciptakan lagu yang belum ada 40 tahun lalu karena konsili baru menyarankan untuk memakai bahasa pribumi dalam perayaan liturgi”.
Pernyataan tersebut kemudian dirumuskan secara lebih singkat dan padat dalam rumusan visi – misi PML.
Rumusan tersebut adalah sebagai berikut
Visi - Misi PML adalah untuk mengabdi kepada perkembangan musik di Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada musik liturgi, terutama dalam rangka inkulturasi atau “pengungkapan perayaan liturgi dalam tatacara dan suasana yang selaras dengan citarasa budaya setempat umat yang beribadat”.
Visi – misi tersebut didasari oleh hasil Konsili Vatikan II yang menghendaki agar “Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli” (SC 37).
Konsili Vatikan II menegaskan dan menganjurkan: “Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka” (SC 119).
Indonesia merupakan salah satu daerah misi yang mempunyai banyak suku bangsa dengan tradisi musiknya yang beragam.
Maka didasari oleh semangat Konsili Vatikan II, Romo Prier mempunyai cita-cita untuk mewujudkan semangat Konsili tersebut dengan mendirikan sebuah lembaga yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan musik liturgi, terutama pada musik inkulturasi Indonesia. Atas dukungan dan kerjasama dengan berbagai pihak, PML pun didirikan di Yogyakarta.
Memang pada waktu PML didirikan tahun 1971, bidang inkulturasi musik liturgi belum jelas arahnya, bahkan istilah “inkulturasi” belum digunakan. Istilah yang digunakan pada saat itu adalah “Indonesianisasi”. Namun sejak awal PML telah berkeinginan untuk merintis musik Gereja yang khas Indonesia.
Romo Prier mengungkapkan bahwa “Memang, inkulturasi musik Gereja sejak semula merupakan suatu keharusan bagi Pusat Musik Liturgi. Kalau India, Kongo, Argentina, Brasil telah menghasilkan lagu liturgi yang khas, mengapa Indonesia tidak?”. Pernyataan inilah yang menjadi pendorong dan penyemangat bagi Romo Prier untuk mengembangkan musik liturgi yang khas Indonesia.
Demikianlah PML ingin mengabdi kepada perkembangan musik di Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada musik liturgi terutama dalam rangka inkulturasi.
Dari rumusan visi - misi di atas, terkandung tiga bagian yang menjadi perhatian PML.
Ketiga bagian tersebut adalah sebagai berikut.
1. Musik liturgi secara umum, yakni tradisi musik Gereja Katolik yang sudah ada sebelumnya dan tetap dipertahankan sampai sekarang. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah musik Gregorian dan musik polifoni (SC 116) dan penggunaan organ dalam liturgi (SC 120).
2. Musik Indonesia secara umum, yakni tradisi musik daerah-daerah di Indonesia dan nyanyian-nyanyian nasional Indonesia yang tidak ada kaitannya dengan musik Gereja. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya berbagai buku lagu dan CD yang memuat lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain: Bolebo, Kambanglah Bungo, Domidow, Dami Piranta, Ondel-ondel, Mutiara Samudera, Dolanan, dan Nusantara Bernyanyi.
3. Musik liturgi khas Indonesia, yakni musik yang diambil dari tradisi Indonesia kemudian digubah/diciptakan khusus untuk kegiatan peribadatan. Musik inilah yang disebut sebagai musik inkulturasi, yang menjadi fokus utama PML.
Untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu memanglah tidak semudah yang diduga, butuh perjuangan yang berat dan waktu yang panjang. Berbagai kegiatan dan studi diarahkan ke sana untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan PML.
Yang jelas dan pasti hasrat untuk sekedar mewujudkan itu, untuk membuat musik Gereja yang khas Indonesia, telah digambarkankan dalam lambang PML, yakni berupa penggabungan sebuah gitar dan alat musik gamelan sebagai alat musik daerah Indonesia.
Usaha mewujudkan cita-cita tersebut tidak sekedar dinampakkan dalam lambang PML melainkan terutama diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan dan karya-karya PML
Tidak ada komentar:
Posting Komentar