HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
"Merton" : Transformasi Sang Pendo(s)a
“TM” alias Thomas Merton (31 Januari 1915 – 10 Desember 1968) adalah seorang rahib Trappist di "Abbey of Our Lady of Gethsemani", Kentucky Amerika dan pengarang buku buku rohani, pakar spiritual, penyair dan sekaligus aktivis sosial yang dilahirkan di Prades, tepatnya di département Pyrénées-Orientales, sebuah kota kecil di Perancis, pada tanggal 31 Januari 1915.
Ibunya, Ruth Jenkins Merton, adalah seorang wanita Amerika yang berbakat seni, penari, penulis puisi dan kronik hidup. Ayahnya, Owen Merton, adalah seorang pria Selandia baru yang berprofesi sebagai pelukis.
Ketika berumur satu tahun, orang tuanya pindah ke Amerika Serikat. Disanalah adiknya lahir dengan nama John Paul, empat tahun lebih muda dari dia. Ketika Merton berumur enam tahun, ibunya meninggal akibat penyakit kanker.
Setelah ibundanya meninggal, Merton ikut berpindah-pindah bersama ayahnya, karena itu sekolah dasarnya dilangsungkan di tiga negara: Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris. Ia sendiri melewati tahun-tahun awal hidupnya di bagian selatan Perancis, kemudian ia pergi ke Sekolah Oakham di Inggris dan ayahnya meninggal karena tumor otak ketika Merton berusia 16 tahun.
Merton lalu masuk di Universitas Cambridge dan menjalani hidup yang kacau, penuh dengan petualangan, foya-foya dan huru hara. Ia menjadi “sang pendosa” dan melulu asyik masyuk-khusyuk mencari kenikmatan duniawi, bahkan di tahun pertamanya di Universitas Cambridge, ia mendapatkan anak dari hubungan free-sex nya.
Akhirnya, Merton pindah ke Amerika Serikat dan tinggal bersama kakek-neneknya yang bekerja sebagai penerbit dan menyelesaikan pendidikannya di Columbia University, New York, jurusan Sastra Inggris.
Disanalah, ia berkenalan dengan sekelompok seniman dan penulis yang kelak menjadi sahabatnya seumur hidupnya dan mengajaknya ber-transformasi dari “sang pendosa” menuju ke “sang pendoa”. Selain sastra, ia berminat dalam bidang sosial dan filsafat, termasuk filsafat mistik timur. Ia juga sangat aktif melibatkan diri dalam kegiatan kampus. Ia banyak menulis dalam hampir semua majalah kampus. Ia berambisi menjadi seorang penyair, penulis dan kritikus terkenal.
Jiwa sosial Merton tumbuh ketika ia mulai mengenal kristianitas. Merton sendiri dibaptis dan menjadi pemeluk agama Katolik pada awal usia 20-an tahun ketika ia sedang menyusun tesis masternya tentang William Blake.
Meskipun hidup masa muda Merton dapat dikatakan”kafir”, namun pada inti batinnya ia merupakan seorang religius, dalam arti: selalu memiliki rasa kagum dan haus, yang tak pernah terpuaskan, akan suatu realitas tertinggi.
Kehausan akan realitas tertinggi tersebut sedikit terpenuhi setelah ia membaca buku ”The Medieval Philosophy” karangan Etiene Gilson. Merton mengatakan bahwa dengan membaca buku itu, inteleknya yang selama itu mencari arti Allah, benar-benar “melek” dan terpuaskan, sehingga ia mengalami perubahan radikal dari seorang”ateis”menjadi seorang yang “mistis”, membuka diri kepada pengalaman religius yang otentik.
Setelah bertobat, ia rajin melakukan praktek keagamaan: setiap hari menyambut komuni, seminggu sekali mengaku dosa,berdoa jalan salib, membaca bacaan rohani, antara lain karya-karya St.Yohanes dari Salib, St. Agustinus dan lain-lain.
Beberapa figur yang berpengaruh dalam membentuk dan membangun kepribadian Merton adalah Mark Van Doren, Daniel Walsh dan William Blake.
Mark Van Doren adalah seorang pujangga pemenang hadiah Pulitzer, menjadi model keunggulan mengajar, kefasihan sastra dan etika pribadi serta pengganti ayah bagi Merton. Sementara Daniel Walsh adalah seorang filsuf yang amat memahami Merton dan yang memperkenalkannya kepada kehidupan Trappist di Pertapaan Gethsemani. Pribadi lain yang juga amat berpengaruh terhadap kepribadian Merton adalah William Blake, yang kemudian hari akan memiliki pengaruh sangat banyak terhadap pemikiran-pemikiran dan tulisannya.
Merton sendiri pernah berkarya di Friendship House dan mulai memikirkan secara serius untuk menjadi imam. Ia mengajukan permohonan ke Ordo Fransiskan dan diterima. Tetapi beberapa bulan sebelum masuk novisiat ia dihantui oleh rasa tidak pantas, mengingat masa lalunya.
Kemudian, ia menjelaskan keraguannya kepada pemimpin Ordo Fransiskan dan ia dinasehati untuk menarik diri selama waktu tak terbatas, apalagi mengingat bahwa belum ada dua tahun sejak dia menjadi Katolik. Merton mengalami frustasi yang hebat namun menerima keputusan itu dengan tabah. Ia masuk Ordo Ketiga Fransiskan, karena ia berpikir sekurang-kurangnya dalam Ordo Ketiga ia masih kesempatan untuk menjadi suci sembari mengajar di Kolese St. Bonaventure, di Olean, New York
Pada liburan Paska, ia mengadakan retret/khalwat di Biara Trappist, Gethsemani, dekat Bardstown, Kentucky, dan merasa jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap cara hidup Trappist yang keras. Ia melihat dalam cara hidup tersebut cita-cita hidupnya sendiri yang selalu ia cari.
10 Desember 1948, ia masuk ke pertapaan Trappist Gethsemani di Louisville, Kentucky. Disana, Merton menjalani kehidupan doa dan kerja dalam keheningan sebagai seorang rahib Trappist, sementara buah-buah pemikiran dan permenungannya ia tuangkan ke dalam tulisan-tulisannya.
Sebelum kaul kekalnya, ia tergoda untuk meninggalkan biaranya dan masuk biara Kartusian, untuk menghayati hidup eremit di sana. Tetapi hatinya tenang setelah membicarakannya dengan Abas dan Bapa pengakuannya. Tahun 1947, ia mengucapkan kaul kekal dan tahun 1949 menerima tahbisan imamat, meskipun sebelum tahbisan, godaan untuk memeluk eremit muncul kembali.
Setelah di tahbiskan, ia menjadi pembimbing para calon imam dalam biaranya sendiri di Biara Trappist, Gethsemani dari tahun 1951-1955. Dan tahun 1955-1965, ia bertugas sebagai pembimbing novis.
Waktu ia masih sebagai novis, dia disuruh menulis riwayat hidupnya, ”The Seven Storey Mountain” yang menjadi “best seller”. Adapun menurut pengakuan para pembacanya, mereka menemukan Tuhan kembali dan bertobat sesudah membaca buku ”The Seven Storey Mountain” itu.
Sementara itu Merton terus menulis dalam berbagai subyek, mulai dari hidup rohani, kesenian, sastra, sampai politik. Banyak orang yang membaca karya tulisnya, karena apa yang ditulisnya keluar dari hati dan penghayatan hidupnya.
Ya, pada tahun-tahun ia tinggal di Gethsemani, Merton berubah dari seorang biarawan muda yang sangat bersemangat dalam memeriksa hidup batinnya seperti yang digambarkan dalam buku otobiografinya yang paling terkenal, The Seven Storey Mountain, menjadi seorang penulis dan penyair yang kontemplatif yang menjadi terkenal karena dialognya dengan iman-iman lain dan sikapnya yang anti-kekerasan pada masa kerusuhan antar-ras dan Perang Vietnam pada tahun 1960-an.
Pada tahun 1965, setelah pergulatan selama lima belas tahun untuk meyakinkan komunitasnya bahwa panggilan hidup eremit adalah perkembangan wajar dan buah yang masak dari hidup seorang rahib trappist/cisterciensis, akhirnya ia mendapat ijin dari Abasnya untuk menjalani hidup eremit. Sebuah rumah di bangun khusus untuk itu, namun masih di dalam lingkungan biaranya.
Dengan menjalani hidup eremit, Merton semakin menjadi rahib trappist yang matang, manusiawi, dekat dengan manusia dan universal pandangannya. Hal ini nampak dari tulisan dan pengaruh tulisannya yang semakin luas dan mendalam. Pada tahun-tahun itu juga, ia sekaligus mengalami banyak sekali "pertikaian" dengan Abas/kepala biaranya karena ia dilarang keluar dari biara, mengimbangi reputasi internasionalnya dan korespondensinya yang sangat luas dengan banyak tokoh terkenal dari pelbagai bidang pada waktu itu,
Seorang kepala biara atau Abas yang baru memberikan kepadanya kebebasan untuk melakukan perjalanan ke Asia pada akhir 1968. Dalam perjalanan itu ia mengalami pertemuan yang tak terlupakan dengan Dalai Lama di India, juga dengan Thich Nhat Hanh dan D. T. Suzuki. Ia juga berkunjung ke Polonnaruwa (yang saat itu dikenal sebagai Ceylon), dan mendapatkan suatu pengalaman keagamaan ketika ia menyaksikan patung-patung Sang Buddha yang sangat besar.
Pada tahun 1968 itu juga, Merton di undang oleh suatu lembaga”pertemuan para rahib Asia” di Bangkok, untuk memberikan ceramah dalam pertemuan itu. Ia bermaksud beberapa bulan tinggal di Asia, dangan tujuan untuk memperdalam penghayatan kerahibannya dan berdialog dengan para rahib timur. Dia juga punya rencana untuk berkunjung ke pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah. Ada spekulasi bahwa Merton ingin menetap di Asia sebagai seorang pertapa.
Akan tetapi harapan itu tak dapat di penuhi karena di Bangkok, Thomas Merton, sang “rahib” ini-pun “raib”. Ia meninggal dunia di usia 53 tahun pada tanggal 10 Desember 1968, akibat suatu kecelakaan, terkena arus listrik dari sebuah kipas angin.
Jenazahnya diterbangkan ke Gethsemani dan di sana ia dikebumikan. Sejak kematiannya, pengaruhnya terus berkembang, dan ia dianggap oleh banyak orang sebagai mistikus Amerika pada abad ke-20.
Selama hidupnya, Merton menulis lebih dari 50an buku, 2000 puisi, dan tidak terhitung jumlahnya esai, tinjauan, dan ceramah yang telah direkam dan diterbitkan dimana Merton sendiri melarang buku-bukunya diterbitkan sebelum lewat masa 25 tahun sesudah kematiannya.
Sebagai penghargaan terhadap hubungannya yang erat dengan Universitas Bellarmine, arsip-arsip Merton disimpan di tempat penyimpanan resmi, yaitu "Thomas Merton Center" di kampus Bellarmine di Louisville, Kentucky. Ada juga “Penghargaan Thomas Merton” yakni sebuah hadiah perdamaian, yang telah dianugerahkan sejak 1972 oleh "Pusat Thomas Merton untuk Perdamaian dan Keadilan Sosial" ("Thomas Merton Center for Peace and Social Justice") di Pittsburgh, Pennsylvania, AS.
Pustakaloka:
• A Man in the Divided Sea, 1946
• The Seven Storey Mountain, 1948 (ISBN 0-15-601086-0)
• The Merton Annual, Fons Vitae Press
• Merton and Hesychasm-The Prayer of the Heart, Fons Vitae Press
• Merton and Sufism: The Untold Story, Fons Vitae Press
• Merton and Judaism - Holiness in Words, Fons Vitae Press
• Waters of Siloe, 1949 (ISBN 0-15-694954-7)
• Seeds of Contemplation, 1949 (ISBN 0-313-20756-9)
• The Ascent to Truth, 1951 (ISBN 0-86012-024-4)
• Bread in the Wilderness, 1953
• The Last of the Fathers, 1954
• The Living Bread, 1956
• No Man is an Island, 1955
• The Silent Life, 1957
• Thoughts in Solitude, 1958
• The Secular Journal of Thomas Merton, 1959
• Disputed Questions, 1960
• The Behavior of Titans, 1961
• The New Man, 1961 (ISBN 0-374-51444-5)
• New Seeds of Contemplation, 1962 (ISBN 0-8112-0099-X)
• Emblems of a Season of Fury, 1963
• Life and Holiness, 1963
• Seeds of Destruction, 1965
• Conjectures of a Guilty Bystander, 1966 (ISBN 0-385-01018-4)
• Raids on the Unspeakable, 1966
• Mystics and Zen Masters, 1967
• Cables to the Ace, 1968
• Faith and Violence, 1968
• My Argument with the Gestapo, 1969
• The Climate of Monastic Prayer, 1969
• Contemplation in a World of Action, 1971
• The Asian Journal of Thomas Merton, 1973
• Alaskan Journal of Thomas Merton, 1988
• The Intimate Merton: His Life from His Journals, 1999
• Peace in the Post-Christian Era, 2004
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
TUJUH BENTUK KEBEBASAN ALA MERTON UNTUK MENUJU KEBEBASAN SEJATI
Basil Pennington, OCSO membagikan pengalaman kedekatannya dan pengenalannya akan Merton secara pribadi dan sebagai seorang saudara seperjalanan dalam hidup monastiknya. Basil mengulas seluruh rangkaian perjalanan hidup Merton secara kronologis dan beberapa tahap perkembangan hidup Merton yang telah dituliskan dan yang telah dibagikan ke dalam beberapa buku. Beberapa poin yang dibahas oleh Romo Basil dalam esai ini yaitu, tentang pencarian Merton akan kebebasan yang sejati; Free by Nature, Freedom of Faith, Freedom of Monasticism, Free to be the World, A Life Free from Care, Final Integration, Full Freedom of the Son of God.
Pemahaman Merton akan dirinya dan akan misteri kediriannya yang sejati telah ditemukannya melalui dan dalam keheningan. Dalam keheningan itu pulalah dia menemukan jati dirinya yang sebenarnya yang tak terjelaskan dan yang melampaui kata-kata, karena jati dirinya yang sejati memang benar-benar khusus dan unik.
Merton adalah seorang pribadi yang khusus dan unik. Keunikannya itu ditampakkannya dalam upayanya untuk menjadi dirinya sendiri. Kekhasan lain yang dimiliki oleh Merton yaitu bahwa hampir seluruh pembentukan kehidupan rohani pribadinya dimulainya dari konsep pemikirannya. Ia adalah manusia yang seutuhnya bebas (freedom), kebebasan ini pula yang membuat dirinya tidak melekatkan dirinya pada ke-aku-an yang secara humanis masih ada dalam setiap pribadi manusia.
Pengalaman awal hidupnya dalam memasuki keheningan telah menghantarkannya pada penemuan jati dirinya dalam Allah dan keberadaannya tidaklah membuat dirinya berbeda dan menjauhkannya akan tanggung jawabnya terhadap keselamatan jiwa orang-orang yang berada di dunia luar.
1.
Kebebasan Alamiah
Kematian-kematian menjadi bagian dalam kehidupan Thomas Merton. Ibunya, Ruth Jenkins, menderita kanker perut dan wafat ketika Merton berusia enam tahun. Ayahnya, Owen Merton, berpulang ketika Merton berusia enam belas tahun, setelah cukup lama bergulat dengan kanker otak yang membuatnya tidak lagi mampu berbicara. Adiknya, John Paul, meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang pada 1943, dua tahun setelah Merton masuk ke Pertapaan Our Lady of Gethsemani, Kentucky. Selama 53 tahun ia hidup, ada 65 juta orang yang mati terbunuh dalam peperangan. Itu berarti bahwa pada periode kehidupannya, rata-rata lebih dari sejuta jiwa korban per tahun.
Kematian ayahnya pada tahun 1931, membuat luka yang begitu dalam baginya. Dalam kedukaannya, ia menyadari bahwa ayahnya yang telah pergi tetap menyertainya. Kehidupan dan kematian ayah Merton turut menghiasi seluruh perjalanan rohaninya. Rentetan peristiwa kematian yang pernah ia saksikan dan ia alami membuatnya masuk ke dalam sebuah misteri kebebasan manusia dari yang natural (alami). Merton merasakan bahwa dalam menghadapi setiap peristiwa kematian, ia merasa dituntun oleh daya kekuatan misterius. Ia diajak keluar dari dirinya, dibimbing melampaui perasaan marah dan berontak yang bergejolak dalam hatinya, suatu protes atas kematian orang tuanya. Ia merasakan daya kekuatan rohani yang membuatnya dapat melihat keluhuran nilai atas setiap peristiwa dalam hidupnya.
2.
Kebebasan Iman
Dalam tulisannya yang berjudul Entering the Silence, Merton bercerita bahwa minatnya masuk biara sebenarnya adalah untuk lari meninggalkan segala permasalahan dunia. Baginya, dunia modern telah rusak dan dipenuhi dengan berbagai tragedi.
Dalam perjalanan waktu, motivasinya pun diganti untuk mengabdi Tuhan dan menceburkan diri dalam cinta-Nya yang tak terbatas. Kedewasaan rohani Merton semakin matang seiring perjalanan hidupnya. Relasinya dengan Allah membawanya pada pemahaman baru akan kebebasan iman dan pengenalannya akan Allah.
Menurut Merton, kebebasan iman akan membawa setiap orang kepada kesadaran akan kasih Allah, dan dari kesadaran itu manusia diajak untuk memandang sesamanya sebagai Kristus sendiri dan mengasihinya tanpa pamrih dan tanpa pandang bulu, karena setiap manusia adalah representasi Allah sendiri.
3.
Kebebasan Monastik
Perjalanan waktu memang turut mengubah Merton dalam melihat realitas dan paradigma dalam hidupnya. Merton mengekspresikan gerak batinnya melalui tulisan-tulisannya. Ketika ia bergulat dengan identitas dirinya secara tidak sadar ia telah melihat dirinya walaupun masih dalam keraguan.
Dalam situasi itulah, Allah bekerja dan menggerakkan hati Merton untuk mencari kebenaran dan kesejatian hidup yang akan memenuhi hasrat dan dahaganya. Ia menemukan hasrat dan panggilannya di Gethsemani, di sebuah Pertapaan Ordo Cisterciensis yang kerap disebut Trappist.
Dalam pertapaan itulah, dia menemukan bahwa kehidupan monastik menjadi jalan yang dapat mengantarnya untuk mencari Allah yang merupakan sang kebenaran sejati itu sendiri.
4.
Kebebasan dan Dunia
Kehidupan monastik yang telah dipeluk oleh Merton merupakan cita-cita awal yang ideal baginya untuk masuk dalam keheningan yang memisahkan dia dari dunia dan yang akan mengantarnya kepada sebuah kesatuan mesra dengan Allah.
Kesadaran awal itu memang sempat merasuk dalam benaknya, dia beranggapan semula bahwa pilihan hidup monastik telah membuatnya sungguh-sungguh teralienasi dari dunia. Konsep dan pemikiran Merton berubah drastis seiring perjalanan hidupnya dalam mengahayati panggilan monastik Trappist.
Panggilannya sebagai rahib menyadarkan dia bahwa dia tidaklah terpisah dari dunia. Dalam buah-buah kontemplasinya, dia terbangun dari ilusi suci yang semula sempat tersembunyi dalam benak dan pikirannya. Pilihan hidupnya sebagai rahib menyadarkannya bahwa dia menjadi jantung bagi gereja dan dunia. Dengan penuh kesadaran, dia mengungkapkan demikian; “Pilihanku menjadi seorang kontemplatif secara penuh memiliki konsekuensi untuk membagikannya kepada sesama dan dunia. Dengan demikian aku memberikan kesaksian akan keutamaan monastik”.
5.
Kebebasan Hidup
Momen perubahan cara pandang Merton terhadap hakikat panggilannya sebagai seorang rahib telah membuka cakrawalanya dalam melihat dan memaknai segala sesuatu dalam hidup. Merton mengatakan “Aku rasanya seperti terbangun dari mimpi bahwa aku terisolasi dalam suatu dunia yang khusus, dunia kesucian. Seluruh ilusi mengenai kesucian yang terasing itu merupakan suatu mimpi”.
Sebagai seorang Trappist, Merton dapat berbicara dan mewartakan kebenaran yang berasal dari buah-buah kontemplasinya. Sebagai seorang mistikus dalam abad modern, dia berpendapat bahwa seorang rahib lebih sebagai seseorang yang sungguh-sungguh melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Merton melihat seluruh kehidupan berasal dari Allah, ditopang oleh Allah, dan akan kembali kepada Allah.
6.
Keutuhan Final
Merton melihat kehidupannya yang unik seperti apa adanya yang dia alami dan rasakan. Hal itu tidaklah jauh berbeda dengan setiap orang dalam memahami dan melihat kehidupannya. Dia menggambarkan peristiwa hidupnya sebagai sebuah momen kedekatan yang intim bersama Allah. Perjalanan ziarah yang dia lakukan untuk mendalami mistisisme Kristen dan pengalaman mistik dalam Zen telah mengantarnya kepada sebuah final integration.
Merton menulis bahwa dalam realita, ketika kita menguji tradisi-tradisi besar kontemplatif Timur dan Barat dengan lebih mendalam, di samping beberapa perbedaan yang kadangkala sangat radikal namun keduanya menyetujui bahwa melalui disiplin-disiplin spiritual seorang manusia dapat mengubah hidupnya secara radikal, mencapai sebuah makna hidup yang lebih mendalam, sebuah integrasi dan kepenuhan yang lebih sempurna, serta sebuah kebebasan roh yang lebih total. Pengenalannya akan Zen, membantu Merton untuk menghancurkan kedirian palsu (the false self) dan mengantarnya untuk menemukan kedirian yang sejati (the true self).
7.Kebebasan Penuh Anak Allah
Thomas Merton telah menyelesaikan seluruh perjalanan hidupnya menuju kebebasan yang penuh, kebebasan sejati yang telah ia capai bersama Kristus dalam menapakai jalan salib dan sengsara-Nya. Kini ia bersukacita bersama Kristus dalam kerajaan surga, bersatu dengan-Nya sebagai anak Allah. Merton telah meninggalkan banyak hal berguna bagi kita dalam zaman modern ini. Dia mengajarkan banyak hal dan membagikan buah-buah kontemplatif yang sangat berguna bagi manusia modern untuk mencapai kesempurnaan Kristiani dan mencapai kebebasan sejati sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian seluruh perjalan panggilan Merton telah membuktikan bahwa pengalaman mistik mampu mentransformasi dan melahirkan makna, visi, dan kedirian baru bagi manusia. Saat manusia mengalami kesatuan dengan Allah, saat itu pula ia menyadari sebuah kesatuan yang lebih utuh dan mendalam di antara dirinya, sesamanya, dan dunianya di dalam Dia.
B.
Relevansi dan Signifikansi Ajaran Thomas Merton
Di dalam praktek hidup sehari-hari, ajaran atau tulisan Thomas Merton sangat relevan untuk dijalani. Thomas Merton mengatakan, bahwa kesucian adalah proses dimana seseorang berjuang, jatuh, gagal, dan sering tak pernah meraihnya secara sempurna.
Kita dihadapkan pada realita hidup bersama, dalam keluarga, komunitas, berbangsa dan bernegara, yang pada waktunya akan terjadi konflik. Konflik yang melukai batin sangat berpengaruh dalam pola relasi, pekerjaan, dan kehidupan doa kita. Segala kelemahan-kelemahan diripun muncul ke permukaan: kemarahan, pembalasan, ketidak pedulian dll, yang sebenarnya kita sadari bahwa semua sikap seperti itu hanya membawa kita dalam keterpurukan.
Namun anehnya, kita justru cenderung mengikuti emosi yang tidak baik itu. Sebenarnya, kita bisa bangkit dan berdoa pada Tuhan, agar segala kecenderungan diri (kerapuhan) untuk berdosa disembuhkan.
Menurut Thomas Merton dalam arti kebebasan kodrati: manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk memilih kebaikan atau memilih melakukan dosa dan kejahatan. Dengan pertolongan rahmat Allah, manusia akan berkembang menuju arah kebaikan. Merton meyakini bahwa puncak kesatuan kita dengan Allah ialah ketika kita menyatukan semua bentuk kehidupan pada cinta sederhana.
Satu lagi aspek menarik dalam diri merton adalah, kesadaran yang amat tajam akan sebuah kebutuhan dalam spiritualitasnya, yakni kebutuhan untuk dibebaskan dari kejahatan dalam dirinya.
Ia telah mengalami sebuah kehancuran pada kehidupan masa remajanya. Merton menggambarkan perjalanan spiritual sebagai pendakian tujuh tingkat gunung penyucian jiwanya, yang dimulai dengan kebutuhannya untuk dibebaskan dari kesalahannya serta kebutuhan akan transformasi terus-menerus (pertobatan).
Dalam kehidupan sehari-hari, memang cukup sulit untuk bangkit dari kejatuhan (dosa) yang sama terus menerus. Tetapi kita juga harus menyadari bahwa Tuhan itu Maha Rahim dan sungguh sangat mengerti dan menerima kita. Dia menginginkan kita untuk terus berjuang menerima rahmatNya setiap hari. Ya, kelemahan-kelemahan adalah anugerah yang perlu kita sadari, sebab kelemahan-kelemahan itulah yang membawa kita kedalam hidup doa yang tekun dan mendalam, hingga buah-buah relasi yang intim dengan Allah menjadikan semangat baru dalam bertransformasi diri.
Thomas Merton sendiri terkesan oleh kata-kata Kardinal Newman yang mengatakan: “Hidup itu berarti siap berubah dan menjadi sempurna berarti selalu siap berubah, dan seluruh kehidupan kita merupakan pelepasan dan penerimaan. Lepaskan yang lama dan terima yang baru dari Tuhan.”
C.
Merton’s Wisdom (PART I)
“The beginning of love is the will to let those we love be perfectly themselves, the resolution not to twist them to fit our own image. If in loving them we do not love what they are, but only their potential likeness to ourselves, then we do not love them: we only love the reflection of ourselves we find in them”
― Thomas Merton, No Man Is an Island
“The beginning of love is the will to let those we love be perfectly themselves, the resolution not to twist them to fit our own image.”
― Thomas Merton, The Way of Chuang Tzu
“Art enables us to find ourselves and lose ourselves at the same time.”
― Thomas Merton, No Man Is an Island
“My Lord God, I have no idea where I am going. I do not see the road ahead of me. I cannot know for certain where it will end. Nor do I really know myself, and the fact that I think that I am following your will does not mean that I am actually doing so. But I believe that the desire to please you does in fact please you. And I hope I have that desire in all that I am doing. I hope that I will never do anything apart from that desire. And I know that if I do this you will lead me by the right road though I may know nothing about it. Therefore will I trust you always though I may seem to be lost and in the shadow of death. I will not fear, for you are ever with me, and you will never leave me to face my perils alone.”
― Thomas Merton, Thoughts in Solitude
“Love is our true destiny. We do not find the meaning of life by ourselves alone - we find it with another.”
― Thomas Merton, Love and Living
“You do not need to know precisely what is happening, or exactly where it is all going. What you need is to recognize the possibilities and challenges offered by the present moment, and to embrace them with courage, faith and hope.”
― Thomas Merton
“If you want to identify me, ask me not where I live, or what I like to eat, or how I comb my hair, but ask me what I am living for, in detail, ask me what I think is keeping me from living fully for the thing I want to live for.”
― Thomas Merton
“To be grateful is to recognize the Love of God in everything He has given us - and He has given us everything. Every breath we draw is a gift of His love, every moment of existence is a grace, for it brings with it immense graces from Him.
Gratitude therefore takes nothing for granted, is never unresponsive, is constantly awakening to new wonder and to praise of the goodness of God. For the grateful person knows that God is good, not by hearsay but by experience. And that is what makes all the difference.”
― Thomas Merton
“Our job is to love others without stopping to inquire whether or not they are worthy. That is not our business and, in fact, it is nobody's business. What we are asked to do is to love, and this love itself will render both ourselves and our neighbors worthy.”
― Thomas Merton
“The more you try to avoid suffering, the more you suffer, because smaller and more insignificant things begin to torture you, in proportion to your fear of being hurt. The one who does most to avoid suffering is, in the end, the one who suffers most.”
― Thomas Merton, The Seven Storey Mountain
“Do not depend on the hope of results. You may have to face the fact that your work will be apparently worthless and even achieve no result at all, if not perhaps results opposite to what you expect. As you get used to this idea, you start more and more to concentrate not on the results, but on the value, the rightness, the truth of the work itself. You gradually struggle less and less for an idea and more and more for specific people. In the end, it is the reality of personal relationship that saves everything.”
― Thomas Merton
“Instead of hating the people you think are war-makers, hate the appetites and disorder in your own soul, which are the causes of war. If you love peace, then hate injustice, hate tyranny, hate greed - but hate these things in yourself, not in another.”
― Thomas Merton, New Seeds of Contemplation
“Finally I am coming to the conclusion that my highest ambition is to be what I already am. That I will never fulfill my obligation to surpass myself unless I first accept myself, and if I accept myself fully in the right way, I will already have surpassed myself.”
― Thomas Merton
“If a man is to live, he must be all alive, body, soul, mind, heart, spirit.”
― Thomas Merton, Thoughts in Solitude
“The beginning of love is to let those we love be perfectly themselves and not to twist them to fit our own image.”
― Thomas Merton
“Our idea of God tells us more about ourselves than about Him.”
― Thomas Merton
“Anxiety is the mark of spiritual insecurity.”
― Thomas Merton
“But there is greater comfort in the substance of silence than in the answer to a question.”
― Thomas Merton
“Love seeks one thing only: the good of the one loved. It leaves all the other secondary effects to take care of themselves. Love, therefore, is its own reward.”
― Thomas Merton
“Solitude is a way to defend the spirit against the murderous din of our materialism.”
― Thomas Merton
“Only the man who has had to face despair is really convinced that he needs mercy. Those who do not want mercy never seek it. It is better to find God on the threshold of despair than to risk our lives in a complacency that has never felt the need of forgiveness. A life that is without problems may literally be more hopeless than one that always verges on despair.”
― Thomas Merton, No Man Is an Island
“A man knows when he has found his vocation when he stops thinking about how to live and begins to live.”
― Thomas Merton
“To allow oneself to be carried away by a multitude of conflicting concerns, to surrender to too many demands, to commit oneself to too many projects, to want to help everyone in everything, is to succumb to the violence of our times.”
― Thomas Merton
“Life is this simple: we are living in a world that is absolutely transparent and the divine is shining through it all the time. This is not just a nice story or a fable, it is true. ”
― Thomas Merton
“Peace demands the most heroic labor and the most difficult sacrifice. It demands greater heroism than war. It demands greater fidelity to the truth and a much more perfect purity of conscience.”
― Thomas Merton
“Keeping a journal has taught me that there is not so much new in your life as you sometimes think. When you re-read your journal you find out that your latest discovery is something you already found out five years ago. Still, it is true that one penetrates deeper and deeper into the same ideas and the same experiences.”
― Thomas Merton, The Sign of Jonas
“Souls are like athletes, that need opponents worthy of them, if they are to be tried and extended and pushed to the full use of their powers, and rewarded according to their capacity.”
― Thomas Merton, The Seven Storey Mountain
“If you write for God you will reach many men and bring them joy. If you write for men--you may make some money and you may give someone a little joy and you may make a noise in the world, for a little while. If you write for yourself, you can read what you yourself have written and after ten minutes you will be so disgusted that you will wish that you were dead.”
― Thomas Merton, Seeds of Contemplation
“The man who fears to be alone will never be anything but lonely, no matter how much he may surround himself with people. But the man who learns, in solitude and recollection, to be at peace with his own loneliness, and to prefer its reality to the illusion of merely natural companionship, comes to know the invisible companionship of God. Such a one is alone with God in all places, and he alone truly enjoys the companionship of other men, because he loves them in God in Whom their presence is not tiresome, and because of Whom his own love for them can never know satiety.”
― Thomas Merton, No Man Is an Island
“Reason is in fact the path to faith, and faith takes over when reason can say no more.”
― Thomas Merton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar