HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
"Vade retro satana - Enyahlah engkau iblis!"
Inilah hardikan Yesus kepada Petrus: "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (Mrk 8,33)
Dalam diri Petrus ada dua kekuatan atau kuasa yang bekerja sekaligus, yakni kuasa Allah dan iblis.
Dengan kuasa Allah, ia dapat berkata dan berwarta dengan benar bahwa Yesus adalah Mesias. Namun, tidak lama berselang, iblis dalam dirinya membelokkan pemahaman dan pemaknaan yang ia miliki tentang jati diri Mesias. Ia memikirkan Mesias yang berjaya, bukan Mesias yang menderita sengsara. Apa yang ia pikirkan ini tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Allah. Dengan kata lain, iblis yang menguasai Petrus menjadikan dirinya berpikir, berkata dan bertindak secara tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Bicara soal iblis, menurut St. Ignatius, ada 3 karakter dasar iblis (LR 313-327): seperti perempuan/pintar merayu, seperti pria playboy/pintar berpura-pura dan seperti panglima/pintar mencari titik lemah.
Secara sederhana, iblis/setan ini juga kerap hadir di kitab suci sebagai "serigala" yang rakus, "ular" yang licik dan "naga" yang pemarah. Dengan kata lain: Jika kita mudah rakus-licik dan marah, kita membuat iblis lahir di hati dan hidup kita.
Adapun Yesus yang diakui Petrus sebagai "Mesias" ("yang terurapi"), yang selalu hadir untuk mengenyahkan iblis mengatakan bahwa sebelum mengalami pemuliaan dan kebangkitan, Ia harus menanggung banyak penyaliban dan kesakitan, antara lain: ditolak dan dibunuh oleh para tua, imam kepala dan ahli Taurat.
Nah, sebenarnya kitapun juga diajak untuk selalu mengenyahkan iblis dengan berani mengikuti 4 jalan iman seperti yang saya dapatkan ketika memberi sesion untuk para suster rubiah Claris di Singkawang, antara lain:
1."Lihat salibNya":
Kita diajak untuk selalu mengarahkan mata dan hati kepada misteri Tuhan yang tersalib.
2."Pegang salibNya":
Kita diajak untuk dekat-erat dan bersahabat dengan salibNya, berani memegang dan mengarahkan tangan kita kepada tanganNya, pergulatan salib kita kepada salibNya.
3."Pikul salibNya":
Kita diajak u/rela memikul aneka salib dengan ringan dan terbuka, dengan sabar dan tegar karena kita boleh ikut sedikit merasakan apa yang dulu dialamiNya.
4."Bawa salibNya":
Kita diajak untuk selalu berani membawa salibNya dalam segala gerak-polah, doa karya dan pergulatan harian kita karena didasari keyakinan ala Camara, "Tuhan bila salib menimpa kami maka hancurlah kami tapi bila Engkau yang datang bersama salib - Engkaulah yang setia memeluk kami."
"Bunga tulip banyak di Belanda - Bersama salib kita bersih dari aneka noda."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Hidup lepas bebas dan ikhlas
Yes 50:5-9a; Yak 2:14-18; Mrk 8:27-35
01. Perikop tanya jawab tentang identitas Yesus di mata orang banyak serta bagi para murid ini merupakan pusat Injil Markus, mengakhiri paruh pertama dan mengawali paruh kedua. Paruh kedua ini ditandai dengan perjalanan Yesus dari Galilea naik ke Yerusalem. Kalau dalam paruh pertama Yesus selalu melarang semua pihak entah roh-roh jahat, setan, orang banyak dan bahkan para murid sekali pun untuk mewartakan identitas-Nya sebagai Mesias (the Mesianic Secret, lih. Mrk 1:25.34; 3:12; 5:43; 7:36 dan 8:30), dalam paruh kedua sedikit demi sedikit Yesus mewahyukan dan menjelaskan isi Rahasia Mesias itu yang memuncak pada peristiwa salib, yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Yesus merasa perlu menyembunyikan jati diri-Nya untuk menghindari kesalahpahaman. Jati diri Yesus sebagai Mesias, Putra Allah tidak mungkin dipahami secara tepat bila hanya berdasarkan mukjizat yang dilakukan-Nya dengan penuh kuasa, seperti memberi makan 5000 orang (Mrk 6:30-44), berjalan di atas air (Mrk 6:45-52), menyembuhkan orang-orang sakit (Mrk 6:53-56), orang tuli (Mrk 7:31-37) dan buta (Mrk 8:22-26). Pemahaman akan mesianitas Yesus baru utuh bila telah menyaksikan misteri salib yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya (Mrk 9:9).
02. Pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Kata orang, siapakah Aku ini?” (ay. 27b) mengantar pada pertanyaan yang kedua dan pemberitahuan tentang penderitaan-Nya dalam ayat 31-33. Dengan pertanyaan ini, Yesus ingin mendengar pendapat orang-orang yang tidak termasuk kelompok para murid tentang diri-Nya, tanggapan dan kesan mereka akan sabda dan karya-Nya. Orang-orang memang melihat Yesus sebagai pribadi yang luar biasa tetapi tidak lebih dari seorang nabi seperti nabi Elia, Yohanes Pembaptis, atau seperti para nabi pada zaman dahulu (Matius menambahkan nama “Nabi Yeremia”). Kekaguman mereka hanyalah sebatas kekaguman kepada seorang nabi.
Asosiasi pertama orang banyak terhadap Yesus adalah Yohanes Pembaptis. Nampaknya kemasyuran, kuasa dan wibawa Yohanes dalam menyerukan pertobatan menjadi salah satu alasan mengapa orang mengasosiasikan Yesus sebagai Yohanes yang berinkarnasi, sebagaimana diungkapkan dalam Mrk 6:14, “… orang mengatakan: “Yohanes Pembaptis sudah bangkit dari antara orang mati dan itulah sebabnya kuasa-kuasa itu bekerja di dalam Dia.”
Ada juga yang mengasosiasikan Yesus dengan nabi Elia, sosok nabi penuh kuasa yang telah datang kembali seperti yang dijanjikan Allah dalam kitab Maleakhi 4:5, “Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu”.
Seorang ekseget, William L. Lane, berpendapat bahwa menyamakan Yesus dengan seorang nabi seperti Yohanes Pembabtis atau Elia atau para nabi lain yang pernah hadir di sepanjang sejarah Israel menunjukkan kegagalan orang banyak untuk mengenali keistimewaan Yesus. Pendapat-pendapat itu nampaknya merupakan indikasi penolakan terhadap Yesus sebagai kepenuhan wahyu Allah dan pelaksana definitif karya penyelamatan Allah.
03. Di sepanjang sejarah, umat Israel pada umumnya, termasuk juga para murid Yesus, mengharapkan kehadiran seorang Mesias yang berperan sebagai pemimpin politis yang diutus Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan asing. Mesias diyakini berasal dari keturunan raja Daud yang akan melanggengkan tahta Daud dan mengembalikan umat menjadi umat Allah yang setia pada perjanjiannya dengan Allah. Bahkan Sang Mesias itu juga digambarkan adalah tokoh dunia yang bukan hanya memimpin bangsa Israel tetapi juga bangsa-bangsa lain agar menyembah Allah yang satu di gunung Sion. Petrus dan para murid pun mempunyai gambaran Mesias seperti itu.
Harapan ini dilatar-belakangi oleh situasi Israel yang selalu berada dalam penderitaan dan tekanan bangsa asing yang menjajah mereka. Karena itu ketika kekaisaran Romawi menguasai Israel, berulangkali muncul orang-orang yang dianggap sebagai Mesias, yang memimpin perjuangan untuk membebaskan dari penjajahan oleh kekaisaran Romawi. Umat Israel selalu mengharapkan kedatangan seorang Mesias yang agung, tangguh, tidak terkalahkan dan mampu membawa mereka kepada kemerdekaan politis. Maka ketika menyaksikan kuasa Yesus dalam melakukan berbagai mukjizat, harapan mereka kepada-Nya melambung. Mereka mengharapkan Yesus dari Nazaret inilah yang mampu membebaskan dari penjajahan Romawi dan memberikan kesejahteraan dengan kuasaNya. Kuasa itu telah ditunjukkan dengan menaklukkan alam dan menggandakan roti.
Harapan seperti itu pulalah kiranya yang ada dalam benak Petrus ketika dia mewakili para murid yang lain mengungkapkan pengakuan imannya bahwa Yesus bagi mereka adalah Mesias. Karena itu mereka sangat terkejut saat Yesus menyatakan: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (ay. 31).
Pernyataan itu sulit dipahami, maka Petrus langsung bereaksi dengan menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Reaksi Petrus mewakili ketidakpahaman para murid bahkan semua orang Yahudi mengenai citra Mesias yang diwahyukan oleh Yesus. Dengan sangat tegas Yesus memarahi Petrus, "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." Dapat dibayangkan betapa terkejutnya para murid menyaksikan kemarahan Yesus. Gambaran Mesias yang penuh kuasa, kekuatan, kemuliaan duniawi, kudus dan menjadi utusan Allah seperti yang selama ini mereka idolakan ternyata disebut sebagai "pemikiran manusia". Bahkan Yesus menegur Petrus dan menyebutnya Iblis. Yesus tidak menolak sebutan Mesias bagi diri-Nya. Namun ada satu aspek dari Mesianitas Yesus yang tidak mudah dimengerti karena mengandung sejumlah ironi. Ironi tersebut adalah citra Mesias yang menderita, ditolak dan dibunuh oleh para tokoh agama. Bagaimana mungkin Sang Mesias yang menjadi utusan Allah ditolak oleh tokoh-tokoh agama?
04. Dalam Perjanjian Lama gelar “Anak Manusia” (Ibrani : "BEN ADAM" atau dalam bahasa Aram "BAR NASHA") dapat diartikan seorang manusia (lih. Ayb 25:6, Bil 23:19; Mzm 8:4; Sir 17:30), dengan segala keterbatasannya. Istilah itu juga dipakai untuk sebutan seorang nabi, seperti Yehezkiel, nabi yang mengalami banyak penderitaan dan kesulitan di masa pembuangan (lih. Yeh 2:1.3; 4:9; 5:1 dst). Mirip dengan gambaran akan Hamba Yahwe dalam kitab nabi Yesaya. Hamba Yahwe adalah gambaran seorang tokoh penuh iman yang harus menderita sengsara untuk keselamatan orang lain meskipun dia tidak melakukan kesalahan apapun bahkan mati dibunuh. Dia dapat bertahan dalam penderitaan karena percaya bahwa Tuhan Allah adalah kekuatannya. Dan karena kesalehan dan kesetiaannya itu ia tidak ditinggikan oleh Allah (Yes 50:5-9a, bacaan pertama).
Namun mengacu pada penglihatan Nabi Daniel, istilah “Anak Manusia” juga dipakai untuk seorang tokoh eskatologis yang meraja dalam kemuliaan untuk selama-lamanya, “Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.” (Dan 7:13-14). Kedua makna “anak manusia” itu disatukan dalam Diri Yesus. Dalam Dia kesusahan, penderitaan dan kematian menyatu dengan kekuasaan dan kemuliaan.
05. Mengikuti berarti berjalan di belakang yang diikuti. Jalan yang ditempuh oleh yang diikuti dan cara yang dipilih untuk menempuh jalan itu menjadi jalan dan cara yang harus dipilih oleh pengikutnya juga. Yesus tidak hanya menubuatkan penderitaan-Nya sendiri tetapi juga salib yang harus ditanggung oleh para pengikut-Nya. Bahkan dengan tegas Yesus menetapkan prasyarat untuk menjadi pengikut-Nya, “Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (ay. 34). Pertanyaan Yesus “Siapakah Aku menurut kamu?” tidak membutuhkan jawaban verbal tetapi jawaban nyata dalam tindakan seperti yang ditegaskan oleh Santo Yakobus dalam suratnya yang dibacakan hari ini bahwa iman tanpa disertai perbuatan pada hakekatnya mati.
06. Menyangkal diri dan memikul salib berarti hidup bebas lepas dengan melepaskan beban hidup yang membuat langkah hidup ini menjadi berat dan menjalani hari demi hari dengan keikhlasan. Beban itu bisa berupa kenangan yang menyakitkan atau kegagalan. Membersihkan pikiran, melepaskan kekawatiran dan prasangka buruk, ikhlas menerima kenangan pahit dan tidak menyimpannya tetapi membiarkan hal-hal itu berlalu akan menjadikan kita memiliki banyak ruang dan waktu untuk mengalami kebahagiaan.
07. Menyangkal diri maksudnya melawan kecenderungan diri yang mengarah kepada dosa, yang membawa kita kepada kebinasaan. Melatih tersenyum ramah yang berasal dari ketulusan hati dengan berusaha mengubah apa yang kita rasakan di dalam hati, memandang hidup dengan positif, melihat sisi baik dari setiap pribadi yang dijumpai atau peristiwa yang dialami, berusaha untuk melakukan dan menjadi yang terbaik adalah bentuk-bentuk konkret menyangkal diri. Kebahagiaan itu sebenarnya sederhana. Hanya membiarkan diri kita merasa bahagia dan percaya pada diri sendiri, bahwa kita dapat memiliki kehidupan yang berharga.
Belajar menerima kenyataan dengan tenang, belajar menghadapi krisis dengan ikhlas dan lebih memilih bekerja keras daripada mengeluh merupakan bentuk-bentuk konkret memanggul salib. Mengeluh dan menyerah adalah halangan yang akan mencegah datangnya keberhasilan dan kebahagiaan. Menerima kegagalan dengan tenang adalah cara cerdas mengelola pengalaman negatif. Mengeluh tidak dapat mengubah kenyataan, hanya kerja keras yang bisa membawa kembali harapan. Meskipun tidak semua mimpi dapat menjadi kenyataan, namun impian indah dapat membawa keindahan pada hidup kita. Dengan pemahaman ini menyangkal diri dan memanggul salib merupakan sebuah keharusan dan jalan satu-satunya menuju kebahagiaan.
Pada kesempatan lain Yesus mengingatkan, "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Luk 9:62). Sabda ini mengingatkan kita untuk mengambil tindakan dengan cepat dan sigap, tanpa ragu-ragu. Setelah mengambil keputusan, jangan ragu untuk melaksanakannya. Melangkah maju, mengarahkan pandangan ke masa depan dan jangan menoleh ke belakang. Kesempatan muncul sekejab dan hanya kecepatan dan ketegasan yang dapat menangkapnya. Bila merasa yakin bahwa tindakan kita baik, bertindaklah secepat bisa melakukannya, jika Anda melihat peluang yang baik, tangkaplah. Keraguan akan mengakibatkan penyesalan dalam hidup.
Berkah Dalem.
B.
Yes 50:5-9a; Mzm 116:1-2,3-4,5-6,8-9; Yak 2:14-18; Mrk 8:27-35
“Ad maiorem natus sum - Aku dilahirkan untuk hal-hal yang lebih luhur".
Inilah panggilan dasar yang saya ingat ketika pernah diminta memimpin acara rohani di Group 2 - Kandang Menjangan Kopassus Kartasura.
Sebenarnya, kitapun juga dipanggil sebagai "kopassus", yakni "komando pasukannya Yesus" dengan "three costs of discipleship", 3 tuntutan kemuridan yang dikemukakan Yesus, yakni "sangkuli": antara lain:
1."SANG"kal diri:
Ia mengajak kita untuk mengosongkan diri, lepas dari keterikatan pada harta dan gegap gempita/cinta dunia. Ia memberi teladan pengosongan diri (kenosis), yang “menganggap diri sendiri tak ada”, membiarkan diri “terlupakan" demi Tuhan, tidak lagi egois-narsis dan autis tapi hidup berpola “kristus-sentris”. Dengan kata lain: Yesus mengajak kita menomorsatukan kehendak Allah dimana hal-hal sorgawi jauh lebih penting daripada hal-hal duniawi. Kita akan memperoleh "hidup kekal" karena kita tidak begitu mengindahkan dunia ini dan kita bersedia mengorbankannya semata-mata demi Tuhan. (Mat 16:24-25; Mrk 8:34-35).
2.pi"KUL" salib:
Kita diajak untuk siap menghadapi semua resiko/kemungkinan, seperti dialami Yesus karena kesetiaan iman kepada Allah. Memikul salib juga merupakan salah satu cara kita untuk "mengenakan Kristus" secara real setiap hari yang bisa diartikan bahwa perjuangan iman ini butuh konsistensi untuk mematikan “HEM - Hedonisme-Egoisme dan Materialisme”.
3."I"kuti Tuhan:
Petrus yang tadinya dipuji Yesus kini disebut sebagai iblis, "vade retro satana - enyahlah iblis!" Hal ini terjadi karena ia menjadi batu sandungan bagiNya karena hanya mengikuti kemauan sendiri dan bukan kemauanNya Tuhan.Indahnya, kata “mengikut Aku” dalam bahasa Yunani, ”apisw”, artinya: “di belakang”, "menjadi murid/pengikut/pergi bersamanya."
Nah, bukankah kalau kita berani mengikuti Tuhan kita juga harus berani "ada di belakangNya", ikut dalam sengsara dan wafatNya supaya layak juga untuk bangkit bersamaNya? Inilah jalan iman bahwa penderitaan mendahului kemuliaan, kasih Allah yang mulia mewujud melalui salib yang hina.Yesus sendiri berbicara tentang kematian-Nya sebagai suatu kemuliaan abadi dan bukan sebagai tragedi.
“Ikan louhan di Kramat Jati – Jadilah murid Tuhan sepenuh hati."
C.
"Tempus mutatur et nos mutamur in illud -
Waktu berputar dan kita diubah olehnya.”
Inilah tanda tanda jaman yang kita amini setiap harinya.
Di lain matra, sepakat dengan Ernst Cassier, kita juga adalah “penanda”, semacam “animale symbolicum”: hanya dengan menggunakan tanda tanda, kita dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi.
Yesus sendiri datang sebagai "TANDA" yang bisa berarti "Tempat Aku Nampakkan Damai Allah" (Bdk: Buku "TANDA", RJK, Kanisius).
Ya, lewat hidup dan karyaNya, Ia mengajak kita semua juga untuk belajar menjadi "tanda", menjadi sebuah tempat untuk nampakkan damai Allah: "Sebab seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang Niniwe, demikian pulalah Anak Manusia akan menjadi tanda untuk angkatan ini" (Luk 11:30)
Adapun tiga indikasi dasar ketika kita bisa menjadi “tanda” yang hidup bagi hadirnya damai Allah secara real, aktual dan operasional, al:
Teruji:
Hidup penuh dengan ujian dan dengan ujian kehidupan kita semakin bertahan uji karena belajar untuk terus mengetahui kehendakNya, menemukan kehendakNya sekaligus melakukan kehendakNya.
Dengan sikap hidup yang sudah dan terus teruji inilah, kita diyakinkan bahwa kedamaian bukanlah ketidakhadiran masalah tapi kedamaian adalah semata kehadiran Allah.
Dkl: Allah tidak menjanjikan perjalanan yang nyaman, tetapi pendaratan yang aman.
Terpuji:
Orang yang menjadi tanda itu selalu berjuang menjadi orang yang terpuji, yang sederhana dalam ucapan dan penampilan tetapi hebat dan luar biasa dalam tindakan nyata, yang selalu berusaha menjadi cahaya kebenaran walaupun kadang hanya kelap-kelip dan tidak selalu terang benderang.
Dalam bahasa Jose Maria Escriva: “Hendaklah tingkah dan perkataanmu baik sehingga setiap orang yang melihat dan mendengarmu akan berkata: orang ini pengikut Yesus Kristus. Terangilah jalan-jalan di dunia ini dengan terang Kristus yang kau bawa dalam hatimu.“
Tanpa aji aji:
Kita diajak hanya mengandalkan Tuhan dan tidak menyembah “tuhan tuhan lain”, entah berupa hasrat, jimat, pangkat, derajat, harta keramat dsbya.
Bagian kita adalah semata melakukan kehendak Allah, dan bagian Allah adalah mengurus kita, karenanya kita seharusnya tidak pernah takut pada apapun.
Yakinlah: apa yang tidak terletak pada rencana kita terletak pada rencanaNya.
Bukankah, semakin sering hal itu terjadi, semakin hidup keyakinan kita bahwa Allah sematalah yang ber’”providential divina”, menyelenggarakan kehidupan harian kita?
“Banyak peta tentang Pantai Kuta -
Jadilah TANDA dengan kata dan karya nyata!”
D.
"Homo est animale symbolicum -
Manusia adalah makluk yang penuh simbol".
Bukankah hdp kita juga penuh tanda:
KTP/Kartu TANDA Pnduduk,
STTB/Surat TANDA Tamat Blajar,
STNK/Surat TANDA Nmr Kndaraan,
TANDA cinta-TANDA mata-TANDA tangan-TANDA baca dll.
Dlm buku sy, “TANDA” (Kanisius) berarti “Tempat Aku Nampakkan Damai Allah”, di mana Yunus mjd tanda pertobatan bg org Niniwe+Salomo mjd tanda kebijaksanaan bagi rakyat Israel.
Tanda pertobatan Yunus+kebijaksanaan Salomo ditanggapi positif: Org Niniwe mau berpuasa u/berbalik pd Allah+org Israel mau berjuang u/mdpt kebijaksanaan Allah.
Sebaliknya, kata+warta Yesus yg jls2 lbh agung drpd Yunus/ Salomo justru ditanggapi negatif: Mrk bertegar hati+cuek bebek pd Yesus shingga Yesus mnyebut mrk sbg angkatan yg jahat.
Adapun trilogi sikap dsr spy kt bisa mjd "tanda", al:
Reflektif:
Cuma butuh waktu sekejap bg org Ninive utk mendengarkan Tuhan. Sebaliknya, org Israel yg mengklaim sbg “bangsa pilihan” malahan menolak Tuhan yg jelas2 hadir lwt Yesus. Bukankah kini, Tuhan sll dtg dlm pelbagai TANDA jaman lwt sesama-alam+hati nurani kt? Jelas, kita butuh hidup yg reflektif krn bukankah hidup manusia yg tanpa refleksi mjd tdk bermakna apa-apa?
Introspektif:
Imam+umat beriman, trlebih di kota bsr byk yg alami keterpecahan hati krn “pancasila zaman” al: individualisme-hedonisme-konsumerisme-pluralisme+fanatisme. Bukankah sikap instrospektif mrpkn sbuah jalan u/ memurnikan hati shingga tdk terjebak pd dosa+”banalitas” dunia, kedangkalan hidup?
Aktif:
Iman kt mesti ber-dimensi aktif, bukan cm diungkapkan/dirayakan tp juga mestinya diwartakan mjd “Tempat Utk Nampakkan Damai Allah”: Yunus mewartakan pertobatan bg org Niniwe, Salomo mewartakan kbijaksanaan bg byk org, trmasuk Ratu dari Selatan+pastinya Yesus jg sll mewartakan kerahiman Allah bg semua. Bagaimana dg kt?
E.
"Signum - Tanda! "
Inilah yang menjadi kekhasan iman kita bahwa Tuhan sebagai "Penanda Pertama", hadir lewat banyak tanda, bahkan setiap praksis liturgi dan mistagogi kita juga penuh dengan tanda. Yang pasti, kita juga diajak utk menjadi tanda yang hidup, dalam bahasa saya, menjadi "significant minority", minoritas yang memberi "tanda" (arti/guna/faedah) bagi gereja dan masyarakat kita.
Adapun Yesus menegur orang yang tidak bertobat sehingga kurang peka pada pelbagai tanda jaman: "Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menuntut suatu tanda tapi mereka tidak akan diberi tanda selain tanda Nabi Yunus sebab orang-orang Niniwe itu bertobat waktu mereka mendengarkan pemberitaan Yunus dan sungguh, yang ada di sini lebih daripada Yunus!"
Disinilah kita diajak benar-benar bertobat dan peka pada pelbagai tanda yang diberikanNya skaligus menjadi "sakramen" yang hidup, "tanda hadirnya Allah lewat 3 pilar, antara lain:
"Sesama":
Pelbagai perjumpaan dengan orang di sekitar kita kerap menjadikan kita lebih ingat akan sapaan dan kehadiranNya karena setiap manusia pad dsrnya adalah citra/cerminan ilahi, imago et similitudo Dei.
"Semesta":
Banyak orang kudus yang dekat dan bersahabat dengan alam, sehingga kadang saya katakan, "back to nature is back to God, "alam-Aku Lihat Allah Muncul". Alam kerap menjadi wujud manifestasi kehadiranNya yang mahakuasa.
"Sejarah":
Orang bijak kerap mengatakan, "historia se repete-sejarah kan terulang." Dalam bahasa Bung Karno, "jas merah-jangan sesekali melupakan sejarah."
Kita diajak untuk menjadi orang yang eling dan waspada, tidak lupa akan sejarah peradaban dan kebudayaan dunia bahwa Tuhan kerap hadir dalam pelbagai lika liku sejarah kita dan sejarah dunia, bukan?
"Dari Jatijajar kita pergi berziarah -
Mari kita belajar peka pd sesama-semesta dan sejarah.
F.
"Animal symbolicum - Makhluk penuh tanda"
Inilah salah satu identitas kita sebagai manusia yang hidup dengan aneka tanda lewat hidup dengan sesama dan semesta.
Ketika lulus, kita mendapat STTB - Surat TANDA Tamat Belajar,Ketika memiliki mobil/motor, kita mendapat STNK- Surat TANDA Nomor Kendaraan. Ketika berusia 17 tahun, kita mendapat KTP- Kartu TANDA Penduduk, dsbnya.
Pastinya, mengacu pada bacaan injili, disadari bahwa hidup kita penuh dengan tanda dan Yesus mengajak kita untuk peka membaca tanda-tanda zaman. Yesus sendiri menegur orang2 yang tidak peka akan tanda-tanda: "Angkatan ini adalah angkatan yang jahat" (Luk 11:29).
Disinilah, kita diajak menjadi orang beriman yang peka (Lat: "sensuum-sensual", merasakan) membaca tanda-tanda jaman dengan 3 pilar dasar, antara lain:
Informasi.
Kita diajak untuk rajin mencari dan menambah pengetahuan/informasi iman lewat kebiasaan berbagi sharing iman, membaca dan mendengarkan kitab suci, mendengarkan/mengikuti kegiatan lingkungan/komunitas imani.
Refleksi.
Kita bisa menjadi orang yang lebih peka dengan sikap hidup yang reflektif, yang selalu mengambil jarak untuk memeriksa batin dan berintrospeksi di tengah rutinitas harian. Dkl: Kita diajak berani mengambil jarak, menjadi orang yang hidup dengan "kedalaman" di tengah dunia yang penuh dengan "kedangkalan".
Transformasi.
Inilah perubahan yang datang dari dalam karna adanya hubungan pribadi yang intensif dengan yang Ilahi, lewat hidup doa dan olah rohani yang mendalam. Diharapkan adanya proses "internalisasi/pengendapan" bahwa Allah sungguh mencintai kita dan benar2 hadir/menyapa hidup kita dengan cintaNya yang tiada henti setiap hari.
Akhirnya, "TANDA" juga bisa berarti "Tempat Aku Nampakkan Damai Allah".
Semoga dengan sikap hidup yang penuh informasi-refleksi & transformasi, kita bisa berjuang menjadi angkatan yang baik, yakni orang beriman yang "sensual", yang peka merasakan hadirnya Tuhan.
"Ikan louhan ikan pari -Temukanlah Tuhan setiap hari"
G.
"TANDA - Kata Angka dan Nada”.
Inilah salah satu judul buku yang saya buat ketika masih bertugas di Gereja Tangerang (RJK, Kanisius, 2008). Dunia kita marak dengan tanda dan Yesus-pun datang sebagai “TANDA”.
Anehnya, para pemuka agama selalu menolak dan menyangsikan Yesus padahal mereka tentu telah mendengar, jika tidak sempat melihat, berbagai tanda yg dibuat Yesus: pengajaran, kesembuhan, pengusiran setan+kebangkitan orang mati.
Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah kurangnya tanda, melainkan keangkuhan diri karena adanya ketertutupan hati dan budi.
Adapun satu-satunya tanda yang diberikan bagi mereka adalah tanda Nabi Yunus, yang telah dilemparkan ke dalam laut yang bergelora (Yunus 1:2,3).
Pastinya, pemberitaan Yunus menghasilkan pertobatan penduduk Kota Niniwe (Yun. 3:5-9; 4:11).
Dengan kata lain: Bila orang Niniwe saja percaya pada pemberitaan Yunus, dan ratu dari Selatan mencari hikmat dari Salomo, mengapa begitu sulit untuk percaya pada Yesus yang lebih besar dari Salomo maupun Yunus?
Disinilah, kita harus meminta agar Allah "membuka mata kita" saat kita datang pada-Nya, supaya kita dapat melihat karyaNya bagi kita (Maz. 119:18, Ibr. 4:12-13). Allah sendiri telah menyediakan cukup banyak tanda yang dapat menjadi dasar iman: Ada kesaksian dari alam dan suara hati (Roma 1:20; 2:14-15), sejarah kehidupan Kristus (Ibr 1:1-4), dan pekerjaan Roh Kudus (1 Yoh 3:24; 4:13).
Kita mohon rahmat iman sehingga tak perlu lagi kita sibuk menjadi “pencari tanda”, tapi malahan bisa menjadi ”penanda” yakni membuat Allah hadir lewat karya, ucapan dan doa kita kepada sesama.
"Ada kardus di Kalisari - Jadilah kudus setiap hari."
H.
Apakah tanda Yunus itu?
Salib yang adalah batu sandungan. Jadi, bukanlah pembantah pengetahuan-lah yang akan diselamatkan, namun mereka yang percaya akan pengajaran sejati. Karena memang salib Kristus adalah batu sandungan bagi mereka yang memperdebatkan pengetahuan, tetapi keselamatan bagi mereka yang percaya.
Paulus bersaksi demikian: "Tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan, yang untuk orang-orang Yahudi merupakan batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah" (1 Kor. 1:23-24).
Mengapa orang Yahudi mencari tanda dan orang Yunani mencari hikmat? Sebab, Allah menunjukkan suatu tanda yang berupa batu sandungan salib pada mereka. Mereka yang ingin mengenal Anak Allah tetapi tidak melalui iman, melainkan melalui tanda akan terjebak pada ketidakpercayaan mereka sendiri dan jatuh pada batu sandungan kematian. Bukanlah pertanyaan kecil bahwa orang Yahudi melihat kematian Kristus dan berpikir bahwa Dia hanyalah seorang manusia, bahkan orang Kristiani - seperti yang diakui mereka namun sama sekali bukan - karena kematian-Nya enggan mengakui-Nya sebagai yang tunggal, yang disalibkan, keluhuran yang tidak tertandingi."
I.
"The sign of Jonah for an evil generation"
Gospel Reading: Luke 11:29-32
When the crowds were increasing, he began to say, "This generation is an evil generation; it seeks a sign, but no sign shall be given to it except the sign of Jonah. For as Jonah became a sign to the men of Nineveh, so will the Son of man be to this generation. The queen of the South will arise at the judgment with the men of this generation and condemn them; for she came from the ends of the earth to hear the wisdom of Solomon, and behold, something greater than Solomon is here. The men of Nineveh will arise at the judgment with this generation and condemn it; for they repented at the preaching of Jonah, and behold, something greater than Jonah is here.
Old Testament Reading: Jonah 3:1-10
Then the word of the LORD came to Jonah the second time, saying, "Arise, go to Nineveh, that great city, and proclaim to it the message that I tell you." So Jonah arose and went to Nineveh, according to the word of the LORD. Now Nineveh was an exceedingly great city, three days' journey in breadth. Jonah began to go into the city, going a day's journey. And he cried, "Yet forty days, and Nineveh shall be overthrown!" And the people of Nineveh believed God; they proclaimed a fast, and put on sackcloth, from the greatest of them to the least of them.
Then tidings reached the king of Nineveh, and he arose from his throne, removed his robe, and covered himself with sackcloth, and sat in ashes. And he made proclamation and published through Nineveh, "By the decree of the king and his nobles: Let neither man nor beast, herd nor flock, taste anything; let them not feed, or drink water, but let man and beast be covered with sackcloth, and let them cry mightily to God; yes, let every one turn from his evil way and from the violence which is in his hands. Who knows, God may yet repent and turn from his fierce anger, so that we perish not?" When God saw what they did, how they turned from their evil way, God repented of the evil which he had said he would do to them; and he did not do it.
Meditation
Do you pay careful attention to warning signs? Many fatalities could be avoided if people paid attention to such signs. When the religious leaders demanded a sign from Jesus, he gave them a serious warning to avert spiritual disaster. It was characteristic of the Jews that they demanded "signs" from God's messengers to authenticate their claims.
When the religious leaders pressed Jesus to give proof for his claims he says in so many words that he is God's sign and that they need no further evidence from heaven than his own person. The Ninevites recognized God's warning when Jonah spoke to them, and they repented. And the Queen of Sheba recognized God's wisdom in Solomon. Jonah was God's sign and his message was the message of a merciful God for the people of Nineveh.
Unfortunately the religious leaders were not content to accept the signs right before their eyes. They had rejected the message of John the Baptist and now they reject Jesus as God's Anointed One (Messiah) and they fail to heed his message. Simeon had prophesied at Jesus' birth that he was destined for the falling and rising of many in Israel, and to be a sign that will be opposed so that inner thoughts of many will be revealed (Luke 2:34-35). Jesus confirmed his message with many miracles in preparation for the greatest sign of all - his resurrection on the third day.
The Lord Jesus came to set us free from slavery to sin and hurtful desires. Through the gift of the Holy Spirit he pours his love into our hearts that we may understand his will for our lives and walk in his way of holiness. God searches our hearts, not to condemn us, but to show us where we need his saving grace and help. He calls us to seek him with true repentance, humility, and the honesty to see our sins for what they really are - a rejection of his love and will for our lives. God will transform us if we listen to his word and allow his Holy Spirit to work in our lives. Ask the Lord to renew your mind and to increase your thirst for his wisdom and truth.
James says that the wisdom from above is first pure, then peaceable, gentle, open to reason, full of mercy and good fruits, without uncertainty or insincerity (James 3:17). A double-minded person cannot receive this kind of wisdom. The single of mind desire one thing alone - God's pleasure. God wants us to delight in him and to know the freedom of his truth and love. Do you thirst for the holiness without which no one will see the Lord (Hebrews 12:14)?
"Lord Jesus, change my heart and fill me with your wisdom that I my love your ways. Give me strength and courage to resist temptation and stubborn willfulness that I may truly desire to do what is pleasing to you."
Psalm 51:3-4, 12-13, 18-19
For I know my transgressions, and my sin is ever
before me.
Against you, you only, have I sinned, and done
that which is evil in your sight, so that you are
justified in your sentence and blameless in
your judgment.
Restore to me the joy of your salvation, and
uphold me with a willing spirit.
Then I will teach transgressors your ways, and
sinners will return to you.
Do good to Zion in your good pleasure; rebuild
the walls of Jerusalem,
then will you delight in right sacrifices, in burnt
offerings and whole burnt offerings; then
bulls will be offered on your altar.
J.
Daily Quote from the Early Church Fathers
"God is not now so long-suffering in putting up with you that He will fail to be just in punishing. Do not say then: 'Tomorrow I shall be converted, tomorrow I shall please God, and all that I shall have done today and yesterday will be forgiven me.' What you say is true: God has promised forgiveness if you turn back to Him. But what He has not promised is that you will have tomorrow in which to achieve your conversion." (Augustine, Bishop of Hippo, 354-430 A.D., excerpt from Commentary on Psalm 144,11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar