Ads 468x60px

SEDIKIT ULASAN KE-IMLEK-AN



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
REPOST:
SEDIKIT ULASAN KE-IMLEK-AN
“Gong Xi Fa Cai – Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang” - "Semoga sukses selama-lamanya dan selalu dalam keadaan sehat."
Im = bulan; lek = kalender, penanggalan
1.
Pada zaman Ahala Oet Tee/Huang Ti 2692 – 2598 SM : Tahun baru Imlek masih diwarnai budaya petani. Ini adalah perayaan musim semi; budaya kosmis menjadi warna tebal hidup umat. Kegembiraan para petani biasa menggarap lahan pertanian yang akan menghasilkan panenan.
Kue Ranjam : “nian gao”, yang dimaksudkan makanan penyumpal dewa dapur “Cao Wang Ye” ( Ciao Ong Ya ) yang pada tahun baru itu mau liburan, Nah supaya Dewa Dapur tidak berceritera tentang kejelekan-kejelekan keluarga, maka muncul "budaya cincai" (sogok), mulut dewa dapur diseseli kue ranjam.
“Angpauw” (Hong Bao) di samping diyakini memberi keberuntungan, tetapi juga merupakan penangkal roh jahat. Angpauw biasa diletakkan di bawah bantal tempat tidur anak dengan keyakinan untuk mengusir roh jahat mengganggu anak kecil. Kebiasaan menyulut kembang api, adalah tindakan mengusir roh jahat, supaya di tahun baru hanya ada roh baik.
2.
Pada Zaman Kong Hu Cu 551 SM-525 SM Tahun Baru Imlek sudah diwarnai tokoh moral. Tahun baru Imlek diwarnai laku wawas hidup atas perilaku manusia untuk hidup lebih luhur.
Sikap keutamaan yang dipentingkan : kerendahan hati, solidaritas dan diskresi juga adat taapee, sembah bakti pada orang tua. Tahun baru Imlek di Indonesia lebih diwarnai ke–Kong Hu Cu-an, yang berpeduli pada moral kehidupan : pengaruh Budha-Konghucu-Tao. Misalnya tentang nama tahun yang bersangkutan dengan kepedulian lingkungan yang dihubungkan dengan sikap Budhisme; tahun-tahun diacu pada binatang-binatang : tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, babi.
3.
Pada zaman Qin (baca Chin – asal kata Cina) tahun baru Imlek diwarnai ideologi anti penganut paham Kong Hu Cu. Maka para penganut Kong Hu Cu dianiaya dan ada 500 Kong Hucu-is dibunuh secara kejam. Imlek tertuju pada penghormatan Qin.
4.
Pada zaman Tang 618 M -907 M: Zaman keemasan; ideologi anti Konghucu ditinggalkan. Muncul istilah “Tionghoa” dari “Zhonghoa” atau “Chengguo” = “Kerajaan Tengah”, begitu populer. Marganya lalu menyebut diri mereka marga Tangren – Tenglang (Jawa Barat). Tidak aneh bahwa ada kota Tangerang, di mana marga Tang ini banyak yang bertempat tinggal.
5.
Pada zaman Qing (baca Ching) 1644-1911. Muncullah budaya Mandarin dari kata Portugis “Mandarim”, yang berasal dari kata Sansekerta “mantrin”, yang berarti pejabat tinggi. Jadi bahasa Mandarin itu bahasa bangsawan “pejabat tinggi”. Kosa kata ini lebih dipopulerkan oleh orang Barat. Muncullah Imlek “ke-Mandarin-an”, budaya kebangsawanan Cina.
Kata “Imlek” sendiri berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berarti "penanggalan bulan" atau “yinli” dalam bahasa Mandarin. Tahun Baru Imlek di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan “Chunjie” (perayaan musim semi).
Kegiatan perayaan itu disebut “Guo nian” (memasuki tahun baru), sedang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “konyan”.
Di Indonesia, mereka merayakan Tahun Baru Imlek sebagai perayaan hari lahirnya Kong Hu Chu yang lahir di tahun 551 SM, sehingga dengan demikian penanggalan Imlek dan penanggalan masehi itu berselisih 551 tahun. Jika tahun Masehi saat ini 2018 maka tahun Imleknya menjadi 2018 + 551 = 2569
Bersama merayakan Hari Raya Imlek adalah sama halnya dengan bersama merayakan Hari Raya Tahun Baru, bersama merayakan Hari Lebaran, bersama Ber-Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian kita tidak ber-'icak-icak'. Berpura-pura dan menipu diri sendiri!
***
Sejauh ingatan ke 'tempo dulu', ketika orang Belanda masih menjadi penguasa negeri terindah di dunia, yang sekarang kita kenal dengan nama IMLEK, dulu namanya, menurut logat Betawi, disebut 'Taon baru Ciné'. Sedangkan yang sudah sejak lama juga kita rayakan sebagai Hari Raya Tahun Baru, dulunya di kampung-kampung di Jakarta dikenal sebagai 'Taon Baru Belandé'.
Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang sangkakalanya bergema dari Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, oleh proklamator Sukarno dan Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945, telah membuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Bangsa kita telah merdeka.
Berbagai suku bangsa kita seperti suku bangsa Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Madura, Aceh, Makasar, Bugis, Minahasa, Maluku, Timor, Flores, Bali, Papua,dan banyak lainnya, ---- kemudian yang berasal etnis Tionghoa, etnis asal Arab, etnis asal Belanda, etnis asal India, Pakistan, dll telah sama-sama menyingsingkan lengan baju, berjuang bersama, mengalirkan keringat, mengujurkan darah, berkorban demi Indonesia Baru yang menurut kemampuan dan situasinya.
Masing-masing telah memberikan sumbangannya. Kita juga mengenal nama-nama asal etnis Tionghoa seperti a.l. Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sek Ien, Tan Po Goan, Tan Ling Dji, Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hin, John Lie, dll yang telah memberikan seluruh hidupnya demi usaha kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang tidak bisa dihapuskan namanya dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Belum lagi para atlet yang mengharumkan nama Indonesia seperti Rudy Hartono, Liem Swi King, Christian Hadinata, "duet medali emas olimpiade" : Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti juga beberapa aktivis seperti pendiri KOMPAS, PK.Ojong dkk.
***
Sejak 1965, Jenderal Suharto dengan rezim Orbanya, telah memutar kembali jarum sejarah kemajuan bangsa kita. Politik dan kebijakan Orba telah sangat merusak persatuan bangsa yang telah digalang dan dikembangkan dengan susah payah, oleh para 'founding fathers' bangsa.
Politik anti-Tionghoa yang sudah lama dikonsep oleh golongan kanan AD TNI, berkembang subur, merajalela sejadi-jadinya, begitu ia menjadi kebijakan dan politik resmi pemerintah Orba.
Politik anti-Tionghoa tsb terus berlangsung, sampai jatuhnya Presiden Suharto. Masih segar di dalam ingatan masyarakat, betapa media dan pers, nama-nama jalan serta toko-toko tidak boleh menggunakan bahasa dan kata Tionghoa. Masih teringat betapa semua sekolah Tionghoa ditutup, dan bahasa Tionghoa dilarang, - - - - sampai-sampai nama-nama Tionghoa pun, - -- - sesuatu yang bersifat amat pribadi dan merupakan hak azasi manusia yang paling elementer, itupun, dengan berbagai cara dipaksakan supaya diganti dengan nama 'pribumi', nama Indonesia 'asli'.
Politik penindasan dan pembelengguan terhadap kebiasaan, adat istiadat serta tradisi budaya Tionghoa, bertujuan a.l untuk mengakhiri pengaruh budaya Tionghoa terhadap yang mereka namakan 'bangsa pribumi' Indonesia.
Anéh kedengarannya, bagaimana mungkin, bahwa, pada masa ketika ide-ide pencerahan dan demokrasi berkumandang di mancanegara, namun, di negeri kita bisa terjadi penindasan terhadap adat istiadat, tradisi dan budaya etnis tertentu bangsa sendiri, kongkritnya bangsa Indonesia asal etnis-Tionghoa.
***
Sejak jatuhnya rezim reperesif Orba, meski masih begitu banyaknya kekurangan dan kendala yang memperlambat bahkan berusaha merintangi pelaksanaan tuntutan reformasi dan demokratisasi, namun, - - - hati kita menjadi lega, semakin optimis melihat hari depan bangsa ini.
Sebab utamanya ialah, sedikit banyak bangsa kita telah menarik pelajaran dari pengalamannya sendiri. Memilih jalan reformasi dan demokratisasi ketimbang jalan otokrasi, rasialisme dan diskriminasi terhadap warga bangsa sendiri. Optimisme tersebut beralasan, karena rezim laknat yang dalam sejarah bangsa kita menjalankan politik anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok yang paling biadab, formalnya telah berakhir pada medio Mei 1998.
***
Ada beberapa hal yang perlu dicatat, peristiwa-peristiwa bersejarah yang patut disambut dan didukung sejak jatuhnya Presiden Suharto dan mulai diusahakannya reformasi dan demokratisasi dalam kehidupan bernegara hukum.
Pertama, peranan GUS DUR, yang sejak beliau menjabat Presiden RI, Hari Raya Imlek dilepaskan dari belenggu yang memasung hidup dan berkembanganya budaya etnis-Tionghoa Indonesia. Sehingga mulai berkiprahlah semangat dan langgam demokrasi dan saling menghormati di antara pelbagai suku dan etnis, khususnya etnis-Tionghoa.
Kedua, keputusan Presiden Megawati Sukarnoputri ketika beliau masih menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang secara resmi dan tegas menyatakan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi HARI RAYA NASIONAL INDONESIA.
Ketiga, adalah disahkannya oleh DPR UU No. 12/2006 mengenai Kewarganegaraan Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa UU No12/2006 tersebut sebagai sebuah karya monumental yang mengubah paradigma perilaku.
Yang dimaksudkan ialah bahwa kewarganegaraan seorang Indonesia tidak lagi ditandai oleh ciri-ciri fisiknya, tetapi oleh status hukumnya. Mungkin agak berlebihan apa yang dikatakan oleh Menteri Hukum dan HAM bahwa dengan UU yang baru tersebut telah dinihilkan diskriminasi atas ras-etnik. Menteri Hukum dan HAM dengan tegas mengatakan, UU 12/2006 menjadikan orang Tionghoa Indonesia menjadi suku Tionghoa Indonesia.
Keempat, ialah pernyataan pihak Kepolisian Kalimantan Timur, yangmengundang warga negara Indonesia asal etnis-Tionghoa untuk ambil bagian dalam seleksi untuk menjadi calon perwira kepolisian (Berita Xinhua/Antara). Kepala Kepolisian Inspektur Jendral Indarto menyatakan bahwa semua orang Indonesia, termasuk etnis-Tionghoa punya hak sama untuk menjadi perwira Kepolisian.
Kelima, dikeluarkannya oleh Jawatan Pos Indonesia, perangko-perangko 12 Shio Tiongkok. Yakni 12 macam binatang yang mewakili 12 cabang bumi, yang digunakan sebagai lambang tahun kelahiran seseorang.
Dalam pemberitaannya KB Xinhua menyatakan bahwa penerbitan seri perangko Indonesia itu, telah menambah suasana gembira kegiatan perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia. Indonesia kali ini menerbitkan 200.000 helai perangko Shio, dan lebih dari 200.000 album edisi khusus, sampul hari pertama dan carik kenangan.
Juga terdapat keterangan rinci mengenai asal usul almanak Imlek, tahun baru Imlek serta Shio dalam bahasa-bahasa Mandarin, Indonesia dan Inggris. Diperkenalkan pula sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan harapan agar berbagai etnis di Indonesia dapat bersama-sama membangun sebuah negara yang indah.
***
Perkembangan sekitar masalah etnis-Tionghoa dewasa ini, --- ditinjau dengan latar belakang betapa lebih dari 32 tahunan rezim Orba, ketika politik diskriminasi anti-etnik Tionghoa berlangsung, -- bolehlah dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup besar dan mendalam.
Meskipun, seperti diingatkan Gus Dur baru-baru ini, dalam praktek politik diskriminasi Orba terhadap etnis-Tionhoa, di sana sini masih dengan keras kepala terus dilaksanakan oleh sementara pejabat.
Dalam hal seperti itu, maka pemerintah tidak ada jalan lain, harus menindak para pejabat yang masih bersikeras hendak mempertahankan kebijakan dan politik Orba terhadap para warganegara Indonesia asal etnis-Tionghoa. Yang melakukannya banyak dengan motif untuk memperoleh keuntungan materil dan finansil.
***
Hari Raya Imlek Tahun ini, bisalah dikatakan telah berlangsung dalam suasana yang lebih baik dan lebih meriah, lebih mendalam artinya dihubungkan dengan kesatuan dan persatuan bangsa. Ini semua adalah hasil perjuangan yang lama dan susah payah, baik dari golongan etnis-Tionghoa sendiri, maupun dari seluruh kekuatan reformasi dan demokratisasi negeri ini.
Akhirulkalam marilah: KITA RAYAKAN BERSAMA, HARI RAYA DAN HARI LIBUR NASIONAL IMLEK. Gong xi fa cai !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar