HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI "HERSTORY" (1)
PROLOG SERIAL.
Cherchez la Femme!
...Door nacht tot licht,
Door storm tot rust,
Door strijd tot eer Door,
leed tot lust.
Penggalan kalimat dalam bahasa Belanda di atas adalah rangkaian sajak seorang perempuan bernama RA. Kartini, yang berarti, “Habis malam datanglah siang, Habis topan datanglah reda, Habis perang datanglah menang, Habis duka datanglah suka.”
Seperti kita ketahui, pada tahun 1911 terbit antologi surat-surat Kartini dalam format buku yang disusun oleh J.H. Abendanon, seorang direktur pada departemen pendidikan, industri dan agama pemerintah Hindia-Belanda di awal abad ke-20, berjudul ‘Door Duisternis tot Licht’, dan kemudian diterjemahkan Armijn Pane sebagai ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ (terbit 1951), di mana Kartini dianggap sebagai ‘pembawa obor pencerahan’.
Kata 'pencerahan' sendiri beberapa kali memang muncul dalam korespondensi Kartini (misalnya dalam surat kepada Steela Zeehandelar 12 Januari 1900).
Sudah barang tentu, seperti tersebut dalam beberapa surat Kartini yang lain, 'pencerahan' juga ada hubungannya pula dengan emansipasi, khususnya berkenaan dengan posisi perempuan bumiputera. "Kemerdekaan perempuan akan merupakan buah dari penderitaan dan kepedihan kami', tulis Kartini dalam sepucuk surat bertanggal 1 Agustus 1903.
Seperti Kartini, semua tokoh yang ditampil-kenangkan dalam seri ini adalah para perempuan. Sepanjang sejarah dunia, terlebih Gereja Katolik, memang ada banyak sekali tokoh perempuan yang menonjol.
Untuk tulisan dalam seri ini saya mengambil beberapa pribadi saja dari daftar panjang puteri-puteri terbaik yang pernah hadir di tengah dunia. Kebanyakan dari mereka adalah para ibu pendiri, yang menonjol dalam bidangnya masing-masing. Entah dalam hal kesucian hidupnya, kepeloporannya dalam hal pembaharuan gereja dan dunia, menjadi pembawa damai, pekerja sosial, perintis emansipasi, perawat pendidik, melayani orang-orang miskin dan tersisihkan.
Tapi, ada pula yang mistikus dan berperan sebagai nabiah pada zamannya, dan lain sebagainya. Ada yang biarawati, ada yang awam. Ada yang ratu, keturunan bangsawan, ada pula yang berasal dari keluarga miskin. Ada yang berpendidikan, ada pula yang berlatar pendidikan ala kadarnya, malah ada yang buta huruf.
Di balik itu semua, kata perempuan sendiri mempunyai akar katanya, ‘empu’, arti idealnya yakni seorang guru kehidupan. Tapi realnya, banyak peempuan sungguh mengalami diskriminasi dalam pelbagai ranah kehidupan, bukan?
Banyak orang mengidentikkan kaum per’empu’an dengan stereotif 3 m (macak/dandan, masak, manak/melahirkan), 3 ur (dapur, sumur dan kasur), 4 wa (wadah, wadi, waduk, wadon) serta 5 ah, yaitu: tunggu omah, olah-olah, momong bocah, asah-asah, mlumah (jaga rumah, masak, asuh anak, menyuci, melayani suami). Kalau begitu adanya, bagaimana dengan pepatah lama, surga ada di bawah telapak kaki ibu? Belum lagi adanya pelbagai ”KDRT” dan aneka pelecehan seksual, yang kerap korbannya adalah perempuan.
Di lain matra, sebetulnya ada perbedaan mencolok antara kekuasan lelaki dan perempuan. Kekuasaan pria itu condong power over, sifatnya merusak-menindas, sedangkan kekuasaan perempuan itu power to, membagi dan konstruktif.
Idealnya, seorang perempuan mempunyai tempat dalam masyarakat dan juga Gereja tentunya. Hal ini terjadi bukan melulu karena keperempuannya yang demikian khas, tapi karena kepribadiannya sebagai seorang manusia dan warga masyarakat serta Gereja, dan yang lebih penting lagi karena nilai dari tugas-tugas bermanfaat yang berhasil diselesaikannya, begitulah ujaran seorang tokoh feminis Rusia, Aleksandra Mikhailovna.
Dalam bahasa Romo Mangun ”Si Burung Manyar”, esensi perempuan juga sebetulnya ada pada rahim serta cita rasanya menghadapi suami, anak-anak dan kehidupannya. Kerahiman perempuan adalah salah satu lambang religiositas, karena rahim itu mengemban dan menumbuhkan benih kehidupan. Jelas, bahwa kaum perempuan adalah roh pengemban kehidupan.
Maka, kalau dulu, ada sebuah slogan khas Perancis, Cherchez la femme: carilah perempuan! Di mana, perempuan dicari untuk menjadi (dijadikan) biang keladi-semacam victim: kambing hitam bagi setiap konflik dalam masyarakat patriarkal.
Tapi kini, paling tidak lewat membaca kembali penggalan kisah para pendiri ordo perempuan dan aktivis sosial perempuan beserta roh zamannya dalam seri ”HIK” – ”HERSTORY” ini, kita diajak lagi untuk bersama-sama berkata, Cherchez la femme ! Kita mencari perempuan bukan lagi sebagai problem maker, tapi karena para perempuan itu sungguh bisa menjadi problem solver.
Silakan renung dan telaah, “mang onceki dewe-dewe!“
B.
Bercerita Untuk Melawan Lupa
…Jangan tanggung jangan kepalang,
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan....
Sepanjang sejarah dunia, banyak sekali bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang terselip sebagai “her-story” diantara mainstream “his-story” para tokoh laki-laki . Pribadi-pribadi luar biasa yang sesungguhnya lebih daripada seorang Kendedes, Srikandi atau Dewi Shinta pada masanya. Kiranya semuanya sesuai rencana Allah sendiri, karena dengan kharisma dan talenta masing-masing mereka tampil pada saat Gereja dan dunia membutuhkannya.
Perempuan-perempuan yang diangkat dalam seri sederhana ini memang datang dari pelbagai kalangan masyarakat. Mereka digerakkan oleh penderitaan dan ketidaktenangan sosial di sekitar mereka. Mereka membaktikan diri demi mengurangi kemiskinan dan duka derita kaumnya. Mereka menghibur orang sakit dan yang akan meninggal. Mereka juga menolong pendidikan anak-anak dan kaum perempuan. Tremens et fascinans!
Di lain matra, kaum feminis sering mengkritik sejarah dominan, yang terfokus pada peranan laki-laki, sehingga pantas disebut his-story. Sebagai anti-tesisnya, mereka ajukan sejarah dari kacamata perempuan, yang mereka sebut her-story (Al-Hibri 1982; Umar 2002: 115).
Di sinilah, dengan membaca seri sederhana ini dan melihat agama sebagai gerakan sosial yang diperjuangkan oleh para perempuan, dan sebagaimana diteruskan oleh para pengikut mereka, seri ini menjadi semacam her-story dari sebuah his-story sejarah Gereja yang kaya makna: “Saatnya akan datang, dan nyatanya sudah datang, dimana panggilan kaum perempuan akan diakui kepenuhannya; saat dimana kaum perempuan di dalam dunia ini memperoleh pengaruh, hasil dan kuasa yang tak pernah dicapainya hingga saat ini. Itulah sebabnya pada saat ini dimana bangsa manusia tengah mengalami transformasi yang begitu mendalam, kaum perempuan, penuh dengan semangat Injil, dapat berbuat banyak untuk menolong manusia agar tidak jatuh” (Pesan Konsili Vatikan II, kepada kaum perempuan, tanggal 8 Desember 1965; dikutip dalam Mulieris Dignitatem, 1).
Mengutip ungkapan dr. Zhivago dalam novel klasik Boris Pasternak, “ Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”
Jelasnya, seri sederhana ini adalah sebuah ruang juang. Yah sebuah ruang bercerita di ranah publik untuk melawan lupa bahwa para perempuan juga berperan banyak dalam menggambar wajah Allah di tengah ruwet renteng sejarah dan hiruk-pikuk dunia harian kita.
Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan kan terpancing, ataukah cuma sekedar gelombang kecil yang menyebar?
C.
“Her-Story"
Menarik mencermati judul seri ini “Her-Story,” yang meskipun tidak ditulis secara tersurat, namun secara tersirat bisa dibedakan dengan “His-Story,”.
Menarik karena kedua kata tersebut menggunakan bahasa asing, Bahasa Inggris. Kita semua menyadari bahwa His-Story mempunyai relevansi dengan History yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Sejarah.
Pertanyaan yang terbersit di dalam benak adalah mengapa judul seri ini tidak menggunakan kata Bahasa Indonesia, yakni “Sejarah” melainkan Bahasa Inggris, yakni “Her-Story”?
Kata Sejarah tidak dapat mengungkapkan makna dan pesan yang hendak disampaikan di dalam buku ini. Bahasa Indonesia kurang menekankan pada pembedaan makna berbasiskan gender jika dibandingkan dengan Bahasa Inggris. Sehingga seri ini perlu meminjam istilah Bahasa Inggris untuk menyampaikan apa yang justru menjadi kabar terpenting kalau bukan kabar gembira, bahwa Sejarah Gereja Katolik adalah juga merupakan kumpulan dari “Her-Story,”.
“Her-Story,” adalah serangkaian kisah pemaknaan kaum perempuan terhadap spiritualitas Katolik yang mencakup sebagian besar dari untaian kisah yang digambarkan dengan menarik disini. Mungkin pengecualian adalah kisah Kartini yang merepresentasikan kisah perempuan priyayi Jawa pada awal abad lalu.
Meskipun Gereja Katolik secara resmi mengakui peran penting kaum perempuan tetapi kerap timbul berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan peran kaum perempuan secara nyata di dalam Gereja Katolik. Sebagai contoh misalnya, kisah mengenai “Paus” Yohana, Santa Maria Magdalena, dan Dorothy Day yang untuk sebagian kalangan masih terus diperdebatkan hingga kini. Sungguh patut dihargai bahwa Romo Jost Kokoh, Pr, seorang imam praja Keuskupan Agung Jakarta, memasukkan ketiga kisah nyata tersebut di dalam “Her-Story,”.
Hampir sebagian besar perempuan yang dikisahkan di dalam seri “Her-Story,” ini adalah perintis berbagai konggregasi biarawati di dalam Gereja Katolik yang mempunyai kekhasan pemaknaan masing-masing terhadap spiritualitas Katolik. Pada umumnya mereka mempunyai aturan masing-masing yang dijadikan landasan konstitusi dari setiap konggregasi dan sesuai dengan Hukum Gereja Katolik.
Di dalam Gereja Katolik yang berusia sekitar 20 abad ini dengan struktur dan hirarki yang jelas serta peran kaum laki-laki yang dominan, seri “Her-Story,” ini bisa memberikan suatu alternatif terhadap gambar yang dominan dan seringkali tanpa disadari, dipersepsikan sebagai “satu-satunya” kenyataan yang ada.
Gereja Katolik adalah Gereja yang Universal baik bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Seri “Her-Story,” ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemahaman dan penghargaan kita bersama akan keberagaman pemaknaan terhadap Spiritualitas Katolik khususnya yang berbasiskan gender.
Keperempuanan mereka yang dikisahkan di dalam seri ini turut mempengaruhi bagaimana mereka memaknai spritualitas Katolik baik disadari maupun tidak disadari oleh mereka sendiri.
Di dalam Gereja Katolik, kumpulan “His-Story,” kerap tanpa disadari dipersepsikan sebagai “Sejarah”. Adanya dominasi dan relasi kekuasaan telah menyebabkan hal ini terjadi.
Seri “Her-Story,” karya Rm. Jost Kokoh ini dapat membantu kita bersama untuk menyadari bahwa ada beragam kisah yang turut membentuk Gereja Katolik. Kisah-kisah kaum perempuan dari beragam latar belakang yang dengan cara mereka masing-masing telah berkontribusi secara khas terhadap Gereja Katolik baik dilihat dari “Sejarah” maupun spiritualitasnya.
Semoga akan semakin banyak dan semakin beragam kisah yang telah turut memperkaya Gereja Katolik dikisahkan sehingga kita semua bisa menghargai keberagaman kisah dan kekayaan makna yang telah kita warisi bersama dan bisa menjadi landasan bagi tindak lanjut yang nyata di dalam hidup bermasyarakat termasuk ke arah perubahan sosial yang lebih adil dan setara. (Francisia SSE Seda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar