HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI "HERSTORY" (2)
Elisabeth Gruyters
CARITAS ET HUMILITAS
PROLOG
Siapa tak kenal Rumah Sakit dan Akademi Keperawatan Sint Carolus di tengah megah-riahnya kota Jakarta, Rumah Sakit Panti Rapih-Panti Rini-Panti Nugroho di kota gudeg Yogyakarta atau Rumah Sakit Borromeus di “Paris Van Java” Bandung? Bukankah banyak orang Jakarta juga kerap-akrab mendengar nama besar “Yayasan Tarakanita (Playgroup, TK, SD, SMP, SMA, dan SMK) dan “Yayasan Pendidikan Tinggi Tarakanita” yang exist di seantero Jakarta? Ada juga nama sekolah unggulan, Stella Duce dan asrama Syantikara di Yogyakarta. Yah, Kongregasi para suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (biasa dikenal dengan Kongregasi CB) adalah aktor di balik nama besar pelbagai lembaga publik yang sudah “admiranda et amanda”: dikagumi dan dicintai masyarakat itu. Kongregasi CB sendiri dirintis-kembangkan oleh seorang perempuan Belanda, Elisabeth Gruyters pada 29 April 1837 di Maastricht, Belanda. Oleh Gereja, kongregasi ini ditempatkan di bawah naungan Santo Carolus Borromeus. Selain di Indonesia, mereka juga melayani di Amerika, Afrika, Belanda, Belgia, Denmark, Brasil, Norwegia, Filipina, Vietnam, Timor Leste, dan masih banyak lagi: “Dimuliakanlah Nama Tuhan selama-lamanya!” (EG 156)
SKETSA PROFIL
Dengan pertolongan Tuhan,
aku akan berhasil. (EG 13)
Maria Elisabeth Gruyters. Itulah nama lengkap seorang anak yang terlahir di desa Leut, dipinggir sungai Maas, Limburg, Belgia, 1 November 1789. Ibunya bernama Maria Borde. Ayahnya yang bernama Nicolas Gruyters merupakan seorang bendahara puri di Leut. Pada tahun 1821, Elisabeth berangkat ke Maastricht. Jarak antara Leut dan Maastricht sekitar 19 KM. Disinilah, ia bertahun-tahun bekerja sebagai pengurus rumah tangga pada keluarga Nijpels yang kaya raya. Ia bukan hanya bekerja sebagai pengurus rumah tangga melulu, tapi ia juga memperhatikan dan memelihara kebutuhan mental maupun spiritual setiap anggota keluarga Nijpels itu. Satu hal yang dicandranya, bahwa dampak dari Revolusi Prancis mewarnai suasana duka banyak keluarga di Maastricht, termasuk keluarga Nijpels: Nyonya Nijpels mengalami sakit lumpuh dan selama 40 tahun lamanya telah meninggalkan iman kristianinya; anak-anaknya suka berfoya-foya dan menempuh jalan hidup yang sesat; suaminya, Tuan Nijpels memboroskan waktu dan memuaskan dirinya dengan pelbagai kesenangan duniawi yang tidak sehat. Melalui perjumpaannya dengan keluarga Nijpels inilah, iman dan kerinduan hatinya untuk mengutamakan keselamatan jiwa sesamanya (salus animarum) semakin terpupuk subur. Dalam catatan pribadi yang ditinggalkannya, Elisabeth menulis-kenangkan kerinduan imannya untuk menjadi seorang biarawati: Harapanku ada pada Tuhan, dan tidak seorangpun dapat menggoncangkannya (EG 55). Baginya, masuk biara adalah wujud nyata dari usaha “mencari Kerajaan Allah” dan “menyelamatkan jiwa-jiwa”.
Yah, memang pada waktu itu, kota Maastricht sedang berduka-nestapa akibat Revolusi Perancis: Pelbagai biara ditutup dan semua gereja dilarang mengadakan aneka reksa pastoral. Kaum religius diusir, bahkan banyak gereja dan biara dialih fungsikan sebagai gudang persediaan bagi keperluan para tentara dan tak jarang juga untuk kandang kuda. Intinya: kota Maastricht sedang amburadul akibat penindasan dan pelbagai bentuk kriminalitas yang berkepanjangan.
Di tengah konteks nyata itulah, Elisabeth tersentuh hatinya melihat gulat geliat dan duka-derita yang dialami oleh keluarga Nijpels dan sesamanya yang lain. Ia menjadi seorang pribadi yang mudah peka dan berbelarasa pada penderitaan sesamanya. Hatinya terbakar oleh cinta kasih Allah dalam diri Yesus yang tersalib. Segenap hidupnya tersentuh cinta Allah yang tak bersyarat dan yang berbela-rasa (compassion), yang memunculkan sebuah doanya di depan salib: “hanya yang mengalaminya sendiri, dapat melukiskan betapa sengsaranya jiwa dalam keadaan yang demikian” (EG 42). Satu pesan bijak-bestari Tuhan yang terus bergema-mesra di relung hatinya dalam pengalaman doa-doanya: “Hendaklah kamu mencintai Tuhan Allahmu, dengan seutuh hati, dengan seutuh jiwa, dan dengan seluruh tenaga, serta cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri, demi Tuhan”. Inilah perintah Tuhan yang juga ditulisnya pada kemudian hari sebagai prolog dari Konstitusi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus, yang di-sahkan oleh Tahta Suci Vatikan pada 14 Desember 1856).
Di tengah berjalannya sang waktu, sebuah keyakinan iman yang kerap dibagikannya, “berkat doa yang berkanjang dan dengan kepercayaan kepada Allah, segala-galanya dapat diatasi, (EG 69) menjadi terwujud-nyatakan terlebih saat kisah perjumpaannya dengan pastor van Baer, pastor deken di gereja St. Servas. Yah, ternyata pastor van Baer juga memiliki kerinduan dan harapan iman yang sama. Sang pastor melihat dalam diri Elisabeth-lah, ia menemukan orang yang pas, yang ‘fit and proper’, “... yang membuat beliau berani untuk bersama aku memulai karya besar ini,” tukas Elisabeth.
Perlahan tapi pasti, berangkat dari perjumpaan iman dengan pastor van Baer, kerinduan Elisabeth untuk diterima dalam biara malahan berkembang-mekar menjadi sejumput harapan:“Sekiranya berkenan kepada Tuhan, aku mohon agar di kota Maastricht ini, didirikan sebuah biara, dimana Tuhan akan diabdi secara tulus ikhlas” (EG 5). Sebuah kerinduan yang sangat bisa dimengerti, bukan?
Pada tanggal 29 April 1837, Elisabeth memulai karya kasihnya: Ia mendirikan sebuah komunitas (yang sekarang dikenal dengan sebutan, “Kongregasi Suster-suster Cintakasih St.Carolus Borromeus”) di sebuah rumah sewaan yang miskin. Karya awal Elisabeth waktu itu adalah mengumpulkan anak-anak kecil, lemah, miskin dan tersingkir, dengan maksud membangun dasar rohani yang jost dan kokoh. Mereka diajar berdoa dan bertata-krama, serta dibimbing agar lebih memiliki semangat hidup yang suci: Allah yang Mahabaik memberkati karya kami (EG 52), begitu keyakinan iman Elisabeth.
Pada permulaan karyanya di Maastricht, Elisabeth juga pernah menulis-kenang dalam bukunya: “Semuanya serba kurang, bahkan pada hari-hari pertama kursi untuk duduk kami belum punya.” Dalam bulan-bulan April dan Mei 1837, ternyata cuaca masih sangat dingin: “Lapisan salju di jalan biasanya setinggi orang. Sampai waktu itu orang yang tua-tuapun belum pernah mengalami keadaan semacam ini.” Dalam buku kisah panggilan pribadi lainnya, ia menulis: “kami hidup seadanya hingga bulan Mei. Waktu itu, mereka mulai menerima anak-anak miskin, dengan maksud membangun dasar yang baik dalam batin mereka, memberikan pelajaran agama Kristen, menjahit, berdoa serta memberikan dorongan ke arah semangat hidup yang suci.” (EG 51). Demikianlah, dalam keadaan yang serba terbatas, anak-anak miskin ditampung dan diperhatikan. Disinilah karya pendidikan kongregasi mulai dirintis. Mendampingi dan mendidik dengan hati demi perkembangan pribadi secara utuh menjadi semangat dasar Elisabeth dan menjadi inspirasi yang terus dihidupi dalam karya pendidikan oleh para penerusnya.
Di lain matra, komunitas karya yang dirintis Elisabeth ini tentu tak lepas dari perbincangan orang lain. Yah, meskipun banyak orang membicarakan bahwa mereka miskin, tapi semangat Elisabeth tetap kaya dan menyala-nyala. Selain itu, pengawasan polisi setempat juga mereka alami, sehingga mereka tak bisa begitu saja bebas-lepas bergerak, tapi satu prinsip iman terus dikumandangkannya: Tuhan menolong siapa saja yang selalu setia mengabdi kepada-Nya (EG 97). Perjuangannya ditandai dengan banyak pengalaman yang menantangnya untuk lebih bertekun dalam doa. Justru melalui pelbagai tantangan pada waktu itu, Tuhan memberinya keberanian dan kekuatan untuk mengawali pelbagai karya kasihnya. Yah, bermodalkan kesetiaan dan pengabdiannya bagi Tuhan, komunitas karya yang dirintis Elisabeth pun mulai bertumbuh-kembang. Pada tahun 1840, rumah di jalan Lenculen terasa terlalu kecil dan mereka berpindah ke rumah yang lebih besar, dekat lapangan Vrijthof.
Selain karya pendidikan, Elisabeth dan para pengikutnya juga mulai terlibat dalam karya kerasulan kesehatan di rumah sakit ‘Calvarieberg, yang bertujuan untuk memuliakan Tuhan demi keselamatan sesama yang menderita. Ia menulis: “Pada 1 Agustus 1843, aku mengantar lima suster ke ‘Calvarieberg’ untuk merawat dan memberikan hiburan rohani serta jasmani kepada para anggota Tubuh Yesus Kristus yang menderita disana…..Akan tetapi, hanya Tuhanlah yang mengetahui betapa banyak jerih payah yang harus kami alami, sehingga kebahagiaan ini dapat dilimpahkan kepada para penderita yang malang ini.” (EG 108-109). Setelah itu, mereka juga mulai mengembangkan karya kasihnya di Panti Asuhan Katolik pada tanggal 1 Maret 1839, dengan maksud untuk menjaga keselamatan anak yatim piatu, baik jasmani maupun rohani. Dengan demikian, Elisabeth bersama para pengikutnya secara sederhana, mempunyai dua bidang pokok dalam pebagai karya kasihnya, yakni: pendidikan dan kesehatan.
Adalah sebuah pernyataan, “jika Allah berbicara dalam hati, pasti terdengar bahasa cinta.” Disinilah, dalam waktu singkat, rumah di Vrijthof juga menjadi terlalu kecil, dan pada tahun 1844, Elisabeth dan teman-temannya mulai memasuki bangunan yang semula milik gereja St. Servaas. Rumah inilah yang sampai kini menjadi Biara Induk ‘Onder de Bogen’. Seiring waktu yang berjalan, kongregasi baru ini semakin melebar-luaskan sayapnya sekaligus mendalam-endapkan akarnya demi kemuliaan Tuhan dalam pelbagai karya kasih mereka.
Setelah Elisabeth Gruyters wafat pada 26 Juni 1864, para penggantinya yang sama seperti dia, tergerak “mengabdi Tuhan dengan tulus ikhlas dan gembira” tetap mengikuti jejak iman dan spiritualitasnya. Satu warisan lain yang diajarkannya kepada para pengikutnya, bahwa para suster dalam pelbagai karyanya harus selalu dilengkapi dengan senjata-senjata rohani, agar tidak dinodai kejahatan duniawi, dan ia semakin menegaskan bahwa para susternya harus selalu ingat akan ketiga janji sucinya (EG 70).
Seiring waktu, semakin banyak suster CB yang dikirim ke pelbagai tempat untuk berkarya di bidang pendidikan dan kesehatan: Pada tahun 1918 ke Indonesia, tahun 1923 ke Norwegia dan tahun 1959 ke Tanzania serta belahan dunia yang lainnya. Sebagai contoh nyata di Indonesia: Kongregasi CB mengelola pelbagai Rumah Sakit (St. Carolus di Jakarta -1919, St.Borromeus di Bandung- 1921, Panti Rapih di Yogyakarta- 1922) dan poliklinik yang tersebar-pencar di pelbagai pelosok Nusantara. Pada tanggal 6 Januari 1930, Kongregasi CB juga mulai mengelola Hollands Chinese School (HCS) di Bengkulu (cikal bakal Yayasan Tarakanita yang didirikan pada tahun 1952, dan bersemi di Lahat, Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, Magelang, Surabaya, Solo Baru dan meluas sampai ke Indonesia Timur); Ada juga karya-karya sosial lainnya, seperti asrama sekolahan dan pelbagai panti asuhan. Salah satunya yakni, Panti Asuhan Santa Maria Ganjuran Yogyakarta yang bersemboyan, “Mekarlah Kuncup Muda, Menebar Harum Kasih Allah.”
Di balik pelbagai karya kasih mereka, visi dan keberanian iman yang diwariskan Elisabeth tetap hidup dan menjadi sebuah kenyataan, seperti tema kapitel Kongregasi CB tahun 2011: Semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta, buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu (EG 39).
REFLEKSI TEOLOGIS
Aku menyerahkan semua kepada Tuhan,
dan bertakwa kepada kehendak-Nya yang kudus (EG 12).
1.Sajiman, SAtu JIwa dalam iMAN
Sajiman adalah nama seorang pensiunan kolonel yang saya kenal di daerah Pasar Minggu dan pernah mengikuti saya mengunjungi penjara di daerah Pondok Bambu Jakarta. Bagi saya, figur bercampur tutur bernama Elisabet ini, membuat kita juga bisa belajar untuk menjadi “Sajiman”: “Satu Jiwa dalam Iman.” Ingat saja, sebuah nukilan pernyataan Elisabeth: “Aku akan tetap setia kepada Tuhan dan akan tetap bertekun dalam cintakasih-Nya sampai mati” (EG. 20). Jelaslah, Elisabeth adalah seorang beriman yang mempunyai kerinduan untuk setia bersatu dengan Tuhan dan sesamanya. Bahkan dalam perkembangan waktu, ia juga menekankan hal ini kepada para pengikutnya, “Alangkah bahagia suasana biara, bila terdapat kesatuan antara para anggotanya” (EG 9).
Di lain matra, dalam situasi mencekam kota Maastricht, sesudah perang di abad ke-19, ia sepenuh hati bersatu jiwa dalam iman bersama dengan pergulatan dan pergeliatan sesamanya. Ia setia berdoa kepada Allah, agar di kota Maastricht, banyak orang kembali ke jalan yang benar: “....Dengan aku atau tanpa aku, asal Tuhan dimuliakan dan sesama diabdi dengan tulus ikhlas dan sempurna ”. Ia juga setia terus berjuang mewujud-nyatakan cita-citanya untuk semakin bersatu dengan Tuhan. Baginya, jalan yang paling mungkin untuk bersatu dengan Tuhan dan membalas kasihNya adalah dengan mempersembahkan seluruh hidup kepada Yesus. Keterpesonaannya kepada Yesus yang tersalib menyentuh relung hatinya yang terdalam. Sikap compassion (belaskasihan) Yesus telah menjadi rima dalam keseharian hidupnya, untuk terus menyatu-padukan pergulatan sekitarnya dengan pergulatan hidup dan panggilannya: “Tuhan, aku haus, berilah aku air yang menghidupkan itu” (EG 140).
2.Pola “267”
Rela berkorban. Layani Tuhan. Siapkan jalan iman
“Seluruh harapanku berdasarkan
ayat pertama Kredo:
Aku percaya akan Allah yang
Mahakuasa.” (EG 23)
Apakah anda pecinta sepakbola, soccer-holic? Nah, kalau FC.Barcelona atau Real Madrid mempunyai pola permainan, “4-4-3” atau “4-5-2”, maka Elisabet mempunyai pola “267”. Apa itu? Dalam bahasa not solmisasi, berbunyi, “re” “la” “si”. Yah, dia memiliki pola relasi yang berkualitas: Relasi dengan Tuhan, relasi dengan sesama, relasi dengan alam dan pastinya relasi dengan diri sendiri. Kalau seorang Bo Sanchez dari Filipina mengatakan, “discipleship is a relationship”, maka, bagi saya secara sederhana, sebuah kata “relasi” yang kaya makna ini sebenarnya mengandung trilogi keutamaan dasar yang dihayat-resapi oleh Eisabeth, antara lain:
-Rela berkorban: Bagi Elisabeth, orang miskin bukan saja orang-orang yang miskin secara lahiriah, tapi juga mereka yang miskin materi dan miskin pendidikan. Orang-orang yang miskin adalah orang yang menderita dan yang sakit, baik secara fisik maupun secara rohani. Inilah visi dasar Elisabeth bersama Tarekat Suster-suster Cintakasih Carolus Borromeus yang didirikannya: Mereka diutus ke dunia yang terluka. Mereka dipanggil untuk rela berkorban, masuk lebih dalam, duc in altum, dan menjadi bagian integral dari dunia yang tercarut-marut dan menciptakan banyak korban. Pengalaman kasih Elisabeth dengan Yesus yang tersalib sungguh menyentuh dan sekaligus menggerakkan hatinya untuk menyelamatkan jiwa, yang secara konkret dikenali dan ditemukan dalam diri banyak orang kecil, lemah, miskin, tersingkir, sakit dan sebagainya. Disinilah, Elisabeth berani mengatakan, “keselamatan sesama sangat kupentingkan “ (EG 40).
-Layani Tuhan: Perjumpaannya dengan Allah dalam diri Yesus yang tersalib, adalah sumber segala inspirasi sekaligus aspirasi dalam pelbagai karya pelayanannya: “Kami menerima anak-anak miskin, dengan maksud membangun dasar baik dalam batin mereka. Kami memberikan pelajaran agama, menjahit, mengajar mereka berdoa, dan mendidik mereka untuk mencintai Allah.” (EG 51). Disinilah, baik kita melihat sebuah “pancasila” pelayanannya terhadap Tuhan, yang dihorisontalkan dengan pebagai karya nyata terhadap sesamanya, antara lain:
1. Usaha penyembuhan. Ia mengantar setiap orang untuk kembali kepada relasi harmonis dengan Allah, sesama dan diri sendiri,
2. Usaha kepedulian. Ia memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin, entah kesejahteraan rohani maupun jasmaninya.
3. Usaha pengajaran. Ia tidak hanya mengajarkan katekese tetapi juga mengajar hal-hal praktis, seperti jahit menjahit sekaligus hal-hal etis, seperti menanamkan dasar hidup yang baik kepada anak-anak miskin.
4. Usaha penghargaan. Ia memberikan rasa hormat dan pemberdayaan pada orang-orang miskin, kebebasan dan paham kemanusiaan yang utuh pada sesamanya. Hal ini bisa jadi didapatkannya karena ia pernah “live-in” di RS. Calvarieberg dan di tengah keluarga Nijpels.
5. Usaha belas-kasihan. Ia berbelas-kasihan terhadap orang-orang yang sakit: Ia mengurus, melindungi para penderita sakit serta mendampingi mereka yang menghadapi ajalnya, demi keselamatan jiwa para penderita: “Sebenarnya aku sendiri sudah mendengar panggilan itu dalam hatiku, sejak aku masih berada di luar, waktu belum ada seorang pun yang memikirkan hal itu. Jika pada hari Minggu aku mempunyai sedikit waktu terluang, aku pergi pada orang-orang malang itu, berdoa rosario bersama mereka. Dalam perjalanan pulang, dan dalam kesibukan di rumah, aku masih teringat saja akan orang-orang yang malang itu, dan mereka senantiasa terbayang dalam angan-anganku. Sambil mencucurkan airmata aku memanjatkan doaku, agar dapat berkarya di antara para penderita ini di Calvarieberg.” (EG 113)
“Pancasila” teladan Elisabeth yang melayani Tuhan lewat perjumpaan dengan sesama seperti ditampil-kenangkan di atas, juga terbatinkan oleh para penerusnya. Inilah salah satu bukti nyatanya: Pada tanggal 22 Juni 1918, sepuluh suster CB (Sr Alphonsa, Sr Lina, Sr Hermana, Sr Crispine, Sr Isabella, Sr Judith, Sr Ambrosine, Sr Ignatio, Sr Justa, Sr Gratiana), dengan menaiki kapal api “Frisia”, milik maskapai Hollandse Koninklijke Loyd, lebih dari 3 bulan lamanya pergi menuju Indonesia.
Tanggal 7 Oktober 1918, mereka tiba di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, tepat pukul 06.00 pagi, tanggal 7 Oktober 1918. Mereka langsung menuju ke Biara Ursulin Weltevreden, di Jl. Pos, Jakarta. Setelah masuk biara, tempat pertama yang dikunjungi adalah kapel. Di kapel biara Ursulin ini, para suster CB langsung berdoa dengan penuh rasa syukur: “Ya Yesus yang manis, betapa terharu hati kami bila kami berlutut di depan altar-Mu. Dengan rendah hati dan gembira kami menyerahkan seluruh tenaga, kesehatan, dan kehidupan kami kepada Dikau, demi kepentingan-Mu dan bagi keselamatan jiwa-jiwa.” Jelas, spiritualitas“dokar”: “doa dan karya” mereka dibawa bagi pelayanan pada Tuhan semata. Mereka membawa semuanya dari permulaan sampai pada kesudahannya dalam nama Tuhan sebagai pimpinan tertinggi yang mereka layani.
-Siapkan jalan iman: Elisabeth menulis-hadirkan kisah berdirinya kongregasi, yang sekaligus sebenarnya merupakan kisah panggilan pribadinya: “Atas nama Tuhan Yesus Kristus, oleh H.W. Michels, yang telah beberapa kali memberi retret tahunan di biara kami, aku diharuskan demi ketaatan suci, agar jangan lalai menceritakan tentang mukjizat Tuhan yang Mahakuasa dalam riwayat berdirinya Kongregasi ini”, demikian Elisabeth mengawali tulisannya. Beberapa waktu kemudian, dalam rangka peringatan 150 tahun berdirinya Kongregasi CB, tanggal 29 April 1987, Dewan Pimpinan Umum CB saat itu menerbitkan buku, yang diberi judul: “Elisabeth Gruyters, pendiri sebuah Tarekat.” Pada terbitan tersebut setiap alinea dibubuhi nomor, demi mudahnya pengutipan (jadi, misalnya : EG 5, berarti alinea 5 dari buku tersebut). Selain itu, sebagai salah satu cara untuk mewariskan semangat awal pendiri kongregasi yang perlu dihidupi sebagai inspirasi sekaligus aspirasi, maka disusunlah juga sebuah buku, Guiding Principles Spiritualitas CB untuk setiap bidang karya. Nah, bukankah jelas bahwa penulisan sejarah dan warisan spiritualitas yang terbukukan ini juga sebuah upaya untuk menyiapkan jalan iman bagi para penerusnya? Satu hal yang pasti bisa diingat adalah, “Tuhan Gembala yang Baik, selalu menjaga iman dan memperhatikan orang yang cinta kepadaNya” (EG 65).
3. Mariati
MARIA ada di haTI
Sr.Mariati adalah nama seorang biarawati CB, pendamping para postulan di Gejayan Yogyakarta. Dulu, saya beberapa kali mengadakan dialog antar agama dan kunjungan ke pesantren, seminari, pura dan vihara bersama dia dan anak-anak mahasiswa Sanata Dharma, serta beberapa suster yunior dari kongregasi CB. Sekarang, setiap kali saya mengunjungi makam dua saudara saya di area pemakaman CB (Almarhum Sr.Ignatia, CB dan Sr.Luisi, CB), dialah yang biasa menyambut dan membukakan pintu gerbangnya. Nama “Mariati” sendiri secara sederhana, bisa berarti, “Maria ada di hati.” Disinilah, saya mencandra bahwa Bunda Maria jelas mendapat tempat istimewa di hati Elisabeth, terlebih dengan adanya peristiwa iman pada 15 Agustus 1836 (Hari Raya Maria Asumpta).
Yah, setelah berdoa selama 15-16 tahun. Saat itu, di depan patung Bunda Maria tanggal 15 Agustus 1836, menurut pengakuan Elisabeth, “tiba-tiba terdengar olehku, persetujuan yang suci dari surga…‘Itu akan terjadi.’ (EG 6). Bunda Maria memainkan peran penting dalam hidup Elisabeth dan kongregasinya, terlebih perihal kerendahan hati. Hal ini juga yang pernah ditegaskan Yesus dalam kotbah di bukit: Beati pauperes spiritu - Berbahagialah mereka yang rendah hati. Yah, Maria menjadi “model” dan “mother” kerendahan hati bagi Elisabeth dan para pengikutnya. Teladan iman Maria menjadi pusat geraknya, bakan pengalaman mistik Elisabeth dan kongregasi yang dirintisnya ini. Inilah pengalaman iman yang khas dan mendalam, yang “tertancap di hatinya”.
Bahkan, dalam “Surat Basis”, Agustus 2010, dipaparkan, “Hari Raya Maria Asumpta (15 Agustus) merupakan kesempatan untuk kembali kepada Bunda Maria, untuk membimbing komitmen kita sebagai religius perempuan, untuk dapat dipercaya dan tekun dalam membuat perbedaan sebagai tanda dan instrumen iman, harapan, damai dan bela rasa kepada saudara-saudara di jaman sekarang.”
Disinilah, sangat indah jika setiap pengikut Elisabeth juga sungguh menggali pelbagai unsur rohani (“mistik”) dari Bunda Maria dan menimbanya bagi gerak dan karya pelayanan kasih yang lebih kontekstual (“profetik”), sehingga tepatlah apa yang pernah dikatakan Uskup Agung Semarang, Mgr. Pujasumarta dalam kotbah peresmian Yayasan Panti Rapih di Gunung Kidul, bahwa “CB” bisa berarti, “Cinta dan Belarasa”, dimana Tuhan akan diabdi dengan tulus iklas (EG 5).
EPILOG
Teruskan karyamu.
Tuhan akan selalu memberkati dasar-dasar yang telah dibangun.
(EG 75)
Secara etis-praksis, salah satu bentuk kemiskinan yang paling dalam yang kerap dialami manusia jaman sekarang adalah isolasi, semacam keterpisahan, dalam bahasa Marxis, keterasingan. Kalau kita melihat dari dekat bermacam bentuk kemiskinan, termasuk bentuk-bentuk material, kita melihat bahwa mereka lahir dari isolasi dan alienasi, dari pengalaman ditolak dan tidak dicintai atau dari kesulitan untuk dapat mencintai. Kemiskinan juga sering dihasilkan dari penolakan atas kasih Tuhan, oleh kecenderungan dasar dan tragis manusia yang menutup diri sendiri atau memikirkan diri sendiri sebagai “self-sufficient”/ cukup dengan diri sendiri.
Dalam konteks ini, baiklah kita mengingat-kenang kata sambutan dari Pastor Fleercher (pada pesta perayaan ulang tahun ke-25 Rumah Sakit St. Carolus Jakarta): “Pekerjaan anda di sini bukan hal yang mudah, dan juga tak akan pernah mudah, tetapi itu merupakan kebahagiaan dan juga ketenteraman. Kita memang tahu bahwa Kerajaan Surga merupakan kekuatan, dan kita juga tahu bahwa yang tangguh akan memenangkannya. Dengan pertolongan rahmat Tuhan, anda sekalian akan tetap berusaha untuk mencapai yang hebat itu, menurut tradisi anda sendiri, yang diwariskan oleh pendiri anda yang sangat terhormat, yang mengajukan keutamaan indah sebagai dasar dari tradisi: caritas et humilitas, cintakasih dan kerendahan hati.”
Caritas et humilitas – yang berarti: cintakasih dan kerendahan hati – adalah dua kata pokok yang dapat merumuskan secara singkat-padat-memikat mengenai semangat iman yang diwaris-tularkan oleh Elisabeth Gruyters, bunda pendiri Tarekat Suster-suster Santo Carolus Borromeus di tengah konteks masyarakat yang mengalami pelbagai bentuk kemiskinan. Dua dimensi spiritualitas ini juga yang semestinya terus dihayat-tampakkan dalam reksa pastoral kita semua, entah di pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, maupun reksa pastoral di tengah komunitas basis dan keluarga kita masing-masing. Jika kita selalu memiliki “cintakasih dan kerendahan hati”, bukankah benar, seperti kata Elisabet, “setiap hari, kami diberkati oleh tangan Tuhan yang tak kelihatan.” (EG 63)?
ASPIRASI
Doa Bersama St. Carolus Borromeus
Di dalam tangan-Mu, Bapa Yang Suci dan Berbelaskasih, kami meletakkan hidup kami. Tangan-Mu membawa kami ke salib. Kami menatap Yesus yang tersalib. Kami pun merasa perlu berbicara untuk mengucapkan terima kasih kepada-Mu, dan untuk memperkenalkan kepada semua manusia, hal-hal yang mengagumkan dari cinta-Mu. Salib Yesus merupakan tindakan yang tertinggi, dan kesatuan-Mu dengan kami orang-orang berdosa. Salib Yesus membuktikan bahwa cinta-Mu lebih kuat dari segalanya. Anugerah yang penuh rahasia dan subur, yang berasal dari salib, ialah Roh Kudus yang menyatukan kami. Amin.
Doa Bunda Elisabeth
Oh, Allah Yang Maha Baik, anugerahilah aku lebih banyak keutamaan, teristimewa sifat lemah-lembut dan kebijaksanaan. (EG. 107)
Doa EG
Semoga dimuliakanlah nama Tuhan, yang tidak pernah mengabaikan umat-Nya yang hina dina. (EG. 38)
Doa, Kasih, dan Pelayanan
Dengan hening aku berdoa, dengan doa aku mengasihi. Dengan kasih aku melayani, dengan melayani kualami kedamaian.
Pecinta Hatiku
O... Pecinta hatiku yang manis, berilah aku bagian dalam dukaMu, semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta, buatlah aku cakap dalam pengabdianMu tetapi tidaklah bermanfaat bagiku saja, pun juga bagi keselamatan sesama manusia. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar