HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI "HERSTORY" (3)
Magdalena Daemen
DEUS PROVIDEBIT
PROLOG
Ada pelbagai macam pengikut sekaligus pecinta Fransiscus Asisi bukan? Ada banyak kongregasi suster yang juga menggunakan kekayaan spiritualitas Fransiskus dalam gerak langkahnya bukan? Nah, kalau kita bicara soal karya para pengikut dan pecinta spiritualitas St.Fransiskus di Pulau Jawa, terlebih di Jawa Tengah, maka nama dan aneka karya para suster Fransiskanes dari Heythuysen (OSF) tidak boleh dilupakan pun diluputkan bukan? SMA Santa Maria di Yogyakarta, Yayasan Marsudirini di Jakarta, Sekolah Sedes Sapientiae serta RS Elisabeth di Semarang dengan pelbagai poliklinik, rumah bersalin juga sejumlah panti asuhan adalah sebagian kecil karya nyata mereka. Lebih daripada itu, saya merasakan ikatan batin juga dengan kongregasi ini, karena ada satu saudara saya yang masuk biara OSF, Sr Maria Clarissa yang meninggal 11 November 2011 lalu pada usia 86 tahun. Yah, semangat dan spiritualitas Magdalena Daemen sebagai ibu pendiri pasti banyak mewarnai derap langkah warta dan karya kongregasi ini, bukan?
SKETSA PROFIL
Semuanya berawal dari sebuah nama: Maria Catharina Daemen. Yah, nama yang sederhana ini mempunyai makna yang sangat kaya bagi tarekat OSF. Dialah seorang perempuan yang dilahirkan pada tanggal 19 Nopember 1787, sebagai anak sulung dari Bapak Cornelius Daemen dan Ibu Gertruida Van Bree. Mereka tinggal di desa Ohe-en-Laak, Limburg Belanda bagian Tenggara, dekat dengan Stevenaweert.
Maria Catharina Daemen sendiri akrab dipanggil Trieneke. Dalam kesederhanaan keluarganya, ia berakar dalam iman yang hangat, bertumbuh dalam persaudaaan yang akrab, dan sekaligus berbuah dalam karya cinta yang bersahabat. Ia sendiri mempunyai seorang adik perempuan bernama Johanna Daemen yang dipanggil akrab Jenneke. Trieneke dan Jenneke ini bersama-sama tumbuh-berkembang dalam curahan kasih sayang kedua orangtuanya. Mereka saling mengasihi, walaupun memiliki watak kepribadian yang sangat berbeda. Trieneke alias Catharina senang berdoa, dengan pembawaannya yang lebih tenang, pendiam, dan suka merenung-menung. Sedangkan, adiknya, Jenneke alias Johanna adalah seorang pribadi yang gemar tertawa, bercanda ria dan menyenangi kehidupan ramai di dunia.
Masa usia sekolah dasar dilalui Catharina di Echt. Dalam keadaan sarana dan prasarana yang serba berkekurangan, ia berusaha untuk tekun belajar agar memiliki pengetahuan yang memadai bagi kehidupan masa depannya. Akhirnya, Catharina mampu membaca, menulis dengan tulisan yang bagus dan mampu membuat pembukuan sendiri secara sederhana.
Waktu itu, ia memang hidup dalam masa sulit di pelbagai bidang, terlebih pada bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. Yah, Revolusi Perancis pecah saat Catharina berusia 2 tahun. Kekacauan situasi politik sungguh menggoncangkan hidup keagamaan, karena maraknya pelanggaran UU Kebebasan Beragama. Sebuah contohnya: tiga hari sebelum Natal tahun 1894, pasukan Prancis masuk kota kecil dan ingin menemui pastor. Sang pastor tersebut, Dean Ghysen dipaksa untuk menyerahkan semua peralatan gereja yang terbuat dari emas dan perak milik kapel Schilberg. Pelbagai biara, milik ordo-ordo aktif atau kontemplatif pria dan wanita juga banyak yang dibubarkan karena dinilai tidak melayani tujuan sosial, ekonomi dan politik kerja. Hanya beberapa ordo yang mengelola bidang kesehatan dan pendidikan yang diperbolehkan meneruskan karya mereka.
Maria Catharina Daemen belajar banyak dari pengalaman dunia sekitarnya. Ia menyaksikan keberanian para umat yang penuh resiko: Ia melihat para penduduk menyembunyikan para pastor di rumah mereka untuk mengadakan pelayanan rohani, misalnya membaptis, dan mempersembahkan ekaristi serta memberi hiburan orang-orang kepada orang-orang yang akan meninggal dunia. Pengalaman tersebut membantu Catharina yang pada waktu itu berumur 10 tahun untuk mulai memikirkan apa artinya menjadi seorang biarawati, seorang pelayan Tuhan.
Penderitaan masa kecil, kelaparan, banjir, perang, kenaikan harga dan sebagainya memacu dirinya untuk berbuat sesuatu yang lebih berguna bagi dirinya dan sesamanya. Semboyan “Deus Providebit – Tuhan akan menyelenggarakan”, yang merupakan semangat orang-orang di desanya mengantar Catharina ke Maeseyck, yang terletak di tepi barat sungai Maas, dua jam perjalanan jauhnya dari Laak.
Di Maeseyck, ia sering pergi ke gereja yang dekat dengan letak tempat kerjanya itu, dan disinilah pula, pada usia 23 tahun, Catharina membaktikan dirinya untuk kepentingan gereja. Ia bekerja sebagai karyawan rumah tangga paroki. Disinilah juga, Catharina semakin mengenal kehidupan para imam Fransiskan Kapusin yang sungguh baik. Mereka “admiranda et amanda: dikagumi sekaligus dicintai oleh masyarakatnya.
“Verba movent. Exempla trahunt” . Kata-kata itu menguap, tapi teladan hidup menyentuh hati. Perkenalannya dengan imam-imam Kapusin antara lain dengan Pater Eleutherius dari Sussen dan Pater Leonardus de Poel mempunyai pengaruh sangat besar bagi penentuan jalan hidup dan panggilannya. Ia menyaksikan sendiri pelayanan dan hidup para pastor: sebuah hidup dan iman yang ditekankan pada pengingkaran diri secara radikal terhadap barang-barang duniawi dan cinta yang sungguh mendalam kepada sesama. Buah-buah doa mereka tertuang dalam aneka kegiatan: berkotbah, mendengarkan pengakuan, memimpin novena, mengadakan tuguran, mengujungi para tawanan, merawat orang sakit, memelihara orang-orang yang cacat mental, mengajar anak-anak, mengadakan prosesi dan bekerja sebagai sukarelawan. Catharina secara sederhana, melihat tiga semangat pokok, “PPT” para Kapusin itu: Pengabdian yang tulus; Penyerahan diri yang total; Tapa denda yang mendalam.
Sikap dan semangat hidup “PPT” inilah yang disebar-lebarkan para imam kepada banyak umat dengan mendirikan Ordo Ketiga Sekulir St.Fransiskus. Satu diantara para pengikutnya adalah Catharina Daemen. Ia menjalankan cara hidup seperti yang dijalankan oleh para imam: Ia mengenakan pakaian yang sederhana, hidup dengan sopan, ugahari dalam hal makan dan minum, berdoa brevir setiap hari (ibadat gerejani) serta banyak berpantang dan berpuasa.
Catharina mengucapkan kaulnya pada tanggal 12 Oktober 1817, disaksikan oleh Pastor Eleutherius, pendamping Ordo Ketiga Sekulir St. Fransiskus waktu itu. Ia memulai kehidupannya dalam semangat tapa denda dan cinta kasih. Seiring waktu yang terus berjalan, cita-cita Catharina menjadi biarawati masih terus membara. Ia tidak mau berhenti menjadi ordo ketiga sekulir. Ia juga menggabungkan diri dengan “Masoeurkes op de Trepkes”, sebuah perkumpulan para perempuan muda yang hidup bersama, berdoa bersama, makan bersama dan mempunyai peraturan tertentu serta pembagian tugas kerja diantara mereka sendiri. Banyak orang menganggap cara hidup mereka sebagai hidup membiara. Karya pelayanan mereka adalah memperbaiki dan membuat pakaian resmi gereja, mengajar katekese, serta menjahit dan merajut pakaian.
Keberhasilan kelompok Masoeurkes ”Op de Trepkes” menarik perhatian Pastor van der Zandt, kepala paroki Heythuysen. Ia meminta kesediaan dua orang diantara mereka, untuk berkarya di parokinya. Sebenarnya, pastor van der Zandt tidak keberatan siapa kedua wanita yang akan dikirim, asal bukan Catharina Daemen. Diakuinya, bahwa Catharina adalah wanita yang penuh kasih, sabar, tabah dan lembut hati. Tetapi dia bukanlah wanita yang mampu menangani apa yang diinginkan harus terjadi diparokinya. Penampilan Catharina yang tidak menarik pasti tidak akan membawa hasil maksimal dalam warta dan karyanya. P.van der Zandt menginginkan seorang wanita yang lebih muda, menarik, terampil dan cekatan.
Namun jalan Tuhan memang bukan jalan manusia. Yang dikirim bukan dua orang melainkan hanya satu, dan orang itu justru Catharina Daemen. Dia siap meninggalkan teman-temannya, pastor, gereja dan lingkungan tempat ia pernah mengabdikan dirinya. Di usianya yang ke-38, Catharina siap berangkat ke Heuthuysen tanpa gentar. Catharina tiba di Heuthuysen pada tanggal 21 Juni 1825, setelah menempuh jarak 25 kilometer.
Melihat kedatangannya, P.van der Zandt sangat kecewa dan sedih. Kecewa karena yang datang hanya satu orang dan sedih karena yang datang itu justru wanita yang kehadirannya sama sekali tidak diperhitungkan apalagi diinginkannya. Catharina disambut dengan hambar, dingin dan tidak ramah. Kata P.van der Zandt: “sebaiknya orang ini tinggal di Maeseyeck saja, anak-anak tak mungkin dipercayakan kepadanya.” Sikap-sikap penolakan dan “tidak manis”ini tidak sedikitpun mengendorkan tekad Catharina untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Anggapan remeh terhadapnya, ketidakpercayaan orang lain atas kemampuannya dan tampilan luarnya yang tidak menarik itu justru dipakai Catharina untuk menarik sebanyak mungkin orang keluar dari kemiskinan akan pengetahuan agama, kemiskinan akan pendidikan keilmuan serta kemiskinan akan hubungan antara sesama manusia. Seperti sebuah motto ibukota Perancis, Paris: Fluctuat nec mergitur – ia terombang-ambing tapi tak tenggelam, begitulah Catharina menjalani karya awalnya di Heuthuysen.
Perlahan tapi pasti, Catharina berhasil mengumpulkan anak-anak dengan sikapnya yang lembut, sabar dan saleh: “Ia mengajar anak-anak. Membaca, menulis, menjahit dan merajut. Semua anak senang kepadanya karena dia. Rajin dan tak kenal lelah bekerja sepenuh hati. Dengan sepenuh hati dia mengajar anak-anak dan memperhatikan mereka. Sekolah menjadi penuh sehingga dia tidak bekerja sendirian (Bk. Taman Bunga St. Fransiskus.Hal. 12).”
Akhirnya, Catharina juga diijinkan untuk membuka sekolah baru. Orang-orang mulai mengagumi dan menghargai hasil jerih payahnya yang sama sekali tidak meminta imbalan. Catharina tidak puas dengan keberhasilan ini, dia masih menginginkan sesuatu yang lebih. Mimpinya untuk menjadi biarawati tetap membara dihatinya. Datanglah kemudian bebarapa wanita untuk bergabung dengannya, yaitu Johanna Anne Marie Verkolen, Getruida Kirkelas dan Mary Catherine Dekers. Kepada mereka, Catharina mengatakan, ”Tuhan telah mengirim engkau kepadaku. Tinggallah bersama aku”.
Kelompok Heuthuysen ini mulai terbentuk pada tahun 1827. Berbagai ketrampilan dan kemampuan yang mereka miliki, dipakai untuk membantu karya Catharina: Ada yang menjahit, merajut, menambal pakaian sobek, dan yang pasti mengajar anak-anak. Mereka mulai menjalani hidup bersama: Mereka berdoa, merawat orang sakit, mengajar di sekolah paroki, dan mengunjungi pelbagai keluarga.
Sekolah dan pelbagai karya pelayanan mereka semakin berkembang pesat. Rumah mereka menjadi sempit karena kelas-kelas penuh sesak dengan murid. Muncullah gagasan untuk membangun rumah baru. Maka Catharina membeli rumah tua ditengah desa. Rumah tua itu dirombak dan dijadikan rumah karya. Mereka bekerja keras siang malam. Catharina dan teman-teman merasa bahwa mereka sungguh menempati sebuah biara yang kecil dan sederhana seperti Bapa Fransiskus,“ Si miskin dari Asisi”. Katanya, “alangkah besar kebaikan Tuhan kepada kita, justru karena dalam kemiskinan ini kita tetap merasa puas, dan lebih bahagia dengan perjamuan Fransiskan ini daripada orang-orang kaya.”
Tanggal 9 November 1828, di hadapan Pastor Leonardus, ketiga temannya mengucapkan prasetya mereka dalam Ordo Ketiga Santo Fransiskus. Tujuh tahun kemudian, setelah keadaan politik mulai stabil, pelbagai biara dan pertapaan dibuka kembali. Catharina mendapatkan inspirasi untuk mendirikan sebuah tarekat baru. Berkat bantuan Mayor Raetsen, Catharina membeli “de KREPPEL”, milik Baron Michiels van Verduynen. Beberapa persyaratan untuk mendirikan tarekat baru waktu itu, yakni: anggota harus memakai pakaian religius, harus hidup menurut peraturan tertentu dan harus mengucapkan tri prasetya injil. Dan yang terpenting dari itu semua adalah adanya pesetujuan dari uskup.
Maka, Catharina meminta bantuan kepada P. van der Zandt untuk menulis surat kepada uskup Bommel di Luik. Walaupun lama tidak mendapat jawaban uskup, Catharina dengan bersabar dalam doa, terus mempercayakan segalanya kepada penyelenggaraan ilahi, Deus providebit! Beberapa waktu kemudian, karena tidak ada juga surat balasan dari uskup, maka Catharina memohon ijin kepada P. van der Zandt untuk pergi menemui uskup Bommel dan menanyakan masalah tersebut. Tetapi sang pastor malahan berkata, ”lupakanlah rencanamu itu, Catharina. Mungkin uskup tidak mengabulkan permohonanmu. Penampilanmu saja sudah tidak mendorong berhasilnya usahamu”. Seperti biasa, Catharina menjawab: “Tuhan akan menyelenggarakan”. Deus providebit!
Catharina berjalan kaki selama 12 jam di tengah udara musim dingin, menuju Liege. O sancta simplicitas! O sebuah kesederhanaan nan kudus. Ternyata, dalam surat rekomendasinya kepada Uskup Bommel, Pastor van der Zandt mengatakan: “Tampaknya memang wanita yang pendiam dan sederhana ini tidak mungkin mendirikan biara di parokinya. Namun kegigihan, kesungguhan niat dan kepribadiannya yang mantap menjadi modal utamanya. Dia mencari selalu dari dalam segala sesuatu hal-hal yang menyenangkan Tuhan, dan Tuhan terlalu sering menjawab doa-doanya dengan hal-hal yang banyak orang mengira itu tidak mungkin.”
Di depan uskup, Catharina sekali lagi menerangkan keinginan untuk memohon ijin mendirikan sebuah biara, dengan karisma Santo Fransiskus dan hidup sesuai dengan peraturan Ordo Ketiga Santo Fransiskus. Uskup pada awalnya, menolak permohonan Catharina karena dia dianggap tidak mempunyai pendidikan dan kemampuan yang cukup untuk mendirikan sebuah tarekat baru. Tetapi dengan lembut Catharina menjawab, “Bapak Uskup, ini bukan pekerjaan saya. Saya memang tidak mampu menyelenggarakan hal semacam ini, bahkan tidak juga untuk memikirkannya. Itu pekerjaan Tuhan dan Tuhan sendiri yang akan menyelenggarakannya.”
Meski permohonan mereka belum juga dikabulkan, kehidupan doa yang penuh sukacita dan karya yang sederhana itu terus bersemi. Penolakan Uskup tidak mengubah apa-apa dalam hidup mereka. Catharina sangat yakin bahwa Tuhan pasti menyelenggarakan segala sesuatu. Doa, karya dan kurban ditingkatkannya.
Sekali lagi, ia menghadap Uskup Bommel. Kali ini, ia berangkat di musim semi. Suatu firasat bahwa hatinya akan bersemi juga. “Saya tidak tahu apa yang mempengaruhi saya. Saya menerima dia dengan keputusan untuk menolak permohonannya. Saya tidak melihat kemajuan-kemajuan yang dicapainya, atau ada sedikit harapan untuk masa depan. Tetapi saya tidak mampu menolaknya. Biarlah dia mulai melaksanakan apa yang diinspirasikan Tuhan kepadanya.”
Yah, uskup Bommel akhirnya memberikan ijin dan restu hirarkinya kepada Catharina Daemen, dengan kata-kata: “Semoga Tuhan memberkati kepercayaaanmu kepadaNya. Pergi dan dirikanlah tarekatmu.” Ijin uskup yang sangat berarti itu, mempermudah Catharina dan teman-teman untuk mengurus pembangunan gedung baru di Kreppel. Enam bulan setelah penandatanganan pembelian, para suster berpindah ke Kreppel. Pada 10 Mei 1835, mereka meminta pastor van der Zandt untuk memberkati Kreppel dan tempat itu diberi nama “Biara Hati Kudus Yesus dan Maria”. Tanggal 10 Mei ini juga ditetapkan sebagai Hari Tarekat: Hari berdirinya Tarekat (Kongregasi) Suster-suster Santo Fransiskus dari Tapa Denda (Tobat dan cinta kasih Kristiani).
Cita-cita Catharina dan teman-teman selanjutnya adalah mengenakan pakaian Fransiskan. Ia ingin memakai salib; memilih pakaian yang melambangkan “PKK - Pertobatan, Kemiskinan dan Kesederhanaan”. Ia juga ingin menyelimuti dirinya dan para pengikutnya dengan salib Kristus. Pada waktu itu, mereka memakai habyth coklat, ikat pinggang putih, kerudung hitam dan pada skapulirnya, terlukis salib dengan alat-alat penyiksaan. Mereka melambungkan lagu “Te Deum” sebagai ungkapan syukur pada Tuhan atas rahmat panggilan dan penyertaanNya. Pada tanggal 11 Februari 1836, dalam suatu misa kudus meriah untuk menghormati Roh Kudus, Pastor van der Zandt menyerahkan habyth suci dari Ordo III Fransiskus yang disebut “Tapa Denda” kepada Catharina Daemen dkk.
Beberapa tahun kemudian, mereka mendapat ijin dari Tahta Suci untuk mengucapkan kaul kekal. Mereka masing-masing memakai nama:
1. Catharina Daemen : Sr. Magdalena
2. Joanna M. Vercoulen : Sr. Clara
3. M. Getrudis Kirkels : Sr. Antonia
4. M. Catharina Deckers : Sr. Fransisca
5. M. Elisabeth Steenkens : Sr. Angelina
Karena hidup membiara telah di sah-kan oleh Gereja, maka Catharina Daemen alias Sr.Magdalena Daemen bersama Pastor van der Zandt mulai menulis-rintis statuta baru. Statuta yang terdiri atas 14 bab ini menekankan empat pilar pokok, yakni: kemiskinan, ketaatan, doa dan tapa denda. Dalam perkembangan waktunya, pada tahun 1843, nama de KREPPEL alias “Biara Hati Kudus Yesus dan Maria” diubah menjadi “Biara St Elisabeth” sebagai penyesuaian tradisi Fransiskus.
REFLEKSI TEOLOGIS
1. Katarina
KAbarkan cinTA dengan RIang dan sederhaNA.
“Anak-anak hendaklah kamu saling mencintai
karena dengan demikian orang akan mengetahui
bahwa kamu murid-muridKu.
Demikianlah sabda Mempelai Ilahi kita,
sesaat sebelum Ia wafat penuh kesengsaraan
demi cintaNya kepada kita”
(Magdalena Daemen).
Katarina ialah nama asli dari Magdalena Daemen. Katarina juga adalah nama yang kerap kita dengar. Entah itu nama seorang sahabat, kerabat atau kenalan dekat kita, Bagi saya, nama Katarina memiliki arti yang indah, yakni: “KAbarkan cinTA dengan RIang dan sederhaNA”.
Katarina alias Magdalena Daemen memang kerap mengabarkan cinta (pelajaran rohani) kepada para susternya, terlebih dalam usaha menghayati kesederhanaan dengan hati yang gembira. Dia kerap menyapa para pengikutnya dengan: “Anak-anakku yang terkasih”. Bersama teladan St. Fransiskus Asisi yang menyebut sang kemiskinan sebagai “permaisuri yang tercinta”, dia mengajak semua pengikutnya untuk belajar mengosongkan dirinya dari segala keduniawian: “Hendaklah jangan segan –segan kita berusaha agar menjadi orang miskin yang gembira dan tidak menuntut apa-apa.” Pola hidup sederhana ini memang pertama-tama mesti ditopang oleh semangat hidup yang ringan. Riang dan gembira bersama Allah merupakan pintu gerbang mengalirnya rahmat Allah bagi kita. Namun pada dasarnya orang bisa riang kalau bisa menerima diri apa adanya, bukan?
Lebih lanjut tentang bagaimana kita bisa mengabarkan cinta dengan riang dan sederhana, Magdalena menegaskan perlunya penanaman motivasi luhur (“intentio pura” dan bukan “intentio pura-pura”): “Segala-galanya demi keluhuran Tuhan dan demi cinta kasih kepada Yesus Kristus”. Baginya, motivasi luhur yang dilakukan dengan tulus hati cukuplah untuk mengubah pekerjaan yang paling kecil dan paling rendah menjadi besar dan berjasa dimata Tuhan.
2. Yoseta
aYO SEtia dalam cinTA
Tahun 2009-2011, saya berkarya di sebuah paroki di bilangan Jakarta Utara bersama para pastor dari Lazaris (tarekat CM). Disanalah, kami setiap pagi, jam 05.30 mempersembahkan misa harian di Biara OSF Kramat Jaya. Adapun nama suster pimpinan komunitas biara OSF waktu itu, adalah: Sr Yoseta. Bagi saya, nama “Yoseta” juga memiliki arti yang begitu indah, yakni: “aYO SEtia dalam cinTA.”Nah, bagaimana kita bisa belajar “setia dalam cinta?” Magdalena memberikan beberapa tips praktisnya, yakni: “dokat”: DOa, KArya dan Taat.
a.Doa
Seorang beriman harus hidup dalam semangat doa, bukan? “Orare labora est”. Berdoa adalah sebuah kerja atau usaha juga. Disinilah, Magdalena mengajak supaya kita selalu dapat berdoa juga pada waktu bekerja. Baginya, doa merupakan kunci untuk membuka pintu rahmat Allah di tengah karya. Semakin jost dan kokoh kunci tersebut, maka semakin berlimpah dan meruah rahmat yang akan diterimanya. Doa seperti sebuah “akar” dalam karya, bukankah tepat sebuah ungkapan sederhana, “roots creates the fruit, akar menciptakan buah. Bukankah jelas, jika akarnya baik (bertanah subur, mendapat sinar matahari yang pas, diberi pupuk dan air yang cukup), maka buah-buahnya pun juga akan baik? Bukankah sebuah karya yang baik, selalu didasarkan pada alas doa yang baik juga? Disinilah, mengacu pada teladan iman Magdalena Daemen, ada pelbagai buah doa yang nyata-nyata bisa kita dapatkan, yakni:
- Kedewasaaan rohani: Tanpa doa tidak ada kedewasaan rohani yang gembur. Tanpa doa, tidak ada kehidupan rohani yang subur. Doa merupakan santapan harian bagi jiwa. Terlebih, ditekankannya, bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini mempunyai salib. Tetapi salib tidak sama, cara memanggul pun berbeda. Seorang beriman yang sejati memikul salibnya dengan cinta kasih dan gembira karena dia selalu ingat akan Tuhan. Dan, bukankah dengan hidup doa yang teratur, kita semakin bisa untuk senantiasa mengingat Tuhan?
- Kemurnian: Di lain matra, doa membuat kita lebih mengusahakan kemurnian sebagaimana layaknya “Mempelai Kristus”. Doa membuat kita lebih peka dalam memperhatikan rasa-perasaan dalam diri dan hidup harian, termasuk pelbagai indera kita. Katanya: “Janganlah mengijinkan mata melihat sesuatu, telinga mendengar sesuatu, tangan dan kaki melakukan sesuatu, budi memikirkan sesuatu, hati merasakan sesuatu yang sia-sia, lebih-lebih yang terlarang”.
- Ketenangan: Doa membuat kita terbiasa untuk memperhatikan ketenangan batin. Satu keyakinannya, kita akan dilimpahi rahmat karena Tuhan berkenan mewahyukan diri kepada orang yang sungguh menyadari batinnya. Dan hal ini bisa dimulai dengan ketekunan untuk mengusahakan ketenangan lahiriah, dengan terbiasa menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan di tengah rutinitas harian, bukan?
b.Karya
“Dalam tarekat kita,
Martha dan Maria harus disatukan
seperti dalam sabda Kitab Suci:
Keduanya sangat dicintai Yesus.
Hendaklah kita mempersatukan doa Maria
dengan karya Martha,
dengan demikian keduanya saling menyucikan.”
(Magdalena Daemen)
Magdalena Daemen mengajak semua pengikutnya untuk selalu “Ora et Labora – Berdoa dan bekerja”, menganggap diri sebagai karyawati harian Tuhan sepenuh hati. Pengalaman hidup Magdalena Daemen dengan keyakinannya akan “Deus Providebit”, penyelenggaraan Tuhan dalam hidup dan karyanya menumbuhkan semangat yang pantang menyerah dan selalu berjuang tegar dalam setiap gulat-geliat karyanya. Baginya, satu hal yang dibutuhkan dalam setiap karya adalah kesetiaan dan ketekunan di tengah setiap persoalan dalam bingkai rencana Allah. Dia meyakini bahwa Tuhan selalu campur tangan, selalu melihat dan memperhitungkan setiap usaha dalam karya-karya baik kita.
Aneka karya yang ditangani oleh Magdalena Daemen dan para pengikutnya, biasanya mencakup tiga matra pokok, yakni: “SPP- Sosial, Pendidikan dan Pastoral”. Dan, mengacu pada sejarah hidup Magdalena Daemen, tercandralah bahwa setiap karya mestinya berakar, bertumbuh dan berbuah dalam persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati sendiri hanya akan terwujud dengan adanya penghargaan terhadap sesama serta kerendahan hati dalam pola relasi di dunia karya, bukan?
c.Taat
“Damai dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri
dan dengan sesama
hanya dinikmati oleh orang
yang dengan tekun menunaikan setiap kewajiban
yang dipercayakan kepadanya oleh “ketaatan”.
Dalam pandangan dunia, Magdalena memang tampak kurang terhormat karena kemiskinan, kesederhanaan dan parasnya yang kurang menarik. Tetapi ternyata dia lebih dihormati dan dicintai Tuhan karena paras iman kepercayaannya yang besar kepada penyelenggaraan Tuhan; kerendahan hatinya yang mendalam dan cinta kasihnya yang berkobar. Kepercayaan yang penuh ketaatan terhadap Yang Ilahi juga membuatnya mampu menghasilkan pekerjaan yang besar. Yah, ketaatan pada kehendak Tuhan! Itulah kunci iman seorang wanita sederhana yang menjadi pendiri tarekat OSF ini. Ibarat sebuah tunas yang muncul dan kemudian berkembang menjadi pohon yang besar, kokoh kuat dan bercabang-ranting dan berdaun rimbun karena ketaatannya pada Tuhan semata. Buah dari ketaatan tidak lain adalah kegembiraan sejati. Pujian dan syukur menjadi ungkapan iman hidupnya sehari-hari. Bukankah, di mana ada ketaatan, di situ tidak ada amarah dan kegelisahan?
EPILOG
Ordo Suster-suster St. Fransiskus (Suster-suster OSF) yang sekarang berpusat di Roma Italia, dan didirikan oleh Magdalena Daemen sudah lama berkarya di Indonesia, terlebih di Pulau Jawa. Yang pasti, biji yang telah jatuh ke tanah dan mati tentu menghasilkan buah di pebagai bidang pendidikan, kesehatan, pastoral, dan sosial. Satu hal yang pasti, semangat Deus Providebit selalu baik jika dinyatakan dan diwartakan sebagai refren sejati dalam berbagai reksa pastoral kita juga setiap harinya, dimanapun kita berada dan berkarya.
ASPIRASI
“Bersyukur adalah persembahan yang paling jitu yang dapat kita hunjukkan kepada-Nya karena dengan demikian kita mengakui bahwa hidup kita tergantung kepada kebaikan serta kerahiman-Nya.” (Magdalena Daemen)
Tak ada sesuatupun yang mustahil bagi orang yang percaya pada Tuhan, Reff
Ya Tuhan menyelenggarakan semua itu semboyan Ibu Magdalena Damen, Reff
Janganlah kau kuwatir akan hidupmu Bapa di surga melimpahkan segalanya, Reff
Reff. Deus providebit, Deus providebit, Deus providebit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar