SENSUS HISTORICUS:
JEJAK ALLAH DALAM SEJARAH :
MISI KATOLIK DI JAWA (TENGAH)
JEJAK ALLAH DALAM SEJARAH :
MISI KATOLIK DI JAWA (TENGAH)
Para misionaris pertama yang datang dari tahun 1808 sampai 1859 ke Batavia adalah para pastor praja Belanda dengan pikiran untuk melayani kebutuhan rohani orang katolik Belanda dan Eropa.
Mereka tidak berpikir untuk mewartakan iman di kalangan pribumi atau inlander karena bahasanya sulit bagi mereka dan sebagai misionaris yang digaji pemerintah Belanda mereka hanya bekerja untuk kalangan orang Belanda saja.
Mgr. Vrancken sendiri sebagai Vikaris Apostolik mengakui kesulitan mewartakan iman katolik di kalangan suku Jawa:
“Di pulau Jawa, kita mempunyai lima pusat misi. Pekerjaan misionaris di pulau ini dikhususkan untuk orang-orang Eropa dan keturunannya. Orang-orang pribumi di Jawa seluruhnya Muslim dan mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa tertarik dengan agama Katolik. Pulau Jawa sendiri mempunyai penduduk 5 juta yang semuanya Muslim dan sampai sekarang belum ada yang mau masuk agama Katolik. Tidak ada banyak harapan bahwa dalam waktu dekat, mereka akan mau menjadi katolik.”
“Di pulau Jawa, kita mempunyai lima pusat misi. Pekerjaan misionaris di pulau ini dikhususkan untuk orang-orang Eropa dan keturunannya. Orang-orang pribumi di Jawa seluruhnya Muslim dan mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa tertarik dengan agama Katolik. Pulau Jawa sendiri mempunyai penduduk 5 juta yang semuanya Muslim dan sampai sekarang belum ada yang mau masuk agama Katolik. Tidak ada banyak harapan bahwa dalam waktu dekat, mereka akan mau menjadi katolik.”
Sejak tahun 1859 misionaris praja digantikan oleh Ordo Yesuit. Dua Yesuit pertama yang datang adalah P. van den Elzen dan P. Palinckx juga melihat bahwa tidak ada tanda-tanda orang Jawa berminat belajar agama kristiani.
Menurut mereka ada dua alasan:
Pertama, karena kehidupan sosial dan kultural orang Jawa ditentukan oleh adat dan kokohnya persaudaraan antar kampung. Dan karena semua orang beragama Islam, maka tidak ada satupun orang Jawa yang berani untuk berbeda.
Pertama, karena kehidupan sosial dan kultural orang Jawa ditentukan oleh adat dan kokohnya persaudaraan antar kampung. Dan karena semua orang beragama Islam, maka tidak ada satupun orang Jawa yang berani untuk berbeda.
Kedua, karena perilaku orang Eropa sendiri yang buruk menurut pandangan orang Jawa, seperti minum minuman keras dan juga mereka bangsa penjajah. Agama Katolik dianggap sama dengan agama penjajah. Kalau ada orang mau jadi Katolik berarti ia mau jadi orang Belanda. Jadi beban historis dan psikologis pewartaan iman katolik di antara orang Jawa adalah sangat berat.
Para Yesuit terkenal dengan karya-karya misi di seluruh dunia. Mereka berkeliling dunia sampai ke lembah Amazon di Amerika Latin, pergi ke pulau-pulau di Maluku dan juga berhasil di Jepang. Maka diutuslah dua orang untuk mewartakan iman Katolik di Jawa Tengah yaitu Pastor Franciscus Gregorius Josephus van Lith dan Pastor Petrus Hoevenaars. Keduanya kemudian dikenal sebagai dua misionaris hebat di Jawa, namun mereka terkenal juga karena pertentangan tajam di antara keduanya karena perbedaan metode bermisi disebabkan oleh perbedaan visi mereka.
Romo van Lith ingin mengenal budaya Jawa dan orang Jawa terlebih dahulu baru kemudian mau mengajari agama dan membaptis. Romo van Lith tidak mau tergesa-gesa membaptis. Sebaliknya Romo Hoevenaars memakai metode membaptis sebanyak-banyaknya dan dalam waktu singkat supaya umat Katolik bertambah dengan cepat. Akibatnya, pimpinan Yesuit di Belanda mendapat kesan bahwa Romo Hoevenaar berhasil dan Romo van Lith gagal. Ketika Mgr. Staal SJ berkunjung ke pusat misi romo van Lith di Muntilan, memang nampak bahwa misi itu seperti tidak menghasilkan buah.
Romo van Lith sendiri mengeluh atas banyaknya kesulitan dalam mewartakan iman Katolik di antara orang Jawa Tengah: “Pekerjaan penyelamatan jiwa-jiwa ini adalah salib yang berat untuk saya. Sedikit kesuksesan yang dibarengi dengan tuduhan adalah surga di dunia ini. Semua tindakan baik dihargai dengan kebohongan dan pengkhianatan. Aku harus menenangkan pikiranku saat ini: nafsu makan dan kegembiraan lenyap. Saya tidak mempunyai antusiasme dalam pekerjaan saya maupun seluruh karya di tempat ini...
Tuhan menolong romo van Lith yang putus harapan dengan suatu mukjizat. Ada empat orang datang dari Kalibawang ke Muntilan untuk memohon pengajaran agama Katolik untuk mereka dan untuk orang sekampungnya. Empat orang itu kemudian dibaptis di Muntilan tanggal 20 Mei 1904. Tujuh bulan kemudian romo van Lith membaptis 171 orang di Sendangsono pada tanggal 14 Desember 1904.
Salah satu dari empat orang yang dibaptis di Muntilan itu adalah Sariman yang kemudian diberi nama Barnabas Sariman Sarikrama.
Sariman adalah seorang pemuda dari desa Jamblangan, di pegunungan Menoreh yang lahir tahun 1874. Setelah menikah ia memakai nama tua (jeneng tuwa) Soerawirja (dibaca: Surawiryo) sesuai adat kebiasaan Jawa.
Hidupnya penuh dengan kemiskinan dan penderitaan sejak kecil, maka ia terbiasa matiraga dan bersemèdi. Bahkan setelah beberapa lama menikah ia menderita sakit kaki sehingga tidak bisa berjalan. Ia harus bergerak dengan ngesot, yaitu berjalan dengan pantat dan ditopang oleh kedua tangannya, karena kakinya lumpuh. Untuk mencari kesembuhan, ia sudah melakukan laku tapa di Sendang Semagung di dekat desanya. Namun ia tidak sembuh.
Kemudian secara aneh ia seperti mendapatkan wangsit, atau ilham atau bisikan dalam hati untuk berjalan ke arah timur laut. Dengan keyakinan teguh atas dorongan kuat yang misterius itu akhirnya ia sampai di Muntilan, yang berjarak sekitar 20 km dari desanya.
Sesampai di pinggir jalan sebelah Gereja Katolik, kebetulan saat itu romo van Lith SJ sedang menyeberang jalan untuk sekedar berjalan-jalan mencari angin. Melihat Sariman yang berjalan ngesot itu, spontan romo van Lith membopongnya ke pastoran dan minta kepada Br. Th. Kersten SJ untuk merawatnya.
Siapa menyangka bahwa ternyata Sariman itu, yang kemudian dibaptis Katolik dengan nama Barnabas dan namanya diubah oleh romo van Lith dari Soerawirja menjadi Sarikrama, adalah tokoh atau katekis yang ada di belakang layar sampai terjadi pembaptisan 171 orang di Sendang Sono tanggal 14 Desember 1904.
Sendang Sono itu tidak lain adalah Sendang Semagung yang sudah lama dikenal oleh penduduk setempat sebagai tempat keramat di mana tinggal Dewi Lantamsari dan anaknya Den Baguse Samijo. “Barnabas Sarikrama, tatkala belum dibaptis, pernah juga bertapa di situ. Niatnya pada waktu itu ialah untuk mencari kesembuhan bagi sakit kakinya. Beruntunglah sakit kakinya tidak sembuh, permohonannya tidak terkabulkan. Dan justru karena itu ia bertemu dengan Romo van Lith dan Br. Kersten, dan disembuhkan”.
“Cerita yang dituturkan Sarikrama (tentang kesembuhannya dan tentang perkenalannya dengan agama Katolik) menimbulkan decak kagum di hati penduduk desa Kajoran dan sekitarnya dan menimbulkan pertanyaan: Seperti apa wajah dan tampilan Kyai Londo itu? (Mereka belum pernah mendengar kata Pastor atau Romo), maka mereka hanya menyebut romo van Lith Kyai Londo. Kyai adalah sebutan untuk tokoh agama Islam di kampung-kampung (isterinya disebut Nyai). Diam-diam pertanyaan itu muncul di benak orang-orang desa itu untuk kemudian menimbulkan hasrat kuat untuk mengikuti jejak Sarikrama untuk menjadi katolik.[4]
Muntilan kemudian berkembang menjadi pusat misi Katolik untuk orang-orang Jawa. Melalui sekolah di Muntilan itu lahirlah para tokoh nasional seperti Mgr. Soegijapranata, uskup pribumi pertama dan I.J Kasimo yang sudah menjadi anggota Dewan sejak zaman Belanda (Volksraad) dan menjadi menteri pada zaman Presiden Soekarno. Juga ada Frans Seda, Cornel Simanjuntak, Romo Satiman, Yustinus Kardinal Darmayuwono, Djajaseputra dkk.
Melalui para lulusan sekolah guru, Muntilan mengirimkan mereka ke seluruh pelosok Jawa untuk menyebarkan iman Katolik.
Perkembangan iman Katolik di Jawa Tengah itu kemudian menghasilkan umat Katolik yang baik dan tangguh di Keuskupan Agung Semarang, yang meliputi juga wilayah Yogyakarta dan Surakarta.
Perkembangan iman Katolik di Jawa Tengah itu kemudian menghasilkan umat Katolik yang baik dan tangguh di Keuskupan Agung Semarang, yang meliputi juga wilayah Yogyakarta dan Surakarta.
Pada zaman romo van Lith ada seorang keturunan raja Jogya yang menjadi Katolik yaitu ibu Maria Soelastri. Beliau ini juga adalah pendiri Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Ibu R.Ay. Maria Soelastri, lahir pada tanggal 22 April 1898, adalah putra ke-5 (puteri ke-3) dari Pangeran Sasraningrat, Putera Mahkota Sri Paku Alam III dan adik kandung R.A.J. Sutartinah (isteri Ki Hadjar Dewantara).
Cerita di bawah ini saya ambil dari Sejarah Berdirinya WKRI yang ditulis oleh anggota Dewan Pengurus WKRI Ranting Ungaran Jawa Tengah:
Sejak kanak-kanak sampai remaja, Ibu Soelastri Soejadi (baca: Suyadi) selalu ingin tahu mengenai kebudayaan bangsa lain, kebudayaan Barat dan aktivitasnya, budi pekerti dan kecerdasannya, untuk menjawab pertanyaan yang selalu ada dalam hati dan pikiran beliau mengapa tanah air kita dikuasai bangsa Barat dan terdesak hingga tinggal Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.
Sejak kanak-kanak sampai remaja, Ibu Soelastri Soejadi (baca: Suyadi) selalu ingin tahu mengenai kebudayaan bangsa lain, kebudayaan Barat dan aktivitasnya, budi pekerti dan kecerdasannya, untuk menjawab pertanyaan yang selalu ada dalam hati dan pikiran beliau mengapa tanah air kita dikuasai bangsa Barat dan terdesak hingga tinggal Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.
DIY ini ada atas dasar persetujuan “Bedah Mataram” di desa Giyanti dekat Salatiga. Dalam perjanjian ini dicantumkan bahwa penjajah tidak dapat mencampuri pemerintah DIY. Itulah sebabnya rakyat Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang raja (Hamengku Buwono I) dan pengganti-penggantinya selalu waspada terhadap infiltrasi politik dari luar.
Ayahanda Ibu Soelastri Soejadi, Pangeran Sasraningrat, sangat menaruh minat pada Kesusasteraan Jawa Kuno dengan pergolakan-pergolakan dan perubahan jamannya.
Kegiatan beliau dalam bidang jurnalistik membawa beliau berkenalan dengan tamu-tamu dari luar daerah, juga dari Batavia. Salah satunya adalah Dr. Hazeu (adviseur voor inlandse zaken/penasehat urusan pemerintahan jajahan), yang membawa serta seorang anggota Misi Gereja Katolik untuk Jawa Tengah yaitu Romo van Lith.
Romo van Lith yang kemudian sering berkunjung ke rumah bermaksud mempelajari Sastra Jawa, adat istiadat dan kebudayaan Jawa, agar beliau tidak membuat kesalahan dalam tugasnya mendekati bangsa Jawa untuk tujuan pembinaan lahir batin (pembinaan spiritual).
Kegiatan rumah tangga dengan banyak tamu ini menyebabkan suasana rumah penuh dengan diskusi. Pengetahuan mengenai sejarah bangsa Jawa, sejarah Majapahit, Demak, Mataram, Diponegoro dan Kesusasteraan Jawa diberikan oleh B.R.A. (Bendara Raden Ayu) Sastraningrat, ibunda Ibu Maria Soelastri Soejadi, kepada seluruh putera-puterinya.
Bekal dasar warna rumah tangga seperti inilah yang membawa Ibu Soelastri Soejadi menjadi cepat matang, memacu kedewasaan berpikir, membawa kematangan jiwa dan tumbuhnya iman Katolik “Mencintai Tuhan lebih dari segalanya dan mencintai sesama manusia seperti pada dirinya sendiri”. Inilah penyempurnaan tingkah laku hidup bermasyarakat.
Tahun 1906 dengan rekomendasi Romo van Lith dan disetujui ibunda B.R.A. Sasraningrat masuklah Ibu Maria Soelastri ke Europeese Meisjesschool dari Ordo Suster Fransiskanes Kidul Loji Mataram, Yogyakarta.
Tahun 1914, R.Ay. (Raden Ayu) Maria Soelastri Sasraningrat dipersunting oleh Dokter Hewan R.M. (Raden Mas) Jacobus Soejadi Darmosapoetro, yang meskipun seorang pegawai negeri dalam pemerintahan tetapi berideologi politik melawan politik kapitalis kolonial.
Sebagai pendamping suami, Ibu Soelastri Soejadi ber-Tut Wuri Handayani dalam berpolitik. Setelah bekerja di Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Lombok, tahun 1923 Bpk. Jacobus Soejadi sebagai single-fighter menjadi anggota Volksraad (DPR Belanda) dengan tugas mewakili seluruh umat Katolik pribumi di seluruh kepulauan Hindia Belanda. Ibu Soejadi menjadi pendamping dan pendorong suami yang setia.
Panggilan Tuhan tidak terbatas sebagai pendamping suami.
Panggilan Tuhan untuk memikirkan nasib kaum wanita membuat Ibu Soelastri Soejadi mencari jalan keluar guna meningkatkan martabat dan mempersatukan wanita yang beragama Katolik.
Panggilan Tuhan untuk memikirkan nasib kaum wanita membuat Ibu Soelastri Soejadi mencari jalan keluar guna meningkatkan martabat dan mempersatukan wanita yang beragama Katolik.
Pada masa pendudukan Belanda, kedudukan para buruh di Indonesia sangat buruk. Keadaan semacam ini juga terdapat di daerah Yogyakarta, tepatnya di Pabrik Cerutu dan Pabrik Gula yang mempunyai banyak buruh wanita Katolik atau calon Katolik. Dari buruh-buruh wanita inilah usaha peningkatan derajat dan martabat wanita pada umumnya dan wanita Katolik pada khususnya dimulai.
Ibu Soelastri Soejadi menghubungi kedua pemilik pabrik yang kebetulan beragama Katolik. Beliau mengadakan pendekatan dan berusaha mencari jalan untuk meningkatkan taraf hidup buruh-buruh ini dengan meningkatkan penghasilan mereka tanpa mengadakan pemogokan, karena pada waktu itu banyak terjadi pemogokan untuk menuntut kenaikan upah.
Kepada kedua pemilik pabrik diterangkan bahwa sebagai seorang Katolik mereka harus mentaati ajaran Gereja dalam hal ini Ensiklik Rerum Novarum, yang menurut Ibu Soelastri Soejadi belum diterapkan di kedua pabrik tersebut.
Akhirnya kedua pemilik pabrik tersebut mengikuti petunjuk beliau. Usaha perbaikan nasib buruh dilaksanakan antara lain dengan membagikan tatiem (keuntungan) dari sebagian keuntungan perusahaan kepada para buruh.
Pada masa itu pembagian keuntungan perusahaan kepada buruh tidak dapat disetujui perusahaan lain. Akibatnya pabrik gula tersebut dikeluarkan dari Ikatan Pengusaha Pabrik Gula.
Selain peningkatan ekonomi dan sosial para buruh ini, ada sebab lain yang mendorong didirikannya organisasi wanita Katolik. Pada waktu itu telah berdiri Budi Utomo, Sarekat Islam. Tetapi ada anggapan umum yang mengatakan bahwa menjadi Kristen atau Katolik itu merupakan “balane Landa” (pengikut Belanda), sebuah anggapan yang tidak dapat diterima oleh para Katolik pribumi (istilah pada waktu itu). Bagaimanapun juga umat Katolik harus menampilkan diri sebagai Katolik pribumi (baca: Katolik Indonesia!). Khususnya untuk wanita Katolik dan demi kepentingan perbaikan nasib para buruh wanita, harus ada organisasi yang mengurusi wanita Katolik.
Dengan mengumpulkan guru-guru lulusan Mendut dan dengan dukungan Romo Henri van Driessche, SJ, Ibu Soelastri Soejadi melemparkan gagasan untuk mendirikan Organisasi Wanita Katolik, organisasi dengan usaha ke arah pembentukan para wanita Katolik yang mengetahui dan menyadari kedudukannya di tengah kehidupan masyarakat : sebagai anggota masyarakat dan anggota Gereja. Gagasan disetujui, maka berdirilah Organisasi Wanita Katolik pada tabggal 26 Juni 1924.
Dalam perjalanan Organisasi Wanita Katolik ini, Ibu Soelastri Soejadi selalu menandaskan bahwa Organisasi Wanita Katolik ini bukanlah hasil impor dari negeri Belanda dan bukan usaha wanita Katolik negeri Belanda. Wanita Katolik Indonesia benar-benar lahir sebagai akibat desakan dan tuntutan masyarakat Indonesia sendiri.
Adapun surat menyurat antara Ibu Soelastri Soejadi dengan wanita Katolik Belanda hanya bersifat personal atau pribadi dan bukan merupakan faktor penentu dalam lahirnya Wanita Katolik Indonesia.
Tentang surat menyurat ini Ibu Soelastri Soejadi mengatakan pernah menerima surat tawaran bantuan wanita Katolik Belanda untuk wanita Katolik Pribumi (inlander). Jawaban Ibu Soelastri Soejadi benar-benar mengejutkan dan menggemparkan pihak wanita katolik Belanda.
Surat jawaban tersebut diberi judul “Zonder tropen geen Nederland” (Tanpa daerah tropis, tidak ada Negeri Belanda), yang menguraikan dengan disertai angka-angka statistik hal-hal yang menyangkut kekayaan Indonesia yang telah diangkut ke negeri Belanda, dan sebagai akibatnya rakyat Indonesia menderita kemiskinan.
Dalam surat jawaban tersebut juga ditandaskan bahwa sebenarnya rakyat Indonesialah yang telah memberi bantuan kepada rakyat Belanda. Jadi seharusnya wanita Katolik Belanda merasa malu karena terlambat menawarkan jasa”[5].
Kalau diperhatikan sampai hari ini, struktur umat Katolik di Jawa itu memang bermula dari keberhasilan Romo van Lith dalam Misi Muntilan itu.
Dari Muntilan tersebarlah iman katolik melalui para lulusan sekolah guru Muntilan-Mendut ke pelbagai tempat mereka pergi. Penyebaran itu bukan hanya dalam arti geografis, melainkan juga strata sosial dan politis. Secara geografis, ke mana saja orang-orang katolik suku Jawa itu pergi, mereka membawa iman Katolik.
Secara sosial dan politis, tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan anggota umat Katolik suku Jawa masuk juga dalam bidang pemerintahan sudah sejak zaman Belanda (seperti dalam kasus di atas bapak Jacobus Soejadi) sampai zaman perjuangan kemerdekaan. Kita mengenal nama-nama Agustinus Adisoecipto; Ignatius Slamet Riyadi; Josaphat Soedarso, dan Mgr. Albertus Soegijapranata. Mereka adalah para pahlawan nasional.
Kalau kita mengarahkan perhatian pada intern Gereja Katolik, maka kebanyakan Uskup yang berasal dari suku Jawa, pasti berasal dari daerah Yogyakarta atau Keuskupan Agung Semarang yang adalah hasil misi dari romo van Lith. Semua Uskup Agung Semarang dan Jakarta berasal dari Jawa Tengah (Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Mgr. A. Djajasepoetra SJ; Mgr. Leo Soekoto SJ; Mgr. Justinus Kardinal Darmayuwono Pr; Mgr. Julius Kardinal Darmaatmaja SJ; Mgr J. Pujasumarta Pr dan Mgr. Ignatius Suharyo Pr). Belum ada putera daerah Jakarta atau Betawi yang menjadi Uskup, walaupun sudah mulai ada segelintir imam-imam dari suku Betawi.
Umat Katolik dari suku Betawi dan juga suku Sunda juga mungkin masih sedikit. Uskup Bandung dan Bogor juga, setelah periode uskup Belanda selesai, maka digantikan oleh suku Jawa atau Flores, kerena putera daerah Bandung dan Bogor juga masih sedikit yang menjadi Katolik.
Yang situasinya berbeda mungkin adalah daerah Keuskupan Malang yang sejak pemekaran prefekturat tahun 1927 diserahkan kepada Ordo Carmel dan Keuskupan Surabaya yang sejak tahun 1928 diserahkan kepada Imam Lazaris (CM).
Dengan mencermati “struktur umat Katolik suku Jawa” di Pulau Jawa itu, maka nampaklah benang merah dari sejarah bahwa keberhasilan misi Romo van Lith dalam budaya Jawa itulah yang menjadi dasar dan motor penggerak Gereja Katolik di Pulau Jawa untuk seterusnya. Iman katolik yang telah ditaburkan di daerah Muntilan - Mendut dan berkembang dalam Keuskupan Agung Semarang itu telah menghasilkan panggilan untuk menjadi imam – bruder – suster – Uskup – dan Kardinal, yang kemudian menjadi pimpinan Gereja Katolik di seluruh Indonesia. Beberapa uskup suku Jawa juga menjadi Uskup di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Rupanya metode pewartaan iman Romo van Lith yang mulai dengan mengenal budaya dan orang-orang Jawa terlebih dahulu, sebelum membaptisnya telah memberikan keberhasilan lebih besar daripada rekannya romo Hoevenaars yang memakai metode membaptis sebanyak mungkin tanpa pengenalan budaya dan pengajaran iman yang mendalam.
Tahun 1904 Pastor Engbers (pimpinan Yesuit) memindahkan romo Hoevenaars dari Mendut ke Bandung. Karya Mendut dan Muntilah diserahkan kepada Romo van Lith. (AS. MSC)
NB:
Romo Franciscus Georgius Josephus Van Lith SJ (Romo van Lith SJ: 17 Mei 1863 – 9 Januari 1926) mendapat penghargaan dari pemerintah RI di Jakarta, 23 September 2016 yang lalu.
Romo Franciscus Georgius Josephus Van Lith SJ (Romo van Lith SJ: 17 Mei 1863 – 9 Januari 1926) mendapat penghargaan dari pemerintah RI di Jakarta, 23 September 2016 yang lalu.
Penghargaan dari Pemerintah RI itu diberikan atas jasa-jasa mendiang Romo van Lith SJ memajukan pendidikan bagi anak-anak pribumi di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa.
Konon kabarnya, setelah K.H.A. Dahlan mengujungi Muntilan dan belajar dari Romo van Lith, beliau terinspirasi mendirikan sekolah guru sejenis khusus bagi orang Islam yaitu Muallimin yang didirikan di Yogyakarta tahun 1918.
Adapun, penghargaan Pemerintah RI melalui Kemendiknas kepada Romo van Lith SJ diberikan atas jasanya merintis ide besar pendidikan berasrama di Muntilan. Dari ide brilian inilah lahir tokoh-tokoh nasional Indonesia seperti Mgr. Albertus Soegijapranata, IJ Kasimo, Frans Seda, Yos (Yosafat) Sudarso, Cornelis Simandjuntak dkk.
Sepenggal kisah:
1922, Pastor van Lith, dialun-alun Mangkunegara Solo pada suatu pagi menyaksikan Padvinder Pribumi (Pramuka) sedang latihan. Pada saat itu, Pastor van Lith merenungkan (dari catatan harian beliau) sebagai berikut : "Pada saat ini anak-anak pribumi tampak jinak bagi Pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi besok bila mereka telah dewasa pasti datang saatnya mereka akan menjadi musuh Pemerintah Belanda. Dan jika hal itu terjadi, saya akan memihak bangsa Indonesia."
1922, Pastor van Lith, dialun-alun Mangkunegara Solo pada suatu pagi menyaksikan Padvinder Pribumi (Pramuka) sedang latihan. Pada saat itu, Pastor van Lith merenungkan (dari catatan harian beliau) sebagai berikut : "Pada saat ini anak-anak pribumi tampak jinak bagi Pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi besok bila mereka telah dewasa pasti datang saatnya mereka akan menjadi musuh Pemerintah Belanda. Dan jika hal itu terjadi, saya akan memihak bangsa Indonesia."
Dari tangan dinginnya lahir para tokoh gereja: Sang Pemuda IJ. Kasimo (Ketua Partai Katolik, Menteri pada beberapa periode, Pahlawan Nasional),
Mgr Soegijapranata SJ (Uskup pribumi pertama, Pahlawan Nasional),
Komodor Laut Yosafat Soedarso (Pahlawan Nasional),
Cornelis Simanjuntak (Pahlawan Nasional), Frans Seda (Menteri pada beberapa periode), Sartono Kartodirdjo (Sejarawan, Pendiri Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia), Moenadjat Danoesapoetra (Pendiri Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia),
Lo Siang Hien Ginting (Pendiri Ikatan Sarjana Katolik Indonesia dan Universitas Atmajaya Jakarta juga bersama Frans Seda),
WJS Poerwadarminta (Pakar Bahasa Indonesia).
RM FX Satiman (Romo pribumi pertama)
Yustinus Kardinal Darmoyuwono Pr (Kardinal pertama di Indonesia)
Mgr A. Djojoseputra SJ (Uskup Agung KAJ).
Mgr Soegijapranata SJ (Uskup pribumi pertama, Pahlawan Nasional),
Komodor Laut Yosafat Soedarso (Pahlawan Nasional),
Cornelis Simanjuntak (Pahlawan Nasional), Frans Seda (Menteri pada beberapa periode), Sartono Kartodirdjo (Sejarawan, Pendiri Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia), Moenadjat Danoesapoetra (Pendiri Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia),
Lo Siang Hien Ginting (Pendiri Ikatan Sarjana Katolik Indonesia dan Universitas Atmajaya Jakarta juga bersama Frans Seda),
WJS Poerwadarminta (Pakar Bahasa Indonesia).
RM FX Satiman (Romo pribumi pertama)
Yustinus Kardinal Darmoyuwono Pr (Kardinal pertama di Indonesia)
Mgr A. Djojoseputra SJ (Uskup Agung KAJ).
Dan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah namun secara nyata memberikan sumbangsihnya untuk gereja dan negara adalah guru guru dan rasul awam hasil dari didikan SPG Van Lith, tentunya yang dalam bahasa St Yoh Paulus II : "Dalam Gereja Katolik di Indonesia, kaum intelektual sejak semula memainkan peranan yang mengagumkan.
Di banyak daerah, tulang punggung perkembangan umat adalah guru-guru." (Paus Yohanes Paulus II, Unika Atmajaya Jakarta, 12 Oktober 1989).
Di banyak daerah, tulang punggung perkembangan umat adalah guru-guru." (Paus Yohanes Paulus II, Unika Atmajaya Jakarta, 12 Oktober 1989).
Adapun, Sekolah Muntilan dan Sekolah Mendut, sejatinya karya sekeping mata uang. Dialektika Rm Van Lith dan Rm Hoevenaars adalah formatio yg saling melengkapi dan mengukuhkan konsepsi perubahan Indonesia (Jawa) melalui Katolik.
Dari rahim Muntilan dan Mendut inilah lahir organisasi penopang keberadaan gereja dan bangsa seperti:
Pakempalan Politik Djawi (1923)
Wanita Katolik (1924),
Moeda Katolik dan Moeda Wanita Katolik (1929),
Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia (1945),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (1947),
Pakempalan Politik Djawi (1923)
Wanita Katolik (1924),
Moeda Katolik dan Moeda Wanita Katolik (1929),
Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia (1945),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (1947),
Bahkan selanjutnya Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (1952), juga Universitas Atma Jaya Jakarta (1960).
Pastinya; Inilah sebuah mahakarya luar biasa, yang tersusun dan tertata rapi sebagai sebuah konsepsi dan aktualisasi iman yang nyata untuk keagungan pertiwi.
Tercandra, Dalam film Soegija besutan Garin Nugroho dkk dapat kita saksikan dilema situasi dan pilihan keberpihakan Mgr Soegijapranata SJ yang notabene adalah murid Rm van Lith. Menempatkan Katolik (yg dianggap Londo) dalam konstelasi perjuangan Republik (Indonesia). Dukungan Nuntio Tahta Suci Vatikan terhadap Republik Indonesia dan Soekarno.
Lewat figur merekalah, terpastikan bahwa Katolik dan Republik (Indonesia) hadir sebagai dualitas yg tidak dipertentangkan. Keyakinan yang hingga saat ini dipegang teguh oleh seluruh umat Katolik bahwa mendahulukan negara tidak serta merta meninggalkan atau menutup rapat identitas kekatolikan kita. Sebaliknya memperjuangkan kekatolikan tidaklah bertentangan dengan semangat kebangsaan kita dalam bernegara: "Pro Patria et Ecclesia", yang dalam bahasa khas Mgr Soegiya: "100% Katolik. 100 % Indonesia"
Ya, kita besyukur Rm van Lith dan para kadernya mewariskan sedemikian rupa tatanan kehidupan beriman dan bernegara yg nyata, hidup dan selalu menggairahkan dalam proses kehidupan kita. Dari pusara Betlehem van Java (Muntilan) jiwamu membimbing kami meneruskan inspirasimu.
Nasib bangsa Indonesia yang akan datang terletak pada pemuda-pemudanya. Demikian pula nasib Gereja di Indonesia ini, terletak pada pemuda-pemuda Katolik-nya bukan? YES KADER. NO KEDER!
1.
Historiografi Pemuda Moentilan dan ”Pemudi Mendoet
Historiografi Pemuda Moentilan dan ”Pemudi Mendoet
Aan de over van de Elo
Staat het klooster van Mendoet
Daar zijn veel Javaanse meisjes
Door de zuster opgevoed……
di pinggiran sungai Elo
Terletak asrama Mendoet
Di sana banyak gadis Jawa
Yang dididik para biarawati.
Staat het klooster van Mendoet
Daar zijn veel Javaanse meisjes
Door de zuster opgevoed……
di pinggiran sungai Elo
Terletak asrama Mendoet
Di sana banyak gadis Jawa
Yang dididik para biarawati.
A.
Pengantar: Muntilan Mendut.
Pengantar: Muntilan Mendut.
Gereja Katolik ”merekrut” penganut yang diharapkan akan bisa bersemangat joss dan beriman kokoh di pulau Jawa melalui jurus ”3P”, yakni perawatan kesehatan, perintisan sistem pendidikan dan pewartaan misi. Hal ini menjadi lebih nyata terlebih dengan pernah hadirnya ”dwitunggal” MOENDOET di ”Betlehem van Java” sebagai ”jantung misi”: Para imam Jesuit dan bruder FIC merintis adanya pendidikan bagi para anak laki-laki di Moentilan, dan para suster Fransiskanes dari Heythuizen dengan semboyan “Deus Providebit”nya mempromosikan adanya pendidikan bagi anak perempuan di Mendoet.
Muntilan sendiri adalah sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah, terletak pada KM 25 dari Yogyakarta ke Magelang. Selain nama Rama Sandjaja yang terbunuh tahun 1948, dikenang manis pula nama Rama van Lith (1863-1926) yang sama-sama dimakamkan di Muntilan.
Pada tahun 1897, Rama van Lith mulai berkarya di Muntilan, yang dia sebut sebagai "Bethlehem van Java". Ia menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat. Di desa kecil itu, ia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja yang sederhana. Gereja kecil dan sekolah desa itu kemudian berkembang menjadi sebuah kompleks gedung-gedung yang dinamai Kolese St.Fransiskus Xaverius, Muntilan.
Salah satu kompleks yang kemudian dikenal sebagai trade mark dari sekolah Muntilan adalah sekolah guru yang didirikan tahun 1906, dan bisa dimasuki oleh kaum pribumi darimanapun dan dari agama apapun. Sekolah guru berbahasa Belanda ini (Kweekschool) mula-mula mempunyai murid 107 orang, 32 di antaranya bukan Katolik.
Di tahun 1911, dibuka secara resmi seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin menjadi pastor. Satu di antaranya adalah Mgr Soegijapranata (1896- 1963).
Sedangkan desa Mendut sendiri adalah sebuah desa kecil sebuah desa di barat Muntilan ke arah Borobudur, yang terletak di pinggir sungai Elo. Meskipun kecil, namun banyak kisah sejarah yang dimiliki oleh desa Mendut. Tidak hanya kemegahan candinya yang terkenal itu, namun juga sekolah dan asrama putri Katolik binaan para suster OSF yang menjadikan desa Mendut sebagai desa yang bersejarah.
Sekolah dan asrama ini memiliki sekolah dari tingkat taman kanak-kanak, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) setingkat Sekolah Dasar (SD), MULO setingkat Sekolah Menengah dan juga kweekschool setingkat sekolah guru.
Berawal dari 4 orang suster OSF yang tinggal di sebuah rumah “Nazareth” di desa Mendut pada tanggal 14 Januari 1908 (Sr. Aloysa, Sr.Florida, Sr. Ernestine, Sr. Jovina), asrama dan sekolah ini menjadi begitu terkenal pada zaman Belanda: “amanda et admiranda”.
Sejak “Valentine Day” tertanggal 14 Februari 1908, para suster OSF tersebut mulai memberikan pelajaran ketrampilan tangan kepada beberapa gadis Jawa dan dua orang gadis keturunan Tionghoa. Dalam waktu singkat jumlah siswi semakin meningkat, bahkan beberapa datang dari jauh. Di antaranya berasal dari keluarga bangsawan: anak wedana Muntilan, dan dua putri dari Pura Pakualaman Jogyakarta.
Adapun pada tanggal 8 September (Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria), murid pertama dibaptis, seorang putri Jawa ningrat dan pada waktu berikutnya, yang bertepatan dengan perayaan Paskah, ada 9 siswi yang juga dipermandikan.
Menyikapi perkembangan ini, maka dirasakan perlunya pembenahan sarana, termasuk asrama bagi para siswi. Setahap demi setahap, asrama yang pada bulan Mei tahun 1908 hanya mampu menampung 2 siswi, pada bulan Oktober tahun itu pula sudah bisa menampung hingga 10 siswi, dan pada tahun 1912 meningkat menjadi 55 siswi.
Para pejabat pemerintah mulai tertarik melihat perkembangan ‘Sekolah Mendut’, bahkan Gubernur Jenderal dari Jakarta sempat mengunjungi sekolah yang letaknya hanya 50 meter dari candi Mendut itu. Minat memasukkan putri-putrinya di Sekolah Mendut ternyata datang tak hanya dari kalangan kaum Katolik saja. Mereka yang selama ini antipati terhadap iman Katolik juga memasukkan anak-anak mereka ke sekolah itu. Kemudian, dari mereka banyak yang atas kemauan sendiri, menyatakan ingin menjadi Katolik.
Adapun waktu itu, semua siswi Mendut dan semua siswa Muntilan diupayakan untuk tinggal di asrama yang disiplin. Salah satu strategi sekolah yakni agar para alumni nantinya bisa hadir sebagai ”kader” yang berperan ganda: katekis dan guru (garda depan “evangelisasi”).
Seperti Sekolah Muntilan, kompleks Mendut sendiri eksis sebagai ‘kota di tengah desa’ dengan fasilitas lengkap untuk ukuran saat itu: listrik, air minum, Fransiscus Tuin (taman Fransiskus), mesin cuci raksasa, periuk yang dapat menanak nasi untuk 1500 porsi sekaligus, dll.
Mendut juga menjadi tempat berkumpulnya putri-putri dari seluruh Indonesia. Mereka datang dari Sumatera, Flores, Makasar, Ambon Menado, Sunda, dan daerah lainnya. Metode “Moendoet“ (Moentilan Mendoet) ini ini masih diikuti oleh sejumlah ordo walaupun tidak persis sama, seperti di sekolahan Ursula dan Kanisius (Jakarta); De Britto dan Stella Duce (Jogjakarta), Loyola dan Sedes Sapientae (Semarang).
B.
Sejarah Misi Perdana: Founding Fathers (and Mothers)
Sejarah Misi Perdana: Founding Fathers (and Mothers)
“..Ingatlah bahwa rasul itu adalah
orang Katolik yang sadar.
Mereka insjaf betul
bahwa mereka telah menerima kurnia dari Tuhan
jang banjak djumlahnja itu
tiada hanja untuk menghibur hati mereka belaka,
akan tetapi pun djuga untuk membakar djiwanja
dengan semangat jang berkobar,
dalam menguduskan hati sendiri
dan orang lain. ..”
orang Katolik yang sadar.
Mereka insjaf betul
bahwa mereka telah menerima kurnia dari Tuhan
jang banjak djumlahnja itu
tiada hanja untuk menghibur hati mereka belaka,
akan tetapi pun djuga untuk membakar djiwanja
dengan semangat jang berkobar,
dalam menguduskan hati sendiri
dan orang lain. ..”
Adapun di kolese Muntilan dan Mendut, semua murid diajak memiliki “sensus catholicus”, mengenal dan mencintai agama Katolik secara utuh.
Hal ini dipersubur oleh boom kongregasi religius yang lahir di Eropa abad ke-19. Para misionaris itu menjadi penolong kaum papa (yatim piatu, orang sakit, lansia), memprotes eksploitasi terhadap para buruh, memperjuangkan hari Minggu sebagai hari libur, malah ada beberapa yang wafat di medan pelayanan.
Mereka berjuang melawan penyembahan berhala, tepatnya iman infantil, peninggalan masa silam yang bersahaja. Ada sosok Rama D’Armandville yang memusnahkan praksis takhayul, menghancurkan batu-batu setan dan menggunakannya untuk lantai kamar mandinya. Ada juga tokoh lain seperti Rama Hoevenaars yang berani mencela para pejabat yang memiliki nyai tanpa menikahinya.
Kurangnya pengetahuan akan bahasa lokal, seperti Rama Palincks yang melayani Yogyakarta (1865-1899) dan tak pernah mempelajari bahasa Jawa, menciptakan jarak dengan pribumi.
Disinilah Rama van Lith hadir dan mempertobatkan orang dengan ikatan sosial-budaya. Ia mempelajari budaya dan bahasa Jawa serta mendorong orang-orang Katolik Jawa untuk ikut slametan dan terlibat dengan masyarakat sekitarnya.
Di Muntilan, Rama van Lith adalah pastor pertama yang dapat berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dalam bahasa Jawa. Ia juga menterjemahkan pelbagai doa dasar Katolik (termasuk Doa Bapa Kami) dalam bahasa Jawa.
Berdasarkan hal ini, saya dapat mengerti meskipun tidak terlalu menyetujui kesimpulan Rama J.W.M. Bakker: “..... Agama-agama asing, seperti Buddha, Hindu dan Islam tidak menyentuh hati orang-orang beriman. Beberapa ritual dan mitos diambil alih, namun “agama asli” tetap tidak tersentuh di bawah tudung agama asing. Hanya agama Kristiani, khususnya tradisi Katolik, yang mampu menerobos hingga ke hakekat jiwa Indonesia, karena kemampuannya untuk beradaptasi”.
Pada tahun 1903, seorang guru agama dengan 4 orang kepala dusun dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung ke rumah Rama van Lith. Empat orang dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Dan kemudian, 171 orang menyusul dibaptis oleh Rama van Lith pada bulan Desember 1904 di Sendangsono.
Sementara itu, Rama Hoevenaars, teman seperjalanan Rama van Lith dari Eropa juga ditugaskan di Mendut. Ia berpendapat bahwa misi harus langsung mengarahkan kegiatan-kegiatannya pada rakyat kelas bawah. Ia berhasil juga. Dalam jangka waktu setengah tahun setibanya di Indonesia, telah dibaptis 62 orang Jawa. Pada akhir tahun 1903 jumlah orang Katolik di stasi Mendut lebih kurang 300 orang.
Lebih lanjut, Rama van Lith berhasrat menyediakan suatu sistem pendidikan yang bermutu tinggi bagi para pemuda dan pemudi di tanah Jawa, yang membuat mereka mampu memiliki posisi penting dalam masyarakat. Maka diselenggarakan pendidikan Kristiani, agar mereka menjadi benih-benih kerasulan yang dapat tumbuh dan berbuah di kemudian hari.
Setelah didirikan sekolah khusus para pemuda di Muntilan, maka pada tanggal 14 Januari, Tarekat Suster Fransiskanes juga mendirikan sekolah ketrampilan khusus untuk para pemudi di Mendut.
Rama van Lith sendiri wafat pada 9 Januari 1926, beberapa bulan sebelum berlangsungnya tahbisan imam pertama Indonesia, F.X. Satiman SJ di Maastricht 15 Agustus 1926. Imam baru ini kemudian berkarya sebagai pastor paroki di antara mantan anggota Jemaat Kijahi Sadrach Suryapranata di Kalibawang. Sayangnya, Satiman meninggalkan Serikat pada 7 September 1940 dan tinggal di pertapaan Rawaseneng, setelah ditempatkan di Kolese Santo Ignatius (Jogjakarta), sejak 1936.
C.
Gerakan: 100% Katolik, 100% Indonesia.
Nama Rama van Lith dikenang banyak orang. Mgr Soegijapranata, salah seorang muridnya mencatat di tahun 1950, "adalah seorang imam Belanda yang oleh orang Jawa, baik Katolik maupun bukan Katolik sampai hari ini dihormati sebagai Bapak Orang Jawa...."
Gerakan: 100% Katolik, 100% Indonesia.
Nama Rama van Lith dikenang banyak orang. Mgr Soegijapranata, salah seorang muridnya mencatat di tahun 1950, "adalah seorang imam Belanda yang oleh orang Jawa, baik Katolik maupun bukan Katolik sampai hari ini dihormati sebagai Bapak Orang Jawa...."
Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarikat Islam, pimpinan KH Agus Salim. Memang ia tidak pernah menjadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan, ia juga ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.
Di kedua lembaga itulah, Rama van Lith memperjuangkan kepentingan pribumi. Pada tahun 1922, ia pernah meramalkan bahwa pada suatu hari orang-orang Belanda akan diusir dari wilayah kepulauan ini. Ia juga menegaskan, banyak orang di Belanda tidak mengerti situasi nyata wilayah kepulauan ini. Mereka percaya bahwa semua akan tetap lestari seperti sekarang ini. Mereka semua keliru, mengingat suatu zaman dan dunia yang baru sedang menantikan kelahiran. Siapa yang arif bestari akan harus berbenah diri dan siap menerima perubahan yang merupakan keniscayaan.
Menurut Rama van Lith lebih lanjut, kepentingan utama orang Katolik adalah tidak membebani diri sendiri sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lahirnya sistem pemerintahan yang menindas dan merendahkan orang-orang pribumi.
Dalam bulan Februari 1923, di Jogjakarta berkumpullah F.S. Harjadi (kepala sekolah), Raden Mas Jakobus Soejadi Djajasepoetra (seorang dokter hewan di Purwokerto), dan Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjana (konsultan pertanian di Tegalgondo, Surakarta) bersama dengan sekitar empatpuluh orang muda Katolik alumni Sekolah Muntilan, seperti C. Pranoto dan F. Soetrisno.
Pertemuan ini menjadi ancangan bagi lahirnya partai katolik yang baru yakni: Pakempalan Politik Katolik Djawi pada 5 Agustus 1923. Dua Minggu berikutnya statuta paguyuban tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk disahkan. Pada mulanya organisasi yang baru ini berkonfederasi dengan Indische Katholieke Partij, tetapi kemudian orang-orang Katolik Jawa memisahkan diri dan menjadi otonom.
Pada tahun ini jugalah, Rama Strater SJ mendirikan Perhimpunan Wanita Katolik pada tanggal 9 September 1923. Dalam perjalanan waktu, sebagaimana setiap krisis yang terjadi dapat menciptakan kehancuran, tetapi dapat pula mendewasakan, demikian pula orang-orang Katolik di Indonesia. Eksistensi ‘keindonesiaan’ pada kurun waktu ini menepati apa yang digarisbawahi dalam Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, art. 1.
Adapun pada tanggal 10 Mei 1940, Negeri Belanda diduduki pasukan Nazi, Jerman. Ratu dan pemerintah Belanda yang berada di pengasingan (London) berusaha bersikap luwes di hadapan cita-cita kemerdekaan orang-orang Indonesia.
Setelah Pearl Harbour porak poranda akibat serangan kilat 7 Desember 1941, laskar Dai Nippon mulai bergerak ke Asia Timur Laut, termasuk Indonesia.
Disinilah, misi Katolik sempat mengarungi ”masa krisis”. Para suster ditawan dan Sekolah Mendut ditutup. Siswi-siswinya dipulangkan ke daerah asal. Tahun 1948, sekelompok masyarakat anarkis melakukan pembumi-hangusan dan menjarah kompleks pendidikan Mendut.
Kemegahan kompleks pendidikan itu lenyap. Tak ada lagi Juffrow van Kesteren yang mendampingi ‘tuyul-tuyul’ berkecimpung ria di gemercik arus kali Elo. Gedung-gedung lenyap tanpa sisa, kecuali pintu gerbang yang menjadi saksi bisu kejayaan sekaligus kehancuran kompleks Sekolah Mendut.
Waktu masa pendudukan Jepang, hampir semua misionaris disekap. Akibatnya tidak kurang dari 74 imam, 47 bruder dan 160 suster dimangsa maut. Vikarius Apostolik Maluku dan Papua, Mgr. J. Aerts dituduh oleh orang-orang Non-Kristen menyembunyikan sejumlah bedil. Bersama dua belas imam dan bruder akhirnya ia ditembak mati tanpa proses pengadilan. Vikarius Apostolik Jakarta, Mgr. J.P. Willekens, menjalani tahanan rumah.
Sementara itu, Mgr. H. Leven (di Ende) tetap dibiarkan bebas, lantaran ia seorang Jerman. Mgr. Soegija juga menikmati udara bebas, sehingga tetap dapat melakukan kunjungan kepada para tokoh kebangsaan dan terlebih kepada orang-orang Katolik.
Sesudah proklamasi kemerdekaan NKRI dan kalahnya Jepang oleh sekutu, Ignatius Joseph Kasimo menjadi anggota Komite Nasional Pusat yang bertugas sebagai organ konsultatif dari Presiden dan wakilnya.
Adapun sebagai ganti Partai Politik Katolik Indonesia, didirikanlah Partai Katolik Republik Indonesia pada 8 Desember 1945 (Hari Raya Maria Immaculata). Program utama partai ini adalah membela Republik Indonesia dan memperkuat keberadaan negara yang baru lahir ini.
Mgr. Soegija sebagai uskup agung pribumi pertama juga mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahkan Vatikan menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia waktu itu.
Dalam sebuah deklarasi (1947), Mgr. Soegija mengundang orang Katolik untuk bersyukur atas proklamasi kemerdekaan unilateral dan mendukung Republik Indonesia ini. Caranya: menyatakan kesediaan untuk bekerjasama secara aktif membangun dan menegakkan martabat bangsa ini.
Selain itu, sebagaimana telah diperlihatkan dalam sejarahnya, orang-orang Katolik mewujudkan janji untuk meneruskan bekerjasama dengan semua pihak demi tujuan mewujudkan kemerdekaan yang langgeng dan berdayaguna. Inilah makna konkret dari aksioma 100% Katolik, 100% Indonesia .
Pada tahun 1948, Mgr. Soegija juga mengungkapkan peranannya yang aktif dalam mengatasi embargo yang diberlakukan oleh penjajah Belanda dengan menerbitkan sebuah artikel dalam mingguan Katolik Amerika Commonwealth. Beliau menentang secara gigih prakarsa pemerintah Belanda yang telah mendukung manuver politis Partai Komunis Indonesia, yang gagal melakukan coup d’état, 18 September 1948.
Mengacu pada Surat Gembala 12 Februari 1952, Mgr. Soegija mengatakan ada dua prima causa, semacam alasan dasar mengapa orang Katolik perlu terlibat dalam masyarakat.
Pertama, kewajiban kerasulan berasal dari keadaan hidup kita:
“Sedjak kita dipermandikan, berkat kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia, sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan sendirinja kita merasa terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan itu.”
“Sedjak kita dipermandikan, berkat kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia, sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan sendirinja kita merasa terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan itu.”
Kedua, kewajiban kerasulan berasal dari sifat sosial kita:
“Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”
“Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”
Selain Mgr Soegija, baiklah kita juga mengingat lagi salah seorang tokoh kawakan seperti I.J. Kasimo yang pernah menjadi anggota Kabinet sebanyak dua kali. Ketika Jogjakarta diduduki pasukan Belanda pada Desember 1948, banyak juga orang Katolik yang bergabung dalam pasukan gerilya memerangi agresi Belanda. Dua dari putera Katolik terbaik yang yang gugur dan kemudian dinyatakan sebagai pahlawan nasional adalah Ignatius Slamet Rijadi dan Agustinus Adisutjipto.
Dalam tahun-tahun yang sama, Vikarius Apostolik di Semarang Mgr. Soegija, tidak berada di takhtanya (Semarang), melainkan di Jogjakarta. Sikap taktis-politis dan compassion Mgr. Soegija ini mau memperlihatkan bahwa pemimpin Gereja lokal berada di posisi berpihak pada gerak hati nurani seluruh bangsa Indonesia, yang memindahkan (ad interim) ibukota negara ke Jogjakarta.
Di kota inilah, Mgr. Soegija acapkali berkontak dengan para pemuka pemuda Republik. Ketika Soekarno dibuang ke luar Jawa (Desember 1948 - Juli 1949), Mgr. Soegija mempedulikan dan mencurahkan perhatian pada keluarga Presiden Pertama Republik ini.
Selain itu, di antara anggota dan para ahli delegasi Indonesia dalam traktat pengalihan kedaulatan yang berlangsung di Den Haag, terdapat pula beberapa orang Katolik, antara lain R.V. Sudjito, ketua perwakilan Jawa Tengah.
Tiga minggu sebelum pengalihan kedaulatan, berlangsunglah juga KUKSI-Kongres Katolik seluruh Indonesia di Jogjakarta. Mgr. Soegija dan I.J. Kasimo memimpin kongres ini, yang dihadiri oleh Soekarno-Hatta. Di antara keputusan Kongres yang perlu dicatat ialah bahwa semua partai politik Katolik yang didirikan antara 1945-1949 dipersatukan dalam satu partai politik Katolik yang bertaraf nasional, Partai Katolik. Dengan demikian komunitas Katolik Indonesia masuk dalam Republik: kendati secara kuantitatif tidaklah seberapa jumlah anggotanya, namun sejak awal komunitas ini berperan secara nasional. Fakta ini memperlihatkan, ada martabat dan kesetaraan yang dicapai sejak kemerdekaan.
Hal ini juga memungkinan orang-orang Katolik mengemban tanggungjawab di pelbagai kehidupan masyarakat warga, mengingat menjadi Katolik berarti menjadi Indonesia di bumi Indonesia. Sejak sejarah republik ini bergulir orang-orang Katolik (meski jumlahnya relatif sangat kecil) berintegrasi sepenuhnya dan menjadi bagian konstitutif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di sebuah rumah bersama bernama Republik Indonesia.
D.
Penutup
“Di Asia, khususnya di Indonesia,
manusia kecil, lemah, miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka
yang kaya dan berkuasa ...
Hukum rimba: siapa kuat, dia menang.
Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.” (Rm.Mangun).
Penutup
“Di Asia, khususnya di Indonesia,
manusia kecil, lemah, miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka
yang kaya dan berkuasa ...
Hukum rimba: siapa kuat, dia menang.
Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.” (Rm.Mangun).
De facto, kalau dulu, Gereja dan pelbagai sekolah Katolik berbangga memiliki banyak kader, maka sekarang bisa jadi kita "keder" karena minim kader, dan kalaupun ada kadang belum optimal dalam sinergisasi dengan suara kekatolikan.
Kalau mau jujur, kadang Gereja dan sekolah lebih tampil sebagai "institusi" dan bukan saksi", organisasi dan bukan oganisme", lebih banyak menjadi seakan "pabrik kata-kata", gaduh dan hiruk pikuk tapi tak bergema secara nyata bagi masyarakat luas. Dalam bahasa Kardinal Carlo Martini: Bisa jadi, kita sungguh lelah dan terseok karena keberatan beban birokrasi yang sarat intervensi dan friksi melebihi proporsi dan beban liturgi yang kadang melulu ritualistik.
Padahal, kalau mau jujur, pembaruan (Bhs Konsili Vatikan II: “aggiornamento”) hanya bisa terjadi lewat “praksis komunikasi” terus menerus antara gereja dengan dunianya atau dengan semua umatnya yang berada di tengah carut marut dunia. Bukankah jika kita ingin membarui gereja, pembaruan itu hanya bisa datang dari dunia? Bukankah agama dan gereja itu cenderung konservatif, dan dunia lah yang menantang kita untuk progresif dan reformatif?
Berangkat dari harapan dan ingatan sederhana inilah, baiklah kita kembali dengan rendah hati menengok semangat pendiri secara ideal dan integral (“dimensi mistik”) serta menterjemahkannya secara real-operasional dalam pelbagai karya yang tidak berdiri sendiri (dimensi profetik).
Memang, selama dasawarsa pertama abad ke-20, kekatolikan lebih banyak bercorak klerus -oriented. Tegasnya, para pemeran utama dan “pembuka hutan” wilayah misi adalah para misionaris. Dominasi kaum klerus sangat besar, sampai-sampai Gereja nyaris bisu dan sepi tanpa klerus.
Menelisik kenyataan tersebut: metode klasik evangelisasi yang masih dominan hingga dewasa ini, meski tidak secara langsung mengumbar kristenisasi adalah pelayanan kesehatan dan karya sosial.
Berkaitan dengan kegiatan sosial yang paling mencolok mata adalah keterlibatan orang-orang Katolik (pada mulanya adalah para misionaris) dalam penyelenggaraan pendidikan (umum) untuk anak-anak melalui sekolah (kejuruan, kursus), asrama-asrama, di samping pemanfaatan fasilitas perawatan di balai-balai pengobatan dan penyediaan tenaga-tenaga medis di pelbagai rumah sakit Katolik.
Tidak kurang juga hadirnya sentra-sentra sosial yang nantinya memperlihatkan dengan gamblang keterlibatan orang-orang Katolik dalam bidang organisasi (politik, sosial, keagamaan), perintisan media cetak (Januari 1922, Percetakan Kanisius mulai beroperasi dan pada awalnya juga dipercayakan kepada Tarekat Bruder FIC), kerja sama dengan pemerintah, pemeluk agama lain, pelestarian kebudayaan setempat, dsb.
Selain pelayanan kesehatan dan karya sosial, tentunya tak boleh kita lupakan vitalnya karya pendidikan melalui sekolah.
Selain para imam Jesuit dan para suster Fransiskanes, kita juga mengingat peran para bruder FIC. Lima bruder FIC pertama datang dari Belanda ke Yogyakarta pada bulan September 1920 dan langsung mengajar di HIS. Kedatangan para bruder berikutnya mampu memekarkan karya pendidikan Katolik di kota-kota lain seperti Muntilan (1921), Surakarta (1926), Ambarawa (1928) dan Semarang (1934).
Secara khusus, mengacu pada hadirnya Sekolah “MOENDOET“- Moentilan dan Mendoet, dimana semua siswa Muntilan adalah laki-laki, sedangkan murid-murid Mendut adalah perempuan. Mereka ini tidak dipungut biaya alias gratis.
Sinyalemen berikut ini dapat dikategorikan sebagai bentuk evangelisasi yang berhasil dalam bidang persekolahan: Hampir semua murid yang masuk sekolah-sekolah itu tidak Katolik. Kemudian semua yang tamat dari sekolah-sekolah itu pasti beragama Katolik dengan semangat “HAMBA“ - Hangat Andal Militan Bahagia Aktual. Mereka menjadi orang Katolik yang tulen dan sejati, dalam bahasa Romo Mangun: “Betlehem steel, Made in Kalvari“. Apakah mungkin di sekolah-sekolah itu terjadi “brain-washing“ oleh para misionaris terhadap peserta didik, sehingga mereka mudah digiring untuk memeluk agama Katolik?
Yang pasti, para alumni tersebut nantinya menjadi kader Gereja Katolik dimanapun mereka berada. Alumni kedua sekolah-sekolah tersebut kadang dipertemukan dan akhirnya membentuk keluarga Katolik yang satu kudus dan apostolik.
Mereka mendapat nasehat: “Berkembangbiaklah dan jadilah keluarga yang besar! Dari keluarga-keluarga kalianlah sedapat mungkin dilangsungkan pendidikan Katolik dan ciptakanlah suasana Katolik dalam keluarga agar daripadanya muncul panggilan suci untuk menjadi biarawan-biarawati dan imam.” Saya sendiri meyakini ada beberapa imam atau tokoh Katolik yang “menjadi kurban pelaksanaan nasehat “Moendoet“ - Moentilan Mendoet”.
Mendut dan Muntilan pada tempo dulu tidak hanya terkenal karena sekolah dan asramanya saja, tetapi dari sekolah ini juga dapat ditemukan generasi pertama keluarga-keluarga yang menjadi Katolik di Jawa, bahkan di kemudian hari banyak siswa Muntilan dan siswi Mendut yang “merasul” dalam meluaskan agama Katolik di Jawa.
Jadi, keberhasilan pendidikan di Muntilan dan Mendut bukan hanya semata memajukan kepandaian para murid dalam hal otak, melainkan juga dalam hal watak dan akhlak (Bdk: Balada Dara-Dara Mendut, Rama Mangunwidjaya).
Ya, secara tidak langsung, sekolah Muntilan dan Mendut ini menjadi inti kaderisasi elite politisi Katolik di Indonesia, seperti pak Kasimo, Frans Seda, Mgr Soegijapranata dan sejumlah tokoh lain.
Paus Yohanes Paulus II sendiri saat berpidato di Yogyakarta tanggal 10 Oktober 1989, mengungkapkan isi hatinya. Ia melukiskan hari itu sedang berada di jantung Pulau Jawa untuk secara khusus mengenang mereka yang telah meletakkan dasar bagi gereja, yaitu Rama van Lith dan dua muridnya, Mgr Soegijapranata dan Bapak Kasimo (Frans Seda masih hidup waktu itu). Bukankah nama-nama ini adalah produk yang lekat-dekat dengan sekolah Muntilan?
Sedangkan Mendut?
Bukankah banyak dikisahkan bahwa kecantikan Roro Mendut telah memukau semua orang, dari Adipati Pragola penguasa Pati, sampai termasuk juga Tumenggung Wiroguno, panglima perang Sultan Agung dari Kerajaan Mataram yang sangat berkuasa saat itu.
Bukankah banyak dikisahkan bahwa kecantikan Roro Mendut telah memukau semua orang, dari Adipati Pragola penguasa Pati, sampai termasuk juga Tumenggung Wiroguno, panglima perang Sultan Agung dari Kerajaan Mataram yang sangat berkuasa saat itu.
Namun, Roro Mendut bukanlah wanita yang lemah. Dia berani menolak keinginan Tumenggung Wiroguno yang ingin memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan dan jujur menunjukan kecintaannya pada pemuda lain pilihannya, yakni Pronocitro. Roro Mendut adalah figur orang yang berani, bersemangat dan dapat diandalkan.
Artinya?
Walaupun bangunan fisik Muntilan dan Mendut telah dibakar dan dihancurkan oleh massa pada tahun 1948. Meski semua bangunan asli sudah runtuh berlalu bersama tragedi sejarah, tapi ‘api semangat’ Muntilan dan Mendut tak akan kunjung padam. Berbeda dengan bangunan sekolah Mendut yang nyaris tak berbekas sama sekali, kompleks sekolah Muntilan masih punya petilasan.
Walaupun bangunan fisik Muntilan dan Mendut telah dibakar dan dihancurkan oleh massa pada tahun 1948. Meski semua bangunan asli sudah runtuh berlalu bersama tragedi sejarah, tapi ‘api semangat’ Muntilan dan Mendut tak akan kunjung padam. Berbeda dengan bangunan sekolah Mendut yang nyaris tak berbekas sama sekali, kompleks sekolah Muntilan masih punya petilasan.
Selain gereja Paroki Muntilan yang sudah berusia ratusan tahun ini, di sana masih ada sekolah berasrama, SMU van Lith. Syukurlah juga, pada tanggal 15 Juli 1995 yang lalu, para siswi eks Mendut dan keluarganya mempersembahkan bangunan kapel yang didirikan di atas puing kapel di masa kejayaan Sekolah Mendut. Kapel yang dirancang oleh Rama Mangunwidjaja (salah seorang anak dari siswi eks Mendut, ibu Maria Yohanna Sudarmi) itu diberi nama ‘Gereja Santa Maria Sapta Duka’.
Akhirnya, baiklah kita mengingat lagi pada bulan September 2016 yang lalu adalah persis jasa jasa Rama van Lith mendapatkan penghargaan reesmi dari pemerintah RI dengan adanya pendidikan karakter lewat "SEKOLAH" Moentilan (oleh para imam Jesuit) dan Mendoet (oleh para suster OSF). Sekolah sendiri bisa berarti "Setia dan Kokoh Ikut Allah", karena disadari inilah tempat "kader" ditempa tengah dunia yang "keder”.
Berangkat dari kesadaran pedagogi iman bahwa sekolah bukan hanya membentuk "otak" tapi juga "watak dan akhlak", bukan hanya membentuk "head" tapi juga "hand dan heart", bukan hanya mengejar "competence-kecakapan budi" atau "conscience-kesadaran diri" melainkan juga membentuk "compassion-kerahiman hati", maka merupakan sebuah perjuangan bersama untuk menciptakan sekolah sebagai ruang publik dalam mempertajam pikiran, memperhalus perasaan dan sekaligus memperdalam keberimanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar