“Spiritus consilii – Roh Penasehat.”
Pw St. Maximilianus Maria Kolbe
Ul 34:1-12, Mat 18:15-20
“Spiritus consilii – roh penasehat adalah salah satu dari macam-macam karunia Roh Kudus: Ada spiritus sapientiae – roh kebijaksanaan, Ada spiritus intellectus—roh penalaran dsbnya.
Roh nasehat sendiri berfungsi untuk mengajar dan menghibur dengan nasehat yang benar benar “BENAR”. Roh nasehat juga berfungsi memecahkan masalah, membimbing, dan menentukan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu secara bijaksana. Roh nasehat memungkinkan orang memecahkan masalah dan memiliki arah dasar dalam situasi tertentu, seperti ada pada Mesias yang digelari pula “Penasehat Ajaib” (Yes 9:6).
Nah, bersama dengan teladan iman St. Maximilianus Maria Kolbe yang kita kenangkan hari ini, sebetulnya ada tiga macam ciri nasehat yang bijaksana, yakni:
1.NAikkan pujian, dan bukan makian.
2.SEgarkan iman, dan bukan gosipan
3.HAdirkan Tuhan, dan bukan setan.
Kita mohon rahmat-Nya agar kita bisa belajar menjadi “bona consilii-penasehat yang baik, yang tulus dan tidak penuh akal bulus, yang benar benar hidup menurut Roh dan berbuah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal 5 : 22 - 23a). Sudahkah kita belajar menjadi penasehat yang baik, yang bisa naikkan pujian, segarkan iman dan hadirkan Tuhan?
“Mas Kelik suka cari sikat – Orang katolik harus belajar menjadi berkat.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
NB:
"HISTORIA DOMUS" SANTO MAXIMILIANUS MARIA KOLBE
Pada tanggal 14 Agustus, para anggota keluarga besar Fransiskan memperingati Santo Maximilianus Maria Kolbe, seorang imam Fransiskan Conventual yang menjadi martir Kristus di bawah kekejaman Jerman Nazi.
Raymond (Raymundus; namanya sebelum menjadi Pater Maximilianus Maria) Kolbe dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1894 di desa Zdunska-Vola, dekat Lwow, Polandia. Dari empat orang saudaranya, dua meninggal dunia ketika masih kecil. Abangnya, Fransiskus, menemaninya pada waktu dia meninggalkan rumah untuk masuk biara para Fransiskan Conventual di Lwow. Karena kota itu terletak pada bagian Polandia yang pada waktu itu di bawah kekuasaan Austria, maka dua kakak-adik itu melewati perbatasan dengan bersembunyi dalam gerobak yang berisikan rumput kering/jerami.
Pada waktu kakak-beradik itu belajar di seminari kecil, ayah dan ibu mereka memasuki kehidupan religius. Hal ini mendorong Raymond – yang pada waktu itu tidak tahu mau jadi apa dia kelak – memasuki novisiat, yaitu pada tahun 1910, ketika berumur 16 tahun. Frater Maximilianus Maria dikirim ke Roma pada musim gugur tahun 1912 untuk melanjutkan studinya di Universitas Gregoriana. Tujuh tahun lamanya dia berada di Roma. Pada tahun 1917, di Roma, dia mendirikan sebuah gerakan, yaitu MILITIA IMMACULATAE.
Setelah ditahbiskan imam pada tahun 1918, Pater Maximilianus Maria Kolbe pulang ke negerinya dan untuk beberapa waktu lamanya dia berdiam dalam sanatorium di Zakopane, karena penyakit TBC kronis yang dideritanya. Pada tahun 1920, paru-parunya tinggal satu saja. Walaupun kesehatannya sangat rentan, Pater Maximilianus Maria Kolbe aktif dalam kegiatan-kegiatan kerasulan yang dimahkotai dengan keberhasilan. Imam muda ini melihat bahwa ketidakpedulian terhadap agama sebagai racun paling mematikan pada masa itu. Misinya adalah melawan racun sangat berbahaya ini lewat kesaksian hidup yang baik, doa, kerja dan penderitaan.
Kemudian, untuk mempromosikan MILITIA IMMACULATAE, Pater Kolbe ini meluncurkan sebuah bulletin, “Ksatria dari (Maria) Yang Tak Bernoda” pada waktu dia ditugaskan di Krakow.
Setelah dia menerima tanah di dekat Warsawa, Pater Kolbe mulai mendirikan “Kota (Maria) Tak Bernoda” atau Niepolalanow, yang kemudian berkembang menjadi komunitas religius terbesar yang pernah ada dalam sejarah Gereja. Pada tahun 1938 komunitas itu beranggotakan 762 saudara, kebanyakan para bruder. Pada puncak kegiatan kerasulan mereka, tiga buah mesin cetak rotari mereka bekerja siang dan malam, dan sirkulasi bulletin “Ksatria” yang disebutkan di atas hampir mencapai angka 1 juta eksemplar. Ada juga publikasi-publikasi lainnya, salah satunya adalah harian “JURNAL KECIL” dengan sirkulasi 230 ribu.
Pada tahun 1930, setelah “Kota (Maria) Tak Bernoda” telah berjalan dengan lancar, bersama empat orang saudaranya Pater Maximilianus pergi ke Nagasaki, Jepang. Di lereng gunung Hikosan mereka mendirikan sebuah “Kota (Maria) Tak Bernoda” yang kedua. “Kota” itu tidak mengalami kerusakan ketika kota Nagasaki dijatuhi bom atom oleh pihak sekutu pada tahun 1945. “Kota” itu menjadi pusat Provinsi Jepang dari para Fransiskan Conventual.
Pada tahun 1939 Pater Maximilianus Maria Kolbe kembali ke Polandia untuk menghadiri sebuah kapital provinsi, dan dia diangkat kembali menjadi superior dari “Kota (Maria) Tak Bernoda”. Pada tahun yang sama Polandia diserbu oleh Jerman Nazi, dan Pater Kolbe di tahan untuk masa kurang dari tiga bulan. Dia dan para saudara yang lain dibebaskan pada “Pesta Maria dikandung tanpa noda”. Pada tahun 1941 dia ditangkap lagi dan dijebloskan ke dalam penjara Pawiak yang terletak dekat Warsawa untuk sementara waktu, namun kemudian dikirim ke kamp konsentrasi dekat Oswiecim (Ausschswitz). Tujuan pihak Nazi Jerman adalah melikuidasi para pemimpin yang akan menjadi ancaman para penguasa. Hanya tiga bulan kemudian, lewat serangkaian penyiksaan, Pater Maximilianus Maria Kolbe menjadi martir Kristus di tangan kaum Nazi Jerman.
Ceritanya begini:
Pada suatu hari ketahuanlah bahwa ada seorang tawanan yang melarikan diri. Komandan mengumumkan bahwa ada sepuluh orang tawanan yang akan dihukum mati untuk menggantikan tawanan yang melarikan diri itu. Pater Maximilianus Maria Kolbe dengan nomor pengenal 16670 maju ke depan dan menawarkan diri untuk menggantikan salah seorang yang telah ditunjuk untuk dihukum mati, yaitu sersan Gajowniczek. “Saya mau menggantikan orang itu. Dia mempunyai seorang istri dan anak-anak”, kata Pater Kolbe. “Siapa kamu?”, tanya sang komandan. “Seorang imam!” Tanpa nama, tanpa ketenaran atau kemasyhuran. Suasana hening-sepi sebentar.
Setelah tertegun sejenak, sang komandanpun menendang sersan Gojowniczek keluar dari barisan para terhukum, kemudian memerintahkan Pater Kolbe untuk bergabung dengan sembilan orang terhukum lainnya. Di “blok kematian” mereka diharuskan melepaskan pakaian mereka dan dengan bertelanjang bulat mereka menghadapi kematian yang datang perlahan-lahan dalam kegelapan. Akan tetapi tidak terdengar teriakan-teriakan, yang terdengar adalah nyanyian para tawanan di kamp konsentrasi.
Pada malam hari menjelang “Hari Raya S.P. Maria Diangkat ke Surga”, ternyata Pater Kolbe masih hidup. Para petugas mendapatkannya masih berdoa di salah satu sudut ruangan. Dia mengangkat tangannya yang sudah tulang tak berdaging itu untuk menerima suntikan maut dengan asam karbolik. Mereka kemudian membakar tubuhnya bersama-sama dengan yang lain.
Kematian Pater Kolbe bukanlah tindakan heroisme menit terakhir. Keseluruhan hidupnya telah merupakan suatu persiapan. Kekudusannya tanpa batas. Dia memiliki hasrat penuh gairah untuk mempertobatkan seluruh dunia bagi Allah. Dan “Maria yang dikandung tanpa noda” yang sangat dicintainya adalah sumber inspirasi bagi dia dan gerakannya.
Pater Maximilianus Maria Kolbe OFMConv. menjadi martir Kristus pada usia 47 tahun 7 bulan. Ia dibeatifikasikan tiga puluh tahun kemudian, yaitu oleh Paus Paulus VI pada tanggal 17 Oktober 1971. Paus Yohanes Paulus II mengkanonisasikannya pada tanggal 10 Oktober 1982.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar