“Anima Christi
- Jiwa Kristus.”
Inilah salah
satu doa yang diciptakan St Ignatius Loyola dan kadang kita doakan setelah
penerimaan komuni.
Seperti yang saya tulis dalam buku “HERSTORY” (Kanisius), doa yang membuat kita menghadirkan jiwa Kristus bisa berarti “Dikuatkan Oleh Allah,” karena bukankah pada kenyataannya, kita kerap merasa lemah: lemah iman, lemah semangat, lemah harapan dan lain sebagainya?
Walaupun kadang
ada yg berkata, “Baik jika tanganmu kau lipat untuk berdoa, tetapi lebih baik
lagi jika tanganmu kau buka untuk memberi,” doa tetap mendapatkan aktualitasnya
karena doa mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengusir dan mengalahkan
roh jahat.Seperti yang saya tulis dalam buku “HERSTORY” (Kanisius), doa yang membuat kita menghadirkan jiwa Kristus bisa berarti “Dikuatkan Oleh Allah,” karena bukankah pada kenyataannya, kita kerap merasa lemah: lemah iman, lemah semangat, lemah harapan dan lain sebagainya?
Bahkan ada jenis roh jahat tertentu, seperti yang merasuki seorang anak yang
dikisahkan dalam Injil hari ini, yang hanya bisa diusir dengan doa (Mrk 9:29).
Dalam The Seven
Different Types of Prayer, Soren Kiekegard bahkan mengatakan, “jika aku seorang
ahli kejiwaan dan jika aku diijinkan untuk membuatkan resep bagi semua orang
yang sakit di dunia, maka aku akan memberi resep mereka supaya mengusahakan
keheningan dalam hidup mereka, dan keheningan itu bisa dicapai dalam hidup
doa”.
St.Vincent
Ferrer (1350 – 1419) juga pernah membuat sebuah perumpamaan: setiap burung
melakukan empat hal dalam sehari: ia bersiul, terbang, lalu mandi dan makan.
Kita juga bisa belajar dari burung:
Pertama kali, pada pagi hari kita diajak ‘bersiul’ (berdoa/memuji Tuhan) sebelum ‘terbang’ meninggalkan rumah. Setelah terbang, kita diajak ‘mandi’: membersihkan diri dengan bertobat dan mengikuti misa.
Terakhir, kita diajak untuk ‘makan’, caranya dengan berdoa lagi sebagai santapan rohani.
Dengan kata lain; kita diajak membuka dan menutup hari dengan doa.
Jelaslah bahwa
doa adalah intimitas cum Deo, relasi hangat dengan Allah, dengan tiga ciri
khasnya, al:
1. Doa itu
“berbuah” kebenaran.
Universitas Harvard mempunyai logo: “Veritas”: (Kebenaran, Truth).
Menurut Rektor Harvard pertama, Henry Dunster, Veritas bisa dikenali dan didapat lewat hidup doa karena setiap kali kita berdoa, jika doa ini sungguh tulus, akan terjadi suatu perasaaan dan makna baru di dalamnya. Itu akan memberi kita keberanian yang menyegarkan, dan kita akan memahaminya sebagai sebuah kebenaran.”
Ya, doa membuat hidup kita lebih benar-benar “BENAR”, yang dalam bahasa teologi disebut “mistik”(Yun:‘ustikos’, rahasia-misterion) yang datang sebagai karunia sekaligus juga karisma karena doa bukan sekedar fenomen psikologis/emosi belaka.
Universitas Harvard mempunyai logo: “Veritas”: (Kebenaran, Truth).
Menurut Rektor Harvard pertama, Henry Dunster, Veritas bisa dikenali dan didapat lewat hidup doa karena setiap kali kita berdoa, jika doa ini sungguh tulus, akan terjadi suatu perasaaan dan makna baru di dalamnya. Itu akan memberi kita keberanian yang menyegarkan, dan kita akan memahaminya sebagai sebuah kebenaran.”
Ya, doa membuat hidup kita lebih benar-benar “BENAR”, yang dalam bahasa teologi disebut “mistik”(Yun:‘ustikos’, rahasia-misterion) yang datang sebagai karunia sekaligus juga karisma karena doa bukan sekedar fenomen psikologis/emosi belaka.
2. Doa itu
“berpola” salib/kayu palang.
Relasi doa itu tidak hanya “aku dan Tuhan” (vertikal), tetapi juga “aku dan sesama” (horisontal) juga.
Artinya, pelbagai doa apapun, betapapun bagusnya kata dan indahnya nuansa, jika tidak bermuara dalam relasi dengan sesama, menjadi hambar dan mungkin malah kehilangan nilainya.
Tak ada gunanya kita berdoa "ampunilah aku Tuhan" tapi kita tak mau mengampuni orang lain. Atau 'berilah kami rejeki", sementara kita sendiri tidak pernah mau memberi. Karena itu Matius menuliskan sebuah pesan Yesus: "jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu akan mengampuni kamu juga. Jika tidak, .Bapamu juga tidak akan mengampunimu juga.”
Jadi doa mesti bermuara ke dalam hidup kita, mesti diwujudkan dalam hidup bersama orang lain. Sebaliknya, doa akan menjadi penuh makna, jika diangkat dari hidup nyata. "Jangan minta, jika tidak pernah rela memberi!"
Itulah sebabnya, semakin kita berinteraksi dengan sesama, kita tak akan berdoa bertele-tele.
Doa akan mengangkat pengalaman hidup nyata dan sebaliknya, kita akan hidup lebih kaya makna dari inspirasi doa-doa kita.
Relasi doa itu tidak hanya “aku dan Tuhan” (vertikal), tetapi juga “aku dan sesama” (horisontal) juga.
Artinya, pelbagai doa apapun, betapapun bagusnya kata dan indahnya nuansa, jika tidak bermuara dalam relasi dengan sesama, menjadi hambar dan mungkin malah kehilangan nilainya.
Tak ada gunanya kita berdoa "ampunilah aku Tuhan" tapi kita tak mau mengampuni orang lain. Atau 'berilah kami rejeki", sementara kita sendiri tidak pernah mau memberi. Karena itu Matius menuliskan sebuah pesan Yesus: "jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu akan mengampuni kamu juga. Jika tidak, .Bapamu juga tidak akan mengampunimu juga.”
Jadi doa mesti bermuara ke dalam hidup kita, mesti diwujudkan dalam hidup bersama orang lain. Sebaliknya, doa akan menjadi penuh makna, jika diangkat dari hidup nyata. "Jangan minta, jika tidak pernah rela memberi!"
Itulah sebabnya, semakin kita berinteraksi dengan sesama, kita tak akan berdoa bertele-tele.
Doa akan mengangkat pengalaman hidup nyata dan sebaliknya, kita akan hidup lebih kaya makna dari inspirasi doa-doa kita.
3. Doa itu
“bernada dasar” C/cinta.
Seperti cinta, doa adalah napas kehidupan umat beriman. Tanpa napas, kita tak mungkin terus hidup, bukan?
Maka semua usaha, pekerjaan, rencana dan perjuangan tanpa disertai doa yang berdasarkan cinta, tidak akan memiliki jiwa yang kuat.
Benarlah kalau orang mengatakan bahwa doa yang penuh cinta akan membersihkan hati dan membuat kita lebih berpeduli pada orang lain, bahkan orang yang membenci dan merusaka nama baik atau masa depan kita, karena doa juga terkait-erat dengan sensualitas (sensuum: indera).
Seperti cinta, doa adalah napas kehidupan umat beriman. Tanpa napas, kita tak mungkin terus hidup, bukan?
Maka semua usaha, pekerjaan, rencana dan perjuangan tanpa disertai doa yang berdasarkan cinta, tidak akan memiliki jiwa yang kuat.
Benarlah kalau orang mengatakan bahwa doa yang penuh cinta akan membersihkan hati dan membuat kita lebih berpeduli pada orang lain, bahkan orang yang membenci dan merusaka nama baik atau masa depan kita, karena doa juga terkait-erat dengan sensualitas (sensuum: indera).
Sepenggal
contoh: St. Fransiskus Asisi berdoa sambil berjalan, bernyanyi, menari di
tengah alam. Lewat pengalaman doanya yang “sensual”, ia merintis adanya doa
“Jadikan Aku Pembawa Damai” dan tradisi “Goa Natal” untuk pertama kalinya.
Menurut Y. Hutchinson, “jika kita tak dapat berdoa baik, mungkin kita kurang “sensual”, karena bukankah buah doa adalah membuat indera kita lebih “sensual” (peka dan tajam merasakan) sehingga bisa lebih punya hati dan pikiran positif (positive vibration)?
Selamat berdoa,
karena bukankah Yesus sendiri pernah berkata: “Omnis enim qui petit accipit, et
qui quaerit invenit, et pulsanti aperietur, ‘Setiap orang yang meminta,
menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang
mengetok, baginya pintu dibukakan (Luk 11:10).
“Masuk goa di
Jayawijaya -
Rajin berdoa membuat iman smakin berjaya.”
Rajin berdoa membuat iman smakin berjaya.”
Salam HIKers,
Tuhan berkati & Bunda merestui.
Fiat Lux!
Tuhan berkati & Bunda merestui.
Fiat Lux!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar