Ads 468x60px

ANTOLOGI RENUNGAN HIK - HARAPAN IMAN KASIH


1.“Sate” - Saat Teduh.
Dari masa kecil sampai sekarang, saya suka macam-macam sate. Di rumah salah satu rekan di Bintaro Jaya, saya pernah mendapat satu porsi sate ayam ketika makan siang. Ada juga beberapa sate yang saya kenal. Ada sate sapi di dekat pasar Beringharjo. Ada sate kambing di Samirono. Ada sate padang di Cikini. Ada sate babi di Glodok. Ada sate kelinci di Lembang. Ada sate Padang di depan RS.Carolus. Ada sate Madura di jalan menuju Tanjung Kait.
Suatu waktu, saya diajak seorang sahabat yang sedang menempuh S-2 di UGM Yogyakarta, ternyata juga ada satu sate kambing terkenal Namanya, sate klatak. Sate klatak dalam versi yang asli ada di arah Jejeran, Plered juga di daerah pasar Imogiri. Sate klatak ini juga ada di Jl. Kaliurang tepatnya di sampingnya gedung Graha Sabha Pramana UGM. Sate klatak sendiri adalah sate kambing mentah lalu di kasih garam, dan di bakar. Mengapa namanya Klatak? Ternyata sate kambing itu hanya di celupkan di cairan yang sudah berisi garam dan merica jadi ketika di bakar memang ada suara thak..thak… makanya di sebut sate klatak. Ada satu yang menarik, sate pada umumnya biasa di bakar di tusuk dengan lidi dari bambu, tapi kalau sate klatak di tusuk dengan jeruji ban sepeda. Saya pertama bingung, apa itu maksudnya, ternyata dengan teknik begitu, matang dagingnya bisa sampai dalam.
Bicara soal sate, saya jadi mengingat kalimat ini, “Sate Ayam 50 Tusuk !!!” Itulah perintah pertama Presiden Soekarno saat dipilih sebagai presiden pertama RI kepada rakyatnya. Ya, itulah, perintah pertama pada rakyatnya sekaligus pesta pertama atas pengangkatannya sebagai pemimpin dari 70 juta jiwa lebih rakyat dari sebuah negara besar yang baru berusia satu hari. Juga, banyak orang bilang, kalau kita makan sate, jangan lupa makan timun setelahnya. Karena ketika kita makan sate sebetulnya kita juga ikut memakan karbon dari hasil pembakaran arang yang dapat menyebabkan kanker. Untuk itu kita memerlukan obatnya yaitu ketimun yang disarankan untuk dimakan setelah makan sate. Karena sate mempunyai zat Karsinogen (penyebab kanker) tetapi ketimun ternyata punya anti Karsinogen.
Ketika saya masih di Seminari Menengah, sate bagi kami berarti, sayur dan tempe. Tapi kini sate juga berarti saat teduh. Apakah Saat Teduh Itu? Ada banyak istilah untuk saat teduh. Ada yang menamakannya meditasi, waktu merenung, ataupun saat tenang. Apapun istilahnya, saat teduh adalah saat yang kita sisihkan untuk pengembangan diri secara utuh. Bayangkan saja, mesin mobil dan motor perlu di tune-up. Alat pendingin di rumah juga perlu diservis secara teratur. Demikian pula kehidupan kita. Kita perlu “sate” untuk menyegarkan kembali kehidupan kita juga bukan? Dkl: “Sate” merupakan waktu khusus yang kita sisihkan untuk ‘nge-charge’: mengisi kembali “baterai” kehidupan kita, yang mungkin sudah melemah. Jika ditinjau dari segi makna kata, maka istilah "sate" menunjuk pada segi waktu dan juga suasana atau keadaan. “Sate” adalah masa di mana suasana/keadaan yang terjadi bersifat teduh dan tenang.
Dengan pengertian tersebut, tentu ada banyak “sate” dalam hidup kita. Misalnya: sebelum tidur di malam hari, sewaktu bangun pagi-pagi sekali, sewaktu sendirian di rumah peristirahatan, setelah mendengarkan kotbah dalam ekaristi dsb.
Pada perkembangan selanjutnya, istilah "sate" juga dipakai untuk menunjuk pada waktu di mana orang Kristiani menenangkan diri dalam masa yang teduh dan tenang untuk membaca Alkitab dan merenungkannya.
Dalam Markus 1:35, dikisahkan tentang Yesus yang berdoa pada pagi-pagi sekali sewaktu hari masih gelap. Tempat yang dipilih pun adalah tempat yang tenang. Di situlah Ia dapat menggunakan “sate” untuk mendapatkan kekuatan spiritual guna melanjutkan karya-Nya di dunia.
Yesus juga biasa berdoa pada malam hari, saat suasananya mendukung (lih. Mat. 14:23). Oleh karena itu, yang penting bukan kapannya, tetapi waktu yang tepat; tepat karena ada suasana teduh dan tenang, tepat karena kita bisa dengan sungguh-sungguh membaca Alkitab untuk mencari tahu apa kehendak-Nya bagi kita, tepat karena kondisi fisik kita masih memungkinkan untuk berdoa kepada-Nya. Kalau waktu yang tepat itu adalah pagi hari, ya... lakukanlah pada pagi hari. Kalau waktu yang tepat itu adalah malam hari, sebelum tidur, ya... lakukanlah pada malam hari. Yang penting, kita tetap melakukan “sate” di waktu yang tepat.
Ketika saya menjalani Tahun Rohani di Klender, 1996, saya mendapatkan sebuah tradisi untuk “sate”, (St.Ignatius Loyola, examen conscientiae, pemeriksaan batin), yaitu tiga kali sehari. Pertama, di pagi hari setelah bangun tidur sambil bersyukur atas hari yang baru, di tengah hari setelah makan (sambil mengevaluasi hidup selama setengah hari ini) dan di malam hari sebelum tidur (sambil belajar menyerahkan diri dan semua pengalaman hari itu hanya kepada Tuhan)
Dimana kita bisa ber ”sate?” Dalam Alkitab, Yesus berkali-kali berdoa di sebuah bukit, di tempat yang sunyi (Mat. 14:23; Luk. 6:12). Mengapa bukit menjadi tempat favoritNya? Bisa jadi, tempat itu dipilih karena menyediakan suasana yang teduh dan tenang. Suasana itu adalah prasyarat bagi saat teduh yang baik dan berkualitas. Lagipula, dalam kesempatan yang lain, Yesus menyuruh para pendengar-Nya untuk berdoa di kamar yang terkunci (Mat. 6:6). Di balik pengajaran itu, sebenarnya terkandung pemahaman bahwa “sate” itu harus dilakukan dalam suasana yang teduh, tenang, serta bukan dalam semangat untuk memamerkan kepada orang lain bahwa diri kita adalah orang yang saleh, yang ditunjukkan dengan seringnya berdoa (ber ”sate”).
Jadi, dapat dikatakan bahwa tempat yang baik dalam menikmati “sate” adalah tempat yang menyediakan suasana teduh dan tenang. Oleh karena itu, kita tidak terikat pada kamar di rumah kita. Kita juga bisa bersaat teduh di villa saat retreat pribadi misalnya. Hal yang penting adalah bahwa tempat itu haruslah mendukung kita menikmati “sate” secara berkualitas.
Ber”sate” sendiri, bukanlah sebuah tindakan yang sekali jadi, yang dengannya kita dapat langsung mengerti apa kehendak Tuhan bagi kita. Ia adalah proses yang harus kita lakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, bersaat teduh sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan, sehingga dengan demikian kita semakin akrab dengan Tuhan, dan yang lebih penting adalah kita menjadi peka akan apa yang menjadi kehendak-Nya untuk kita lakukan.
Yesus sendiri pernah berpesan, bahwa kita diutus ke tengah dunia, seperti domba ke tengah serigala. Sebelum berkarya, Dia ‘retret pribadi’: berpuasa 40 hari lamanya. Sebelum memilih murid, Dia juga berdoa. Sebelum wafat, Dia juga berdoa. Sebelum bekerja, Dia juga berdoa. sebelum bekerja, Dia juga berdoa. Di tengah pelayanan-Nya kepada orang banyak, Yesus selalu berdoa: ketika mengadakan perbanyakan roti, Yesus menengadah ke langit mengucap syukur kepada BapaNya; Yesus berdoa di taman Getsemani ketika akan menghadapi ajal-Nya (Luk 22:39-46). Jadi dapat disimpulkan bahwa doa Yesus memancar keluar dari hubungan-Nya yang mesra dengan Allah Bapa.
Disinilah, “sate” berarti mengheningkan hati dari segala macam keributan seperti kecemasan, ketakutan, kekuatiran, dendam, rasa bersalah, iri hati, menyimpan jimat, belajar ilmu gaib bela diri, mempunyai ikatan dengan kuasa gelap, perdukunan, tukang ramal, dan macam-macam dosa lainnya. Untuk itu kita harus membuka hati terhadap Tuhan, minta pengampunan, bertobat dan merasakan kerahiman-Nya/belas kasihan-Nya. Lewat “sate”, orang juga dapat mengalami penyembuhan dari kekacauan psikis, kekosongan hidup masa lampau, dibebaskan dari ikatan-ikatan yang tidak teratur dan mengalami cinta kasih Allah yang tak terkatakan.
Soal “sate”, bagus juga untuk direnungkan, bahwa dalam Injil, Maria dikesankan sebagai figur yang kontemplatif. Maria adalah simbol (wo)man behind the scenes. Dia tidak banyak muncul, tapi setiap kemunculannya selalu berarti, dialah tanda yang penuh arti, a significant sign. Ia menyimpan semua dalam hatinya dan merenungkannya (Luk 2:41-51). Paling tidak sikap Maria yang kontemplatif ini, bisa menjadi kaca benggala bagi iman keseharian kita untuk setia menyediakan “sate” bagi hidup harian kita, sehingga kitapun bisa menjadi tanda bagi kasih Allah sendiri. Per Mariam Ad Jesum!


2.“Cahaya” – Carilah Tuhan, Hadapilah cobaan dan Yakinkanlah Iman.
Dominus Illuminatio Mea, Tuhan adalah Cahayaku. Inilah motto dari Universitas Oxford di Inggris yang diambil dari ayat pembuka dalam Mazmur 27.
Bicara soal cahaya, pada tahun 1676, di desa orang-orang Indian yang bernama Guatzindeo, di Mexico, ada suatu cahaya aneh yang timbul hampir setiap malam di sebuah ruangan dari rumah yang sudah ditinggalkan. Desa itu merupakan bagian dari Hacienda San Buenaventura, dan si pemilik tanah yang bernama Don Antonio Martin Tamayo merasa berkewajiban untuk mencari penyebabnya.
Mula-mula ia mengirim para pelayannya, tetapi mereka selalu pulang dengan tangan kosong, dan selalu mengatakan bahwa di sana tidak ada cahaya maupun api. Lalu ia sendiri pergi bersama dengan seorang pastor Fransiskan untuk menyelidikinya.
Dalam gubuk itu ia menemukan banyak sampah, dan di bawah tumpukan sampah itu, mereka menemukan sepuah patung Bunda Maria yang menggendong Kanak-Kanak Yesus yang sudah sangat rusak. Don Antonio membawa patung itu ke Hacienda dan kemudian mengirim patung itu kepada Patzcuaro untuk diperbaiki.
Setelah selesai dan dikembalikan, tampak keindahan yang luar biasa dari patung itu, sehingga keluarga Tamayo itu mendirikan sebuah kapel, dan menempatkan patung itu di situ. Kapel itu terbuka untuk umum bagi yang ingin berdoa dan menghormatinya di situ. Karena cahaya aneh yang menyebabkan patung itu ditemukan, maka patung itu dinamakan “Bunda Maria Bunda Cahaya”.
Setiap tahun pada musim hujan, patung wasiat tersebut dibawa dari kapel ke Salvatierra, di mana orang-orang memohon hujan yang cukup agar dapat menghasilkan panen yang berlimpah-limpah. Bunda Maria Bunda Cahaya juga dimohon pertolongannya pada saat penyakit epidemi mewabah, dan selalu ada hasilnya.
Ketika Uskup Don Juan de Ortega Montanes dari Valladolid, Spanyol, datang berkunjung ke Mexico, ia sedang sakit ketika lewat Salvatierra. Karena ia seorang yang sangat berdevosi kepada Bunda Maria, Uskup itu lalu mempersembahkan Misa di altar Bunda Maria di Gereja Maria Bunda Karmel, di mana patung wasiat itu diletakkan. Selama misa, Uskup yang sakit ini berjuang melawan kelemahannya, tetapi ketika misa selesai, ia merasakan suatu dorongan kekuatan yang menjamahnya sehingga ia merasakan kesehatan dan pemulihan tenaga. Ia menikmati atas kesembuhannya yang cepat itu dan memberikan kesaksian bahwa kesembuhannya itu adalah merupakan keprihatinan Bunda Maria Bunda Cahaya. Banyak mukjizat yang terjadi sehubungan dengan patung wasiat suci tersebut.
Di lain matra, salah satu musikus yang saya idolakan, dan juga menjadi cahaya bagi banyak orang, adalah Ludwig Van Beethoven, (1770-1827). Ia pernah mengatakan, “bagiku tak ada hal yang lebih membahagiakan selain, bertemu dengan Allah, lalu sesudah itu memantulkan cahaya wajahNya kepada orang lain.”
Ludwig van Beethoven keluar sebagai jabang bayi tahun 1770 di kota Bonn, Jerman. Semasa kanak-kanak sudah tampak jelas bakat musiknya yang luar biasa dan buku musik ciptaannya muncul pertama kali tahun 1783. Di usia remaja dia berkunjung ke Wina dan diperkenalkan kepada Mozart tetapi perjumpaan keduanya berlangsung singkat. Tahun 1792 Beethoven kembali ke Wina dan sebentar dia belajar musik dengan Haydn yang kala itu pencipta musik Wina kesohor (Mozart meninggal setahun sebelumnya).
Beethoven menetap di Wina, Mekkahnya musik waktu itu, selama sisa hidupnya. Rasa musik Beethoven yang tinggi selaku pemain piano mengesankan tiap pendengarnya dan dia berhasil baik selaku pemain maupun guru. Segera dia menjadi pencipta musik yang produktif juga. Karyanya mendapat sambutan baik. Sejak umur pertengahan dua puluhan ke atas, dia sudah mampu menerbitkan dan menjual buku ciptaan musiknya tanpa kesulitan apa pun.
Lewat Beethoven inilah, bagi saya cahaya berarti:
-Carilah Tuhan:
Tiap kali mencari ilham, dia mengurung diri sampai berhari-hari, lupa makan, dan setiap kali selesai dia keluar ruangan dengan bahagia, ia merasa telah melihat wajah Tuhan. Baginya, tujuan dia membuat lagu adalah menghadirkan kemuliaan Tuhan dan menggetarkan kalbu sesamanya. Ia sendiri hidup membujang, belajar piano dari usia empat tahun, dan dua belas tahun menjadi organis di gereja.
Di balik itu semua, ia juga gampang naik darah, sehingga ia pernah melemparkan makanan di piring ke wajah seorang pramusaji restoran hanya karena makanan itu tidak sesuai dengan yang dia pesan. Yang mau saya tekankan di sini adalah bahwa ia dengan rendah hati mencari Tuhan sebagai sumber ilham. Ia merasakan kedekatan dan keakraban dengan Tuhan sebagai saat-saat yang mengilhami karya musik mereka. Ia mengaku bahwa bakat mereka adalah pemberian Tuhan dan adalah pantulan kemuliaan Tuhan, karena itu untuk kemuliaan Tuhan jugalah ia mempersembahkan karya mereka yang agung itu.
Kata dan nada yang lahir dari jarinya adalah sentuhan tangan Tuhan. Ilham yang ia peroleh adalah percikan Roh Tuhan. Saya yakin tiap orang pasti rindu untuk menemukan Tuhan secara pribadi. ibaratnya ada suatu ruang kosong di dalam jiwa manusia yang tidak bisa diisi siapapun dan apapun kecuali oleh Tuhan. Baik orang Katolik maupun non-Katolik pasti mencari Tuhan, dan rahmat Tuhan terbuka bagi semua orang yang ingin mencariNya.
Contohnya ada di Kitab Suci, kisah Zakheus dan Maria Magdalena. mereka berdua mencari Tuhan, Zakheus si badan pendek sampai memanjat pohon ara untuk melihat Tuhan Yesus dan Zakheus menemukan Tuhan ketika Tuhan menyapa dia agar turun (Luk 19 : 2-6). sedangkan Maria Magdalena mencari Tuhan ke kubur (Yoh 20), dan tidak menemukan, namun lihat sikap Maria Magdalena dia tetap tinggal di situ mencari Tuhan (Yoh 20:11).
Sekarang, mari kita lihat salah satu dari tujuh dukacita Maria, yaitu saat Maria kehilangan Yesus di Yerusalem selama tiga hari, ia terpisah dari kehadiran-Nya yang amat mempesona. St Lukas mencatat dalam bab dua Injilnya bahwa Bunda Maria dengan St Yusuf, suaminya, dan Yesus, tiap-tiap tahun biasa pergi ke Bait Allah pada hari raya Paskah. Pada waktu Putranya berusia duabelas tahun, Bunda Maria pergi seperti biasanya, dan Yesus tanpa sepengetahuannya tinggal di Yerusalem. Bunda Maria tidak langsung menyadari hal itu, ia beranggapan bahwa Yesus ada bersama yang lainnya.
Setibanya di rumahnya di Nazaret, ia mencari Putranya, tetapi tidak mendapatkan-Nya. Segera ia kembali ke Yerusalem untuk mencari-Nya, dan setelah tiga hari barulah ia mendapatkan-Nya. Bersama pengantin dalam Kidung Agung ia bertanya tentang-Nya, “Apakah kamu melihat jantung hatiku?”
Tetapi, tak didapatkannya kabar berita tentang-Nya. Oh, sungguhlah besar duka dalam hati Maria, dikuasai rasa letih, namun belum juga menemukan Putranya terkasih, ia mengulang kata-kata Ruben mengenai saudaranya, Yusuf, “Anak itu tidak ada lagi, ke manakah aku ini?” “Yesusku tidak ada dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menemukan-Nya; tetapi ke manakah aku hendak pergi tanpa jantung hatiku?” Dengan airmata menetes tak henti, diulanginya kata-kata ini bersama Daud sepanjang tiga hari itu, “Airmataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: `Di mana Allahmu?'” Disinilah kita bisa melihat bahwa Maria setia mencari Tuhan.
-Hadapilah cobaan:
Ketika Beethoven berumur di ujung dua puluhan, tanda-tanda ketuliannya mulai tampak. Tak pelak lagi gejala ini amat merisaukan si komponis muda. Tuli buat seorang pencipta musik betul-betul suatu malapetaka. Suatu ketika timbul keinginannya mau bunuh diri saja. Telinganya cepat rusak pada usia 28 tahun, dan pada usia 44 tahun ia benar-benar menjadi tuli. Tapi di usia 55 tahun, ia masih menciptakan lagu-lagu rohani, sampai ia sungguh-sungguh tuli total.
Ia juga bukan orang kaya, ia miskin, sehingga sering menggadaikan barang-barangnya. Dalam kesedihannya ia menulis, "Aku merasa sepi, sangat sepi. Tetapi aku merasa Tuhan dekat." Beethoven banyak membaca buku renungan. Buku kegemarannya adalah Imitatio Christi (artinya: Meniru Kristus) karangan Thomas a Kempis. Walaupun Beethoven tuli, namun ia tetap produktif sepanjang hidupnya dengan menghasilkan begitu banyak simfoni, oratorio, opera dan sonata piano yang menakjubkan.
Lihatlah Bunda Maria, sebagai seorang wanita, dia juga kerap menghadapi cobaan: ia diolok-olok karena mengandung di luar nikah. Ia sempat akan ditinggalkan Yusuf ketika ia sedang menderita, waktu mau melahirkan tidak ada tempat karena mereka orang miskin dan akhirnya ia melahirkan di kandang domba, Anaknya ditolak oleh orang-orang Nazareth (Luk. 4:16,28) ia pernah tidak dapat menjumpai anaknya sendiri (Mat. 12:46). Ia pernah ditinggal mati suaminya, juga ditinggal mati oleh anak semata wayangnya.
-Yakinkanlah iman:
Pada usia 57 tahun, setelah menerima sakramen terakhir, petir dan halilintar menyambar-nyambar, semua orang menjadi benar-benar takut, tapi dia tidak takut, karena dia yakin bahwa Tuhan sudah dekat. Dia akhirnya meninggal di Wina tahun 1827 pada usia lima puluh tujuh tahun. Ia meninggalkan banyak aneka karya, termasuk 9 simfoni, 32 sonata piano, 5 piano concerto, 10 sonata untuk piano dan biola, serangkaian kuartet gesek yang menakjubkan, musik vokal, musik teater, dan banyak lagi.
Tetapi, yang lebih penting dari jumlah ciptaannya adalah segi kualitasnya. Karyanya merupakan kombinasi luar biasa dari kedalaman perasaan dengan kesempurnaan tata rencana. Beethoven memperagakan bahwa musik instrumental tak bisa lagi dianggap cuma punya nilai seni nomor dua. Ini dibuktikan dari komposisi yang disusunnya yang telah mengangkat musik instrumental itu ke tingkat nilai seni yang amat tinggi.
Maria juga pernah diyakinkan imannya, ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." (Lukas 1:28)
Akhirnya, dalam “Harper and Collin, Ensiklopedi Pendidikan Agama”, dinyatakan ada tujuh jalan menemukan Tuhan, salah satunya yakni lewat musik (Bdk. Mat 26:30). Semoga kita, seperti Beethoven juga bisa semakin menemukan Tuhan dan sekaligus belajar seperti Maria, menjadi cahaya bagi orang lain.
3.
"Nabi" – Nampakkan Tuhan, Arahkan Tujuan, Binasakan setan dan Ikuti Jalan Iman.
Dalam kacamata Islam, ada Hari Raya Maulid Nabi, ada hadist nabi. Dalam kacamata Kristiani, terdapat banyak nabi kecil (12 nama), serta juga ada nabi besar, ada nabi yang terdahulu juga nabi yang kemudian. Dalam dunia sosial politik, terdapat nabi modern, misalnya, Mgr Oscar Romero, Pr, Uskup Agung Elsalvador yang ditembak ketika sedang merayakan misa pagi karena beliau berani menyuarakan keadilan. Ada juga nabi palsu. Istilah ini bermula dari sebuah pengalaman ketika seseorang bekerja di istana, tapi hanya memberikan nasihat-nasihat dusta yang cuma menyenangkan raja (lih. 1 Raj18). Dalam dunia seni, ada seorang seniman dari Libanon, Kahlil Gibran pernah membuat sebuah buku berjudul, Sang Nabi. Ada juga lakon “Nabi Kembar”, arahan Arifin C. Noer yang diproduksi bersama Teater Kecil.
Seorang ahli seni instalasi, Arahmaiani pernah membacakan puisi di Dusun Ampel, Merapi. Ia berbicara tentang masa kecilnya, termasuk ''perlawanannya'' terhadap kekuasaan (laki-laki); “waktu kecil aku ditanya apa cita-citaku/aku jawab, aku ingin menjadi nabi/tapi bapakku marah/katanya/anak perempuan boleh menjadi apa saja/tapi tidak untuk menjadi nabi/sebab nabi hanya untuk para laki-laki….
Tapi, bagi saya, Maria, walaupun seorang perempuan, dia jelaslah juga adalah seorang nabi. Kalau begitu siapa itu nabi. Akar kata nabi, yakni: naba, yang berarti kabar/ berita/sabda. Nabi adalah orang yang mendapat kabar/berita/sabda. Dunia dan hidup kita diubah melalui berita, sabda yang datang dari Tuhan. Sudah tentu, berita tidak bisa mengubah dunia secara langsung. Sabda bisa mengubah dunia melalui perantaraan seorang "agen".
Dkl, untuk mengubah dunia, Allah membutuhkan manusia yang mampu memahami pesan-pesan-Nya. Itulah nabi! Nabi berarti agennya Allah (Ibrani: Nabiy, mempunyai dua arti: pertama, messenger (utusan) dan kedua, prophet (pembawa berita). Jadi Nabi berarti juga jubir/juru bicara atau jurkam/juru kampanye Allah. Yang dia sampaikan adalah sabda Tuhan. Nabi-nabi dipakai Tuhan, hidup untuk dan bahkan mati untuk Tuhan. Nabi menerima wahyu langsung dari Tuhan, Yeremia muda mengucapkan satu kalimat yang mencetuskan mentalitas seorang nabi: “jika aku tidak berbicara, bagai ada api yang terbungkus di dalam dadaku, artinya dia tidak akan tahan sampai dia mengutarakannya.”
Dalam kosakata Arab, seorang nabi juga mempunyai beberapa sifat, al: Siddiq, yakni benar antara perkataan dan perbuatan. Jadi nabi bukan pembohong. Amanah, yakni terpercaya. Jadi nabi bukan pengkhianat. Fathonah, yakni cerdas, rajin. Jadi nabi bukan orang pemalas. Tabligh, yakni mau menyampaikan kepada orang lain. Jadi nabi itu tidak pelit tapi mau berbagi.
Saya juga yakin, kita semua dipanggil sebagai nabi. Nabi-nabi dalam kitab sucipun berasal dari pelbagai macam latar belakang. Amos misalnya, ia berkata, aku hanyalah seorang gembala, tapi karena Firman Tuhan tiba padaku maka aku berbicara. Dari kalangan bangsawan, seperti Yesaya. Ada yang menjadi Raja, seperti Daud. Ada yang berasal dari rakyat jelata seperti Yehezkiel Ada yang berintelektual tinggi seperti Daniel. Ada yang masih kecil, Samuel. Ada juga yang masih muda, Yeremia. Ada juga yang sudah berusia tua, Zakaria. Ada yang gagap, seperti Musa. Ada yang kaya, seperti Ayub. Ada yang miskin, seperti Yunus. Ada juga Yohanes pembaptis yang tinggal di padang gurun, dan Natan yang tinggal di istana raja.
Bagaimana, kita semua bisa menjadi nabi? Ada empat sikap dasar, yakni:
a.Nampakkan Tuhan:
Maria datang sebagai nabi yang ingin nampakkan Tuhan yang berkuasa. Lihatlah Injil Lukas 1:38, “aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu itu”. Setiap nabi dalam Kitab Suci seperti Maria, juga selalu berusaha untuk nampakkan Tuhan. Misalnya,
Yoel, nampakkan Tuhan yang penuh Roh Kudus.
Ayub, nampakkan Tuhan yang menguji.
Yunus, nampakkan Tuhan yang sabar.
Amos, nampakkan Tuhan yang penuh cinta akan keadilan.
Hosea, nampakkan Tuhan yang setia.
Obaja, nampakkan Tuhan yang marah.
Mikha, nampakkan Tuhan yang cinta terhadap orang miskin.
Zefanya, nampakkan Tuhan yang Murka. Ada juga nabi Natan yang berani. Nabi Salomo yang bijak. Dan ada juga nabi Daud, yang mempunyai kuasa suara merdu, kecerdasan akal, mengerti bahasa burung, dan bisa melembutkan besi serta suaranya pernah membuat 400 orang langsung meninggal dunia. Pertanyaannya, apakah kita juga sudah nampakkan wajah Tuhan kepada setiap orang yang kita jumpai?
b. Arahkan Tujuan:
Maria setia mengarahkan tujuan hanya ke Tuhan. Ketika ia berkata, “Apapun yang dikatakanNya kepadaMu buatlah itu” (Yoh 2:5). Setiap masa Prapaskah, ketika memasuki kota Yerusalem, ada sebuah lirik lagu tua yang penuh makna, “kujalani hidupku ini, tiada yang abadi, semua harta milik diri tiada yang sempurna”.
Banyak nabi juga setia untuk arahkan tujuan, misalnya Musa berani naik gunung Sinai untuk mendapatkan 10 Perintah Allah, Yohanes Pembaptis setia arahkan tujuan dengan berani menegur Herodes. Yunus tegas memperingati orang-orang Niniwe, Natan tegas menegur raja Daud, Amos juga berani menegur pemerintah.
Sudahkah kita juga mengarahkan tujuan? Yang pasti, saya pernah menonton sebuah film Italia tentang Santo Filipus Neri yang berjudul Siate Buoni Se Potete ("Jadilah baik, bila mampu"), dalam melodi lagu utama film itu, yang dinyanyikan oleh Angelo Branduardi masih terngiang-ngiang di telinga saya, liriknya yang didasarkan pada Pengkotbah 1:2: "vanita', tutta e' vanita' ..." ("sia-sia, segala sesuatu adalah sia-sia").
c.Binasakan Setan:
Saya yakin kalau hidup doa kita kuat, maka setan menjadi takut dan terbinasakan. Nabi Daniel, berdoa pagi hari, tengah hari dan sore hari. Nabi Daud berkata: "tujuh kali sehari aku memuji Engkau" (Mazmur 119:164). Seorang Edith Stein (St. Teresa Benedikta) mengatakan, Maria adalah "seorang Sponsa Christi” (mempelai Kristus). Disinilah, Edith melihat bahwa Maria adalah gambaran dari Gereja dan dari hakikat manusia.
Maria bisa binasakan setan dengan cara: menyerahkan segala pribadinya untuk mengabdi Tuhan, menjadi hamba Tuhan, menjadi milikNya, dan siap mengabdi. Maria yang selalu berada di samping Kristus. Maria yang mencintai Kristus. Pribadi Maria yang tulus, bersahaja, penuh iman, kasih, dan pengabdian inilah yang membuat dia bisa binasakan setan.
Ada sebuah kisah tentang seorang pendoa, begini kisahnya:
“Ketika kumohon pada Allah Kekuatan .Allah memberiku Kesulitan agar aku menjadi Kuat ..Ketika kumohon pada Allah Kebijaksanaan ..Allah memberiku Masalah untuk Kupecahkan .Ketika kumohon pada Allah Kesejahteraan ..Allah memberiku Akal untuk Berpikir ..Ketika kumohon pada Allah Keberanian .Allah memberiku Kondisi Bahaya untuk Kuatasi .. Ketika kumohon pada Allah Bantuan ..Allah memberiku Kesempatan ..Ketika kumohon pada Allah sebuah Cinta ..Allah memberiku orang-orang yg butuh bantuan untuk Kutolong .Aku tak pernah Menerima apa yang Kupinta ..Tetapi aku menerima segala yang Kubutuhkan ..”
D.Ikuti Jalan Iman:
Nabi Modern, Edith Stein, yang tadinya seorang atheis akhirnya menjadi seorang Katolik yang beriman bahkan sampai menjadi seorang martir karena cintanya untuk ikuti jalan iman kepada Kristus.Yunus mesti masuk ikan paus, Ayub ditinggal mati keluarganya, Yohanes dipenggal kepalanya di atas tilam, Yeremia dipenjara, Yesaya digergaji, Yesus juga mati disalib.
Yang pasti, 'di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan' [1 Yoh 4:18], juga, 'Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban' [2Tim 1:7]. Jadi kalau ada ketakutan, ya tidak ada kasih, kalau tidak ada kasih, ya tidak ada Allah di sana.
Tulisan ini saya tutup dengan sepenggal syair klasik Kahlil Gibran, dalam “Taman Sang Nabi” yang berkata:
“Kita semuanya saling tergantung satu sama lain dalam jalinan hukum cinta semesta, sejak purba tanpa ada batas masa. Oleh sebab itu, marilah kita hidup ramah dalam suasana mesra satu terhadap yg lain. Kita saling mencari ketika merasa seorang diri, selagi menyusuri jalan yang sepi, atau di saat sunyi, tiada tungku penghangat badan yang alami ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar