Ads 468x60px

Di antara Mendut dan Muntilan


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
Di antara Mendut dan Muntilan
(Burung Kutilang - Burung Perkutut)
Prolog
Selain di wilayah Kalimantan Barat,Sumatera Utara, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua, umumnya umat Katolik adalah minoritas yang tinggal tersebar (terdiaspora).
Dalam kondisi demikian salah satu tantangan yang dihadapi oleh orang muda Katolik adalah sulitnya menemukan jodoh seiman. Bahkan, tidak sedikit OMK yang kemudian justru meninggalkan Kristus dan Gereja-Nya karena mengikuti pasangan hidup yang tidak seiman.
Dalam realitas pastoral demikian, apa yang bisa dilakukan oleh Gereja, secara khusus bagi para karyawan dan wirausahawan muda Katolik yang belum menemukan calon pasangan hidup seiman?
Refleksi berikut ini bertitik tolak dari pengalaman pastoral dengan konteks Keuskupan Malang; namun, semoga dapat memberi inspirasi di tempat-tempat lain, sehingga banyak orang muda Katolik dapat terbantu menemukan pasangan hidup yang seiman.
1.
Menimba Inspirasi dari Romo Van Lith SJ.
Pada tahun 2013-2015 selama sembilan kali Pusat Pastoral Keuskupan Malang menyelenggarakan Week End Guru Katolik yang melibatkan para guru beragama Katolik dari lintas paroki dan yayasan. Salah satu sessi dalam week end Guru ini adalah nonton bareng film Betlehem van Java yang mengisahkan kiprah Romo F. Van Lith SJ dalam memulai dan memperjuangkan misi di tanah Jawa dengan pengalaman jatuh-bangunnya.
Salah satu adegan yang mengesan dan terungkap dalam sharing para peserta adalah skenario yang dibikin oleh Romo Van Lith agar murid-murid dari sekolah calon guru di asrama Muntilan sering mengadakan kegiatan bersama dengan murid-murid sekolah kecakapan putri di asrama Mendut. Kedua asrama itu berjarak sepuluh kilometer.
Dari aneka perjumpaan dan kegiatan bersama itu, Romo Van Lith berharap bahwa para murid kedua asrama itu bisa menemukan jodoh seiman dan kemudian membangun keluarga Katolik.
Kekatolikan yang baru mereka kenal dan terima di asrama Mendut dan Muntilan itu perlu diperkokoh melalui pembentukan keluarga-keluarga Katolik diantara umat baptisan baru itu. Dari keluarga-keluarga guru muda inilah diharapkan gereja-gereja kecil akan terbentuk dan siap diutus ke segenap pelosok pulauJawa, bahkan luar Jawa.
2.
Realitas Pastoral di Keuskupan Malang.
Menanggapi tayangan film tersebut, salah seorang peserta Week End Guru Katolik mengungkapkan kegundahannya, “Saya prihatin dengan sulitnya anak muda Katolik menemukan jodoh seiman. Mungkin kita bisa memikirkan untuk besanan agar anak-anak kita menemukan jodoh seiman.” Usulan tersebut bukanlah hal yang mengada-ada, justru berangkat dari realitas pastoral di wilayah Keuskupan Malang, dimana umat Katolik di keuskupan Malang hanya sekitar 0,6% dari populasi, dan itu pun 40%-nya terpusat di dekenat Malang kota. Selain di kota Malang dan kota Jember, umumnya umat Katolik hanyalah minoritas, terlebih yang tinggal di stasi-stasi.
Hal ini berbeda dengan umat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), yang notabene jumlah umatnya lebih banyak dari gabungan umat Katolik Keuskupan Malang dan Keuskupan Surabaya. Umat GKJW kebanyakan tinggal mengelompok di desa-desa Kristen sehingga mereka tidak terlalu kesulitan untuk mempertemukan anak mudanya sehingga mereka bisa menemukan jodoh seiman.
Ada seorang pengurus lingkungan di paroki Jember sampai berpikir mau mundur dari pelayanan karena merasa malu bahwa anaknya meninggalkan gereja untuk menikah dengan non Kristen. Inilah realitas pastoral yang kerap terjadi, kendati terus-terang saya tidak bisa menunjukkan data persis berapa anak Katolik di Keuskupan Malang yang telah menyeberang atau menjadi mualaf karena perkawinan.
Yang pasti, cukup banyak umat Katolik di dekenat Madura dan Regio Timur menjadi umat yang terdiaspora (sebagai minoritas yang tinggal tersebar), apalagi setelah lulus SMP banyak yang kemudian meninggalkan kampung halamannya untuk studi dan kerja.
Umumnya mereka akan berpindah ke kota seperti Jember, Malang, atau Surabaya. Puji Tuhan apabila di tempat yang baru anak-anak muda ini menemukan lingkungan pergaulan sesama anak Katolik entah di sekolah ataupun di paroki barunya.
Namun, apabila di paroki barunya pun, mereka tidak terlibat dalam kegiatan gereja alias hanya pergi ke gereja pada hari Minggu, mungkin mereka akan tetap menjadi anonim.
Di paroki besar dengan beberapa kali misa hari Sabtu-Minggu bisa jadi mereka akan berselisih jalan dan tak pernah berkenalan. Sementara orang muda Katolik yang sudah bekerja biasanya sudah enggan kumpul-kumpul dengan OMK paroki yang umumnya anak-anak SMU dan kuliahan. Mereka sebenarnya juga membutuhkan rekan-rekan seiman yang bisa nyambung diajak komunikasi. Belum lagi irama jam kerja mereka (jam kantor, lembur, ship-ship-an) berbeda dengan mereka yang masih sekolahan (ritme UTS-UAS, liburan, dsb).
Alhasil, para pekerja Katolik ini lebih sering berinteraksi dengan rekan-rekan kerja dan rekan bisnisnya, yang notabene kebanyakan juga non Katolik. Maka tak heran bila kemudian mereka justru menemukan jodoh yang tak seiman atau sengaja memilih tetap melajang karena belum juga menemukan jodoh seiman. Mereka tidak segera menemukan “pacar”, kendati secara materi sebenarnya sudah siap, penampilan tidak mengecewakan, dan beberapa juga ada yang mendekati, namun mereka masih merasa tidak sreg karena tidak seiman.
Gereja Katolik memang memungkinkan kawin campur beda gereja ataupun beda agama; namun terkadang orang muda Katolik harus berhadapan dengan calon mertua dan keluarga besar yang fanatik. Ujung-ujungnya keluarga calon tidak merestui pemberkatan nikah di gereja. Dalam situasi demikian, apalagi kalau sudah merasa saling mencintai dan berpacaran lama, tidak sedikit OMK yang kemudian menjadi kalah dan meninggalkan gereja Katolik demi pasangan hidupnya.
Fenomena OMK meninggalkan gereja demi pasangan hidupnya, tidak hanya terjadi pada mereka yang jarang aktif dalam kegiatan gereja. Bahkan para aktivis OMK paroki pun tidak kebal akan “ancaman”ini. Sewaktu menjadi frater tahun pastoral, saya kerap runtang-runtung dengan ketua OMK suatu stasi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan OMK, tetapi dua tahun kemudian saya dengar dia kecanthol(terpikat) anak jilbaban dan meninggalkan gereja! Makjleb, rasanya! Tetapi saya juga tidak mau menghakimi, realitanya memang sebagai minoritas mereka tidaklah memiliki banyak pilihan.
Sekedar ilustrasi, saat SMP saya bersekolah di SMPN 1 Kencong-Jember, dari 264 anak seangkatan saya, cuman saya yang Katolik. Kegalauan ini tidak terlalu menjadi pergumulan saya, karena saya pengin jadi romo, dan selepas SMP langsung masuk Seminarium Marianum di Malang.
Tetapi saya bisa merasakan bagaimana kegalauan rekan-rekan muda ini, terlebih yang ada di komunitas-komunitas diaspora Keuskupan Malang. Demikian pula di keuskupan-keuskupan dimana Katolik merupakan umat minoritas.
3.
Jodoh Seiman: Salah Satu Bentuk Keselamatan yang Konkret.
Tentu muda-mudi Katolik juga mengidealkan bisa menemukan jodoh seiman karena mereka bisa membangun keluarga dengan berlandaskan cinta dan iman yang sama. Pergumulan mereka akan relatif lebih sedikit dibandingkan mereka yang kawin campur, apalagi yang terpaksa belum bisa menerima pemberkatan gerejani.
Di lain pihak, Gereja Katolik juga tidak mengajarkan paham Muslim bahwa jodoh di tangan Tuhan. Kalau demikian halnya, berarti (calon) suster, bruder, dan pastor itu tidak mendapatkan jatah jodoh donk! Paham jodoh di tangan Tuhan, justru kerap dijadikan pembenaran untuk praktek kawin-cerai dan poligami! Para artis yang bercerai pun berdalih bahwa mantan suami/istrinya itu bukan jodoh yang dari Tuhan!
Sebaliknya, kita diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup, entah hidup berkeluarga, hidup selibat demi Kerajaan Allah, ataupun hidup sebagai jojoba (jomblo-jomblo bahagia). Dengan siapa seseorang menikah, dia memiliki kebebasan memilih dan menentukan. Tetapi sekali sudah bergandengan tangan ke altar dan diberkati Tuhan, berlaku prinsip, “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia!” (Mat19:6).
Dalam iman Katolik kita mengimani adanya penyelenggaraan ilahi, dimana Tuhan berkenan menyertai (bdk. Mat 28:20) dan memberkati usaha manusia. Tidak ada ceritanya, sekedar berdoa novena, sang pangeran berkuda akan muncul untuk meminang!
Rahmat Tuhan mengandaikan usaha manusia; seperti halnya lima roti dan dua ikan yang mesti kita persembahkan. Maka berkaitan dengan memohon campur tangan Tuhan, saya bisa memaklumi bahwa menemukan jodoh seiman ini juga hal yang boleh dan perlu dimohonkan pada Tuhan (lih. Doa Mohon Teman Hidup yang Tepat, di Madah Bakti no. 25-26).
Saya teringat saat penelitian Malam Jumat Legi di Pohsarang pada tahun 2001, salah satu intensi misa yang dibacakan adalah “agar mendapatkan pasangan hidup yang seiman, tampan, mapan, dan berkepribadian” (mungkin maksudnya punya mobil pribadi, rumah pribadi, dll hehe).
Ternyata dari penelitian kami pada malam Jumat Legi di Gunung Kawi pun, jodoh juga merupakan intensi yang banyak dimohon para peziarah Gunung Kawi, selain harta dan pangkat/kuasa! Bahkan sinetron-sinetron Indonesia seakan membenarkan adagium “cinta ditolak, dukun bertindak!” Walaupun sang dukun bertindaknya pun tergantung pada sajen dan refill sajennya!
Sampai-sampai seorang OMK paroki Blimbing pernah berseloroh pada saya, “Mbok saya dikasih sakramen pengasihan, Romo!” Saya hanya menanggapinya dengan senyum, “Cari sendiri ya, ntar saya yang memberkati.”
Tetapi, dalam doa Bapa Kami pun Tuhan Yesus mengajak kita memohon sesuatu yang konkret, “Berilah kami roti(Yunani: artos) pada hari ini,” maka memohon campur tangan Tuhan soal jodoh seiman bukanlah hal yang berlebihan. Ini merupakan salah satu bentuk keselamatan yang konkret. Tetapi untuk itu, Tuhan juga menuntut usaha dan kerjasama dari pihak kita.
4.
Menemukan Jodoh Seiman dalam Kitab Suci.
Kalau kita menyimak kisah-kisah dalam Kitab Suci, kerap jodoh seiman pertama-tama dikaitkan dengan kerabat atau bangsa sendiri. Abraham yang telah mengembara meninggalkan Haran, kampung halamannya, dan menetap di Kanaan, mengutus hambanya, Eliezer, untuk mencarikan istri bagi anaknya, Ishak, bukan dari perempuan Kanaan melainkan di antara kaum kerabat Abraham sendiri (Kej 24:3-4).
Demikian pula dengan Yakub, setelah dengan licik merebut hak kesulungan dari kakaknya, disuruh ibunya melarikan diri kepada Laban, pamannya. Akhirnya, dia berhasil meminang kedua putri pamannya dan memboyong mereka.
Sementara Tobia yang hidup di masa pembuangan Asyur, diutus ayahnya yang menderita kebutaan untuk mengambil uang ayahnya yang dititipkan pada Gabael di negeri Media. Sebelum berangkat Tobia dipesani banyak hal oleh ayahnya, salah satunya mesti mengambil istri dari kaum kerabat atau
suku sendiri (Tob 4:12). Singkat cerita, dengan bantuan malaikat Rafael yang menyamar, Tobia tidak hanya berhasil mengambil uang ayahnya, tetapi juga mengambil Sara sebagai istrinya dan membawakan obat untuk kesembuhan ayahnya. Setan Asmodeus yang telah membunuh ketujuh suami Sara sebelumnya, berhasil diusir oleh Tobia berkat bau jantung ikan yang dibakar. Empedu ikan itu pula yang kemudian menyembuhkan kebutaan ayahnya.
Akan tetapi, Perjanjian Lama juga menampilkan tokoh-tokoh yang mengambil istri dari bangsa lain. Yusuf menikahi perempuan Mesir, bernama Asnat, anak seorang imam di On (Kej 41:45).
Musa memperistri Zipora, anak seorang imam bangsa Midian (Kej 3:15-22). Menurut kesaksian Bil 12:1, istri Musa adalah seorang perempuan Kusy, Etiophia,sehingga kemudian dipersoalkan oleh Miriam, kakak Musa. Tetapi justru Miriam yang kemudian dihukum Tuhan dengan penyakit kusta.
Memang kita juga melihat dampak negatif dari perkawinan dengan bangsa lain. Simson dikhianati istrinya,Delila, yang berasal dari bangsa Filistin (Hak 16). Raja Salomo banyak memperistri perempuan asing untuk mengokohkan kekuasaannya; tetapi hal ini berakibat pula masuknya penyembahan berhala yang dibawa oleh istri-istri asing Salomo itu, bahkan dia sendiri kemudian mengikuti istri-istrinya dan jatuh pada penyembahan berhala (1 Raj 11).
Demikian pula permaisuri Raja Ahab, Izebel, seorang putri raja Sidon membawa penyembahan dewa Baal ke negeri Israel (1 Raj16:29-33). Penyembahan berhala yang dipelopori oleh para istri dari bangsa asing ini menyebabkan bangsa Israel mengalami kekalahan perang, bahkan kemudian dibuang ke negeri Asyur dan Babel. Maka orang-orang yang kembali dari pembuangan Babel berusaha untuk memurnikan keturunan bangsa Yahudi. Imam Ezra yang kembali dari pembuangan Babel ke Yerusalem menyuruh orang Yahudi mengusir istri mereka yang berasal dari bangsa lain beserta dengan anak-anak mereka (Ezr10)!
Tindakan keras Ezra ini agaknya kemudian disindir oleh penulis kitab Rut, yang menuturkan kisah moyang Raja Daud, yang sebenarnya berasal dari bangsa Moab. Rut telah diperistri oleh orang Yahudi dari Betlehem yang mengembara di Moab. Setelah mertua dan suaminya meninggal, Rut tetap mengikuti Naomi, ibu mertuanya dan berkata, “Jangan desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau…bangsamulah bangsaku dan Allahmulah, Allahku” (Rut1:16).
Pengenalannya akan keluarga suami dan iman mereka membuat Rut sepenuhnya memeluk iman Yahudi.
Dalam Perjanjian Baru, kita mengenal tokoh Timotius yang memiliki ayah seorang Yunani dan ibu Yahudi (Kis 16:1).
Berkaitan dengan perkawinan dari orang yang salah satunya kemudian menjadi Kristen, Paulus menasihatkan agar mereka tidak meninggalkan pasangannya yang belum tertarik pada kekristenan agar anak-anak mereka juga dikuduskan (1 Kor 7:10-14).
Sementara untuk memilih pasangan hidup, Paulus menganjurkan supaya memilih yang seiman, “Janganlah kamu merupakanpasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya” (2 Kor6:14). Nasihat Paulus ini menjadi inspirasi untuk sakramen perkawinan darikedua orang terbaptis (bdk. Kanon 1061).
5. Memfasilitasi Pertemuan Karyawan-Wirausahawan Muda Katolik.
Idealnya orang muda Katolik memang menemukan jodoh seiman. Tetapi situasi hidup mereka, khususnya di wilayah Keuskupan Malang, kerap tidak memungkinkan mereka bisa saling bertemu dan berkenalan.
Maka soalnya sekarang adalah bagaimana agar para karyawan muda Katolik yang masih lajang dari lintas paroki dan profesi itu bisa dipertemukan sehingga mereka bisa saling bersosialisasi.
Pada era tahun 1980-1990 di kota Malang memang ada kelompok karyawan muda Katolik (KKMK), tetapi setelah itu tidak terdengar lagi kiprahnya.
Menyadari situasi demikian, waktu itu saya merenungkan bahwa Gereja perlu mengawali dan menginisiasinya, sementara untuk kelanjutannya para karyawan muda itu akan mampu melanjutkan secara mandiri karena mereka sudah dewasa dan memiliki penghasilan sendiri. Mereka akan sanggup mengadakan kegiatan tanpa merepotkan keuangan paroki.
Sementara soal status lajang dan belum punya pacar, bukanlah hal yang utama, bahkan menurut saya kurang terlalu etis untuk disinggung-singgung, apalagi sengaja dikibar-kibarkan! Kalaupun kemudian dari proses berinteraksi dan bersosialisasi ini mereka yang lajang berhasil menemukan jodoh seiman, syukur kepada Allah. Itu adalah “buah-buah sampingan”.
Sementara yang utama adalah tersedianya wadah bagi para profesional (karyawan dan wirausahawan) muda Katolik untuk bertemu, bersosialisasi, dan saling menguatkan iman.
Kebetulan waktu itu saya dipercaya untuk menangani Karya Kepausan Indonesia Keuskupan Malang (2011-2016), dimana tugas utamanya adalah menganimasi segenap umat akan tugas misionernya.
Para karyawan dan wirausahawan muda ini juga menjadi salah satu sasarannya, sebab mereka pun perlu disadarkan akan panggilannya untuk mewartakan Injil di tempat kerjanya, yakni melalui kesaksian hidup (LG 35) dan juga kata-kata (AA 10).
Dengan dibantu para alumni KKMK kota Malang era 80-90an, pada hari Sabtu-Minggu, 16-17 Februari 2013, KKI Keuskupan Malang menyelenggarakan Week End Karyawan Muda Katolik Keuskupan Malang, dimana mereka mendapatkan materi tentang tugas misioner karyawan muda Katolik, Spiritualiatas Kerja, dan Kawin Campur menurut Hukum Gereja dan Hukum Sipil. Acara ini juga dihadiri oleh Pengurus Pusat KKMK dari Jakarta.
Terus-terang saat itu saya merasa bahwa acara Week End Karyawan Muda Katolik ini adalah kegiatan KKI yang gagal, pasalnya dari target peserta 40 orang hanya terhimpun 17 orang; sehingga saldonya menjadi defisit karena sebelumnya saya mengandaikan bahwa acara ini bisa mandiri. Tetapi di luar dugaan saya, apa yang saya anggap sebagai kegagalan, ternyata dipakai dan dilipatgandakan oleh Tuhan sendiri.
6.
Komunitas Yusuf Pekerja: Wahana Profesional MudaKatolik.
Padaakhir kegiatan Week End KKMK itu para peserta memang diharapkan untuk berproses lebih lanjut secara mandiri.
Dan syukur kepada Allah, para alumni Week End ini kemudian sungguhan mengadakan pelbagai kegiatan follow up, seperti kongkow bareng, mbolang (rekreasi dengan jalan-jalan) bareng, dan juga menggelar aksi solidaritas.
Mereka juga mengajak orang-orang baru bergabung. Selanjutnya mereka menamakan diri sebagai Komunitas Yusuf Pekerja, sebuah komunitas profesional (karyawan dan wirausahawan) muda Katolik yang meneladan St. Yusuf, pelindung para pekerja.
Komunitas ini dimaksudkan agar para profesional muda Katolik bertumbuhdalam Spiritualitas Katolik, semangat persaudaraan, dan pelayanan bagi sesama.
Sementara status mereka yang sama-sama lajang memungkinkan mereka untuk merasakan situasi dan pergumulan yang sama. Para anggota komunitas berinteraksi baik melalui medsos maupun kopi darat dengan kongkow-kongkow kopi darat di markas atau kafe-kafe.
Dari aneka diskusi informal itulah, lahir ide-ide brilian untuk kegiatan mereka. Salah satu event tahunan yang digelar oleh KYP adalah kegiatan Reborn, sebuah kombinasi kegiatan rekoleksi dan outbond; yang diharapkan membuat para pesertanya dapat “lahir kembali” sehingga makin bersemangat dalam bermisi di tempat kerja.
Uniknya, para peserta Reborn selanjutnya akan direkrut untuk menjadi panitia untuk event-event berikutnya maupun menjadi panitia pada Reborn berikutnya. Pada Sabtu-Minggu, 19-20 Agustus 2017 ini akan diselenggarakan Reborn 4 di PusatSpiritualitas Pasionis Malang.
Adapun event tahunan lainnya yang mereka selenggarakan adalah Misa Natal untuk para profesional muda dan perayaan ultah KYP.
Sementara aktivitas lain yang telahmereka gelar coba saya rangkum berikut ini dari website mereka: kitakyp.com.
- Kegiatan Rohani:
Selain Misa Natal untuk profesional Muda setiap tahunnya, mereka juga mengadakan pendalaman Kitab Suci untuk mengisi BKSN (28 Sept 2014), masa Adven (7 dan 14 Desember 2014), dan masa Prapaskah (8 Mrt 2015). Mereka juga menyelenggarakan sharing kitab suci (September 2015) dan doa Rosario bersama di Puspas Unio (19 Oktober 2015), pendalaman Iman dan Rosario (17 Mei 2017) dan sharing dan pendalaman iman di gedung Yayasan Karmel (14 Juni 2017).
- Beberapa kegiatan rohani dikemas satu paket dengan rekreasi, seperti Cangkrukan Iman dan Rafting di Batu (22-23 Sept 2013), Ziarah ke Sendang Purwaningsih dan dilanjutkan rekreasi ke pantai Ngliyep (Okt 2013).
- Kegiatan rekreasi bersama untuk mempererat persaudaraan di antara mereka, seperti ke obyek-obyek wisata di Batu (27 Juli 2014), ke Agrokusuma Batu (30 Ags 2015), dan ke pantai Segara Anakan (1 Okt 2016).
- Beberapa pelayanan sosial yang diberi tajuk: KYP Care juga digelar, antara lain:
- Menjelang malam Valentine 2014 KYP merancang event charity untuk para gelandangan yang bermalam di jl. Gatot Subroto Malang, namun kemudian dialihkan untuk para pengungsi erupsi Gunung Kelud yang ditampung di kompleks Gereja Batu.
- Memberikan donasi untuk siswa dan guru dekat waduk Selorejo, Ngantang, yang ikut diterpa erupsi Gunung Kelud.
- Mengadakan pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi lansia di Panti Wredha Kevin (7 September 2014), dan penyerahan donasi sembako bagi warga Panti Wedha Kevin (21 Desember 2014).
- Memberikan sembako dan pakaian layak pakai ke panti sosial di Sukun (26 April 2015).
- Bekerjasama dengan Sahabat Anak Kanker, KYP berbagi kasih dan ceria bersama anak-anak penderita kanker di Rumah Sakit Syaiful Anwar (10 April 2016).
- Sementara KYP Care di bidang pendidikan dilakukan dengan berkunjung dan berbagi kasih dengan para siswa dan guru SDK St. Yohanes Kalipare (6 Mei 2017).
- Selain itu, KYP juga menyelenggarakan bakti profesi berupa Workshop dan Jurnalistik Fotografi di wisma kepemudaan (26 Maret 17).
Hal yang patut dicatat adalah dalam berkegiatan mereka mengandalkan iuran di antaramereka dan donasi dari para sponsor yang mereka galang.
Sementara peran KKI yang menginisiasi embrio komunitas ini, lebih bersifat informal dan supportif. Misalnya, saya hanya membantu memberi salah satu materi, memimpin misa penutupan kegiatan Reborn, atau sekedar memberikan berkat sebelum mereka berangkat ziarah.
Saat ini Komunitas Yusuf Pekerja menjadi salah satu organisasi Katolik yang mandiri di bawah koordinasi Kevikepan Kategorial Keuskupan Malang. Dan sejak 2015 perwakilan dari KYP juga mendapat undangan menghadiri Pertemuan Tahunan Keuskupan Malang.
7.
“Buah-buahSampingan” Kegiatan KYP
Dari aneka kegiatan KYP di atas, tampakjelas bagaimana para profesional muda Katolik ini mencoba untuk saling bertumbuh dalam spiritualitas Katolik, semangat persaudaraan, dan pelayanan bagi sesama.
Tentu di antara Anda ada yang ingin tahu, apakah kegiatan Reborn dan aktivitas KYP itu telah menghasilkan “buah-buah sampingan” sehingga diantara mereka ada yang berhasil menemukan jodoh seiman?
Dari alumni week end KKMK itu sudah menghasilkan buah pertama dan saya memberkati perkawinan mereka di Gereja Situbondo pada Mei 2014.
Selanjutnya menyusul pasangan-pasangan lainnya (antar peserta Reborn atau antara panitia dan peserta).
Bahkan ketika mulaimenempuh studi di Manila pun saya masih mendapat undangan via WA acara pemberkatan nikah alumni week end dan peserta Reborn!
Sampai saat saya menulis ini, setidaknya sudah ada 10 pasang yang telah menemukan jodoh seiman dan saling menerimakan Sakramen Perkawinan. Belum lagi yang sudah jadian dan hendak melangkah ke jenjang berikutnya.
Dan semoga Tuhan terus memberkati dan melipatgandakan kegiatan KYP sehingga juga makin banyak orang muda Katolik dibantu menemukan jodoh seiman.
Saya yakin, bila mereka telah “dibantu” oleh Gereja dalam prosesmenemukan jodoh seiman, keluarga baru ini kelak juga akan dengan senang hati melibatkan diri dalam pelayanan di Gereja.
8.
Peran Pastor (Paroki) dalam Pendidikan Persiapan Keluarga.
Pada bagian ini saya mencoba merefleksikan peran pastor (paroki) dalam pendidikan persiapan keluarga bagi kaum muda.
Melalui khotbah dan aneka pengajaran, pastor paroki mencoba menanamkan paham perkawinan Katolik kepada orang muda Katolik.
Selanjutnya, urusan praktisnya bagaimana orang muda Katolik menemukan jodoh seiman diandaikan urusan yang bersangkutan dan keluarganya.
Hal ini berbeda dengan tradisi pesantren, dimana beberapa santri meminta arahan sang kyai berkaitan dengan pemilihan calon istri, bahkan mungkin sang kyai terlibat langsung menjodohkannya. Sementara Pastor Paroki cukup menunggu sampai mereka datang berpasangan ke pastoran, melapor tentang rencana pernikahannya, ikut memberikan kursus perkawinan, mengadakan penyelidikan kanonik, dan memberkati perkawinan mereka. Lalu, pastor paroki mengunjungi keluarga baru itu dan membuka pintu kapan saja mereka mau berkonsultasi pasca nikah.
Seorang pastor memang selayaknya ambil jarak dan tidak memberi kesan menjadi “mak comblang.” Kendati beliau barangkali memiliki pengetahuan yang baik tentang latar belakang keluarga masing-masing calon, namun kesan di atas perlu dihindarkan agar tidak mempengaruhi kebebasan orang muda Katolik untuk mengambil keputusan.
Sebab bisa jadi ada perasaan tidak enak dalam diri mereka manakala dalam perjalanan pacaran, kemudian merasa tidak cocok. Apalagi bila kemudian setelah menikah ada sesuatu yang tidak mengenakkan, bisa jadi sang pastor yang memperkenalkan itu ikut dipersalahkan.
Akan tetapi, sikap pasif pastor (paroki) dalam hal ini bisa jadi menyebabkan orang muda Katolik tidak terbantu menemukan jodoh seiman.
Menurut hemat saya, pastor (paroki) juga perlu memikirkan dan memfasilitasi orang muda Katolik untuk saling bertemu, berkenalan, dan berbagi pengalaman iman.
Hal ini terlebih sangat dibutuhkanvoleh OMK yang tinggal di paroki-paroki dan stasi-stasi kecil dan terdiaspora.
Saya ingat sewaktu masih SMP, selalu mengikuti kegiatan dwibulanan Mudika Setarino (gabungan stasi pinggiran dari paroki Jember (Semboro-Tanggul) dan parokiLumajang (Umbulsari-Sukoreno) yang menjadi cikal bakal paroki Tanggul.
Dari aneka interaksi dalam mudika Setarino ini kemudian dihasilkan pasangan-pasangan seiman yang kemudian hari menjadi aktivis-aktivis paroki Tanggul. Kebutuhan akan wahana sosialisasi terlebih lagi dirasakan oleh para profesional muda yang masih lajang.
Kiranya bisa dipikirkan lebih lanjut, kantong-kantong perjumpaan para karyawan dan profesional muda Katolik yang berdekatan.
Di Keuskupan Malang, misalnya ada kantung perjumpaan dengan pusat di Genteng untuk wilayah kabupaten Banyuwangi, pusat di Jember untuk kabupaten Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang, dan pusat di Pasuruan untuk wilayah Probolinggo, Pasuruan, Pandaan, dan Lawang, dan pusat di kota Malang. Apabila peserta dari paroki dekenat Selatan Malang dan dekenat Madura terlalu sedikit, bisa gabung ke Malang kota atau Pasuruan.
Masing-masing keuskupan bisa memikirkan dimana kantung-kantung perjumpaan bagi para karyawan-wirausahawan muda ini perlu diusahakan.
Perjumpaan para karyawan dan wirausahawan muda Katolik lintas paroki demikian niscaya akan memberi suasana dan gairah baru. Jarak yang berdekatan juga memungkinkan mereka mengatur waktu kerja untuk mengikuti kegiatan week end dan aneka kegiatan follow up-nya.
Mengingat para karyawan danwirausahawan muda ini sudah memiliki penghasilan sendiri, dalam arti tertentu mereka bisa lebih mandiri dalam berkegiatan. Tentu dukungan dan support dari pastor paroki juga sangat diharapkan. Mereka akan senang manakala para pastor berkenan mendampingi kegiatan rohani mereka (seperti sarasehan atau pendalaman iman), memimpin misa, bahkan mungkin sekedar menengok atau memberikan berkat untuk perjalanan ziarah-rekreasi mereka.
Kedekatan dengan kaum muda ini juga memungkinkan pastor untuk mendengarkan curhat dan kegalauan hati mereka. Kadang mereka perlu dibesarkan hatinya dalam dinamika mendekati, memilah, dan memilih calon pendamping hidup. Diteguhkan dalam kebimbangan, terlebih bila jelas ada rasa cinta dan tiada halangan perkawinan. Diyakinkan akan janji penyertaan Tuhan berhadapan dengan aneka petung weton (ramalan berdasarkan perhitungan hari kelahiran), ramalan primbon, dan penentuan hari baik-hari buruk untuk penikahan. Lebih dari itu, peran yang diharapkan dari para pastor adalah doa-doa mereka agar orang muda Katolik bisa menemukan jodoh seiman dan membentuk gereja-gereja kecil nan bahagia.
(F.X.Didik Bagiyowinadi, Pr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar