Ads 468x60px


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
ORIENTASI BARU:
DINAMIKA RELASI MANUSIA DENGAN ALLAH
MENURUT THOMAS MERTON
Abstract
Merton’s thought on Christian’s involvement in human issues is the result of
his struggle in living spiritual life. At first, as a young monk he thought that in order
to meet God someone must break away from all sorts of problems that occur in
society. However, in subsequent developments, he discovered that when people
walked toward God through contemplation, where he had to detach his false self
and then discover his inner self, he will find that in his inner self a person is not only in unity with God, but also with his fellowmen. Thus contemplation is a sea of love where person is in unity with God and his fellowman. Contemplation is a dynamic experience of loving God animating a fraternal and peaceful life
Kata-kata kunci:
kontemplasi, pencarian, kesatuan dengan Allah, diri palsu, diri sejati, persatuan dengan sesama,
solidaritas.
1.
Pengantar
Thomas Merton (1915-1968) merupakan pribadi yang bergulat untuk menemukan hubungan antara kehidupan rohani dengan keterlibatan untuk membangun
kehidupan bersama di tengah berbagai persoalan kemanusiaan yang datang silih
berganti. Karya-karya yang ia hasilkan merupakan buah dari permenungan dan
pergulatan pribadi yang dengan tekun ia kumpulkan.
Baginya, hidup rohani
bukanlah sebuah teori atau pengertian yang ditemukan dari berbagai literatur.
Hidup rohani adalah pengalaman nyata, sebuah peziarahan untuk menemukan diri
(pribadi) yang sejati, yang dikasihi Allah. Pengalaman akan kasih Allah itulah yang
menggerakkan dia untuk berbagi kasih dan solider dengan sesama.
Thomas Merton secara serius merefleksikan pergulatan hidup pribadi yang
sangat panjang untuk menemukan Allah. Proses perkembangan pemikirannya
terjadi di dalam konteks kehidupan kerahiban.
Baginya, hidup rohani pribadi
menggerakkan untuk membangun hidup bersama yang bersaudara, solider dan
damai. Pemikirannya merupakan pencerahan bagi penghayatan hidup rohani di zaman ini agar hidup rohani sungguh relevan dan signifikan di tengah situasi zaman
Tulisan ini memaparkan dinamika relasi
manusia dengan Allah berdasarkan
refleksi Thomas Merton. Untuk bisa memahami pemikirannya, pentinglah mengenal
siapa pribadi Thomas Merton dan konteks pemikirannya. Merton menggambarkan
bahwa dari sisi manusia, dinamika relasi
manusia dengan Allah itu ditandai dengan
sebuah proses pencarian terus-menerus. Ia menggambarkan dinamika itu sebagai
peziarahan batin dan penemuan diri sejati.
Akhirnya, relasi dengan Allah yang
secara intensif dibangun dalam
kontemplasi membuahkan suatu gerakan hidup
dalam kasih terhadap sesama.
Pada akhir tulisan ini digarisbawahi pentingnya
pengalaman mengasihi Allah dan sesama yang membuahkan hidup bersaudara
yang damai
2.
Sekilas tentang Thomas Merton
Thomas Merton yang memiliki nama biara Fr. Louis OCSO (31 Januari 1915–10 Desember 1968) adalah seorang biarawan Trappist Amerika. Ia dilahirkan di Prades (Prancis).
Merton menulis lebih dari 50 buku, 2000 puisi, dan tidak terhitung jumlahnya esai, tinjauan, dan ceramah yang telah direkam dan diterbitkan.
Merton menjalani pendidikan di Perancis, Inggris dan Amerika. Ayahnya adalah seorang seniman dari Selandia Baru dan ibunya, seorang Quaker, berasal dari Amerika Serikat. Ibunya meninggal ketika ia berusia enam tahun dan ayahnya wafat saat ia berumur 16 tahun.
Setelah tahun pertama yang kacau di Universitas Cambridge, Merton pindah ke Amerika Serikat dan tinggal bersama kakek-
neneknya. Ia melanjutkan studinya di Universitas Columbia dan memperoleh gelar
sarjana dan master.
Merton menjadi Katolik pada awal usia 20-an tahun ketika ia sedang menyusun tesis masternya tentang William Blake. Setelah menyelesaikan studinya, ia mengajar
di Kolese St. Bonaventure, Allegany, New York. Pada masa itulah ia merasa terpanggil untuk menjadi seorang rahib.
Pada 10 Desember 1941 ia diterima di biara
Gethsemani dan mendapat nama Maria Louis. Setelah menjalani hidup kerahiban
selama sembilan tahun dan menyiapkan diri menjadi imam, ia ditahbiskan pada
tanggal 26 Maret 1949.
Pada tahun-tahun pertama di Gethsemani, sebagai seorang rahib muda, Merton mengolah hidup batinnya secara serius, seperti digambarkan dalam otobiografinya The Seven Storey Mountain.
Dia dengan tekun merenungkan dan menuliskan pergulatan pribadi dan pengalaman-pengalaman hidupnya di biara.
Dalam perjalanan hidupnya, Merton berkembang menjadi seorang penulis rohani
yang terkenal dengan perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan aktual
dan dialog dengan tokoh-tokoh
iman dari berbagai agama lain, antara lain dengan Dalai Lama.
Ia meninggal di Bangkok pada 10 Desember 1968 ketika sedang mengikuti konferensi tentang hidup membiara. Sejak kematiannya, pengaruhnya terus berkembang
dan ia dianggap oleh banyak orang sebagai seorang mistikus Amerika pada abad ke-20.
Beberapa bukunya yang terkenal adalah :
The Seven Storey Mountains,
The New Man, Seed of Contemplation, Contemplation in a World of Action
Beberapa catatan pribadi dan surat-suratnya juga telah dibukukan, diantaranya dalam :
Entering Silence, Learning to Love dan Hidden Ground of Love.
3.
KONTEKS PEMIKIRAN
Pemikiran Thomas Merton tentang masalah-masalah kemanusiaan tidaklah dapat dilepaskan dari pengalaman pribadinya. Kita dapat membedakan dua periode:
saat ia adalah seorang rahib muda di biara Trapis dan pemikirannya setelah tahun
1960
3.1
Sebagai Seorang Rahib Muda
Merton memasuki biara dengan tujuan memutuskan hubungannya dengan
dunia.1
Ia tetap memberi perhatian sedikit terhadap masalah-masalah dalam
masyarakat, namun hal tersebut dilihatnya dalam perspektif spesial. Keinginannya
yang menggebu-gebu untuk mengabdi Tuhan seutuhnya mendorong dia untuk
meninggalkan segala sesuatu termasuk perhatian terhadap berbagai masalah dalam
dunia. Semuanya itu dipandangnya sebagai “temporal necessities”. Ia berpikir
bahwa dengan meninggalkan semuanya itu ia dapat menceburkan dirinya ke dalam
karya cinta Allah yang tidak berbatas.
Karya tersebut yang akan mengubah dirinya.
Dunia dipandang sebagai penghalang. Pada masa awal hidup membiara, ia menulis
demikian, “sejak saya masuk biara, tidak pernah selintaspun keinginan dalam diriku
untuk kembali kepada dunia”.
2
Perkataan ini menunjukan semangatnya untuk
meninggalkan masalah-masalah dunia. Ia tidak pernah menginginkan apapun dari
dunia ini. Satu-satunya yang dirindukannya adalah Allah dan menemukan-Nya.
Untuk itu dunia sungguh-sungguh ditinggalkan
Merton ingin meninggalkan segala permasalahan dunia secara total karena
menurutnya dunia modern telah rusak dan bergerak menuju kehancurannya.
Dunia modern akan berakhir dengan tragedi.3
Beberapa ahli mengatakan bahwa
pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh kehidupannya dulu yang kacau balau.
Melalui pengalamannya yang tidak karuan itu ia menyadari bahwa hidup modern
adalah hidup yang merusak pribadi
manusia.
Penolakan Merton terhadap dunia dan berbagai masalahnya, didukung juga oleh pandangan tradisi monastik tempat di mana ia berada saat itu:
“The cloistered ideal then becomes an ideal of “pure contemplation in which
everything is organized in view of a state of perfect reconciliation: everything is
arranged so that one will entirely purified not only of attachment to the world but
even of all interest in it, all concern for it, all memory of it”4
Memutuskan hubungan secara total dengan dunia dan segala permasalahannya
adalah elemen penting dalam hidup monastik. Yang dituntut dari para rahib adalah sikap lepas bebas terhadap dunia, dan menghapuskan segala perhatian dan keprihatinan terhadap masalah-masalah yang ada di dalam dunia. Itu sebabnya askestisme tradisi ini juga mendorong para rahib untuk menghindari dunia (contemptus mundi).
Yang dimaksud Merton adalah meninggalkan dunia dengan segala permasalahannya untuk menemukan Allah. Manusia harus dibebaskan dari dunia sehingga ia mampu kembali kepada Allah. Cara yang biasa dipilih untuk meninggalkan dunia dengan segala permasalahannya adalah masuk biara
Pandangan monastik ini didasarkan pada gagasan bahwa dunia adalah sesuatu yang bertentangan dengan Allah.5
Dunia penuh dosa, berbahaya dan tidak
dapat diduga. Gereja memandang dirinya sebagai masyarakat yang menyangkal
dunia walaupun berada di tengah dunia. Dalam masyarakat yang seperti itu terdapat sekelompok orang yang secara profesional merupakan penyangkal dunia.
Keberadaan mereka merupakan tanda
contemptus mundi. Orang-orang ini berziarah
bersama mereka yang rendah hati dan miskin. Mereka dengan setia berjalan secara rohani untuk menemukan Allah agar hidup mereka dikuasai oleh Kristus. Menemukan Allah dan hidup dalam kuasa Kristus memotivasi Merton muda untuk menjadi rahib.
3.2
Sebagai Seorang Rahib yang “Dewasa”
Setelah menghayati hidup sebagai rahib sekitar dua puluh tahun, Merton mengalami perkembangan rohani yang mendalam. Relasi dengan Allah yang ia hayati dalam
kontemplasi di biara telah membarui pemahaman dan sikapnya
terhadap sesama serta segala permasalahan dunia. Pengalaman akan Allah membuat
dia memiliki cara pandang baru dan lebih mendalam terhadap sesama dan dunia.
Perubahan pemahaman dan sikap ini berawal dari pengalaman pribadinya di Walnut
and Grove tahun 1958.6 Di tempat itu tiba-tiba saja ia tenggelam dalam kesadaran
bahwa ia adalah anggota umat
manusia dan dunia secara luas. Sebagai bagian dari umat manusia, ia menyadari tanggungjawabnya terhadap sesama
manusia yang berada di luar komunitas biaranya.
Dari kesadaran inilah ia mulai terlibat dalam
masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi di dalam dunia saat itu. Dalam perjalanan waktu, ia mulai menyadari bahwa para rahib pun mempunyai tanggung jawab terhadap dunia dan masalah-masalah yang ada di dalamnya. Orang yang masuk dalam kontemplasi atau permenungan mendalam tentang Allah secara
bertahap akan sadar bahwa keheningan dan kontemplasinya tidaklah membuat mereka mengabaikan segala masalah dunia, tetapi justru membuatnya semakin peka akan penderitaan, ketidakadilan dan berbagai persoalan yang terjadi di tengah
masyarakat.
Dalam buku-bukunya, ia menyatakan bahwa keheningan yang sejati tidak membuat para rahib menjauhkan diri dari dunia, melainkan membawa mereka kepada dunia. Inilah yang dimaksud dengan kontemplasi, yaitu pengalaman akan Allah yang menumbuhkan tanggungjawab untuk terlibat dalam karya Allah yang membangun dan menyelamatkan dunia. Kontemplasi mendorong seseorang untuk
menjadi saksi akan kasih dan
solidaritas Allah terhadap
manusia dan dunia.7
4.
Manusia Mencari Allah
Merton menggambarkan pencarian
manusia akan Allah sebagai dinamika
peziarahan atau perjalanan batin
manusia dan proses penemuan diri yang sejati.
4.1
Perjalanan Batin
Gagasan tentang mencari Allah mempunyai kedudukan yang penting dalam spiritualitas Merton.8
Hal itu dapat dipahami dengan mudah apabila kita melihat kembali perjalanan hidup Merton. Seluruh hidupnya adalah pencarian akan Allah
Menurutnya, untuk menemukan Allah, kita perlu melihat ke dalam batin kita, bukan di luar dirinya melainkan justru di dalam dirinya. Karena Allah bertahta di dalam diri
manusia. Di situlah Ia sesungguhnya hadir. Manusia haruslah masuk ke dalam diri, menemukan diri sejatinya (true self) supaya ia dapat menemukan Allah.
Dengan kata lain, menemukan Allah, mencakup penemuan diri sejati manusia. Tanpa penemuan diri manusia yang sejati, manusia tidak dapat menemukan Allah. Penemuan
diri sejati adalah syarat agar seseorang dapat menemukan Allah
Pencarian akan Allah memiliki tiga ciri,9
Pertama, sejak permulaannya
pencarian ini merupakan anugerah Allah. Allah itu tinggal dalam diri manusia, dan Ia menawarkan diri-Nya sebagai anugerah bagi
manusia. Manusia hanya dapat sadar akan Allah dan mencari-Nya, dengan mendengarkan dan memberi perhatian seutuhnya bahwa ia dicintai dan dikenal oleh Allah juga dengan cara mengingat bahwa Allah memasuki eksistensinya.
Kedua,
manusia bisa seutuhnya dikuasai
oleh Allah, ia harus mengakui ketiadaannya (nothingness), menyadari ketidak berdayaannya. Kesadaran akan ketiadaaan ini akan diikuti oleh penyerahan hidupnya
kepada Allah. Dengan cara inilah, ia memperoleh dirinya yang terdalam dan yang
sejati sebagai citra Allah.
Ketiga, “manusia tidak dapat masuk ke dalam pusat dirinya yang terdalam dan melampaui pusat itu, jika ia tidak dapat melampaui
dirinya sendiri dan mengosongkannya serta memberikan dirinya pada sesamanya,
melalui cinta yang tulus dan murni.” 10
Itu berarti pencarian manusia ini bukanlah semata-mata bersifat manusiawi,
peran Allah sangatlah penting. Allahlah yang pertama-tama mencintai manusia, manusia dipanggil untuk membalas cinta-Nya. Balasan
manusia ini diwujudkan melalui pemberian diri dan dengan menyadari akan kehinaannya.
Balasan manusia ini dapat disebut juga dengan perjalanan batin sebab menyerahkan diri lahirahnya secara implisit menunjukkan bahwa
manusia masuk ke dalam batinnya. Di sana
ia akan menemukan dirinya, yang adalah citra Allah. Walaupun pencarian ini merupakan
pencarian batin, pencarian ini tidak bersifat
selfish sebab diri sejati manusia tidak dapat ditemukan terpisah dari sesamanya. Cinta dan pengosongan diri bagi sesama adalah elemen yang sangat berarti dalam pencarian ini.
4.2
Menemukan Diri yang Sejati
Membahas pencarian akan Allah dalam pemikiran Merton tidak lepas dari
problem diri yang merupakan bagian dari refleksi Merton. Agar dapat memahami
dengan jelas problem tentang diri, perlu kita dalami gagasan tentang diri menurut
pemikirannya. Ia membedakan dua “diri” (self) yaitu diri yang sejati (true self) dan
diri yang palsu (false self).
Diri yang sejati diungkapkan dengan berbagai sebutan, seperti “diri yang dalam”, “diri yang nyata,” “wajahku yang sejati”, “diri rohani”,
“diri sejati” dsb.11
Diri sejati bukanlah diri ideal; makhluk khayalan dan sempurna yang dibangun oleh kerinduan
manusia untuk menjadi besar, hebat dan tanpa batas. Diri sejati adalah diri batin yang tersembunyi, yakni hakekat manusia yang sejati. Hakekat ini merupakan realitas terdalam
manusia, yang didukung oleh kesatuan fundamental dengan Allah yang merupakan dasar dari hakekat tersebut. Manusia sesungguhnya tergantung pada Allah dan tanpa kehadiran Allah dalam hidupnya, manusia
sesungguhnya tidak ada. 12
Gagasan tentang diri sejati ini tidak lepas dari pemikiran Merton tentang manusia yang diciptakan sebagai citra dan gambar Allah. Kodrat sejati manusia adalah citra dan gambar Allah. Karena dosa asal, manusia jatuh ke dalam diri yang palsu.13
Kristus telah memperbaiki kodrat asli itu. Inilah identitas manusia sesungguhnya, yakni hidup dalam relasi yang mesra dengan Allah sebagaimana Kristus sendiri.
Dengan kata lain, identitas manusia terdapat dalam Kristus sebab hanya melalui dan dalam Dia, manusia dapat memperoleh hidup dalam diri sejatinya.
Sebaliknya diri yang palsu digambarkan oleh Merton dengan berbagai ungkapan: “diri atau pribadi yang ilusif”, “asap”, “topeng”, “diri lahiriah”, “identitas yang keliru” dsb.14
Menurutnya inilah keadaan manusia saat ini dan sayangnya, manusia tidak menyadari hal tersebut. Ia menulis, “Before we can realize who we really are, we must become conscious of the fact that the person we think we are,
here and now, is at the best an impostor and a stranger”.15
Manusia hidup dalam diri yang palsu yang merupakan bentuk keterasingannya dari identitas sejatinya, citra Allah. Keterasingan ini, sudah terjadi sejak orang lahir. Sejak awal hidupnya manusia harus menggunakan topeng. Yakni identitasnya yang palsu, yang menutup
eksistensinya. Penyebabnya adalah dosa asal.
Akibat dosa asal masih bertahan bahkan setelah seseorang menerima baptis.
Hal tersebut tampak dalam kecenderungan
manusia untuk terus menerus hidup
dalam ilusi yang bertentangan dengan realitas Allah. Diri palsu manusia inilah yang mengaburkan diri sejati.16
Diri palsu ini adalah diri lahiriah, empiris, dangkal dan tampak dipermukaan saja. Diri palsu ini meredupkan diri sejati manusia yang tersembunyi dalam cinta dan belas kasih Allah 17
Jati diri palsu ini memalsukan dan
mengacaukan eksistensi manusia sebagai citra dan kesamaan Allah. Pandangan Merton tentang diri palsu manusia ini dapat dipahami lebih mendalam melalui pandangannya tentang kejatuhan manusia dalam dosa.
Mengikuti pandangan Bapa-Bapa Gereja Timur, kejatuhan manusia ke dalam dosa merupakan
jatuhnya manusia dari kesatuan kepada perpecahan, dari kedalaman ke dalam kedangkalan, dari kesatuan dengan Allah ke dalam keterasingan dari-Nya.18
Akibatnya diri manusia yang palsu menutupi
diri sejati manusia. Manusia tidak mampu mengenal dirinya yang jati. Manusia dapat kembali kepada kesatuan dirinya dan
masuk dalam “communio dengan Allah melalui
kontemplasi karena kontemplasi “membangkitkan diri yang transenden dan dalam itu”. 19
Tidak seperti diri sejati manusia yang selalu tergantung pada Allah, diri palsu manusia menyatakan dirinya independen dan menjadi allah bagi dirinya sendiri.
Diri ini juga bertindak seolah-olah ia merupakan sumber dan mampu memenuhi dirinya sendiri. Ia memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya yang terbatas karena ia memandang dirinya sebagai pusat segala sesuatu.20
Hal tersebut merupakan suatu ilusi dan ketiadaan. Diri palsu ini merupakan suatu ketiadaan karena jati diri yang sejati ada dalam persekutuan dengan Allah. Manusia tidak
dapat tinggal di luar Allah pencipta dan sumber keberadaannya. Kekosongan telah membungkus diri palsu dengan kekuasaan dan kehormatan supaya menjadi tampak. Di dalam
diri palsu promosi diri (self assertion) menjadi
suatu yang sangat penting, Di bawah diri yang palsu itu manusia terus menerus
memperkokoh ilusi-ilusinya dengan cara mencari dan membesarkan dirinya.
Manusia membuat ketiadaan itu menjadi seolah-olah suatu yang nyata. Lebih
parahnya lagi, pencarian dan pembesaran diri ini kerapkali dilakukan dengan cara
mengorbankan sesamanya. Untuk mempromosikan siapa dirinya, seseorang harus menguasai sesamanya. Ia berusaha untuk menantang siapa saja yang dianggap
menghalangi dia untuk menyatakan dirinya dan inilah sumber konflik di antara
sesama manusia.21
Dalam usaha menegaskan keberadaannya,
diri palsu ini memberi tekanan pada
perbuatan-perbuatan lahiriah.22
Pencapaian menjadi sesuatu yang penting bagi jati diri ini karena semakin ia mencapai sesuatu ia menjadi semakin nyata. Tekanan
yang penting adalah hasil. Ia harus berbuat dan terlibat karena dengan demikian ia
akan mengalami dirinya sebagai sesuatu yang nyata. Kesulitan utama berkaitan dengan
diri palsu adalah kepura-puraan.23
Karena kesalahpahaman ini manusia berusaha terus mengisi dirinya dengan kemuliaan dan
berjuang untuk memperoleh kuasa, kehormatan dan cinta. Segala perjuangan ini
bertujuan menjadikan apa yang tidak real menjadi sesuatu yang real. Tetapi dengan
cara demikian, sesungguhnya ia menolak kenyataan sesungguhnya dari
diri palsu tersebut, yaitu:
“There is no substance under the things with which I am clothed. I am hollow
and my structure of pleasures and ambitions have no foundation. I am objectified
in them. But they are destined by their very contingency to be destoryed. And
when they are gone, there will be nothing left of me but my own nakedness and
emptiness and hollowness, to tell me that I am mistake”.24
Menurut Merton, diri palsu merupakan diri pada taraf ilusi dan tidak nyata.
Walaupun diri palsu tampaknya bersifat negatif, ia lebih netral. Menurutnya,
diri palsu tidak semata-mata sebagai penghalang manusia untuk hidup dalam diri yang asli melainkan bisa menjadi sarana membawanya menuju diri yang asli.
Orang-orang yang hidup dalam
diri palsu adalah orang yang terasing.25
Karena ia berbeda dengan apa yang yang dikehendaki Allah bagi manusia.26 Mereka seharusnya hidup dalam diri sejatinya, sebagai citra Allah yang sempurna dan hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Manusia yang hidup dalam kondisi keterasingan kerapkali tidak menyadarinya. Ia berfikir bahwa ia bebas dan dapat bertindak sebagaimana ia kehendaki. Ia membayangkan bahwa ia menjadi dirinya sendiri namun pada kenyataanya, ia dikuasai. Ia melakukan sesuatu karena ia dipaksa untuk melakukannya.
Akibatnya adalah kepahitan di dalam hidup, kebencian dan kekerasan. Dewasa ini banyak orang Kristiani hidup dalam situasi seperti ini. Mereka hidup dalam diri yang palsu itu dan mereka berebut untuk mencari pengakuan,
kekuasaan, kemuliaan dan kehormatan dan melupakan Allah yang tinggal dalam
dirinya. Mereka lupa akan panggilan
kebebasan anak-anak Allah. Beberapa ilmuwan
menunjukkan bahwa dunia modern menggelembungkan dan mempromosikan
diri palsu itu.27
Dampak keterasingan ini sangat hebat. Manusia zaman sekarang diperbudak
oleh khayalannya ideal masyarakat. Ia menjadi individu-individu yang tertutup di
dalam suatu kelompok masyarakat yang luas. Ia diperbudak oleh ilusi-ilusi dan
khayalannya dan dikorbankan oleh
pencarian diri, sikap hedonistik dan dorongan
serta nafsunya yang destruktif. Ia seorang budak. Ia adalah seorang budak yang
dengan ketaaatan buta mengikuti segala kekuatan material dan kesepakatan-
kesepakatan yang muncul dari masyarakat kolektif. Ia taat begitu saja pada pandangan umum tanpa sikap kritis. Ia kehilangan dirinya, jatuh dalam rutinitas, berada di bawah tekanan komersialisasi dan teknologi yang mengasingkannya. Itulah dampak yang berat dari diri manusia yang palsu.
Merton berpendapat bahwa setiap orang Kristiani dipanggil untuk menanggalkan
diri palsu dan menemukan
diri sejati. Mereka dipanggil untuk membebaskan diri dari penjara diri palsu ini. Dengan kembali pada diri sejati, ia menjawab panggilan Allah agar manusia hidup sempurna seperti Putra-Nya.28
Gerak tersebut pertama-tama adalah karya Allah untuk manusia dan di dalam
manusia. Allah yang berada di kedalaman eksistensi manusialah yang menarik
manusia masuk ke dalam kesatuan dengan-Nya
Perjalanan manusia menemukan
diri sejati akan membawanya kepada kebahagiaan dan kedamaian. Merton menulis sebagai berikut, “Therefore there is
only one problem on which all my existence, my peace and my happiness depend:
to discover myself in discovering God. If I find him I will find myself, and if I
find my true self I will find him”.29
Mengapa dikatakan bahwa penemuan ini
akan membahagiakan manusia? Sebab dengan menemukan Allah ia menemukan
dirinya yang sejati dan dengan menemukan dirinya yang sejati, ia menjadi
manusia sebagaimana ia dimaksudkan oleh Allah.
Dengan lain kata, ia menjadi manusia seperti Adam sebelum jatuh ke dalam dosa, di mana di dalam dirinya tidak ada kontradiksi. Ia terbebaskan dari kontradiksi.30
Dengan hidup tanpa kontradiksi ia
menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Seorang yang menemukan
diri sejati, akan menemukan kesucian dan keselamatannya. Mengapa demikian? Karena kesucian merupakan partisipasi pada
Allah yang kudus. Seorang menjadi kudus sejauh ia berada dalam
kesatuan dengan Allah. Hidup dalam diri yang sejati berarti hidup dalam Allah dan Allah di dalam dirinya. Itulah kesuciannya. Itulah keselamatannya. 31
5.
Dua Gerakan dalam Perjalanan Manusia Menuju Allah
Merton mengatakan bahwa setiap orang Kristiani dipanggil untuk menuju diri
sejatinya. Inilah perjalanan batin seorang Kristiani. Agar seseorang sampai kepada
Allah orang perlu menemukan diri sejatinya.
.Ada dua gerakan dalam perjalanan
batin ini, yang pertama adalah masuk ke dalam dirinya, menemukan diri sejatinya
dan kedua adalah mengatasi dirinya tersebut untuk menemukan Allah.32
Titik tolak perjalanan batin manusia menuju diri sejatinya adalah pengakuan bahwa ia terasing. Jika manusia menyadari keadaan tersebut, ia akan berusaha menemukan diri sejatinya. Penemuan diri sejatinya tidaklah dicari di luar dirinya, melainkan di dalam dirinya dengan menyadari bahwa ia berada dalam
kesatuan dengan Allah pada pusat eksistensinya.
Namun, kesadaran ini pun tidak bisa muncul apabila manusia tidak menyadari kehinaannya. Dibutuhkan disiplin spiritual agar manusia dapat melepaskan diri dari keterikatan akan dirinya yang palsu. Berbeda dengan Zen, yang berhenti pada penemuan diri sejati, perjalanan
batin seorang Kristiani tidak berhenti pada penemuan diri yang terdalam tersebut.
Penemuan tersebut merupakan batu pijakan menuju kesatuan dengan Allah. Allah
adalah pusatnya.
Namun demikian, kedua gerakan tersebut (mencari diri dan melampaui diri)
bukanlah dua gerakan yang terpisah atau dua gerakan yang bergantian satu sama
lain. Pada kenyataannya mereka bergerak bersamaan. Penemuan diri sejati manusia
pada saat yang sama merupakan penemuan Allah walaupun diri sejati manusia berbeda dengan Allah.33
6.
Kesatuan dengan Allah dan Sesama
Merton menegaskan bahwa pencarian diri sejati didapatkan melalui kontemplasi. Berbagai istilah digunakan Merton yang menegaskan pentingnya
kontemplasi. Ketika
manusia masuk dalam
kesatuan dengan Allah ia menemukan diri
sejatinya dan sekaligus kenyataan bahwa ia bersatu dengan sesamanya.34
Tidaklah mengherankan dalam pemikiran Merton, kesatuan manusia dengn Allah memiliki dimensi sosial. Bersatunya
manusia dengan Allah dan persatuannya dengan sesama berkaitan erat satu sama lain. Karena Allah adalah dasar segala sesuatu, maka semakin kita bersatu dengan-Nya dalam cinta semakin kita bersatu dengan sesama
kita.35
Tampak perbedaan yang tajam antara diri yang palsu dan diri sejati. Diri palsu tertutup dalam dirinya sendiri dan tidak mampu mencintai. Apabila ia berusaha menjalin relasi dengan sesamanya hanya dengan maksud memanipulasi mereka untuk tujuan dirinya sendiri. Diri palsu menggunakan sesama demi memuaskan keinginan-keinginan yang bersifat egoistis.36
Sebaliknya diri sejati, menerima kesatuan umat
manusia secara mendasar. Kesatuan kasih adalah salah satu karya dari diri sejati ini.
Berkaitan dengan kasih ini, gagasan pokok Merton adalah pendapat tentang manusia yang diciptakan seturut citra Allah. Karena Allah adalah kasih, manusia sebagai makhluk yang diciptakan seturut citra-Nya juga memiliki cinta sebagai identitasnya yang asli.37
Sebagai citra Allah, dirinya ditandai oleh cinta. Karena ciri sejati manusia adalah kasih. Tidaklah mengherankan bahwa sejak lahir manusia memiliki kemampuan untuk mencintai tanpa pamrih. Cinta kasih ini memungkinkan
manusia secitra dengan Allah sebab dalam kapasitas inilah manusia terbebas dari
segala penentuan. Cinta ini yang memungkinkan manusia mengasihi dengan begitu dalam dan berani mengorbankan diri demi yang dikasihinya. Dengan cara ini ia
mampu mengatasi cinta diri yang juga dimilikinya.38
Kemampuan mencintai seperti ini sangat penting dalam perjalanan manusia menuju dasar keberadaannya. Hanya jika ia mengasihi Allah dan sesamanya, manusia dapat menemukan diri sejatinya. Dengan mengasihi sesama tanpa pamrih, ia melepaskan diri egoisnya dan dengan demikian ia bergerak menuju diri sejatinya.
Di pihak lain, semakin ia menemukan diri sejatinya dan masuk dalam persekutuan dengan Allah di dalam kontemplasi, semakin ia mampu mengasihi sesamanya dengan kasih yang sempurna karena ia mengasihi sesamanya seperti Allah mengasihi mereka.
Dengan kata lain, berada dalam kesatuan dengan Allah membuat cinta manusia yang tanpa pamrih disempurnakan. Manusia mampu
mengasihi sesamanya dengan cinta kasih adikodrati.39
Merton berpendapat bahwa kontemplasi adalah communio sejati antara
manusia dengan Allah dan dengan sesamanya. Dalam kontemplasi manusia kembali kepada
identitasnya yang sejati, yakni citra Allah.
Sebuah cara berada yang sama sekali baru. Ia menjadi manusia baru dalam Kristus, karena dalam kontemplasi itu Kristus
sendiri telah mengubahnya. Manusia diubah karena cinta kasih Kristus, diresapi
dalam dirinya oleh Roh Kudus.
Transformasi ini tentu saja memiliki dampak pada relasinya dengan Allah dan sesama. Diresapi kasih Kristus, ia menemukan dirinya
dalam kesatuan dengan sesamanya. Mereka yang berada dalam kasih Kristus
mengasihi satu sama lain dan menyadari bahwa sesungguhnya Kristus yang
berada dalam diri merekalah yang mengasihi. Dalam Kristus pula mereka dibawa
kepada persekutuan dengan Bapa dan Roh Kudus. Inilah dimensi trinitaris dari
kontemplasi.
Karena Trinitas adalah lingkaran kasih abadi dan karena kasih Allah adalah
kasih tanpa pamrih,40 dalam
kontemplasi, ia pun mengambil bagian dalam
hidup trinitaris tanpa pamrih. Manusia mengasihi sesamanya juga dengan kasih
tanpa pamrih (selfless love).
Dengan kata lain, dalam kontemplasi manusia hidup seutuhnya untuk sesamanya dan Trinitas adalah model communio seperti itu. Ini
adalah communio manusia yang berada dalam Kristus, di mana mereka mengasihi sesamanya dengan kasih Allah sendiri. Karena itu jelaslah bahwa kontemplasi bukanlah “a heaven of separate individuals, each one viewing his own private intuition for God” tetapi kontemplasi adalah lautan kasih.41
Kesatuan dengan Allah dan sesama yang dialami dalam kontemplasi memiliki satu dasar yaitu cinta kasih (charity). Cinta kasih itu adalah hidup Kristus dalam diri manusia. Hidup Kristus itu yang memungkinkan manusia mengasihi sesamanya dan Allah. Karena sesungguhnya Kristuslah yang membawa orang tersebut
dalam kesatuan dengan kesatuan dengan sesamanya. Kristus bekerja dengan cara
demikian: Ia mencintai sesama kita melalui diri kita dan Ia mencintai kita melalui
diri sesama kita.42
Karenanya manusia semata-mata adalah instrumen Kristus, karena sesungguhnya Dialah yang mengasihi kita. Manusia dapat menemukan Kristus dalam setiap orang, dan setiap orang menemukan Kristus di dalam dirinya.
Dengan demikian, mengasihi sesama, terutama mereka yang paling membutuhkan,
sama dengan mengasihi Kristus sendiri. Merton menegaskan hal tersebut, “I must
learn that my fellow man, just as he is, whether he is my friend or my enemy, my
brother or stranger from other side of the world, whether he be wise or foolish, no
matter what he may be his limitation, is “Christ”.” 43
Apabila seseorang berani memandang sesamanya sebagai Kristus sendiri, ia
harus berani menerima mereka tanpa diskriminasi. Ia tidak peduli status, ras ataupun
kemampuan mereka. Tugasnya adalah menerima mereka dan mengasihi mereka
karena di dalam diri mereka dan kelemahan mereka, Kristus hadir. Sesungguhnya,
dengan memandang sesama sebagai Kristus sendiri, seseorang membawa dirinya
dan juga sesamanya yang dikasihi itu untuk hidup secara utuh di dalam Kristus. 44
Mereka yang melihat diri Kristus dalam sesamanya, menerima sesama itu
bukan sebagai benda melainkan sebagai pribadi. Relasi yang terjalin di antara
mereka itu serupa dengan relasi mereka dengan diri mereka sendiri. Kesamaan
derajat merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dielakkan. Dalam kasih seperti
ini, sesama tidak dapat diperlakukan seolah-olah mereka lebih rendah dari pada
orang yang mengasihi. Menghargai orang lain sederajat dengan diri kita berarti
juga memberikan kepada mereka otonomi dan menghargai mereka sebagai pribadi.
Sesorang dapat menghargai dan mencintai sesamanya demi kebaikan mereka hanya
apabila ia menghargai keheningan mereka
Kasih kepada sesama bukanlah sesuatu yang mengawang-awang. Ia tidak
dapat mengasihi sesamanya hanya dalam tahap gagasan. Untuk itu cinta harus
bersifat konkret. Cinta kasih kristiani ini kurang berarti apabila tidak disertai
tindakan kasih yang konkret. Apabila tadi kita berbicara tentang mengasihi sesama
seperti mengasihi Kristus, maka bisa dikatakan bahwa kita harus mengasihi Kristus
tidak secara abstrak melainkan dalam “tubuh dan darah”, yakni dalam hidup
yang nyata: cinta kepada Kristus diwujudkan dalam cinta kepada sesama dalam
situasinya yang konkret.45
Bagi Merton, mengasihi Allah dalam diri sesama hanya bisa apabila kita menunjukkan itu melalui tindakan yang konkret.
7.
Penutup
Merton dikenal sebagi penulis rohani yang memberi perhatian pada masalah-
masalah kemanusiaan. Kiranya, dari uraian di atas kita bisa mengetahui bahwa
pemikirannya berkembang melalui pergulatan hidup rohaninya. Dari pencarian akan makna
kontemplasi yang sesungguhnya ia akhirnya menemukan bahwa kontemplasi dan perhatian terhadap masalah-masalah kemanusiaan bukanlah dua hal terpisah, melainkan berkaitan erat. Semakin orang menemukan Allah, ia
semakin mampu melihat sesama dari sudut pandang yang paling dalam, yaitu cara
pandang kasih.
Pemikiran dan pengalaman rohani Merton relevan untuk membangun dan
mengembangkan visi spiritual yang membumi dan peduli terhadap realitas kemanusiaan. Spiritualitas bukan hanya perkara relasi individual manusia dengan Allah melainkan gerakan hidup yang didorong oleh nilai-nilai kasih persaudaraan.
Penghayatan hidup rohani yang bersumber pada kasih Allah akhirnya bermuara pada
kehidupan bersama yang saling mengasihi dan menumbuhkan serta mengarahkan
pada upaya kontinyu untuk mewujudkan perdamaian. Merton menunjukkan bahwa
kehidupan rohani yang mendalam terpancar dalam sikap dan tindakan yang penuh
kasih dan bersetiakawan dalam mengupayakan tata hidup bersaudara dan damai.
Bagi Merton, hidup rohani merupakan kekuatan pembaruan yang subur dan kaya bagi umat
manusia dan dunia.
(TerimaKASIH Rm Tunjung Kesuma untuk pencerahannya)
NB;
Catatan akhir
1
Pennington,
Thomas Merton, My Brother, His Journey to freedom, compassion and final integration, 25
2
Merton,
The Seven Storey Mountain, 383
3
Merton,
Entering the Silence, 236
4
Cunningham,
Thomas Merton and Monastic Vision, 27
5
Merton,
Contemplation in a World of Action, 131.
6
Merton,
Search for Solitude, 181-182, dalam Journalnya dia menulis sebagai berikut, “Yesterday, in
Louisville, at the corner of 4th, and Walnut, suddenly realized that I love all the people and that none
of them were, or, could be totally alien to me. As if waking from a dream - dream of my separateness,
of the “special” vocation to be different. My vocation does not really make me different from the rest
of men or put me in special category except artificially, juridically. I am still a member of human race-
and what more glorious destiny is there for man, since the Word was made flesh and became too, a
member of the Human race”
7
Shannon,
Silent Lamp, Thomas Merton Story,179.
8
Merton,
Living Bread, 97.
9
Higgins,
Thomas Merton on Prayer, 50-54.
10
Higgins,
Thomas Merton on Prayer, 52.
11
Malits,
Solitary Explorer: Thomas Merton’s transforming journey, 128.
12
Inchausti,
Thomas Merton’s American Prophecy, 176.
13
Merton,
New Seed of Contemplation, 12.
14
Merton,
New Man, 60.
15
Merton,
New Man, 73.
16
Merton,
Seed of Contemplation. 28.
17
Higgins,
Thomas Merton on Prayer, 85-86.
18
Shannon W,
Thomas Merton’s Dark Path, The Inner Experience of A Contemplative, 158.
19
Shannon W,
Thomas Merton’s Paradise Journey, Writings on Contemplation, 53.
20
Merton,
New Man, 101-102.
21
Bdk. Del Prete,
Thomas Merton and the
Education of the whole Persons. 36.
22
Finley,
Merton’s Palace of Nowhere, A Search for God through Awareness of the True Self , 35.
23
Merton,
New Seed of Contemplation, 33.
24
Merton,
New Seed of Contemplation, 33.
25
Merton,
Silent Life, 24
26
Shannon, W,
Thomas Merton’s Paradise Journey, Writings on Contemplation, 128-129.
27
O Keefe, M, “Merton’s True Self and the Fundamental Option”
Merton’s Annual
10 (1995). 246.
28
Bdk. Merton,
New Seed of Contemplation, 41
29
Bdk. Merton,
New Seed of Contemplation, 34.
30
Bdk. Merton,
Seed of Contemplation, 27.
31
Bdk. Merton,
New Seed of Contemplation,. 31.
32
Merton,
The New Man, 30.
33
Merton,
Inner Experienc, 10-11.
34
Shannon W,
Thomas Merton’s Paradise Journey, Writings on Contemplation,
52-56.
35
Merton.
Living Bread.
147.
36
Cashen,
Solitude in the thought of Thomas Merton, 78.
37
T Merton, Asian Journal, 49.
38
Mc Donell,
Thomas Merton Reader, 314.
39
Merton,
The New Man, 83.
40
Merton,
New Seed of Contemplation, 54
41
Merton,
New Seed of Contemplation, 52.
42
Merton,
The New Man, 135.
43
Merton,
Dispute Question, 119
44
Merton,
Dispute Question, 15.
45
Merton,
Love and Living, 143.

DAFTAR PUSAKA
Cashen, A.,
1981
Solitude in the Thought of Thomas Merton,
Cistercian Publication, Kalamazoo.
Cunningham, L., 1999
Thomas Merton and Monastic Vision,
Wiliam B. Eerdsmans Publishing Company, Cambridge.
Del Prete, T., 1995
Thomas Merton and the  Education at the Whole Person,
Religious
Education
Press,
BirminghamFinley, J.,1978

Merton’s Palace of Nowhere. A Search for God through Awareness of the True Self,
Ave Maria Press, Indiana
Higgins, J., 1973

Thomas Merton on Prayer,
Doubleday, New York.
Inchausti, R., 1998
Thomas Merton’s American Prophecy,
State University of New York, New York
Malits, E., 1989

The Solitary Explorer: Thomas Merton’s Journey,
Harper & Row, San Francisco.
Mc Donell, T., (ed)
1989

A Thomas Merton Reader,
Doubleday, New York.
Merton, T., 1949

Seed of Contemplation,
New Direction, New York.
1956
The Living Bread,
Farrar Strauss Cudahy, New York.
1971
Contemplative in A World of Action
Doubleday, New York.1973

The Asian Journal of Thomas Merton
,New Direction, New York. 1975

The Silent Life
Sheldon Press, London 1985
Dispute Question, Harcourt Brace,
Jovanovich, Orlando.
1985

Love and Living,
Harvest Book, San Diego.
1995
The Seven Storey Mountain
SPCK, London. 1996
A Search for Solitude, The Journal of Thomas Merton
Harper Collins, San Fransisco. 1997

Learning to Love
Harper Collins, San Fransisco. 1999

New Seed of Contemplation
Burn & Oates, Kent. 1999

The New Man,
Burn &Oates, Kent
Pennington, B.,1996

Thomas Merton My Brother: His Journey to Freedom, Compassion and Final
Integration
New City, London.
Shannon, W., 1981 

Thomas Merton’s Dark Path, The Inner Experience of A Contemplative
Farrar  Straus Giroux, New York.
Shannon, W., 2000

Thomas Merton’s Paradise Journey, Writings on Contemplation
 Burns & Oates.  Kent

Tidak ada komentar:

Posting Komentar