Ads 468x60px

SERI DOMINIKAN 15


SERI DOMINIKAN 15
Thomas Aquinas:
Riwayat dan Hikayat - Sejarah dan Anugerah
A saint is not what people want but rather what people need… (G.K. Chesterton, Saint Thomas Aquinas and Saint Francis of Asisi, San Franscisco: Ignatius Press, 1986)
Prolog
Thomas Aquinas (1225, Aquino, Italia – Fossanova, Italia, 7 Maret 1274) adalah seorang filsuf dan teolog dari Ordo Dominikan dan berasal dari Italia, yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan dan konon merupakan teolog skolastik yang terbesar. Ia yang adalah murid Albertus Magnus, dimana Albertus mengajarkan kepadanya filsafat Aristoteles sehingga ia sangat mahir dalam filsafat itu. Thomas Aquinas memberikan pencerahan tentang etika, teologi, dan epistemologi.
Menurut Jostein Gaarder dalam novel filsafatnya yang berjudul Dunia Sophie, menyatakan bahwa “Thomas Aquinas adalah filosof terbesar dan paling penting di abad pertengahan karena berhasil ‘mengkristenkan’ Aristoteles seperti halnya St. Agustinus ‘mengkristenkan’ Plato di awal abad pertengahan.
Karya Thomas Aquinas yang terkenal adalah "Summa Contra Gentiles" dan pastinya adalah "Summa Theologiae", yaitu sebuah buku yang merupakan sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen. Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.
1.
Thomas Aquinas dan Masa Kecilnya
Thomas Aquinas dilahirkan di Roccasecca (sekarang Lazio) dekat Napoli, Italia dalam keluarga bangsawan Aquino. Ayahnya bernama Landolfo dan ibunya Theodora dari Theate. Ayahnya adalah keturunan bangsawan Lombardi karena ibu dari ayahnya adalah saudari dari Kaisar Frederick Barbarossa. Ibunya juga keturunan bangsawan Norman dan putri bangsawan dari Teano. Keluarga Aquino mendaku masih memiliki relasi dengan St. Gregorius Agung dan masih satu darah dengan St. Louis dari Perancis dan Ferdinand dari Castile, juga kepada Norman Barons yang menaklukkan Sisilia di abad kesebelas. Semua garis kebangsawanan, pembelajaran, dan kekudusan dari pendahulunya mempengaruhinya.
Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun dapat diduga sekitar tahun 1225 dan 1226, bertempat di puri Rocca Secca. Adapun reruntuhan bangunan ini masih dapat dilihat pada bagian sebuah gunung Campagna Felice dan di kota kecil Aquino (Butler dalam karyanya The Live Of The Saints, Volume III: March, mengatakan bahwa ia lahir pada akhir tahun 1226 dan meninggal pada 7 Maret 1274. Sedangkan Maritain dalam Jacques Maritain about Thomas Aquinas mengatakan bahwa ia lahir pada 1225. Dalam New Catholic Encyclopedia Second Edition 14 yang menguraikan tentang St. Thomas Aquinas juga terdapat perbedaan. Dalam tulisan bertema St. Thomas Aquinas yang dikerjakan oleh W. A. Wallace, J. A. Weisheipl dan M. F. Johnson ini, ditulis bahwa St. Thomas Aquinas lahir pada 1225 dan meninggal pada 7 Maret 1274. Ia hidup selama kurang dari 50 tahun).
Dalam keluarga mereka, terdapat sembilan bersaudara: lima wanita dan empat pria. Thomas Aquinas adalah putra bungsu dari keluarga ini. Ia memiliki dua saudara yang bekerja sebagai tentara (Aimo dan Reynolds) serta saudaranya yang terakhir Landolfo, tidak diketahui secara pasti. Kelima saudarinya yakni Marietta, Theodora, Maria, Adelasia serta adik bungsunya yang tidak diketahui namanya.
Adapun adik perempuannya yang paling kecil ini meninggal karena petir, ketika pada suatu malam Thomas sedang tidur di kamar yang sama. Kejadian ini menyebabkan ia menjadi sangat takut dengan guntur sehingga ia sering bersembunyi di dalam gereja saat ada guntur. Oleh karena itu, devosi kepada Santo Thomas yang terkenal yaitu perlindungan dari serangan badai dan kematian tiba-tiba.
Sejak kecil, keluarganya menginginkan supaya Thomas menjadi seorang biarawan Benediktin di Monte Cassino, mengikuti pamannya Landulf Sinibaldo yang waktu itu menjadi Abbas. Pada usia lima tahun (1230), Thomas Aquinas dimasukkan oleh orang tuanya untuk belajar di Monte Cassino, beberapa mil di sebelah utara Roca Secca. Menurut pengamatan guru pribadinya, ia sangat cerdas dan mengalami perkembangan yang cepat serta berwatak baik dan bijaksana. Ia sangat ramah dan tekun dalam berdoa. Banyak waktunya yang dihabiskan untuk berlutut dan berdoa di depan salib. Sebagai anak kecil, Thomas sudah masuk dalam keanggotaan biara tersebut dan sampai usia empat belas tahun ia tinggal dan menyelesaikan sekolahnya.

2.
Masa Studi Awal
Sejak usia lima tahun, Thomas memulai pendidikannya di biara Benediktin yang terkenal di Monte Cassino. Sejak dari semula, dia memang nampak pendiam, pembelajar, dan pendoa. Satu pertanyaan yang sempat tercatat darinya adalah “Apa Allah itu?” (“What is God?”) Pertanyaan inilah yang menggerakkan seluruh hidupnya untuk mencari jawabannya.
Ketika pecah perang pada awal 1239, kedua orang tuanya memindahkannya ke studium generale (universitas) di Napoli. Di Napoli inilah, ia belajar selama lima tahun (1239-1244) dan tetap hidup sesuai dengan kehendak Allah walaupun berada dalam kekacauan. Kekacauan bagi Thomas Aquinas ialah terlalu membuang banyak waktu untuk berfoya-foya dalam hidup, melakukan pembicaraan yang tidak perlu. Untuk itu ia selalu menghindari semuanya itu. Ia lebih memilih untuk menyendiri dari berbagai arus kehidupan dan pengaruh yang dapat merusak kelakuannya.
Disinilah, ia mulai mempelajari ajaran Aristoteles, Averroes dan Maimonides yang akhirnya mempengaruhi pemikiran filsafat dan teologinya. Selama studi di tempat ini, ia juga mendapat pengaruh dari Yohanes dari St. Julianus, seorang pengajar Dominikan. Di Napoli, ia juga mempelajari aritmetika, geometrik, astronomi dan musik dengan bimbingan Petrus de Ibernia serta ilmu retorika yang dibimbing oleh Peter Martin.

3.
Minat Awal Menjadi Dominikan: Passion dan Tension
Di Napoli, Thomas membaktikan diri dalam doa dan studi, dimana tempat favoritnya adalah gereja para biarawan Dominikan yang telah mendirikan sebuah sekolah teologi di sana pada tahun 1231. Meskipun cintanya pada Ordo St. Bedeniktus begitu besar, ia merasa dipanggil Allah untuk bergabung dengan Ordo Pengkotbah di usia enam belas tahun.
Ya, Di Napoli-lah, ia mulai tertarik untuk menjadi biarawan Dominikan, namun keluarganya tidak menyetujuinya. Thomas dinasihati untuk meninggalkan panggilannya. Akan tetapi, Thomas tidak putus asa. Ketika berusia sembilan belas tahun (sekitar akhir April tahun 1244), ia memutuskan untuk menjadi pengikut St. Dominikus. Ia diterima dan mendapatkan jubah Dominikan.
Berita ini segera sampai ke Rocca Secca, dan menimbulkan kemarahan besar dari ibunya, bukan karena ia bergabung dalam komunitas religius, tetapi karena ibunya lebih menginginkannya untuk menjadi rahib Benediktin di Monte Cassino dan nantinya akan diberikan kedudukan sebagai Abbas.
Untuk menyikapi hal ini, pada Mei 1244, pihak Dominikan berusaha memindahkan Thomas Aquinas ke Roma, dan dari Roma nantinya dipindahkan ke Paris. Namun dalam perjalanan ke Roma, saudaranya yang menjadi tentara, atas perintah ibunya, menangkap Thomas dan membawanya pulang ke kediaman keluarganya di Monte San Giovanni Campano. Ia di-“penjara” disana selama kurang lebih dua tahun dengan maksud untuk mencegah serta menghilangkan pengaruh Dominikan dari dalam dirinya hingga ia menemukan pilihan lainnya.
4.
“Penjara”: Via Purgativa et Illuminativa – Jalan Pemurnian dan Pencerahan
Selama Thomas dipenjarakan, keluarganya terus memakai berbagai macam cara untuk melemahkan ketetapan hatinya. Meskipun banyak nasehat yang keras dan kasar dilontarkan kepadanya, Thomas tetap menjawab dengan lembut dan penuh hormat, namun tetap tegas.
Sesungguhnya, situasi selama di penjara juga menguntungkan bagi Thomas untuk berdoa dan berkontemplasi. Beberapa waktu setelahnya, kedua saudara perempuannya malahan membawakan beberapa buku, antara lain Kitab Suci, metafisika Aristoteles dan buku-buku dari Petrus Lombardia.
Bersamaan dengan itu, dua saudara laki-lakinya kembali ke rumah setelah menjalankan tugasnya sebagai tentara. Mereka membawa dan memperkenalkan seorang pelacur kepada Thomas. Thomas dengan tegas segera menolaknya mentah-mentah. Dan, karena keteguhan sikapnya, ibunya meminta untuk menjaga Thomas dengan lebih ketat dan tidak ada seorang pun yang boleh melihatnya, kecuali kedua saudara perempuannya, antara lain Marietta dan Theodora yang diijinkan untuk mengunjunginya.
Adapun Marietta mencoba membujuknya untuk mematuhi kemauan ibunya namun ia menolak. Thomas Aquinas malah mengajak saudarinya yang menjenguk dan melayaninya itu untuk meninggalkan dunianya dan menjadi biarawati. Marietta akhirnya menjadi seorang anggota Benediktin dan menjadi abdis atau kepala biara di Santa Maria di Capua pada 1252.
Thomas sendiri terus menggandakan doa-doanya supaya memperoleh rahmat iman serta kemurnian budi dan jiwa kepada Tuhan. Menurut legenda, pada saat dipenjara itulah, ia mendapat kunjungan dari dua malaikat yang menguatkan dia agar tetap bertahan dalam hidup kudus. Ya, saat itu kedua kakak laki-laki Thomas (yang berkarakter berbeda dengan kedua saudarinya) memasukkan seorang wanita pelacur ke dalam menara tempat Thomas berada. Namun, Thomas mendorongnya keluar.
Setelah itu, Thomas meraba dinding dan berlutut serta memohon Allah suatu rahmat kemurnian abadi. Selama dia berdoa, dia mengalami ekstase. Dua malaikat menampakkan diri padanya dan memasangkan sebuah tali kawat dengan ketat dipinggangnya dan berkata, “Kami berasal dari Allah untuk memberimu sebuah rahmat kemurnian abadi. Kerapuhan manusiawi tak pernah menguasai apa yang telah kau pastikan dengan rahmat Allah yang tak dapat dibatalkan.” Para malaikat itu memperketat tali kawat sehingga dia berteriak kencang. Beberapa pembantu berlari mendatanginya namun ia tidak mengatakan satu kata patah pun hingga ia mengatakannya di saat menjelang kematiannya kepada bapa pengakuannya F.Reginald dan mengatakan bahwa sejak saat itu ia tak pernah mengalami godaan kedagingan.
5.
Studi Lanjut sebagai Dominikan
Karena usaha yang telah gagal, akhirnya ibunya pun menyerah. Namun untuk menjaga gengsi keluarga, Thomas tidak dilepaskan begitu saja untuk masuk biara Dominikan. Ibunya mengatur suatu strategi di mana Thomas Aquinas seolah-olah melarikan diri pada malam hari melalui jendela. Hal ini terjadi pada musim panas 1245.
Setelah kejadian itu, Thomas Aquinas lalu pergi ke Napoli dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Roma untuk bertemu dengan Johannes van Wildeshausen, Magister General Dominikan.
Kemudian, Thomas dikirim ke Paris. Bersama Albertus Agung, Thomas berjalan kaki menuju kota itu di tahun 1245. Keduanya membawa Kitab Suci dan Brevir. Sementara itu, Thomas menambah bukunya dengan buku The Sentence. Ia sendiri tinggal di biara St. Yakobus selama tiga tahun (akhir 1245-1248). Di tempat inilah, ia menjalani masa novisiatnya dan ia menjadi model semangat doa bagi seluruh komunitas, termasuk juga semangat kesederhanaannya, ketaatannya yang sempurna, dan kemurahhatiannya. Tidak pernah ia diketahui mengeluarkan kata-kata salah, namun kata-katanya menarik dan menimbulkan kegembiraan rohani bagi siapa pun yang mendengarnya.
Kemudian setelah menjalani masa novisiat, ia menjalani masa skolastikat / kuliah (1248-1252) dan semakin dekat dengan Albertus Agung sebagai pengajarnya dan bertemu dengan Bonaventura, seorang Fransiskan yang sama-sama belajar teologi. Thomas Aquinas sendiri adalah murid yang jenius namun ia adalah orang yang rendah hati dan lebih banyak memilih berdiam diri saja. Karena sifat pendiamnya ini, ia dijuluki “si Lembu Dungu” atau juga “si Lembu dari Sisilia”. Ada juga temannya yang menawarkan untuk mengajarinya pelajaran atau bahan kuliah yang diberikan.
Namun akhirnya kerendahan hatinya tidak mampu menutupi kecemerlangan intelektualnya. Dalam suatu diskusi, gurunya Albertus Agung mengajukan sebuah pertanyaan yang rumit dan ia berhasil menjawabnya. Gurunya sangat kagum dan bangga dengan Thomas Aquinas dan berkata: “kita memanggil dia si lembu bodoh tetapi teriakannya dalam belajar akan menjadi terdengar di seluruh dunia”.
Pada tahun pertama, di bawah asuhan Albertus Agung ia menyelesaikan komentar terhadap Etika Aristoteles. Pada Kapitel General Dominikan di Paris pada 1245, Albertus Agung ditugaskan untuk mengajar di Universitas St. Yakobus dan Thomas Aquinas-pun diajak tetap ikut bersamanya sembari menyelesaikan kuliah di sana.
Pastinya, pelbagai kegiatan di tempat studinya tidak mengurangi waktu doanya. Dengan selalu menyadari kehadiran dan kerahiman Allah, hatinya terus-menerus terangkat dan terarah kepada Allah. Perhatian Thomas yang selalu tertuju pada Allah, membuat jiwanya senantiasa dipenuhi sukacita. Hal itu nampak pada wajah dan seluruh percakapannya yang selalu mengarah ke surga. Kerendahan hati dan ketaatan menandai seluruh sikap hidupnya. Ia sering melakukan mati raga dan tidak melekat dengan rasa yang dinikmatinya. Selain itu, dengan menyadari panggilan kepada kekudusan menjadikan Thomas selalu berjaga-jaga bersama Tuhan, tekun berdoa dan melakukan latihan-latihan rohani lain.
6.
Menjadi Imam Dominikan
Pada tahun 1250, Thomas ditahbiskan menjadi imam di Cologna. Setelah menjadi imam, persatuannya dengan Allah kelihatan lebih mesra daripada sebelumnya. Jiwanya melampaui apa yang dipelajarinya, apalagi ia memiliki devosi yang sangat besar kepada Sakramen Mahakudus. Ia menghabiskan beberapa jam setiap hari di depan altar, merendahkan diri dalam penyembahan dan melebur dalam kontemplasi kasih Allah yang melampaui segala sesuatu.
Seorang pengikut dan penulis biografinya, William da Tocca, menulis bahwa sejak saat itu Thomas melewatkan waktu berjam-jam dalam doa, siang dan malam, dan jiwanya seakan-akan terangkat dan terserap dalam misteri Allah.
7.
Menjadi Dosen
Di bawah asuhan gurunya yakni Albertus Agung, ia memperoleh gelar ahli teologi. Pada usia 22 tahun, ia ditunjuk untuk menjadi pengajar di Universitas St. Yakobus, bersama dengan Albertus Agung.
Setelah mengajar selama empat tahun, pada tahun 1252 ia dikirim ke Paris. Thomas Aquinas telah menerima lisensi untuk mengajar di Fakultas Teologi, tetapi karena adanya perselisihan antara pihak sekuler dan religius dalam universitas pada masa itu, ia tinggal di biara Dominikan sambil mengajar di sana. Suatu hasil karya yang baik yang dilakukannya selama waktu itu adalah mengajar penjelasan terperinci tentang De Trinitate dari Boethius. Pada saat itu, ia juga mempersiapkan diri untuk mengajar Sententiae dari Petrus Lombardus.
Tugas mengajar didapatkannya kembali pada musim gugur 1256. Ia mengajar tafsir Kitab Suci dan kuliah pengantar karya Boethius. [3] Ia akhirnya diangkat menjadi Magister (setingkat dengan gelar professor/ doktor sekarang) pada 23 Oktober 1257 ketika berumur 31 tahun. Magister muda ini tidak menjadi sombong dengan gelar yang diperolehnya tapi ia tetap tekun berdoa dan mengucap syukur kepada Allah. Pada masa itu, ia terkenal sebagai orang yang saleh dan bijak. Raja Ludovikus yang merupakan raja Prancis pada waktu itu selalu meminta nasehat dari Thomas Aquinas dalam mengurus kerajaannya.
Pada akhir 1261, Paus Urbanus IV meminta Thomas Aquinas kembali ke Roma dan mengajar di sana. Walaupun ia tinggal di Roma namun ia bukan saja mengajar di Roma tetapi juga di beberapa tempat seperti Viterbo, Orvieto, Fondi dan Perugia, juga di Bologna dan Napoli. Ia tinggal di Roma selama kurang lebih sembilan tahun.
Ketika Kapitel General Dominikan di London pada 1263, Thomas Aquinas juga ada untuk membantu di sana. Pada kesempatan ini juga, ia diberhentikan dari tugas mengajarnya. Ia sangat senang dan berterima kasih kepada Allah. Pada 1265 Paus Klemens IV, yang sangat menghormati Thomas Aquinas menawarkan jabatan tinggi gerejawi kepadanya, bahkan jabatan sebagai Uskup Agung di Napoli. Ia menolaknya dan memilih tinggal di Bologna. Di sinilah sebagian tulisan Summa Theologiaenya ditulis. Penolakan yang dilakukannya terjadi karena ia tidak ingin dikendalikan oleh pemerintah imperial Roma. Pada waktu itu, pihak Roma dan Gereja saling bekerja sama, khususnya dalam berbagai tindakan yang tidak terpuji.
Pada 1268/1269, ia dipanggil sekali lagi untuk menduduki jabatan di Paris untuk kedua kalinya (1269-1272). Ia berada di Paris sebagai utusan dari pihak Dominikan. Ia dipanggil karena ada ancaman berat di Paris, yakni adanya perselisihan tentang penggunaan aliran aristotelianisme di Universitas. [6] Untuk membantu menyelesaikan masalah itu, mereka (pihak Universitas) mengundang Albertus Agung ke sana. Namun karena waktu itu usianya tidak muda lagi (75 tahun), mereka menggantikannya dengan Thomas Aquinas. Selama menduduki jabatan untuk yang kedua kalinya, ia ditantang oleh sejumlah profesor di facultas atrium (fakultas sastra) di bawah pimpinan Siger dari Brabant. Pada Paskah 1272, ia kembali lagi ke Roma dan Napoli untuk mengajar teologi di sana.
8.
Karya-Karya Ilmiah Thomas Aquinas
Selama hidupnya, Thomas Aquinas telah menghasilkan banyak karya tertulis. Karya-karya tertulis yang dihasilkan merupakan berbagai karya dari berbagai bidang seperti teologi, filsafat dan liturgi.
Tercatat bahwa ada sekitar 101 karya yang dikenal hingga saat ini. Karya yang dihasilkan ini berupa sintesis teologis, tulisan mengenai perdebatan akademis (De veritate, De Potentia, De Malo, De Spiritualibus Creaturis, De Anima, dll.), penjelasan tentang Kitab Suci (Exposotio in Job “ad litteram”, Postilla Super Psalmos, dll.), penjelasan karya Aristoteles (Sententia super Peri Hermenias, Sententia super Posteriora Analytica, Sententia super Physica, dll), Boethius (Expisito super librum Boethii De trinitate dan Expositio in librum Boethii De hebdomadibus) dan Dyonisius (Exposotio super Dyonisium De divinis nominibus). Ada juga risalah tentang persoalan yang khusus serta kotbah dan lagu-lagu liturgi.
Karya-karya yang akan dikemukakan di sini hanyalah sintesis teologis Thomas Aquinas yang terkenal, yakni: Scriptum super libros sententiarum, Summa contra gentiles serta Summa teologiae.
a.
Scriptum super libros sententiarum.
Ini adalah sebuah karangan (scripta) atau elaborasi dari berbagai teks dalam bentuk pertanyaan dan diskusi dari tema-tema yang relevan saat itu. Karangan ini bukanlah komentar terhadap Sententiae dari Petrus Lombardus yang pada waktu itu menjadi bahan ajar resmi bagi para mahasiswa teologi untuk memperoleh gelar bachelor. Ini merupakan bahan ajar Thomas Aquinas ketika menjadi pengajar di Paris untuk pertama kalinya, yang kemudian diedit dan diperbaikinya.
b.
Summa contra gentiles.
Ini adalah tulisan Thomas Aquinas untuk membela iman terhadap orang kafir serta sebagai bahan pengajaran bagi para biarawan Dominikan di hadapan orang muslim, Yahudi maupun aliran heresi orang-orang Kristen di Spanyol (Aragon) dan Afrika Utara. Tulisan ini dikerjakan atas permintaan seorang pertinggi Dominikan di Spanyol yakni Raymond Peňafort. Tulisan ini dimulai ketika Thomas Aquinas berada di Paris dan diselesaikan pada 1313 di Barcelona.
c.
Summa Theologiae.
Ini adalah sintesis teologisnya yang terakhir dan merupakan hasil karya terbesarnya. Buku ini berisi tiga bagian besar. Bagian kedua dibagi lagi dalam dua bagian. Karya ini diperuntukkan bagi para mahasiswa/pemula yang mulai mempelajari teologi.
Penulisan karya ini mulai dikerjakan ketika ia mengajar di St. Sabina di Roma (1265-1267). Walaupun buku ini dikatakan sederhana (karena diperuntukkan bagi orang yang baru belajar teologi), namun tidak sepenuhnya argumen tentang kesederhanaan pembahasan Summa teologiae ini benar.
Memang bagian pertama dari karangan ini terasa sederhana, tetapi tidak untuk bagian seterusnya. Bagian selanjutnya sungguh memperlihatkan kejeniusan Thomas Aquinas. Ia berusaha untuk menyampaikan berbagai pertanyaan dan mencari solusi baru dari berbagai masalah, baik masalah yang lama maupun yang baru. Ia menggunakan berbagai sumber terbaik pada masa itu untuk menunjang tersusunnya karya hebat ini.
Karyanya ini sendiri merupakan karya yang paling besar pada jaman itu dan merupakan salah satu dari tiga buku yang ditempatkan di atas meja dewan pada Konsili Trente. Dua buku lainnya, yaitu Kitab Suci dan Ketetapan-Ketetapan Kepausan.
Thomas juga dimintakan bantuannya oleh Paus Urbanus IV untuk menyusun teks liturgi Misa dalam merayakan pesta Sakramen Mahakudus pada tahun 1264. Beberapa karya yang dihasilkan Thomas adalah dua lagu pujian “Verbum supernum” dan “Pange lingua”, dikenal oleh seluruh Gereja Katolik, termasuk pujian “O salutaris” dan “Tantum ergo” yang secara teratur dinyanyikan di biara Benediktin. Adapun karya lagu pujian dari Thomas, khususnya “Lauda Sion” dan “Adoro te devote” berisi penjelasan lengkap atas ajaran teologi kristiani.
9.
AKHIR HIDUP DAN BEATIFIKASI
Pada 1 Mei 1274, Paus Gregorius X memanggil sebuah konsili yakni Konsili Lyon untuk memadamkan pergerakan skisma Yunani dan melawan pergerakan muslim saat Perang Salib. Paus meminta Thomas Aquinas untuk menghadiri konsili. Walaupun sedang sakit, namun ia berangkat juga pada akhir Januari dengan ditemani F. Reginaldo dari Piperno. [7]
Ketika sampai di tempat kediaman keponakannya, Fransiska di kastil Magenza, ia terserang penyakit. Ia kehilangan nafsu makan sehingga badannya lemah dan tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Lyon. Disana, ia yakin bahwa maut akan menjemputnya. Namun ia akhirnya berjuang untuk melanjutkan perjalanan itu. Namun ketika sampai di Fossanova, ia tidak dapat melanjutkan lagi perjalanannya dan menginap di biara terkenal di Cistercians, Keuskupan Terracina.
Di biara Fossanova, ia mendapatkan perawatan yang baik dari para rahib. Dalam masa sakit ini (raga semakin melemah), ia tidak henti-hentinya berdoa dan memasrahkan diri pada tangan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya karena sudah membimbing dia hingga saat itu. Untuk membalaspara rahib, ia menuliskan sebuah risalah pendek berjudul Canticle of Canticle walaupun tidak sampai selesai.
Dalam kondisi sakit yang semakin memburuk, ia juga meminta kepada temannya Reginaldo untuk bisa menerima pengakuan dosa. Setelah mendapatkan absolusi, ia lalu menginginkan viaticum dan meminta dibaringkan di atas abu di atas tanah untuk menerima Tuhannya.
Saat menerima hosti, dia berlutut, dan menumpahkan air mata di pipinya dan berkata: “Aku menerima Engkau, harga dari penebusanku; Aku menerima Engkau, bekal perjalanan jiwaku, Engkau yang kukasihi, yang kuselidiki, yang menginspirasi karya-karyaku, yang kukotbahkan, dan yang kuajarkan. Aku telah menulis banyak dan seringkali diperdebatkan tentang misteri hukum-Mu, O Allahku; Engkau yang mengetahui apa yang kuinginkan untuk kuajarkan hanya dari-Mu saja. Jika apa yang tertulis benar, terimalah sebagai sebuah penghormatan pada Keagungan-Mu yang Tak terbatas; jika salah, mohon ampun atas kesalahanku; Kupersembahkan semua yang telah kulakukan pada-Mu, dan kuserahkan semuanya pada penilaian Gereja Roma Kudus-Mu yang tak pernah salah, dengannya aku menaatinya.”
7 Maret 1274, di biara Fossanuova, dengan usia hampir lima puluh tahun, Thomas meninggal. Pada hari yang sama St. Albertus, yang pada waktu itu berada di Cologna, meledak dalam tangisan di tengah-tengah komunitas, dan mengatakan “Saudara Thomas Aquinas, saudaraku di dalam Kristus, cahaya Gereja sudah wafat. Allah telah menyatakannya kepada saya.”
Misa requiem untuk Thomas Aquinas secara hikmat diadakan di biara Fossanova segera setelah kematian. Masyarakat biasa, keluarga dan teman-teman keluarga Thomas Aquinas dalam jumlah besar menghadirinya, bersama Uskup Francis dan teman-teman Fransiskannya, dan beberapa anggota Dominikan yang datang dari Anagni dan Gaeta.
10.
CISTERCIAN & DOMINIKAN.
Walaupun Thomas Aquinas sendiri telah mengakhiri perjalanan di dunia ini, tetapi jasadnya tidak. Segera setelah penguburan, para rahib Cistercian mulai khawatir bahwa jasadnya nanti diambil (oleh pihak Dominikan), sehingga mereka secara rahasia memindahkan jasad itu dari kuburan ke kapela yang disebut kapela St. Stefanus, di dalam biara yang sama. Peti mati digali lalu dibuka dan serentak bau harum memenuhi seluruh biara, dan jasadnya ditemukan tidak mengalami kerusakan, meskipun tanah lembab menyelimuti seluruh jasad Thomas Aquinas.
Setelah kematian Paus Gregorius X pada 10 Januari 1276, terdengar isu bahwa Peter dari Tarentaise, seorang Magister Dominikan dari Paris akan dipilih menjadi Paus. Rahib Cistercian takut bahwa jika ia terpilih, ia akan mengambil jasad Thomas Aquinas dan dibawa ke pihak Dominikan.
Selanjutnya, menurut Bertolomeus dari Capua, mereka “memilih” tiga utusan dan pada suatu malam mereka menggali jasad Thomas dari tempat peristirahatannya, memotong kepalanya dan menempatkannya di tempat rahasia di sudut stala / bangku-bangku koor dalam biara itu. Rahib dari Fassanova berpikir bahwa jika jasad itu diserahkan pada pihak Dominikan, mereka sendiri sekurang-kurangnya telah mendapatkan kepalanya. Walaupun demikian, mereka menyangkal bahwa jasad telah dipenggal pada waktu itu.
Penggalian lain terjadi pada 1288, ketika Ratu Theodora meminta tangan kanannya dan menempatkannya di kapela San Saverino. Adapun ibu jari / jempolnya telah diberikan kepada Reginaldo dari Piperno sebelum pemakaman pada 1274.
Beberapa tahun setelah kematiannya, sekitar tahun 1277, 219 proposisi yang dikemukakan oleh Thomas pernah dinyatakan sesat dan dikucilkan dari ajaran Gereja. Peng-kafir-an ajaran ini diumumkan secara resmi namun ajarannya diterima kembali sebagai ajaran resmi Gereja sejak 14 Februari 1325.
Pada 1303, seorang Dominikan lain terpilih sebagai Paus dengan nama Benediktus XI, dan para Cistercian kembali menjadi takut akan kehilangan relikui suci mereka. Akhirnya mereka mengirimkan jasad Thomas Aquinas ke tiga lokasi dan dengan cepat memberi kesan bahwa jasad Thomas Aquinas telah dipindahkan.
Rencana untuk mengkanonisasi Thomas Aquinas sendiri datang dari Paus Yohanes XXII, tetapi lebih giat diusahakan oleh pihak Dominikan. Kanonisasi pertama terjadi pada 1319.
Yohanes XXII adalah paus yang terpilih pada tahun 1316, dan dari permulaan, ia tertarik untuk mengkanonisasi Thomas Aquinas. Untuk tujuan itu, dewan provinsi cabang Sisilia bertemu di Gaeta pada September 1317. Pada bagian ini mereka menunjuk William dari Tocco menjadi penyelenggara/ penganjur proses kanonisasi Thomas Aquinas. Ia dan biarawan muda Robert dari Benevento ditugaskan untuk mengumpulkan hal-hal dan data-data yang berhubungan dengan kelahiran, hidup, kematian dan mujizat dari Thomas Aquinas yang disampaikan melalui penglihatan suci. Proses penyelidikan untuk kanonisasi itu terjadi dua kali. Pertama dilakukan pada 1219 dan yang kedua terjadi dua tahun berikutnya.
Saat proses penyelidikan untuk kanonisasi, terdapat banyak mujizat yang dilaporkan terjadi setelah kematian Thomas Aquinas. Salah satu mujizat yang terjadi, Sub Prior Fassanova yang hampir buta menjadi dapat melihat dengan jelas lagi setelah memandang jasad Thomas Aquinas.
Akhirnya, 50 tahun setelah kematiannya, pada 18 Juni 1323, Paus Yohanes XXII bertempat di Avignon, mengkanonisasikan Thomas sebagai Santo/Orang Kudus. Dua abad kemudian, St. Thomas Aquinas diangkat kembali martabatnya sebagai pujangga Gereja oleh Paus Pius V.
Menurut sejarah, dari 1369 sampai dengan 1921, setiap tanggal 28 Januari (tanggal di mana jasadnya dibawa ke Toullouse – Prancis) dan 7 Maret (tanggal kematiannya) anggota Dominikan memperingati pesta St. Thomas Aquinas. Dalam setahun mereka memperingati St. Thomas Aquinas sebanyak dua kali. Selanjutnya, dalam kalender Gereja kemudian, pesta tunggal St. Thomas Aquinas dirayakan pada 28 Januari.
Di lain matra, pengkanonisasian Thomas Aquinas memang telah terjadi namun masalah hak kepemilikan relikuinya belum berakhir.
Akhirnya pada 1369, setelah “perang” antara Dominikan dan Cistercian selama 95 tahun setelah kematiannya, Paus Urbanus V meminta agar jasad itu diberikan kepada hierarki suci. Pada tahun yang sama, Paus Urbanus V juga meminta para rahib dari Fassanova untuk memberikan jasad St. Thomas Aquinas kepada Uskup di Lucca, yang lalu akan memberikan kepada petinggi Dominikan, Elias Raymond. Pada Sabtu, 28 Januari 1369, relikui itu akhirnya dikirimkan ke biara tua Dominikan di Toullouse

Tidak ada komentar:

Posting Komentar