Ads 468x60px

The Ascent to Truth


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
The Ascent to Truth
Mendaki Kebenaran ala Merton...
Dewasa ini kita hidup di tengah banyak krisis besar. Skalanya tidak saja lokal tapi juga mendunia (global). Misalnya: terorisme, krisis ekologi atau lingkungan seperti pemanasan global dan krisis keuangan global. Belum lagi soal bencana-bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi yang membuat banyak orang terpuruk, kehilangan tidak hanya orang yang dicintai tapi juga iman dan pegangan hidup.
Parahnya, saat ini sesungguhnya bahaya besar juga tengah mengintai Gereja dan dunia sebagaimana diramalkan oleh Thomas Merton: Dunia berada di ambang keruntuhan moral yang begitu parah atau “complete moral collapse” (The Ascent to Truth. San Diego: A Harvest Book, 1979. Hlm.3).
Tanda ke arah sana bisa dilihat dengan maraknya kejahatan besar dan sadis yang muncul tiada hentinya. Kekuatan dosa dan kuasa si jahat begitu merajalela merasuki banyak orang sehingga banyak jiwa tenggelam dalam dosa-dosa besar tanpa merasa bersalah.
Banyak jiwa kini tidak lagi memiliki kepekaan hati nurani dan mengalami hilangnya “rasa berdosa” (sense of sins). Misalnya dengan maraknya korupsi, aborsi, dan bom bunuh diri. Menimbun harta lewat korupsi dan membunuh janin kecil dalam diri tubuh sendiri tanpa merasa bersalah.
Krisis-krisis ini menciptakan kerusakan, defisiensi, kemerosotan dan kemelaratan, baik fisik maupun spiritual. Kini banyak orang menjadi lebih mudah stress, depresi, merasa kesepian dan kehilangan makna hidup. Bahkan cukup banyak ujung-ujungnya mengambil jalan pintas lewat bunuh diri.
Bagaimana kita menyikapi gejala-gejala ini? Apa yang bisa disumbangkan dan bagaimana keterlibatan Gereja di sini? Segala upaya nampaknya telah dilakukan. Kita wajib melakukan gerakan ini dan itu untuk memperbaharui dunia.
Kebanyakan orang biasanya memberikan penekanan pada aksi. Maksudnya, pada aktivitas fisik yang memang benar-benar kelihatan dan nyata. Misalnya, gerakan proaktif lewat demonstrasi atau pun lewat gerakan-gerakan aktif lainnya, terlibat langsung dalam gerakan menuntaskan kemiskinan (option for the poor), gerakan keadilan dan perdamaian (justice and peace), gerakan pro-life, gerakan green peace, dan gerakan ekologis lainnya.
Gerakan dengan penekanan pada aksi nyata ini dan itu memang sah-sah saja dilakukan dan diperjuangkan. Aksi-aksi semacam itu memang perlu. Namun dunia dewasa ini sebenarnya butuh juga sesuatu yang lebih daripada aksi biasa. Dunia tidak hanya perlu memperbaharui diri dari luar lewat aksi-aksi nyata itu. Namun dunia juga butuh pembaharuan dari dalam. Dunia tidak hanya butuh revolusi (perubahan) fisik, namun juga revolusi batin.
Bukankah ini juga yang dilakukan oleh Yesus semasa Dia berkarya mewartakan Kerajaan Allah dua ribu tahun yang lalu? Yesus jelas-jelas melakukan aksi ini dan itu secara langsung, untuk menyembuhkan segala penyakit dan penderitaan. Akan tetapi, Dia tidak begitu antusias untuk menggalang aksi sosial dan aksi politis ini dan itu.
Di balik itu semua, secara diam-diam Yesus memperbaharui masyarakat “dari dalam”, Yesus lebih tertarik mengubah “hati orang” dari dalam. Ini diawalinya dengan mengubah hati sekelompok kecil orang pada zamanNya, yakni hati dari kedua belas muridNya yang pertama. Lalu merembet kepada ketujuh puluh murid lainNya dan seterusnya.
Mulai dari karya kecil tersembunyi dan batiniah ini, Yesus berhasil menanamkan kekuatan cintaNya pada hati para murid pertamaNya itu. Dengan kekuatan cintaNya yang sudah membatin di hati para pengikutNya yang awali itulah, dunia perlahan-lahan diubah. Dengan kata lain, Yesus melakukan revolusi batin secara diam-diam untuk mengubah dunia ini.
Begitulah juga di zaman ini. Dunia butuh pembaharuan “dari dalam diri”. Untuk itu, kita butuh kekuatan “dari atas” untuk meredam, meredakan, mengobati, menyembuhkan dan memulihkan gejolak krisis tanpa henti ini. Kita butuh kekuatan ilahi. Bagaimana kita mengalirkan kekuatan ilahi ini atas dunia? Ini kita bisa timba lewat doa yang lebih serius, konsisten, batiniah dan mendalam. Dunia butuh pengalaman kesatuan akan Allah (mistisisme). Dunia memerlukan kontemplasi, selain aksi.
Hal senada pernah ditegaskan oleh pastor Yesuit, William Johnston. Dalam bukunya "Being in Love: The Practice of Christian Prayer", dia pernah bertutur profetis: “Ini sungguh suatu panggilan nyata, suatu panggilan yang menempatkan Anda pada gelombang utama dari kehidupan moderen. Bagi orang-orang yang tercerahkan, di mana-mana tengah bangkit suatu kesadaran bahwa yang dibutuhkan dunia moderen ialah kontemplasi. Hanya doa dan aktivitas yang mengalir dari doa dapat meluputkan generasi kita yang tengah bermasalah ini dari kehancuran total.” (San Fransico: Harper & Row, 1989. Hlm.9).
Adapun ciri kuat dari seorang pendoa kontemplatif ialah cinta keheningan dan kesunyian untuk hadir sepenuhnya bagi Allah. Seorang kontemplatif yang sering menyumber pada keheningan, kesunyian dan doa yang mendalam, akan jauh lebih berdayaguna dan berguna (powerful dan useful) ketimbang mereka yang giat bekerja untuk Allah tapi tanpa Allah. Waktu yang sering dihabiskan dalam kesendirian untuk tenggelam dalam keheningan doa, bukanlah suatu penggangguran. Justru itulah kekuatannya, yang di dalamnya dia menerima banyak dari Allah. Akibatnya, dia akan jauh lebih berguna dan punya kuasa dalam perkataan dan tindakannya.
Hal senada pernah diungkapkan oleh seorang kontemplatif sekaligus aktivis sejati, Muder Teresa dari Kalkuta:
“Makin banyak yang kita terima dalam doa-doa yang hening, makin banyaklah yang dapat kita berikan dalam kehidupan kita yang aktif.”
“Tak mungkin melibatkan diri dalam kerasulan tanpa JIWA-PENDOA. Kita harus sadar akan persatuan kita dengan Kristus sebagaimana Kristus sadar akan kesatuanNya dengan BapaNya. Pekerjaan kita baru merupakan karya kerasulan apabila kita membiarkan Kristus sendiri bekerja dalam diri kita melalui kita, dengan kekuatan-Nya, dengan kehendak-Nya dan cinta kasih-Nya.”
Ya, jelaslah bahwa dengan melihat segala krisis dan permasalahan global yang begitu banyak dan berat dihadapi manusia dewasa ini, kita perlu menjadi orang-orang Kristen “yang lebih”. Dalam bahasa Karl Rahner: “Orang-orang Kristen masa depan hendaklah menjadi mistikus-mistikus atau bukan orang Kristen sama sekali.” Ada baiknya dikutip langsung di sini ungkapan profetis dari teolog yang berperan besar dalam Konsili Vatikan II ini:
“The devout Christian of the future will either be a ‘mystic’, one who has ‘experienced’ something, or he will cease to be anything at all.” (Karl Rahner, Teological Investigations, “Christian Living Formerly and Today”, Vol.VII, David Bourke (penerj.), London: Darton, Longman & Todd, 1981, hlm.15)
Sedangkan Muder Teresa dari Kalkuta menterjemahkan lagi secara lebih sederhana namun bicara hal yang sama, yakin bahwa kita semua perlu menjadi pendoa-pendoa. “Orang Kristen yang tidak berdoa, janganlah mengaku dirinya Kristen,” begitu tuturnya secara tegas dan meyakinkan.
Benih-benih kontemplasi sendiri bisa tumbuh dan berkembang lewat jalan-jalan berikut:
a). Hidup di hadirat Allah;
b). Menyediakan waktu khusus untuk doa;
c). Doa tak kunjung putus;
d). Berani memasuki keheningan-kesunyian-kesendirian.
Selain itu, orang butuh rekan seperjalanan atau pendamping. Maka dibutuhkan pula tempat atau komunitas yang di dalamnya orang dapat belajar berdoa atau melakukan latihan-latihan rohani untuk mengembangkan jiwa kontemplatif.
a. Hidup di hadirat Allah.
Kita dapat menghayati kontemplasi seturut teladan para kudus, yang melakukan segala sesuatu dalam sikap terjaga dan penuh kesadaran. Segala sesuatu dilakukan dalam sikap terjaga, dengan penuh cinta dan kesadaran demi kemuliaan Tuhan semata. Segala sesuatu dilakukan demi kemuliaan Tuhan [bdk. 1 Korintus 10:31] dan demi kasih kepada Tuhan dan sesama [bdk. 1 Korintus 16:14].
b. Waktu khusus untuk doa pribadi.
Menghayati hidup kontemplatif berarti kita secara tekun, serius, dan teratur membina hidup doa. Harus ada waktu khusus yang memang dibaktikan untuk berduaan dengan Tuhan dalam doa yang mendalam. Doa batin dan meditasi perlu dilakukan secara rutin dalam waktu-waktu yang khusus. Di sini bisa dipilih metode doa batin atau meditasi yang sesuai, seperti: Doa-Yesus (hesychasme dalam tradisi Gereja Timur) atau juga doa-batin seturut ajaran Sta. Teresa dari Avila, yang intinya ialah doa afektif kepada Kristus: “Janganlah banyak berpikir, melainkan banyaklah mencinta.”
c. Doa tak kunjung putus
Setelah bermistik (bersatu secara mendalam) dengan Tuhan dalam waktu yang memang dikhususkan sebagai jam-doa, kita juga perlu memiliki sikap batin yang terus berdoa. Dengan kata lain, dilanjutkan dengan doa yang tak kunjung putus.
Caranya? Lewat “Vacare-Deo” (hidup di hadirat Allah) seturut teladan para kudus. Atau juga lewat mendaraskan Doa-Yesus yang terus menerus di mana pun dan kapan pun dalam hati. Tentunya saat di mana aktivitas pikiran dan perhatian sedang tidak terlalu dibutuhkan.
d. Berani memasuki keheningan-kesunyian-kesendirian
Seorang kontemplatif harus tumbuh dalam relasi yang mendalam dengan Allah. Untuk itu dia perlu berani memasuki suatu situasi yang lebih kondusif (mendukung) untuk bertemu dengan Allah. Menurut saya, dia perlu berani memasuki keheningan, dengan gandengannya: kesunyian dan kesendirian. “Allah adalah sahabat keheningan”, begitu kata Muder Teresa. KehadiranNya dapat lebih kuat dirasakan dalam keheningan-kesunyian-kesendirian. Pengalaman akan Allah yang mendalam hanya mungkin dirasakan dalam keheningan-kesunyian-kesendirian. Oleh karena itu, kita perlu berani memasuki saat-saat hening dan sendirian. Misalnya, dengan secara rutin pergi ziarah atau retret, yang di dalamnya kita mengambil waktu luang yang cukup banyak untuk sendirian dengan Allah (alone with the ALONE), seperti pesan Bunda Teresa: “Kita butuh mencari Tuhan, dan Dia tidak dapat diketemukan dalam kebisingan dan ketergesaan, Tuhan adalah sahabat dari keheningan. Lihatlah pepohonan, bunga, rumput – mereka tumbuh di dalam keheningan, lihatlah bintang, bulan, dan matahari – bagaimana mereka bergerak dalam keheningan... Kita membutuhkan keheningan agar dapat menyentuh jiwa.”
Tepatlah juga kita menggemakan kembali ungkapan mendiang Paus Yohanes Paulus II, dalam ensikliknya untuk menghantar umat Allah memasuki milenium ketiga, "Novo Millenio Inuente" (Art 33), yakni bahwa: paroki-paroki perlu menjadi “sekolah doa”.
Dikatakan oleh beliau: “Jemaat-jemaat Kristiani kita harus menjadi “sekolah-sekolah” doa sejati, tempat perjumpaan dengan Kristus, yang diungkapkan bukan dengan minta bantuan melulu, tetapi juga dalam: memanjatkan syukur, pujian, sembah-sujud, kontemplasi, sikap mendengarkan dan devosi bernyala sampai hati sungguh jatuh-cinta.”
Begitu juga ungkapan profetis dari seorang teolog besar, Karl Rahner: “Gereja masa depan hendaklah makin spiritual.” Inilah tugas kita bersama, terlebih para gembala dan tokoh umat bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar