Ads 468x60px

Thomas Merton & Dalai Lama


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
Thomas Merton & Dalai Lama....

Seragam itu Berbahaya
Beragam itu Bercahaya
Awal dari kasih adalah membiarkan orang yang kita kasihi menjadi dirinya sendiri, dan tidak mengubahnya agar sesuai dengan gambar kita sendiri. Jika tidak, kita hanya mengasihi pantulan diri kita sendiri, yang kita temukan di dalam dia. (Thomas Merton)
Jagalah agar pikiranmu senantiasa bahagia dan ketahuilah bagaimana cara untuk tertawa
(Tenzin Gyatso, Yang Mulia Dalai Lama ke-14).
Dahulu kala, pada tahun 1960an, Thomas Merton bersua Dalai Lama di Bangkok. Keduanya menghadiri konferensi antar biara Barat dan Timur. Tanpa dinyana, pasca menyampaikan presentasi, rohaniwan Kristen dari Ordo Trappist tersebut meninggal dunia (53 tahun). Kepergian beliau menandai kelahiran sintesis spiritual dua tradisi: Buddhisme dan Kristianitas.
Selanjutnya, Dalai Lama hadir dalam dialog antar biara "MID" (Monastic Interreligious Dialogue) Dewan Perwakilan Agama-agama se-Dunia di Chicago - Amerika (1993).
Beliau menyarankan agar sebanyak 25 guru Buddha dan 25 guru Kristen tinggal (live in) dalam rentang waktu tertentu sehingga mereka dapat berproses bersama.
Selain itu, Dalai Lama mengusulkan supaya pertemuan itu digelar di Biara OCSO / Trappist "Our Lady of Gethsemane" - yang notabene merupakan tempat / biara asal sahabat sejatinya - (almarhum) Thomas Merton.
Sepanjang bulan Juli 1996, pertemuan di biara "Our Lady of Gethsemane itu digelar. Bukan hanya Dalai Lama sendiri yang hadir, para biksu Buddhis dari Theravada, Tibet, dan Zen pun turut berpartisipasi. Sedangkan dari pihak Kristen, selain para imam dan rahib dari OCSO dan OSB di Amerika, hadir pula para imam dan rahib Trappist dari Eropa, Asia, Amerika Utara, dan Australia.
Sebagai salah satu buah dialog dengan para biarawan - baik yang beragama Buddha maupun Kristen dikatakan bahwa salah satu penghalang utama manusia ialah kemalasan. Kondisi psikologis itu tercermin lewat pernyataan, “Oh, saya tidak mampu melakukan ini; saya kurang cerdas; saya tidak mungkin melakukan hal itu..., dan obatnya ialah refleksi rohani.
Selain itu, ditegaskan bahwa tujuan setiap agama dan kepercayaan ialah mengolah kualitas kemanusiaan. Caranya adalah dengan menafikan ego pribadi, sehingga manusia dapat (lebih) mengabdi pada sesama dan segenap titah ciptaan: "Change dose not come from the sky. It comes from human action." - Perubahan tak datang dari langit, tapi dari tindakan manusia."
Merton sendiri yang adalah seorang biarawan Trapis dan lulusan Universitas Columbia, di kota New York menjadi seorang penulis dan penyair kontemplatif yang terkenal, dalam hal ini ia terkenal terutama karena dialognya dengan iman atau keyakinan lain.
Sebagai seorang biarawan Trapis, Merton menulis banyak buku tentang spiritualitas kristiani, monastisisme, dan komentar-komentar sosial. Dia dikenal sebagai seorang mistikus dan perintis dialog interreligius pada abad ke-20.
Merton percaya bahwa Kristianitas kontemporer sedang mengalami proses pelepasan dari tradisi Barat menuju suatu bentuk Kristianitas yang transkultural.
Merton tidak memandang bentuk Kristianitas yang baru ini sebagai suatu bentuk agama “post-Kristen,” melainkan suatu ikhtiar untuk lebih memahami Kristus sebagai simbol kesatuan yang utuh seluruh realitas, termasuk pribadi manusia.
Menurutnya, hanya dalam persekutuan dengan Kristus, seseorang dapat menjadi pribadi yang transpersonal, transkultural, dan transsosial. Hanya dalam persekutuan dengan Kristus, seseorang bisa hidup di tengah fakta keberagaman. Orang yang hidup dalam persatuan dengan Kristus tidak akan hidup dalam perpecahan atau isolasi, melainkan hidup dalam kesatuan kasih.
Merton mendasarkan seluruh kristologinya pada ikhtiar pencarian manusia akan identitas dirinya yang sejati (true self). Menurutnya, kepenuhan kemanusiaan kita tidak terletak di luar diri kita, melainkan ada dalam diri kita masing-masing. Perjalanan masuk ke dalam diri harus sungguh-sungguh melampaui ego. Ego (yang disebutnya sebagai false self) yang membentuk segala macam sekat dalam diri mesti dibebaskan.
Dalam hal ini, Merton berbicara mengenai suatu bentuk kelahiran baru “di dalam” diri manusia menuju suatu situasi pembebasan (dari false self ke true self). Dilahirkan kembali secara baru di sini tidak dalam arti menjadi seorang pribadi yang berbeda, melainkan menjadi diri sendiri dan inilah yang menjadi dasar kesadaran transkultural Merton.
Adapun salah satu cara untuk mencapai kesadaran diri yang utuh adalah melalui keheningan (solitude). Hidup dalam keheningan bukan pertama-tama dalam arti pemisahan secara fisik dari dunia, melainkan hidup dalam suatu kesadaran untuk terus menyangkal diri dan membarui diri dalam Allah. Dalam keheningan, kita bisa menyadari diri dan kehadiran Allah dalam diri kita. Dalam keheningan, kita membangun dasar kehidupan kita dalam Allah dan terus menjaganya dengan doa, meditasi, refleksi diri dan kontemplasi.
Hal tersebut setidaknya dapat membantu kita untuk mencapai suatu bentuk keterbukaan diri secara total di hadapan Allah, diri sendiri dan segenap ciptaan. Keheningan yang sejati (true solitude) adalah "rumah" karena dalam keheningan, seorang pribadi berada dalam persekutuan dengan seluruh umat manusia dalam tubuh Kristus. Sebab, Kristus merupakan simbol keutuhan kasih. Ia tidak terbagi dalam diri-Nya, karena Ia sudah selalu terbuka untuk semua. Ia terbuka untuk semua, karena Ia adalah sumber, model, dan tujuan dari segala sesuatu.
Manusia, menurut Merton, baru mencapai kehidupan yang utuh ketika mengalami kepenuhan secara spiritual, intelektual, dan kebebasan, serta mampu menafsirkan kehendak Allah atas dirinya. Manusia akan mengalami kebebasan yang otentik ketika segala macam keterpecahan dalam diri itu disembuhkan. Itu berarti, keheningan amat berperan untuk menyatukan kembali kita dengan diri kita yang sejati, Allah, dan sesama.
Keheningan, yang terus-menerus terpelihara melalui doa, meditasi, kontemplasi, dan refleksi, akhirnya dapat membawa pribadi manusia pada suatu tingkat kesadaran transkultural yang utuh. Sebab, menurutnya, hanya pribadi yang memiliki tingkat kesadaran transkultural yang utuh dapat menerima siapa saja tanpa memandang latar belakang budaya, agama, ras, dan lain sebagainya. Akhirnya, hanya pribadi yang memiliki kesadaran transkultural yang utuh dapat sungguh memahami arti transkultural misteri Kristus.
Gagasan Merton tentang “Kristus transkultural” ini amat membantu kita dalam ikhtiar memahami misteri Kristus dalam dunia yang terus-menerus berubah (berevolusi).
Dalam hal ini, Kristus tidak lagi diklaim sebagai milik agama atau budaya tertentu. Sebaliknya, Kristus dipandang sebagai simbol kesatuan seluruh realitas, yang melampaui agama atau budaya tertentu.
Sentralitas Kristus tidak menjadi halangan bagi kesatuan agama-agama, melainkan menjadi dasar dan sumber kesatuan tersebut. Perbedaan dan keragaman agama dan budaya tidak mengurangi arti Kristus, melainkan manifestasi dari kepenuhan-Nya.
Atau dengan kata lain, kepenuhan Kristus justru terungkap dalam fakta keberagaman budaya dan agama dalam masyarakat bahwasannya hubungan antar manusia itu berdiri sejajar dengan hubungan manusia dengan Tuhan, seperti tampak dalam Puisi K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus):
Aku adalah jasad ruhmu
Fayakunmu
Aku adalah aku
K-a-u
Mu
Tercandra bahwa Tuhan bersemayam di setiap tubuh makhlukNya, apapun agama dan suku nya. Hal tersebut juga menjadi sebuah jawaban ketika kita berhasil memahami apa maksud dari mengapa Tuhan tidak menciptakan segalanya secara sama.
Lebih lanjut, Jalaluddin Rumi dalam puisinya yang berjudul “Tukang Rombeng” menuliskan kalimat-kalimat yang penuh akan penyatuan diri dengan Tuhan dan kasih sayang terhadap sesama. Beliau menuliskan:
"Tiap pagi lewat depan rumahku penjual roti, penjual tahu, pedagang minyak, pedagang sayur, tukang patri, dan tukang sepatu. Di telingaku teriakan mereka hanyalah roti, tahu, minyak, sayur, patri, dan sepatu.
Adakah di balik roti itu kelaparanku akan Dia? Adakah di balik tahu itu kerinduanku mengetahui-Nya?
Adakah di balik minyak itu zat yang menyalakan cinta-Nya?
Adakah di balik sayur itu kesegaran yang hendak dianugerahkan-Nya?
Adakah di balik patri itu lubang yang hendak dimasuki-Nya?
Adakah di balik sepatu itu alas kaki-Nya?"
Suatu afirmasi dari Jalaluddin Rumi atas kerinduannya kepada Tuhan, seolah-olah para pedagang yang lewat di depan rumahnya menampakkan pendar-pendar keagungan Tuhan, tanpa pandang radar dan kadar orang tersebut.
De facto, manusia saat ini lupa berdoa secara nyata. Banyak yang terlalu sibuk mengkotak-otakkan, larut hanyut kepada urusan halal-haram, sesat tidaknya suatu aliran, baik-salahnya suatu perilaku sehingga hal-hal yang seharusnya menjadi esensi malahan menjadi dekorasi dan yang dekorasi malahan diposisikan sebagai yang seakan ber-esensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar