Ads 468x60px

Don Quixote.


"Don Quixote"

Pada suatu siang yang panas, sebuah mobil Mercedes mogok di luar El Toboso, sebuah dusun kecil di Spanyol Tengah.
Tempat ini hanya berpenghuni 2000 orang, terletak di provinsi Toledo di wilayah La Mancha yang membosankan — dan tak akan diingat orang seandainya tak disebut dalam karya Cervantes yang termashur itu, Don Quijote.
Kata yang empunya cerita, El Toboso adalah kota kecil di mana Dulcenia, perempuan yang dikatakan Don Quijote sebagai kekasihnya, tinggal.
Semua itu fiksi, tentu saja. Dulcenia tak pernah ada di El Toboso atau di mana pun; ia hanya produk fantasi Don Quijote, lelaki majenun abad ke-17 itu, yang berperilaku sebagai seorang ksatria kelana, caballero andante, dari zaman dahulu.
Dalam kisah kali ini, fiksi itu digandakan: di tahun 1982, Graham Greene menerbitkan novelnya yang menggunakan El Toboso — tempat Mercedes itu mogok — sebagai desa di mana seorang romo tua tinggal. Namanya, dalam ejaan Inggris, “Quixote”. Konon romo atau padre ini (Lat: pastor, pater, Ingg: father) keturunan tokoh fiktif yang diciptakan Cervantes di tahun 1605.
Aneh, tentu. Tapi Greene kali ini memang hendak menulis sebuah novel yang kocak — tentu, tak hanya kocak: meskipun mengikuti jejak Cervantes, Monsignor Quixote bicara tentang hal-hal serius abad ke-20. Misalnya tentang Marxisme-Leninisme dan iman Katolik — keyakinan-keyakinan besar yang memukau dan merisaukan hidup Greene seperti tersirat dalam novel-novelnya.
Dalam novel kali ini, mobil Mercedes yang mogok di awal cerita adalah kendaraan seorang uskup dari Italia. Romo Quixote menolongnya. Bahkan ia menjamu uskup itu dengan anggur dan steak yang lezat. Ia tak menyangka, ia kemudian menerima sepucuk surat dari Vatikan: ia dipromosikan jadi monsignor.
Uskup setempat kaget dan marah. Selama itu ia memandang Romo Quixote seorang pastur yang lembek dan tak becus. Pembesar gereja ini, anggota Opus Dei, sangat konservatif dan keras; ia memerintahkan Romo Quixote cuti sebelum dibebas-tugaskan. Penggantinya seorang pastur muda, Romo Herrera, yang rapi, berdisiplin.
Dalam cuti itulah Romo Quixote berangkat dari El Toledo bersama temannya, seorang kader Partai Komunis yang baru berhenti jadi walikota karena tak dipilih lagi. Sancho Panza. Dengan nama ini kian jelas Greene mengikuti jalur Cervantes. Menyetir sendiri Fiat tuanya yang ia panggil Rocinante, Romo Quixote menuju Madrid dan Sancho duduk di sampingnya.
Sancho mendesaknya membeli kaos kaki ungu dan atribut lain seorang monsignor. Romo Quixote enggan, tapi Sancho menganggap seragam itu penting — dan ia benar. Di Spanyol yang baru bebas dari kediktaturan Franco, polisi tetap mengawasi warga dengan curiga; seorang monsignor akan diperlakukan dengan lebih hormat.
Perjalanan penuh hal yang sebelumnya tak dikenal pastur tua Quixote: mereka menginap di bordil; Sancho, dengan trauma dikejar-kejar polisi, menganggap tempat itu aman untuk bersembunyi. Di Madrid juga Romo Quixote masuk ke sebuah bioskop yang ternyata memutar film porno; ia terkecoh judulnya, “Doa Perawan”. Di tepi kota ia menolong seorang perampok — yang ternyata kemudian menodongkan pistol kepadanya dan merebut sepatunya.
Pelan-pelan, dari dalam diri rohaniawan ini, terungkap apa yang ternyata tak bisa dipegangnya habis-habisan: keyakinan.
Juga dari dalam diri Sancho. Ketika mereka berdua menghabiskan vodka, kader komunis itu bergumam: “Keyakinan memudar, Romo, seperti perempuan yang menggairahkan.”
Ia tetap mempertahankan iman komunismenya dalam perdebatan-perdebatan kecil dengan Romo Quixote. Tapi diam-diam ia mengakui, Partai bukan tanpa cemar. Di bawah Stalin, komunisme membinasakan banyak orang, sebagaimana Gereja Katolik Spanyol di bawah Torquemada, sang Inkuisitor Agung.
Tak mengagetkan akhirnya Sancho mengatakan ia lebih tertarik kepada pemikiran Miguel de Unamuno ketimbang Lenin. Ia kutip kata-kata filosof itu: “Hidup adalah keraguan, dan iman yang tanpa keraguan mati belaka”.
“Aku coba untuk tak ragu”, kata si kader komunis.
“Ah, aku juga, aku juga”, kata si pastor — yang mengaku tak paham betul doktrin Trinitas.
Ia bermimpi yang membuatnya gundah: Kristus dibebaskan dari salib oleh sepasukan malaikat, dan seluruh dunia jadi tahu pasti Ia Putra Allah. “Tak ada ambiguitas, tak ada ruang untuk sangsi, tak ada ruang untuk iman”. Romo itu hampir putus asa. Ia tak merasa jadi manusia. Diam-diam ia berdoa: “Tuhan, jadikan aku manusia…Selamatkan aku dari sikap tak acuh.”
Kemudian ia mabuk. Ia terlalu banyak minum mengikuti Sancho. Utusan Gereja menculiknya dan ia dilarikan kembali ke rumah. Tapi ia tak menyesali kelakuannya — dan uskup mencopotnya dari tugas kepasturan.
Baginya, itu hukuman mati. Ia kemudian memang meninggal ketika ia, dalam keadaan sakit dan setengah tak sadar, memimpin misa imajiner di sebuah biara.
Tapi kenangan perjalanannya tak terhapus: dengan berbagi keyakinan yang guyah, orang yang berbeda iman dan ideologi bisa saling mengerti, lebih tulus.
(GM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar