Ads 468x60px

KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM
Gelar Raja semesta alam berakar pada salah satu sebutan/gelar Allah YHWH dalam Perjanjian Lama yang paling terkenal yaitu EL SHADDAI, The Almighty God, Allah Yang Maha.
Gelar ini mengungapkan bahwa Allah YHWH itu mengatasi segala dewa bangsa2 lain, juga merangkum semua sebutan:
Elyon, Allah yang Maha Tinggi
El Olam, Allah yang Kekal
El Roi, Allah yang Melihat
Mau digambarkan bahwa YHWH inilah yg paling kuat perkasa dan tidak ada ALLAH lain selain Dia. Allah inilah yg masuk ke dalam sejarah manusia, bukan Allah yang hanya abstrak di buku buku suci ataupun dunia ide.
Allah yang dengan kuasa dan gagah perkasa namun sekaligus penuh belas kasih dan pengampunan. Allah yang pencemburu namun karena kasih bukan karena cinta diri.
Nah gambaran Allah seperti itu mulai ditempelkan pada Yesus. Karena Gereja perdana, yang mulai terpisah dari agama yahudi, mulai merefleksikan secara baru bahwa Allah yang hadir dalam PL kini betul2 sungguh dan sudah hadir dalam Yesus.
Yang menarik dalam semua bacaan pada minggu ini adalah gambaran Yesus sebagai Raja dan gembala. Mengapa? Kita ingat siapa raja dalam PL yang paling hebat. Raja Daud, yang adalah seorang gembala.
Gambaran raja di penghakiman terakhir yang memisahkan hamba baik dan jahat kiranya akan sangat tidak adil bila tidak dibaca dalam konteks bac pertama dan Mazmur.
Dalam Yehezkiel, Allah mewahyukan diriNya dengan simbol gembala yang baik, yang memberi makan minum domba2Nya, melindungi dari kegelapan dan bahaya, mencari yang hilang, menyembuhkan yang terluka dan sakit, menguatkan yang lemah.
Tindakan penggembalaan ini dilakukan setiap hari. Artinya kasih Allah kepada manusia, bukan sekedar teori, otoriter, melainkan nyata.
Allah sungguh hadir dalam keseharian.
Hal itu diperjelas dalam Mazmur yang merupakan suatu tanggapan indah dari para domba yang merasakan dasyatnya penggembalaan Allah.
Kasih Allah yang sungguh nyata itu mengundang kita untuk membalas kasih itu secara nyata juga lewat karya untuk sesama yang kecil lemah miskin tersingkir dan difable. (Mat 25).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Va’ dove ti porta il cuore
“….Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus diambil,
janganlah memilihnya dengan asal saja,
tetapi duduklah dan tunggulah sesaat.
Tariklah nafas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan,
seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini.
Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu,
tunggulah dan tunggu lebih lama lagi.
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu.
Lalu ketika hati itu berbicara,
beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu….”.
Va’ dove ti porta il cuore
B.
M.A.G.I.S
Anugerahkanlah kepadaku ya Tuhan,
kemampuan untuk dapat melihat segala sesuatu
kini dengan mata baru;
untuk memilah-milah, memilih-milih lalu
menguji roh yang dapat membantu diriku
membaca tanda-tanda jaman;
untuk mencecap nikmat segala hal yang menjadi milikMu
dan untuk mewartakan segala ini kepada pribadi-pribadi di luar diriku
Berilah aku kejernihan pemahaman yang Engkau berikan kepada Ignatius.
(Pedro Arrupe, 1907-1991)
Magis, adalah istilah dalam Spiritualitas Ignasian yang berarti “Lebih”. Tentunya istilah ini digali dari motto para Jesuit sendiri “Ad Maiorem Dei Gloriam”. Dengan kata “Magis” berarti seseorang mau berbuat lebih, tidak cepat berpuas diri, tidak “suam-suam” kuku, seenaknya, bersantai ria, tetapi secara optimal mau mencari dan mewujudkan kehendak Allah dalam hidupnya dan tugas panggilannya bagi orang-orang di sekitarnya.
Dalam buku saya, “Via Veritas Vita” (RJK), semangat magis ini juga berakar pada jiwa dan semangat Latihan Rohani: Apa yang telah saya perbuat untuk Tuhan? Apa yang sedang saya perbuat untuk Tuhan? Dan apa yang akan saya perbuat untuk Tuhan?
Bicara lebih lanjut seputar kata “magis”, inilah permenungan sederhana di hari ke-17, ketika saya mengadakan retret pribadi di Rawaseneng tahun lalu:
“Hari ini, aku juga terkesan lagi dengan kata “magis”. ”Magis” itu tidak hanya salah satu ciri, tetapi seharusnya menyangkut keseluruhan hidupku sebagai seorang imam yang berhasrat untuk menjadi pontifex atau jembatan – ex officio – antara manusia dan Tuhan. Aku melihat lebih dalam, dari waktu ke waktu, kehidupan Yesus juga merupakan dinamika peziarahan mencari dan menemukan, menjalani arah kehidupan yang Magis, kemuliaan Allah Bapa yang selalu lebih besar, pelayanan kepada sesama yang makin purna, usaha-usaha yang makin umum, dan sarana-sarana pewartaan Kerajaan Allah yang lebih efektif sekaligus lebih afektif. Sifat dan karakter, sikap dan parameter yang cenderung mediocritas (yang setengah-setengah) tidak nampak dalam laku hidup Yesus. Inilah juga yang ingin kudapatkan, belajar terus menjadi imam yang total, sepenuh dan seutuhnya. Bukankah seorang imam yang ingin bersemangat magis terus menerus rela dibimbing bahkan kadang dibentur-hancurkan untuk menemukan dan meneruskan kembali apa yang lebih dan apa yang magis dalam karya dan wartanya? Aku terkenang lagi untuk bertanya tentang arti seorang imam, yang kadang diharapkan menjadi manusia setengah dewa. Ya Tuhan, inikah imamMu? ”Inikah Manusia Andalan Mu?”Kuingat sebuah nama seorang anak muda dari daerah Parakan yang berziarah beberapa hari di pertapaan Rawaseneng. Adi namanya. ”Andal mengabDI” artinya. Semoga aku juga semakin andal mengabdi Tuhan selamanya.”
Pastinya, terimaKASIH banyak untuk Rama Priyono Marwan, SJ yang berkenan mengirimkan tulisan Rama Susilo SJ mengenai tujuh matra pokok soal arti "magis" sebagaimana sumber-sumber yang andal menerangkannya. Semoga kita semua yang ingin selalu belajar menjadi “magis, selalu “sehat, semangat dan sukacita.”
1. Visi USD (Universitas Sanata Dharma) dalam Renstra 2013–2017 dirumuskan sebagai berikut: “Menjadi penggali kebenaran yang unggul dan humanis demi terwujudnya masyarakat yang semakin bermarta¬bat.” Kemudian dalam deskripsi mengenai Visi tersebut dijelaskan bahwa “unggul” merupakan terjemahan dari kata bahasa Latin “magis” yang berarti “lebih”. “Lebih” dimaknai bukan dalam suatu kerangka kompetisi atau perbandingan antara individu satu dengan individu lain atau lembaga satu dengan lembaga lain, melainkan dalam kerangka pengembangan diri seca¬ra terus menerus (Renstra USD 2013–2017, hlm. 70).
2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “unggul” berarti 1) lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dsb) daripada yang lain-lain; 2) menang. Jadi sebenarnya kata “unggul” itu mengandung arti “lebih” dibandingkan dengan yang lain-lain. Dalam deskripsi Visi USD tersebut, kata “ung¬gul” (magis) itu dipakai dalam arti “pengembangan diri secara terus menerus”, yaitu “setiap individu yang terlibat di USD diharapkan mampu mengembangkan bakat serta kemampuan pribadi¬nya dari tahapan satu ke tahapan lain yang lebih jauh atau le-bih tinggi”.
3. Menurut penelitian Barton T. Geger (2012), St. Ignatius dan kawan-kawannya para Yesuit awal tidak pernah menggunakan kata Latin “magis” untuk menjelaskan suatu unsur dari spiritua¬litas Ignasian. Menurut Geger, orang yang pertama kali menggunakan kata “magis” itu adalah Karl Rahner, seorang teolog Yesuit, dalam tulisannya sekitar tahun 1960 yang mem-bahas “Azas dan Dasar” dalam Latihan Rohani St. Ignatius. Kemudian Pedro Arrupe ber-ulang kali menggunakan kata itu sesudah ia dipilih menjadi Jenderal SJ pada tahun 1965. Dan selanjutnya kata itu sering muncul dalam dokumen-dokumen resmi Konggregasi Jenderal (KJ) sejak KJ 32 tahun 1975.
4. Banyak interpretasi mengenai makna istilah “magis” yang beredar dalam institusi-institusi Yesuit sampai saat ini. Menurut Geger, interpretasi mengenai makna istilah “magis” yang baik harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1) berakar dalam spiritualitas Ignasian seperti di¬gariskan oleh St. Ignatius sendiri; (2) mudah dipahami dan relevan; (3) tidak mudah disalah¬tafsirkan; dan (4) cukup konkret untuk dapat dilaksanakan dan diukur dalam praktek hidup yang nyata. Berikut akan dibahas pemaknaan “magis” yang paling dapat memenuhi keempat syarat yang dikemukakan oleh Geger itu.
5. Kata “MAGIS” memang berasal dari bahasa Latin yang berarti “LEBIH”. Semangat LEBIH itu berakar dalam spiritualitas Ignasian, yang terkandung dalam dalam dua karya tulis St. Ig-natius Loyola (1491–1556), pendiri Serikat Yesus, yaitu “Latihan Rohani” (1548) dan “Kon-stitusi Serikat Yesus” (1558). Dalam “Azas dan Dasar” dari buku Latihan Rohani (LR) terse-but, St. Ignatius menyatakan: “Manusia diciptakan untuk memuji, memuliakan, dan mengabdi Allah, dan dengan demikian menyelamatkan jiwanya… Kita hanya menginginkan dan memilih apa yang LEBIH membantu kita untuk mencapai tujuan kita diciptakan itu.” (LR 23). Dalam Konstitusi Serikat Yesus, St. Ignatius menggariskan suatu cara bertindak yang khas dalam Serikat Yesus untuk memberikan pedoman bagaimana seharusnya se¬orang Pem¬besar Serikat Yesus memberikan tugas kepada para anggotanya: “Untuk memutuskan dengan le¬bih tepat dalam mengutus orang ke tempat ini atau ke tempat itu, Pembesar harus berpedo¬man pada pelayanan yang LEBIH besar kepada Allah dan kebaikan yang LEBIH universal sebagai norma yang menjamin bahwa dirinya berada pada langkah yang benar.” (Konst. 622 [a]). Kebaikan yang lebih universal menurut St. Ignatius adalah perwujudan konkret dari pelayanan yang lebih besar kepada Allah, seperti ditulisnya: “Semakin universal kebaikan itu, semakin bersifat ilahi (the more universal the good is, the more is it divine).” (Konst. 622 [d]). Berdasarkan kedua sumber asli tersebut, KJ 35 (2008) dalam Dekrit 2 memaknai se¬mangat MAGIS itu sebagai “to be ever available for the more universal good” (selalu tersedia untuk mewujudkan kebaikan yang lebih universal), seperti sejak semula telah di¬gariskan oleh St. Ignatius.
6. Semangat MAGIS itu secara operasional terwujud pada saat kita melakukan pilihan, khusus-nya dalam memilih antara dua hal yang sama baiknya (bukan memilih antara yang baik dan yang tidak baik). Dilandasi semangat tersebut, kita selalu akan memilih apa yang LEBIH membantu kita untuk mencapai tujuan kita diciptakan, yaitu apa yang LEBIH menambah kemuliaan Allah (Ad Maiorem Dei Gloriam – AMDG). Perwujudan semangat MAGIS itu mengandaikan perlunya kebebasan batin yang membuat kita tidak terbelenggu pada keingin-an-keinginan pribadi kita, tetapi selalu terbuka untuk memilih apa yang LEBIH menambah kemuliaan Allah. Secara lebih rinci Dekrit 4 KJ 35 menegaskan bahwa pelaksanaan sema¬ngat MAGIS itu mengandaikan adanya “discernment, freedom, and creativity”. Diperlukan penegasan rohani yang dilandasi kebebasan batin mengenai mana yang sungguh merupakan kehendak Allah (kebaikan yang lebih universal), dan kreatifitas untuk melaksanakannya.
7. Secara lebih konkret memilih apa yang LEBIH menambah kemuliaan Allah berarti memilih apa yang menghasilkan kebaikan yang lebih universal (the more universal good), yaitu memilih berdasarkan apa yang akan menghasilkan dampak positif paling besar bagi umat manusia. Contoh: Ketika Serikat Yesus didirikan pada tahun 1540, tujuan utamanya adalah untuk pergi ke mana saja dan berkarya di tempat mana saja yang paling dibutuhkan oleh Gereja. Pada waktu itu karya sekolah tidak menjadi pilihan karena karya ini membutuh¬kan tenaga-tenaga yang harus menetap di suatu tempat. Tetapi sejak tahun 1546, dilandasi sema-ngat MAGIS itu, St. Ignatius berganti haluan dan memerintahkan untuk didirikannya seko-lah-sekolah karena ia semakin menyadari dampak positif karya pendidikan di seko¬lah untuk kebaikan yang lebih universal.
Tuhan Yesus, kini aku mohon kepadaMu:
bantulah aku
agar tetap bersamaMu selalu,
agar tetap dekat padaMu dengan hati berkobar,
agar tetap gembira mengemban perutusan yang
Engkau percayakan kepadaku, yakni:
melanjutkan kehadiranMu,
dan menyebarkan berita gembira –
Engkau telah bangkit!
(Carlo Maria Martini)
C.
IN TE CONFIDO.
“Djamin alias Imin alias Darmoyuwono”
Siapakah dia?
Justinus Darmoyuwono nama lengkapnya.
Djamin nama panggilannya (teman- teman sekolahnya memanggilnya, “Imin”).
Ia adalah seorang imam diosesan dari Keuskupan Agung Semarang. Dialah kardinal pertama di Indonesia, yang diangkat pada tanggal 29 Juni 1967.
Ia sendiri lahir di Klewonan, Godean, Yogyakarta, pada tgl 2 November 1914, kira-kira 13 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta, tidak jauh dari desa kelahiran Pak Harto, mantan Presiden RI.
Darmojuwono, Uskup Agung Semarang, yang adalah alumnus Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, dan Universitas Gregoriana, Roma, Italia ini, pernah mengatakan,
“Seumur-umur, saya tidak pernah memimpikan menjadi uskup agung apalagi kardinal. Sejak pertama saya masuk seminari, cita-cita saya hanya mau menjadi pastor biasa. Sinting apa, berpikir untuk menjadi uskup, uskup agung, atau kardinal.”
Dia menjadi imam selama 46 tahun 7 bulan, menjadi uskup selama 29 tahun 8 bulan, dan menjadi kardinal selama 26 tahun 6 bulan.
Apa cita-citanya?
Darmojuwono, yang pernah menjadi pastor tentara pada 1950-an, sejak kecil bercita-cita menjadi guru.
Oleh karena itu, setelah lulus dari sekolah dasar Ongko Loro pada 1931, kemudian dia masuk di asrama sekolah guru Normall School, Muntilan, Jawa Tengah. Tapi, setelah lulus dari sekolah guru dan melihat teladan para pastor Belanda, ia malahan masuk asrama seminari.
Satu hal yang diinginkannya hanyalah menjadi pastor biasa. Baginya, menjadi pastor biasa bisa lebih akrab dengan rakyat kecil. Inilah juga yang mendorongnya menetap di kompleks Perumnas, setelah pensiun sebagai Uskup Agung Semarang. ‘’Ingin hidup di tengah pergolakan hidup,’’ katanya.
Memang benar, sejak Desember 1981, ia tinggal di sebuah rumah di Banyumanik, bagian selatan Kota Semarang. Di situlah sebagai pastor biasa, ia memimpin sebuah paroki kecil, Gereja St. Maria Fatima, dengan jemaat empat ribu orang.
Bagaimana hidup sehari-hari dalam keluarganya?
Sebagai anak desa, ia mengaku senang dan bangga. Keluarganya tidak kaya, namun cukup, boleh dikatakan harmonis.
Disiplin dalam keluarganya sangat terjaga.
Katanya, “Kami semuanya harus kerja keras. Di samping sekolah, saya, kakak, dan adik saya harus kerja di rumah. Setelah pulang sekolah, ada yang kerja di sawah, memelihara tanaman di kebun, atau mencarikan rumput untuk
makanan ternak. Karena kami memelihara beberapa ekor kambing, kerbau, dan sapi. Saya sendiri mendapat tugas memelihara tiga ekor kerbau.”
Ayahnya, Surodikira adalah lurah desa, ibunya bernama Ngatinah. Seperti juga pada umumnya wanita Jawa di masa itu, Ngatinah menangani pekerjaan rumah dan ngopeni (mengasuh) putra-putrinya.
Dalam keluarga, mereka kerap membuat macam-macam slametan (kenduri).
Jika ada anggota keluarga yang meninggal, mereka mengadakan slametan: membuat tumpeng, mengundang orang dan santri untuk berdoa bersama.
Seperti apa orang tuanya?
Kedua orang tuanya pada awalnya bukan Katolik, tapi juga tidak sholat, mungkin lebih tepat disebut sebagai Islam abangan atau pengikut Kejawen.
Setiap malam Jumat, ayahnya selalu membakar kemenyan dan menyebar kembang di tempat yang dianggap keramat.
Menurut pengakuan Djamin, ketika ia bertanya untuk apa ayahnya melakukan hal itu, jawabnya, “Ya kanggo nyuwun marang ingkang murbeng jagad, supoyo olehe golek sandang pangan lancar. Supoyo anggonmu podo sekolah ugo lancar.” (Ya untuk minta kepada Tuhan agar mudah mencari sandang pangan, supaya sekolahmu juga lancar).
Upayanya bertingkah laku yang baik ternyata menarik orang tuanya sendiri. Jusup Surodikira, ayahnya, akhirnya dipermandikan oleh Darmojuwono sendiri (1952).
Pada saat usia tua dan sudah sakit-sakitan, Surodikira minta untuk dibaptis, “Aku ingin mengikuti jejakmu. Aku minta dibaptis. Tapi, aku tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu cuma para nabi,” ucapnya.
Setengah tahun kemudian setelah dibaptis, bapaknya meninggal dan dimakamkan dengan tata cara agama Katolik: dimasukkan dalam peti mati, dan diberi pakaian yang bagus.
Pada saat upacara pemakaman, ibunya, Ngatinah berbisik kepada Djamin:
“Kalau kelak aku meninggal, dandani juga seperti ayahmu. Dimasukkan peti, pakai baju segala.”
Ibunya meninggal tepat di hari Natal 1963 setelah dibaptis juga olehnya dengan nama baptis Maria.
Gambaran masa kecilnya?
Djamin bersekolah di Sekolah Dasar Desa Gedongan, waktu itu namanya sekolah Ongko Loro, kira-kira lima kilometer dari desa.
Dia selalu berjalank kaki bila pergi ke sekolah. Melompat-lompat di atas balok rel lori tebu.
Jika pulang sekolah bersama teman-temannya, dia memilih jalan terobosan yang dekat. Melintasi galengan (pematang) sawah dan ladang.
Katanya lagi, “Enaknya, kalau tebu sudah mulai tua. saya dan teman-teman ngrampasi tebu, ha ... ha ... Semua anak, waktu itu, sama. Kalau pulang sekolah, pasti nyolong tebu. Kami haus karena jalan kaki jauh. Kalau mau beli minuman, dilarang Ibu.”
Dia mengakui, waktu bermain cuma sebentar, paling-paling ramai ramai mandi di kali pada sore hari, katanya.
Di sore hari, sebelum waktu belajar, mereka biasa makan bersama. Dia belajar di sebuah meja bundar, diterangi lampu teplok.
Seusai belajar pribadi atau kadang bersama dengan beberapa temannya, ibunya pasti menyuguhkan segelas teh manis panas dan pelbagai makanan kecil: ketela, singkong, kimpul, semuanya hasil kebun sendiri.
Mengapa Darmojuwono menjadi Katolik?
Dia mengakui, pengaruh kakaknya (bernama, Janis), yang kebetulan juga bersekolah di Sekolah Katolik, membuatnya jadi kerap membaca kisah dalam Kitab Suci dan buku-buku mengenai Yesus juga Gereja.
Pada 1932, ketika dia sedang belajar di sekolah guru di Muntilan, dia dibaptis dengan nama permandian Justinus.
Hal apa yang membuatnya tertarik untuk menjadi pastor?
Menurut rohaniwan kelahiran Yogyakarta itu, agama tidak ada gunanya tanpa teladan.
Tatkala di sekolah guru Muntilan, dia selalu ikut Cembengan (perayaan menjelang giling) di pabrik-pabrik gula.
Di situlah, dia menyaksikan perbedaan tingkah laku orang-orang Belanda yang bekerja di pabrik- pabrik dengan orang-orang Belanda yang menjadi pastor.
Dia melihat, orang Belanda yang bekerja di pabrik itu punya banyak perempuan
(“gundik”). Selain itu, mereka juga suka muring-muring (marah-marah) kepada orang lain.
Dia membandingkannya dengan para pastor Belanda.
Mereka memberikan teladan: terkesan arif dan bijaksana, sopan dan tidak pernah marah kepada orang lain. Lalu, dia berpikir, daripada jadi guru, lebih baik sekalian menjadi pastor saja.
Adalah suatu kisah.
Setelah lulus sekolah guru di Muntilan, dia mendaftarkan diri di Seminari Menengah Mertoyudan.
Mendengar bahwa dia ingin menjadi pastor, ayahnya keberatan. Ia menasihati Djamin. “Pastor itu tidak kawin, tidak punya anak, tidak digaji. Orang hidup tak memiliki keturunan, dan tidak makan jerih payah sendiri, itu tidak lumrah.”
Djamin tak berani membantah langsung, meskipun waktu itu dia sudah berumur 21
tahun.
Satu hal yang dia ingat betul, sehari sebelum keberangkatannya masuk Seminari, Pada waktu itu, 30 Agustus 1935 malam, seluruh sanak saudara dan keluarganya berkumpul di rumahnya.
Ternyata, semua orang-orang tua yang hadir pada waktu itu sudah dibujuk bapaknya untuk membatalkan niat Djamin menjadi pastor.
Akan tetapi, karena keinginan Djamin sudah kuat, akhirnya bapaknya berkata, “Aku tidak akan menentang panggilan Tuhan. Sebab, menentang Tuhan itu besar dosanya. Sudah, berangkatlah, aku berkati. Hanya, semoga menjadi pastor itu bukan panggilan jiwamu.”
Bagaimana juga perjalanan panggilannya?
Setelah lulus dari seminari Mertoyudan, dia melanjutkan ke Seminari Tinggi
St. Paulus, Yogyakarta, pada 1941.
Ia ditahbiskan sebagai imam diosesan, pada tanggal 25 Mei 1947 oleh Mgr. Soegijapranata di Gereja St. Antonius, Kotabaru, Yogyakarta.
Ia sendiri ditahbiskan bersama 3 orang imam lainnya, yaitu Romo Pusposoegondo, Romo Pojohardoyo, dan Romo Hadisudarso.
Saat itu, Indonesia masih dalam suasana prihatin, pertempuran dengan
tentara Belanda terjadi di mana-mana sehingga tidak ada pesta besar dalam tahbisan imam, bahkan juga tidak dibuat foto untuk kenang-kenangan.
Sebagai pastor, pertama kali dia ditugaskan di Gereja Kidul Loji, Yogyakarta
selama 35 hari.
Kemudian dia ditugaskan di Ganjuran, Bantul, kira-kira 15 kilometer sebelah selatan Yogyakarta. Berhubung karena Seminari Menengah di Ambarawa cerai-berai karena perang, maka Vikariat Semarang memutuskan untuk mengumpulkan para seminaris di Ganjuran, Bantul. Disitulah, dia dipercaya untuk menangani mereka.
Selain mengajar di seminari, dia juga mendapat tugas melayani umat Katolik di sekitar itu dan mengelola rumah sakit di Ganjuran.
Pertengahan 1950, ia pindah tugas ke Klaten, Jawa Tengah, menjadi pastor paroki pada Gereja Maria Assumpta, Klaten, merangkap sebagai pastor pembantu militer. Pada waktu itu komandan militernya dipegang Pak Harto, mantan Presiden RI.
Dari Klaten, kemudian ia berpindah ke Solo pada 1952. Hanya beberapa bulan di Solo, kemudian ia mendapatkan tugas belajar misiologi di Universitas Gregoriana, Roma.
Sekembali dari Roma, ia menjadi pastor pembantu di Purbayan, Solo, merangkap pastor pembantu militer.
Selain itu, ia juga ditugasi merintis berdirinya sebuah Gereja di Solo bagian utara. Pertengahan 1961, Gereja itu mulai ditempati, meskipun belum selesai seluruhnya. Kemudian dia diangkat menjadi bouwpastoor, semacam pastor kepala, di gereja itu.
Gereja itu kelak bernama Gereja Maria Regina Purbawardayan.
Pada 1962, dia berpindah ke Semarang, menjadi pastor kepala di Paroki Katedral Randusari, Semarang, merangkap Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang. Kemudian, Uskup Agung Semarang, Mgr. Soegijapranoto meninggal dalam perjalanan ketika menghadiri Sidang Konsili Vatikan II di tahun 1962.
Oleh karena itu, dia ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang pada tanggal 6 April 1964, oleh Mgr. Ottavio De Liva, Internuntius (Duta Besar Vatikan) di Indonesia saat itu.
Dia diangkat menjadi kardinal oleh Paus Paulus VI pada 26 Juni 1967.
Pengalaman y ang di a ingat ketika menj adi
p astor paroki?
Tatkala Bantul mulai diduduki Belanda, banyak tentara RI yang mengungsi
di rumah sakit Ganjuran, Bantul. Kepada tentara yang tinggal di rumah
sakit, dia menyarankan memakai sarung dan berpura-pura menjadi orang
sakit. Oleh karena itu, ketika Belanda datang, dia katakan pada mereka
bahwa yang tinggal semuanya orang sakit, kecuali dirinya dan suster-suster.
Segerombolan tentara Belanda datang, memeriksa, menggeledah dan
mencari tentara RI. Dalam situasi itulah, ia berkata, “Ini rumah sakit, yang
ada orang sakit. Semua yang ada menjadi tanggung jawab saya. Kalau kamu
akan mengganggu orang-orang di sini, saya akan laporkan pada atasanmu.”
Pada masa perang itu, bahan makanan sulit didapat. Uang ORI
dinyatakan tak berlaku, yang berlaku hanya uang gulden, mata uang
Belanda. Dia berkeliling dengan sepeda ontel ke berbagai tempat meminta
sumbangan apa saja, untuk membiayai para korban perang di rumah sakit,
juga untuk memberi makan para seminaris, dan pengelola rumah sakit juga
Gereja. Dia juga mencari kayu bakar untuk memasak. Ketika ia bertugas
menjadi pastor paroki di Gereja Maria Assumpta, Klaten, ia ingat menjelang
Natal 1950, pabrik gula Klaten dibumihanguskan. Siang malam orang-orang
mengangkuti gula dari pabrik itu. Bahkan sampai ada yang mati tertimbun
gula. Siang malam orang-orang terus menjarah gula sampai habis. Tidak
hanya barang-barang yang ada di pabrik gula yang dijarah rakyat, barangbarang
yang ada di sekolah pun mereka angkuti. Bangku, kursi, bahkan
dinding pun dicopoti.
Kesibukannya sebagai Kardinal sekaligus Uskup Agung Semarang?
Dia tidak tahu mengapa dia diangkat menjadi Kardinal. Yang jelas, sejak
ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang pada tahun 1963, ia sibuk
mengadakan pelbagai kunjungan ke paroki-paroki, peresmian juga
pemberkatan pelbagai paroki dan Gua Maria baru di wilayah Jawa Tengah.
Pada tahun 1964 ia juga dipercaya menjadi Ketua MAWI (Majelis Agung
Wali Gereja Indonesia (sekarang KWI, Konferensi Wali Gereja Indonesia).
Dia pernah mengatakan, “Setelah saya menjadi kardinal, pekerjaan
saya lalu banyaknya tidak karuan. Dalam setahun, 180 hari saya tidak di
rumah, seratus hari di antaranya berada di luar negeri. Saya keliling dunia
untuk urusan Gereja. Kadang-kadang di negara Asia, Amerika Latin, Eropa.
Bahkan setahun dua kali harus pergi ke Roma.“ Tatkala kunjungan Paus ke
Manila pada tahun 1970, dia mengadakan lobi ke mana-mana, bersama
Uskup Labayen dari Fipilina dan Kardinal Kim dari Korea untuk merintis
terbentuknya Konferensi Para Uskup Asia (FABC, Federation of Asian Bishops
Conferences).
Dia juga beberapa kali bertemu Bung Karno, di kediamannya maupun
di Jalan Merdeka. Pada suatu pagi, dia ditanya oleh Bung Karno, “Romo
Agung, bagaimana, apakah orang yang menjadi duta besar di Vatikan itu
harus orang yang tidak menikah?” Jawabannya tentu saja tidak; duta besar
di Vatikan itu juga boleh menikah. Orang-orang pada waktu itu, termasuk
Bung Karno, sering memanggilnya dengan sebutan Romo Agung, walaupun
ia mengaku sebenarnya lebih suka dipanggil romo saja.
Apa y ang di a kenang dari tanah Vatikan?
Pelantikannya sebagai kardinal. Ia dilantik di Kapel Sistina, sebuah kapel
indah di dalam kompleks Basilika St. Petrus, Roma. Pengangkatannya
menjadi kardinal berbarengan dengan pengangkatan beberapa kardinal
lainnya, di antaranya Kardinal Karol Wojtyla dari Polandia, (yang kelak
menjadi Paus Yohanes Paulus II). Satu hal yang lain lagi, pada tahun 1978,
ketika berlangsung konklaf, untuk memilih pengganti Paus Yohanes Paulus
I (yang hanya bertakhta selama satu bulan), Kardinal Darmojuwono duduk
persis di samping Kardinal Karol Woytilla. Sejarah kemudian mencatat
bahwa Wojtyla yang orang Polandia itu akhirnya terpilih sebagai Paus baru
dengan nama Yohanes Paulus II. Pada 25 Agustus 1978, dia juga hadir dan
ikut dalam pemilihan serta penobatan Paus Yohanes Paulus I. Kemudian,
16 Oktober 1978, dia juga hadir dan ikut dalam pemilihan dan penobatan
Paus Yohanes Paulus II. Dia juga pernah menjadi anggota Departemen
Inkulturasi Liturgi dan Departemen Non-Kristiani yang membidangi
agama-agama non-Kristiani. Dia juga pernah menjadi anggota Departemen
Sakramen. Setiap kardinal juga memperoleh sebuah gereja khusus di Roma,
yang sering disebut Gereja Titel Kardinal. Dengan demikian, semua kardinal
mempunyai ikatan khusus dengan Dioses Roma. Gereja Titelnya sendiri
terletak di salah satu jalan yang ramai, yakni Via Del Carso No. 45.
Bagaimana kehidup an dan ke s ibukan di ma s a
p ens iunny a?
Setelah enam belas tahun menjadi Uskup Agung Semarang, Darmojuwono
meminta mengundurkan diri kepada Tahta Suci Vatikan pada Januari 1980.
Alasannya, keadaan kesehatannya tidak lagi mengizinkan dirinya mengurus
keuskupan yang semakin berkembang itu. Permintaan itu baru dikabulkan
Paus setahun kemudian. ‘’Saya tidak ingin tergolek begitu saja, seperti dalam
museum. Saya tidak bisa menganggur,’’ Begitu pengakuannya. Oleh karena
itu, lepas dari jabatan sebagai uskup agung, rohaniwan sederhana ini tetap
menyibukkan diri. Ia bangun pagi-pagi, membaca surat kabar Kompas, Suara
Merdeka, dan majalah Time. Itulah caranya mengatasi kesepian. ‘’Kalau
tidak ada kerja, saya merenung, bersemadi, kadang berkorespondensi, atau
mengunjungi umat dengan berjalan kaki, hitung-hitung sambil berolah raga.”
Sesekali, ia juga memberi konferensi bagi para suster-suster Fransiskanes
(OSF), yang sudah berusia senja, 70-80 tahun. Jelasnya, bangun pagi adalah
kebiasaan rutinnya, karena pukul 05.00 dia harus mempersiapkan misa
untuk umat. Setelah selesai, lalu dia membaca koran dan buku-buku, sampai
makan siang. Setelah makan siang, dia beristirahat sebentar. Pukul 14.30 dia
sudah siap menerima tamu lagi dan menyelesaikan pekerjaan yang belum
rampung. Pada malam hari, biasanya dia habiskan dengan membaca buku
sampai pukul 21.00, lalu menonton siaran “Dunia dalam Berita” TVRI.
Kemudian istirahat.
Memang, tatkala memasuki masa pensiun dan berpindah ke
Banyumanik, dia tidak membawa apa-apa. Semuanya masih ditinggal
di keuskupan. Bahkan pakaian kardinal juga masih tersimpan di sana.
Selama tinggal di Banyumanik, dia sering menjadi langganan orang-orang
yang minta sumbangan dan bantuan. Katanya, “Yang rutin saja, setiap
bulannya, ada lima organisasi sosial yang datang. Saya memang tidak bisa
memberi sumbangan banyak. Paling-paling cuma Rp 2 ribu sampai Rp 3 ribu
per organisasi. Karena memang saya tidak kaya. Selain itu, ada juga orangorang
yang secara pribadi datang kepada saya, meminta bantuan. Ada yang
minta bantuan untuk membayar uang sekolah anaknya, ada yang terdampar
lalu minta sangu untuk ongkos pulang. Kalau cuma minta sangu atau minta
sumbangan, kalau memang itu sungguh-sungguh, ya saya beri. Pernah datang
seseorang yang mengaku anggota DPR. Pada saya, ia mengaku mobilnya rusak
menabrak pohon, kehilangan barang ini dan itu, dan kehabisan uang. Dia
minta uang bensin untuk perjalanan dari sini ke Cirebon. Lalu saya suruh
menghitung berapa liter habisnya bensin buat perjalanan dari sini ke Cirebon,
dan berapa uang yang dibutuhkan untuk sangu. Waktu itu dia minta duit
sekian puluh ribu. Ya, saya kasih saja. Eee, ternyata dia itu penipu. Tapi kan
tidak semua orang yang datang kepada saya itu menipu? Andaikata ada yang
menipu, toh tidak banyak juga. Kan lebih baik ditipu, daripada menipu?”
Saat memasuki masa pensiun, waktunya juga lebih banyak terpakai
untuk membaca buku. Ia membeli buku sendiri dari toko. Setiap ada buku
baru yang bagus, dia pasti membelinya. Ruang pribadinya merupakan ruang
kerja sekaligus perpustakaan. Dia senang membaca buku-buku masalah
sosial, buku tentang pergerakan suatu bangsa, juga tentang pergerakan agama
seperti DI/TII. Untuk menulis buku, dia mengakui sudah tidak sanggup
lagi. Dia dari dulu juga lebih sering menulis naskah pidato atau makalahmakalah
untuk seminar. Biasanya mengenai masalah pendidikan, sosial,
agama, dan kependudukan. Kardinal Justinus Darmojuwono sendiri wafat
pada tanggal 3 Februari 1994, dan dimakamkan di Makam Muntilan.
Beberapa pernyataan dari Kardinal
Darmojuwono y ang baik untuk kita ingat?
Menurut Rm. Sumaryo, ketika menjadi Ekonom KAS, dia belajar banyak
soal kejujuran dalam pengurusan atau pengelolaan harta benda dari sosok
seorang Justinus Kardinal Darmojuwono, Pr. Ketika kardinal meninggal,
dan ia diminta membongkar kamar almarhum, ia terkesan dengan ketertiban
dan pengelolaan uang yang dilakukan Bapak Kardinal, antara lain semua
pemasukan dan pengeluaran uang dicatat setiap hari, misalnya biaya cukur,
biaya bayar jalan tol, biaya membeli obat nyamuk, penerimaan stipendium,
“dana pensiun” sebagai Uskup, dan seterusnya. Bahwa hal itu dikerjakan
setiap hari tampak terlihat dalam tulisan tangan. Atau juga, ketika Kardinal
hendak berpindah ke Banyumanik dan Keuskupan Agung Semarang berniat
memberikannya mobil, dia malahan dengan lembut menolaknya. Katanya,
“Kalau saya mau ke Semarang, bisa jalan kaki lalu naik angkutan umum.”
Masih banyak lagi hal baik, yang bisa dipetik, tapi kali ini saya hanya
mengangkat empat pernyataan beliau sebagai berikut.
Pernyataan yang pertama, “Sesungguhnya, baptis itu tidak dapat
menjamin seseorang untuk naik surga. Tatkala saya masih belajar di Seminari,
dilaksanakan Natalan yang bagus sekali. Kalau ibu saya (waktu itu belum
dibaptis), menyaksikan peristiwa itu, tentu saja, tidak akan bisa merasakan
dan menghayatinya. Karena, ya, dunianya lain. Tapi, kalau ada surga, tentu,
ayah dan ibu saya naik surga. Tidak hanya saya yang mengatakan bahwa ayahibu
itu orang baik. Para tentangga, dulu, menyanjung ayah-ibu saya memang
orang baik. Hampir semua tetangga saya beranggapan demikian. Jadi, bagi
saya, Kerajaan Allah bukan hanya ikut Gereja. Kerajaan Allah adalah untuk
siapa saja yang melakukan kehendak Allah. Kalau orang itu baik dan berbudi
luhur, tentu, akan masuk Kerajaan Allah. Yang dilihat Tuhan itu bukan yang
sorbanan, bukan pula yang jubahan, tapi hati yang berkenan. Kerajaan Allah
lebih luas dari agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan lainnya.
Karena Tuhan tidak bisa diukur dengan semua itu. Apakah semua orang yang
ke gereja masuk surga? Kok, enak. Kok koyo ono karcis neng suwargo! (Kok, enak.
Kok, seperti ada tiket masuk surga!) Artinya, ya, semua itu, yang penting hati.
Jika orang sungguh berbudi luhur, berbuat baik, sudah melaksanakan kehendak
Tuhan, itu berarti sudah “dipermandikan” secara batin. Ia juga berhak masuk
surga. Sebaliknya yang secara formal beragama dibaptis segala macam, pakai
atribut ini itu segala macam. Namun, praktiknya sehari-hari menyeleweng dari
nilai-nilai susila. Lha, yang demikian, apa ya, berhak masuk surga?”
Pernyataan pertama ini mungkin tak lepas dari konteks waktu
Darmojuwono menjadi Kardinal. Adanya fakta bahwa Peristiwa G30S
baru saja terlewati dan adanya ketentuan pemerintah RI bahwa semua
orang harus memeluk salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah.
Juga gencar-gencarnya pembangunan dijalankan. Di sinilah Justinus
Kardinal Darmojuwono memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap
kemanusiaan. Kepedulian tersebut ia ungkapkan dengan melarang orang
Katolik untuk terprovokasi atau ikut bertindak dalam pembunuhan massal
yang kemudian terjadi. Beliau juga meminta Presiden (saat itu Soeharto)
untuk memperlakukan para keluarga orang yang disebut komunis dengan
adil. Selain itu, ia juga disibukkan dengan gelombang perpindahan
masuk agama menyusul ketentuan yang dibuat pemerintah. Justinus
Kardinal Darmojuwono ingin umatnya memeluk agama Katolik dengan
sesungguhnya, dan ini menjadi bagian penting dari programnya terlebih lagi
karena generasi itu adalah generasi Katolik Indonesia pertama yang akan
menentukan generasi Katolik di Jawa ke depannya.
Pernyataan yang kedua, “Sering saya katakan, dalam berbagai
kesempatan, jangan sampai ada kejadian seperti zaman dulu, sewaktu sebuah
gereja dibangun oleh para imam sendiri, bahkan oleh para imam asing. Jangan
sampai ada “gereja tiban”: tanpa berbuat apa-apa jadi gereja besar. Akibatnya,
nanti kalau ada atapnya yang bocor, kalian tidak bisa naik membetulkannya.
Buatlah gereja dari usahamu sendiri. Gereja berbentuk rumah biasa, itu juga
baik. Supaya nanti kalau rusak, kalian bisa memperbaiki sendiri. Ini lebih
bermanfaat karena keluar dari keringat sendiri, bukan?”
Pernyataan yang ketiga, “Masalah kawin campur bisa terjadi asal dengan
cara yang baik. Artinya, kelak bisa menjadi keluarga yang baik. Jangan
sampai nanti cerai, dan sebagainya. Toh, dalam kehidupan, masyarakat itu
campur. Jadi, kawin campur itu sangat mungkin terjadi. Sangat bisa terjadi,
orang Katolik kawin dengan orang Islam, tapi hanya satu untuk selamanya.
Tidak boleh berpoligami. Tidak boleh ada istri kedua, ketiga, apalagi cerai.
Bagaimanapun, perceraian itu tidak akan membahagiakan. Ini sungguhsungguh
sangat perlu dipertimbangkan dan diteliti dahulu, supaya nantinya
tidak terjadi perceraian. Saya bisa memberi dispensasi kawin campur sehingga
kawin campur bisa dilaksanakan di Gereja. Tidak ada kewajiban membaca
“syahadat” Katolik, apalagi masuk agama Katolik, bagi calon istri atau suami
yang bukan Katolik itu. Kalau dia mau masuk Katolik, ya harus belajar dulu.
Setahun dua tahun, itu baru bisa. Kalau hanya datang, terus masuk, itu tidak
ada artinya. Agama harus sungguh-sungguh dihayati. Meskipun tidak punya
agama, kalau memang hatinya baik, mati, masuk surga. Kerajaan Allah lebih
luas daripada agama.”
Pernyataan yang keempat, “Saya pernah mensinyalir adanya dua kelompok
manusia yang berbeda mencolok dari latar belakang sosial ekonominya, tetapi
bisa sama-sama melupakan Tuhan. Golongan pertama: orang-orang yang
kaya, mereka sibuk memikirkan harta sehingga kerap melupakan Tuhannya
dan lupa kepada sesama manusia. Golongan kedua: orang-orang yang miskin,
mereka sibuk memikirkan perut sehingga lupa berdoa, lupa kepada Tuhan dan
sesamanya.”
Ssst, bagaimana dengan kita?
Semoga berguna!
Peristiwa-peristiwa dalam hidupny a :
Penanggalan Usia Peristiwa
2 Nov 1914 0 lahir di Godean, Yogyakarta
25 May 1947 32.6 Ditahbiskan sebagai Imam Keuskupan
Agung Semarang
10 Dec 1963 49.1 Ditetapkan sebagai Uskup Agung
Semarang
6 Apr 1964 49.4 Ditahbiskan sebagai Uskup Agung
Semarang
8 Jul 1964 49.7 Ditetapkan sebagai Uskup Militer di
Indonesia
26 Jun 1967 52.6 Diangkat menjadi Kardinal
26 Jun 1967 52.6 Ditetapkan sebagai Kardinal-Imam dari
SS. Nome di Gesu e Maria in Via Lata
3 Jul 1981 66.7 Pensiun sebagai Uskup Agung Semarang
1982 67.2 Pensiun sebagai Uskup Militer
3 Feb 1994 79.3 Wafat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar