Mengenang Louis Braille, Pencipta Sistem Tulisan bagi Tunanetra
Mengenang Louis Braille,
Pencipta Sistem Tulisan bagi Tunanetra
Hari ini adalah Hari Braille Sedunia. Apa itu Braille? Braille merupakan huruf yang berupa titik-titik yang digunakan oleh penyandang tunanetra. Huruf tersebut diciptakan oleh Louis Braille.
Louis Braille (lahir di Coupvray, 4 Januari 1809 – meninggal 6 Januari 1852 pada umur 43 tahun) adalah pencipta sistem tulisan Braille yang digunakan oleh orang-orang buta.
Pada umur 4 tahun, matanya tertusuk jarum, Braille pun mengalami kebutaan. Pada tahun 1821, saat bersekolah khusus untuk penderita tunanetra, seorang prajurit bernama Charles Barbier mengunjungi sekolah tersebut dan menunjukkan suatu kode yang telah ditemukannya.
Sistem tersebut dikatakan sebagai "tulisan malam" (night writing). Ini dirancang khusus untuk tentara perang yang menggunakan kombinasi duabelas titik. Braille muda menyadari manfaat sistem ini. Ia pun mengembangkan sistem yang lebih sederhana dengan menggunakan enam titik. Dan tahun 1827, buku yang menggunakan enam titik tersebut, yang kemudian disebut Braille, telah diterbitkan.
Sekarang, para penderita buta menggunakan metode tersebut. Pada 6 Januari tahun 1852, Braille meninggal dunia. Sebuah monumen besar dibangun untuknya pada tahun 1867 untuk menghormati dia.
Untuk mengenang jasanya, maka diperingatilah setiap tanggal 4 Januari (tanggal lahir Louis Braille) sebagai Hari Braille Sedunia.
===
TANGGAL 4 Januari diperingati oleh dunia internasional sebagai "Hari Braille". Braille adalah sistem tulisan timbul bagi tunanetra yang diciptakan oleh Louis Braille, seorang tunanetra yang dilahirkan di Coupvray, Perancis, pada tanggal 4 Januari 1809.
Berkat kelahiran anak tunanetra asal Perancis inilah maka lebih dari 40 juta orang tunanetra di seluruh dunia dapat belajar membaca dan menulis, dan oleh karenanya dapat mengenyam pendidikan sebagaimana rekan-rekannya yang awas.
Usaha untuk menciptakan tulisan bagi orang tunanetra telah dimulai sekurang-kurangnya 16 abad yang lalu, ketika seorang cendekiawan tunanetra Jepang pada abad ke-4 mengukir huruf-huruf pada kayu dan mendirikan sebuah perpustakaan yang cukup besar untuk menghimpun karya-karyanya itu.
Hingga awal abad ke-19, orang-orang di Eropa masih memusatkan usaha membantu tunanetra belajar membaca dan menulis itu dengan memperbesar huruf Latin atau Romawi dengan menggunakan tali-temali, potongan-potongan logam, kulit atau kertas, tetapi hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Puncak keberhasilan usaha-usaha ini dicapai oleh Louis Braille, seorang anak tukang sepatu yang menjadi buta akibat tergores matanya oleh pisau pemotong kulit milik ayahnya.
Louis Braille mendapatkan inspirasi bagi ciptaannya itu dari Kapten Charles Barbier, seorang bekas perwira artileri Napoleon.
Dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan sandi yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang dinamakannya "tulisan malam". Dia menggunakan tulisan ini untuk memungkinkan pasukannya membaca perintah-perintah militer dalam kegelapan malam dengan merabanya melalui ujung-ujung jari.
Meskipun ciptaan Barbier ini telah terbukti berhasil untuk keperluan militer, tetapi tidak cocok untuk keperluan membaca dan menulis biasa. Akan tetapi, ini memberi petunjuk yang sangat berharga bagi Louis Braille ke arah apa yang sedang dicari-carinya.
Setelah pertemuannya dengan Charles Barbier, Louis Braille selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik dan garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi tunanetra.
Dia selalu mencobakan setiap perkembangan tulisannya itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra. Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya lebih peka terhadap titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-garis bagi tulisannya itu.
Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an, sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille hanya menggunakan enam titik domino sebagai kerangka sistem tulisannya itu.
Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga dapat membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca, matematika, musik, dan sebagainya.
Ketika'Louis Braille masih sedang menyederhanakan sistem tulisannya itu, dia diangkat sebagai guru di L'Institution Nationale des Jeunes Aveugles (Lembaga Nasional untuk Anak-anak Tunanetra) di Paris yang didirikan oleh Monsieur Valentin Hauy pada tahun 1783. Dia segera menjadi guru yang sangat disukai. Dia dipercaya untuk mengajar sejarah, geografi, matematika, tata bahasa Perancis, dan musik.
KETIKA sistem tulisannya sudah cukup sempurna, dia mulai mencobakannya kepada murid-muridnya. Mereka menyambutnya dengan gembira dan sangat merasakan manfaatnya.
Meskipun Dr. Pignier, kepala lembaga itu, mengizinkan sistem tulisan itu dipergunakan dalam pengajaran di sekolah itu, namun tak seorang pun di luar lembaga itu mau menerima keberadaannya.
Karena mereka belum pernah melihat betapa baiknya sistem tulisan ini, mengajarkan tulisan yang berbeda dari tulisan umum dianggapnya sebagai sesuatu yang amat ganjil dan tidak masuk akal. Karena badan pembina lembaga itu pun tidak menyukai sistem tulisan ini, maka mereka memecat Dr. Pignier ketika ia merencanakan menyalin buku sejarah ke dalam "braille". Kepala yang baru, Dr. Dufau tidak menyetujui sistem Braile itu dan melarang keras penggunaannya.
Karena murid-muridnya telah mengetahui kebaikan tulisan Braille itu, mereka tidak kurang kecewanya daripada Braille sendiri. Maka mereka meminta Braille mengajarnya secara diam-diam. Demi murid-muridnya itu, dia setuju mengajar mereka di luar jam sekolah.
Karena guru dan semua murid di dalam kelas itu tunanetra, maka tidaklah mustahil bagi guru guru lain untuk mengintip kelas rahasia itu dan memperhatikannya tanpa mereka ketahui.
Kepala staf pengajar, Dr. Guadet, sering mengamati pelajaran rahasia ini dengan penuh minat dan simpati. Setelah melihat betapa cepatnya murid-murid itu memahami pengajaran yang disampaikan oleh Braille itu, maka Dr. Guadet mengimbau kepada Dr. Dufau agar mengubah pendiriannya dan mengizinkan penggunaan sistem tulisan itu.
Akhirnya Dr. Dufau sejuju, dan menjelang tahun 1847 Louis Braille kembali dapat mengajarkan ciptaannya itu secara leluasa.
Pada tahun 1851 Dr. Dufau mengajukan ciptaan Braille itu kepada Pemerintah Perancis dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat pengakuan pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa.
Tetapi, hingga dia meninggal pada tanggal 6 Januari 1852, tanda jasa ataupun pengakuan resmi terhadap ciptaannya itu tidak pernah diterimanya. Baru beberapa bulan setelah wafatnya, ciptaan Louis Braille itu diakui secara resmi di L'institution Nationale des Jeunes Aveugles, dan beberapa tahun kemudian dipergunakan di beberapa dekolah tunanetra di negara-negara lain. Baru menjelang akhir abad ke-19 sistem tulisan ini diterima secara universal dengan nama tulisan "Braille".
KINI, sudah lebih dari satu setengah abad sejak tulisan braille itu tercipta dengan sempurna, namun kemajuan teknologi masih belum dapat menyaingi kehebatannya.
Bahkan akhir-akhir ini tulisan braille sekali lagi telah membuktikan kesempurnaannya karena dengan mudah dapat diadaptasikan untuk keperluan transmisi informasi dari alat-alat pengolah data seperti komputer dan smart phone.
Untuk mengenang jasanya yang tak terhingga itu, pada tahun 1956 The World Council for the Welfare of the Blind (Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tunanetra) menjadikan bekas rumah kediaman Louis Braille yang terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris, sebagai museum Louis Braille.
Karena pada tahun 1984 WCWB melebur diri dengan International Federation of the Blind (Federasi Tunanetra Internasional) menjadi World Blind Union (Perhimpunan Tunanetra Dunia), maka sejak tahun itu pemeliharaan dan penngembangan museum ini menjadi tanggung jawab WBU.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar