Ads 468x60px

11 Februari Hari Orang Sakit, Peringatan St Maria dari Lourdes.



HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
11 Februari
Hari Orang Sakit,
Peringatan St Maria dari Lourdes.
Ya Bunda Maria,
Bunda Kerahiman,
Semoga kemanisan dan ketenanganmu menjaga kami selalu, sehingga kami dapat menemukan sukacita dari kelembutan hati Allah, mengijinkannya tinggal di dalam hati dan menyatakannya dalam tindakan-tindakan kami.
Kami mempercayakan pencobaan, sakit, penyakit, kesusahan, dan kesengsaraan kami kepadamu, sambil memohon agar engkau mengalihkan mata belaskasihmu ke arah kami khususnya di kala sakit, dan menjadikan kami pantas memandang wajah kerahiman Yesus Puteramu, kini dan sepanjang masa.
Amin.
Hari Orang Sakit Sedunia (World Day of the Sick) ini ditetapkan Paus Yohanes Paulus II pada 13 Mei 1992, dan mulai dirayakan pada 11 Februari 1993.
Bapa Suci menetapkan Hari Orang Sakit Sedunia (HOSS) hanya setahun setelah beliau sendiri didiagnosa menderita penyakit parkinson pada awal 1991. Hari itu dibaktikan khusus sebagai “hari khusus untuk doa dan berbagi, untuk mempersembahkan penderitaan kita.”
Pesta Bunda Maria dari Lourdes dipilih menjadi HOSS karena banyak peziarah dan pengunjung ke Lourdes yang telah disembuhkan melalui doa-doa Bunda Perawan. Pemilihan tanggal 11 Februari juga punya makna mengikutsertakan Bunda Maria dalam permohonan akan kesembuhan.
Alasan Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam menetapkan HOSS nampak dari ketiga tema pokok dalam perspektif ”sapientia cordis ” (kebijaksanaan hati), yang terus-menerus didengungkan setiap tahun, yaitu:
1) mengingatkan umat beriman untuk berdoa secara khusuk dan tulus untuk mereka yang sakit;
2) mengundang semua orang Kristiani untuk merefleksikan dan
menanggapi penderitaan manusia;
3) mengakui dan menghormati semua orang yang bekerja dan melayani dalam bidang kesehatan dan sebagai pemerhati kesehatan.
Ini berarti bahwa dalam rangka HOSS, seluruh Gereja diundang untuk berdoa secara khusus bagi orang sakit, di samping juga untuk merenungkan makna penderitaan dalam peziarahan manusia menuju rumah Bapa.
Paroki-paroki diundang untuk merayakan Hari Orang Sakit Sedunia secara konkret dengan mengadakan Misa untuk Orang Sakit di setiap paroki. Pada kesempatan itu, perlu digalakkan penyadaran tentang peran iman dalam menghadapi penderitaan dan sakit, demikian pula ditingkatkan kesadaran tentang arti kristiani dari penderitaan dan sakit.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
1.
Dua Perspektif ”Sapientia Cordis ” (Kebijaksanaan Hati) Seturut Seruan Paus Fransiskus:
Pertama:
Kebijaksanaan hati berarti melayani saudara-saudara kita yang sedang sakit, yang diawali dengan kemurnian hati, pelayanan dan bela rasa, sampai menghasilkan buah yang baik. Dalam pelaksanaan melayani orang sakit tersebut, kita diharapkan mampu bersikap seturut semangat Ayub,” Saya mata untuk orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayub 29:15) kepada sesama yang sakit, khususnya orang miskin, anak yatim, dan janda. Hari ini juga kita semua diajak untuk menunjukkan bukan dengan kata-kata, tetapi dengan kehidupan yang berakar dalam iman sejati bahwa kita mampu menjadi ”mata untuk orang buta” dan ”kaki bagi orang lumpuh”.
Pelayanan kita tidaklah harus dilakukan dengan menjadi petugas kesehatan bagi para pasien. Sebenarnya kita dapat sekadar dekat dengan orang sakit, terutama yang membutuhkan perawatan lama, membantu dalam memandikan, berpakaian, mencucikan dan menyuapkan makanan.
Layanan sederhana seperti ini terutama bila dilakukan berkepanjangan, pastilah dapat menjadi sangat melelahkan dan memberatkan. Apalagi pada pasien yang sakit berat sudah pasti tidak lagi mampu mengungkapkan rasa terima kasihnya, karena kesadarannya sudah jauh menurun. Meskipun tidak ada yang menginginkannya, setiap manusia akan mungkin mengalami sakit, penderitaan, bahkan dapat berlanjut dengan kematian.
Sakit yang ringan sekalipun sebaiknya digunakan sebagai sebuah momentum penting untuk mensyukuri sehat. Apalagi sakit berat, kronis, dan kemungkinan sembuhnya kecil seperti kanker, sudah seharusnya menjadi momentum untuk menyatukan kita semua umat manusia. Kita diingatkan untuk bersandar pada Tuhan menyadari pentingnya iman bagi mereka yang sakit dan berbeban berat untuk datang kepada Tuhan.
Dalam pertemuan dengan Tuhan melalui caranya masingmasing, mereka yang sakit akan menyadari bahwa dirinya tidak sendirian. Kita dapat membantu orang sakit agar masa penderitaannya dapat diubah menjadi masa rahmat. Sering kali dalam penderitaan sakitnya orang mudah terjatuh untuk menjadi putus asa dan kehilangan harapan.
Pada saat itulah kita yang sehat sebaiknya menekankan akan penyertaan Tuhan, sehingga masa sakit tersebut dapat diubah menjadi masa rahmat Ilahi dengan permenungan mendalam untuk mengevaluasi kembali hidup seseorang, mengakui kegagalan, buruknya perilaku hidup, dan kesalahan, serta membangkitkan kerinduan akan Tuhan dan mengikuti jalan menuju rumah-Nya.
Kedua:
Kebijaksanaan hati seharusnya diartikan bahwa waktu yang kita habiskan dengan orang sakit, apalagi melayaninya, adalah waktu suci. Sering kali kita lupa nilai khusus tentang waktu yang dihabiskan di samping tempat tidur orang sakit, karena alasan terburuburu dan terjebak dalam hirukpikuk aktivitas rutin.
Kebijaksanaan hati berarti bahwa kita memberikan waktu mendampingi saudara yang sakit, karena kita secara bebas mengurus dan bertanggung jawab untuk orang lain. Ketiga, kebijaksanaan hati berarti menunjukkan solidaritas dengan saudara-saudara kita dan tidak menghakimi mereka atas sakit yang mereka alami.
Saat mengunjungi, merawat, dan menemani orang sakit, diam saja pun sudah mencukupi seperti teman-teman Ayub: ”Dan mereka duduk dengan dia di tanah tujuh hari tujuh malam dan tidak ada yang berbicara sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat bahwa penderitaannya sangat besar.” (Ayub 2:13). Bagi kita semua yang sehat, memberikan pendampingan, penghiburan dan perhatian untuk mereka yang sakit sangatlah berarti.
2.
ADMIRANDA ET AMANDA
Inilah salah satu dari pelbagai keutamaan yang saya berikan kepada seorang “woman” sekaligus “mother” bernama Maria yang kerap berjubah biru dalam wajah pasrah-haru. Ia sungguh “dikagumi” (admiranda) sekaligus “dicintai” (amanda): O clemens, o pia, o dulcis Virgo Maria. Ia Perawan yang rahim, penuh belas kasihan dan manis.
“Bunda Maria”, seorang “woman” sekaligus “mother”, senantiasa hadir untuk segarkan yang lelah, tenangkan yang resah, lipurkan yang sendu dan hidupkan yang layu. Ia adalah gejala yang menakjubkan. Di tengah segala macam budaya patriarki, Maria menjulang dan bercahaya. Tak satu bintang pun meredupkannya. Ia terus hadir tanpa banyak bicara, mengiringi perjalanan Gereja dengan segala ruwet rentengnya.
Ya, Bunda Maria yang dikagumi sekaligus dicintai adalah nama yang saat disebutkan tak mengenal akhir, de Maria numquam satis! Lebih dari dibicarakan, melainkan diteladani, diikuti, di-eja wantah-kan, dibumikan secara aktual saat ini atau sampai nanti saat Putranya datang lagi. Bunda Maria adalah segalanya, dan segala kekatolikan terkait dengan Bunda Maria. O Sancta simplicitas!
Lewat kenangan sederhana seputar Maria di Lourdes inilah, saya juga ingin mengajak semua orang beriman yang kadang berbeda kadar dan radar, untuk semakin yakin ber-“tribute” kepada Maria Fatima, walaupun memang tak akan pernah cukup adanya. Dalam kata-kata Abbas Francone: “puji-pujian kepada Maria merupakan suatu sumber yang tak habis-habisnya: semakin diperluas semakin penuh, dan semakin engkau mengisinya semakin terlebih lagi ia diperluas” (“Laus Mariae fons est indeficiens, qui, quanto longius extenditur, tanto amplius impletur, et quanto amplius impletur, tanto latius dilatatur.”).
Pastinya, Bunda Maria memang hanya mempunyai satu gagasan. Satu-satunya gagasan, sederhana tapi luhur tiada hingganya, yaitu: Maria selalu “memikirkan” Tuhan: Ia “memikirkan Tuhan” lewat Yesus, dan ia juga memikirkan Tuhan dalam dan bersama Yesus. Lewat jalan biasa inilah, tanpa mukjizat dan tanpa ekstase, Maria telah berjalan untuk memandu kita menuju surga.
Akhir kata, semoga dengan hadirnya "HOSS" bersamaan dengan kenangan akan penampakan Maria di Lourdes, kita bisa semakin disadarkan sekaligus disandarkan untuk selalu menempatkan diri sebagai anak yang membutuhkan “woman” sekaligus “mother” (Bunda, Ibu, Umi, Nyokap, Jw: simbok, Ing: mom, Lat: mater, madre).
“Dari Samaria ke Sukabumi – Bunda Maria, doakanlah kami.”
Vaya con Dios – Mari pergi bersama Tuhan
3.
STUDI KOMPARASI: HOSS 2015 - 2017
A.
"PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS
UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA KE-24"
(11 / 2 / 2016)

Mempercayakan diri kepada Yesus yang berbelas kasih seperti Maria:
“Lakukanlah apa pun yang Dia katakan padamu” (Yoh 2:5)

Saudari-saudara terkasih,
Hari Orang Sakit Sedunia ke-24 memberi saya kesempatan khusus untuk mendekatkan diri kepada Anda, sahabat-sahabat terkasih yang sakit, dan kepada mereka yang merawat Anda.
Tahun ini, karena Hari Orang Sakit akan dirayakan dengan khidmat di Tanah Suci, saya ingin menawarkan sebuah renungan dari Injil tentang pesta perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11), dimana Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama melalui campur tangan Ibunda-Nya.
Tema yang dipilih – Mempercayakan diri kepada Yesus yang berbelas kasih seperti Maria: “Lakukanlah apa pun yang Dia katakan padamu” (Yoh 2:5) – sungguh sesuai dengan semangat Yubileum Agung Kerahiman. Perayaan Ekaristi Hari Orang Sakit ini akan dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 2016, pada peringatan liturgis Santa Perawan Maria dari Lourdes, di Nazaret, dimana “Sang Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita” (Yoh 1:14).
Di Nazaret, Yesus memulai misi keselamatan-Nya, dengan menerapkan kepada diri-Nya kata-kata Nabi Yesaya, sebagaimana diceritakan Penginjil Lukas: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan bagi orang-orang tahanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19).
Penyakit, di atas semuanya penyakit yang berat, selalu menempatkan keberadaan manusia dalam krisis dan membawa serta pertanyaan yang begitu dalam. Tanggapan pertama kita bisa jadi merupakan satu pemberontakan: Mengapa ini terjadi padaku? Kita dapat merasa putus asa, berpikir bahwa semuanya telah hilang, bahwa semua hal dalam hidup ini tidak mempunyai arti lagi.
Dalam situasi-situasi ini, iman kepada Allah pada satu sisi diuji, namun pada waktu yang sama dapat menyatakan semua sumber daya positifnya. Bukan karena iman menyebabkan penyakit, rasa sakit, atau pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan, menghilang, tetapi karena iman menawarkan kunci yang membantu kita dapat menemukan makna terdalam dari apa yang sedang kita alami; sebuah kunci yang membantu kita melihat bagaimana penyakit dapat menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Yesus yang berjalan di sisi kita, yang dibebani oleh salib. Dan kunci ini diberikan kepada kita oleh Maria, Bunda kita, yang telah lebih dulu mengenal jalan ini.
Pada pesta perkawinan di Kana, Maria adalah perempuan bijaksana yang melihat masalah serius bagi kedua mempelai: anggur, simbol sukacita pesta, telah habis. Maria mengetahui adanya kesulitan, dalam beberapa hal menyelesaikan dengan caranya sendiri, dan bertindak dengan cepat dan hati-hati. Dia tidak sekedar menonton, dalam waktu singkat menemukan dimana letak masalahnya, tetapi lebih dari itu, dia berpaling kepada Yesus dan mengajukan kepada-Nya persoalan yang nyata: “Mereka kehabisan anggur” (Yoh 2:3).
Dan ketika Yesus mengatakan padanya bahwa sekarang belum tiba waktunya bagi Dia untuk menyatakan diri-Nya (bdk. Ayat 4), Maria mengatakan kepada para pelayan: “Lakukanlah apa pun yang Dia katakan padamu” (ayat 5). Kemudian Yesus melakukan mukjizat, mengubah air menjadi anggur, anggur yang dengan seketika menjadi anggur yang terbaik dalam keseluruhan pesta. Pelajaran apa yang dapat kita tarik dari misteri pesta perkawinan di Kana ini bagi Hari Orang Sakit Sedunia?
Pesta perkawinan di Kana merupakan suatu gambaran Gereja: di pusatnya ada Yesus yang dalam belaskasih-Nya mengerjakan suatu tanda; di sekitar Yesus ada para murid, buah-buah pertama dari komunitas yang baru; serta di samping Yesus dan para murid ada Maria, Ibu pemelihara dan pendoa. Maria ambil bagian dalam kegembiraan orang kebanyakan dan membantunya untuk tumbuh; dia menjadi perantara dengan Puteranya atas nama kedua mempelai dan semua tamu yang diundang. Yesus juga tidak menolak permintaan ibu-Nya.
Betapa besar harapan yang ada dalam peristiwa itu bagi kita semua! Kita memiliki seorang Ibu yang lemah lembut dan yang selalu waspada, seperti Puteranya; sebuah hati yang penuh kasih keibuan, seperti Dia; tangan-tangan yang ingin membantu, seperti tangan-tangan Yesus yang memecah-mecah roti bagi mereka yang lapar, menjamah yang sakit dan menyembuhkan mereka. Semua ini memenuhi kita dengan kepercayaan dan membuka hati kita bagi rahmat dan belaskasih Kristus.
Kepengantaraan Maria membuat kita mengalami penghiburan yang membuat rasul Paulus memuliakan Allah: “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah” (2Kor 1:3-5). Maria adalah Ibu “penghiburan” yang menghibur anak-anaknya.
Di Kana ciri khas Yesus dan misi-Nya terlihat dengan jelas: Dia datang untuk menolong mereka yang berada dalam kesulitan dan yang kekurangan. Memang, di medan pelayanan mesianis-Nya, Dia menyembuhkan banyak orang dari berbagai penyakit, kelemahan-kelemahan dan roh-roh jahat, memberi penglihatan pada yang buta, membuat orang yang lumpuh berjalan, memulihkan kesehatan dan martabat bagi mereka yang lepra, membangkitkan yang mati, dan mewartakan kabar baik kepada orang miskin (bdk. Luk 7:21-22).
Permintaan Maria pada pesta perkawinan, yang didorong oleh Roh Kudus pada hati keibuannya, dengan jelas memperlihatkan bukan hanya kekuasaan Yesus sebagai Juru Selamat tetapi juga belas kasih-Nya.
Dalam keprihatinan Maria, kita menyaksikan pantulan kelembutan hati Allah. Kelembutan hati yang sama ini hadir di dalam hidup semua orang yang memberi perhatian kepada orang sakit dan memahami kebutuhan-kebutuhan mereka, bahkan kepada orang-orang yang paling tidak mendapat perhatian, karena mereka memandang orang-orang sakit dan yang tidak mendapat perhatian dengan mata yang penuh cinta. Sedemikian sering seorang ibu menunggui anaknya yang sakit di samping pembaringannya, atau seorang anak yang merawat orangtua yang sudah lanjut usia, atau seorang cucu yang prihatin terhadap kakek-neneknya, menyerahkan doa mereka ke dalam tangan Bunda kita!
Untuk orang-orang yang kita cintai yang menderita karena suatu penyakit, kita pertama-tama memohon untuk kesehatan mereka. Yesus sendiri memperlihatkan kehadiran Kerajaan Allah secara khusus melalui penyembuhan-penyembuhan-Nya: “Pergi dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat 11:4-5).
Tetapi kasih yang dihidupi oleh iman membuat kita memohon bagi mereka sesuatu yang lebih besar daripada kesehatan jasmani: kita memohon kedamaian, ketentraman di dalam hidup yang datang dari hati dan merupakan rahmat Allah, buah dari Roh Kudus, rahmat dari Bapa yang tidak pernah menolak mereka yang memohon kepada-Nya dengan penuh kepercayaan.
Dalam adegan di Kana, selain Yesus dan Ibu-Nya, ada “pelayan-pelayan”, yang kepada mereka Maria katakan: “Lakukanlah apa pun yang Dia katakan padamu” (Yoh 2:5). Tentu saja, mukjizat tersebut sebagai karya Kristus; bagaimanapun, Dia ingin menggunakan bantuan manusia dalam melakukan mukjizat ini. Dia dapat membuat anggur yang secara langsung ada di gentong-gentong. Namun Dia ingin mengandalkan kerjasama manusia, karena itu Dia meminta pelayan-pelayan untuk mengisi gentong-gentong itu dengan air.
Betapa indah dan menyenangkan Tuhan menjadi pelayan bagi orang lain! Ini lebih daripada apa pun yang membuat kita seperti Yesus, yang “datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani” (Mrk 10:45). Orang-orang yang tak dikenal ini di dalam Injil mengajarkan kepada kita suatu hal besar. Tidak sekedar memperlihatkan mereka taat, tetapi mereka taat dengan sepenuh hati: mereka mengisi gentong-gentong sampai penuh (bdk. Yoh 2:7).
Mereka percaya pada bunda-Nya dan segera mengerjakannya dengan baik apa yang diminta untuk mereka kerjakan, tanpa mengeluh, tanpa berpikiran macam-macam.
Pada Hari Orang Sakit Sedunia ini marilah kita memohon kepada Yesus di dalam belas kasih-Nya, melalui perantaraan Maria, Ibunda-Nya dan Ibu kita, untuk melimpahkan kepada kita kesiapsediaan yang sama untuk melayani mereka yang membutuhkan, dan secara khusus, saudari-saudara kita yang lemah. Kadang-kadang pelayanan ini terasa melelahkan dan membebani, namun kita tentu yakin bahwa Tuhan pasti akan mengubah upaya-upaya manusiawi kita menjadi sesuatu yang ilahi.
Kita juga dapat menjadi tangan, lengan dan hati yang membantu Allah untuk melakukan mukjizat-mukjizat-Nya, yang begitu sering tersembunyi. Kita juga, entah sehat atau sakit, dapat mempersembahkan beban hidup dan penderitaan-penderitaan kita seperti air yang memenuhi gentong-gentong pada pesta perkawinan di Kana dan diubah menjadi anggur terbaik. Dengan diam-diam membantu mereka yang menderita, seperti dalam penyakitnya sendiri, kita memikul salib harian kita di atas bahu kita dan mengikuti Sang Guru (bdk. Luk 9:23). Meskipun begitu pengalaman penderitaan akan selalu merupakan sebuah misteri, Yesus membantu kita untuk mengungkapkan maknanya.
Jika kita mampu belajar mentaati kata-kata Maria, yang mengatakan: “Lakukanlah apa pun yang Dia katakan padamu”, Yesus akan selalu mengubah air kehidupan kita menjadi anggur yang berharga.
Demikian Hari Orang Sakit Sedunia ini, yang dirayakan secara khidmat di Tanah Suci, akan membantu memenuhi harapan yang saya nyatakan dalam Bulla Tahun Yubileum Agung Kerahiman: ‘Saya percaya bahwa Tahun Yubelium Agung yang merayakan kerahiman Allah ini akan membantu perkembangan perjumpaan dengan (Yudaisme dan Islam) dan dengan tradisi-tradisi mulia agama lain; semoga hal ini membuka kita pada dialog yang lebih sungguh-sungguh lagi sehingga kita saling mengenal dan mengerti satu sama lain dengan lebih baik; semoga hal ini mengikis setiap bentuk kepicikan pikiran dan sikap kurang hormat, serta menyingkirkan setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi’ (Misericordiae Vultus, 23).
Setiap rumah sakit dan rumah perawatan dapat menjadi sebuah tanda yang kelihatan dan menjadi tempat untuk mempromosikan budaya perjumpaan dan perdamaian, di mana pengalaman sakit dan menderita, disertai dengan bantuan yang profesional dan semangat persaudaraan, membantu mengatasi setiap keterbatasan dan keterpecahan.
Untuk ini kita diberi teladan oleh dua orang suster religius yang dikanonisasi pada akhir Mei yang lalu: Santa Maria-Alphonsine Danil Ghattas dan Santa Maria dari Baouardy Yesus Tersalib, keduanya puteri dari Tanah Suci.
Yang pertama adalah seorang saksi kesabaran/kelembutan dan kesatuan, yang memberi kesaksian yang jelas mengenai pentingnya tanggungjawab kepada satu sama lain, dengan hidup saling melayani.
Yang kedua, seorang perempuan yang rendah hati dan buta huruf, yang patuh pada Roh Kudus dan menjadi sebuah sarana perjumpaan dengan dunia muslim.
Kepada semua yang membantu orang sakit dan menderita, saya menyatakan harapan yang saya yakini bahwa mereka akan mengambil inspirasi dari Maria, Bunda Kerahiman. “Semoga kemanisan ketenangannya menjaga kita di dalam Tahun Suci ini, sehingga kita semua dapat menemukan kembali sukacita dari kelembutan hati Allah (ibid, 24), mengijinkannya tinggal di dalam hati kita dan menyatakannya dalam tindakan-tindakan kita!
Marilah kita mempercayakan pencobaan-pencobaan dan kesengsaraan-kesengsaraan kita kepada Perawan Maria, bersama dengan sukacita dan penghiburan kita. Marilah memohon kepadanya untuk mengalihkan mata belaskasihnya ke arah kita, khususnya di kala sakit, dan menjadikan kita pantas memandang, wajah kerahiman Yesus Puteranya, kini dan selamanya!
B.
"PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS
UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA KE-23"
(11 / 2 / 2015)
Kebijaksanaan Hati “Aku menjadi mata bagi orang buta, dan
Kaki bagi orang lumpuh” (Ayub 29:15)
Saudara-saudara terkasih,
Pada Hari Orang Sakit Sedunia yang ke-23 ini, yang telah dimulai oleh St. Yohanes Paulus II, saya kembali kepada Anda semua yang menderita sakit dan yang dalam berbagai cara disatukan dengan penderitan tubuh Kristus, dan juga kepada Anda, para ahli dan relawan di bidang perawatan kesehatan.
Tema tahun ini mengundang kita untuk merenungkan satu ungkapan dari Kitab Ayub; “Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayb 29:15). Saya ingin mengulas ungkapan ini dari sudut pandang “sapientia cordis”-kebijaksanaan hati.
Kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang teoritis, pengetahuan abstrak, atau hasil penalaran logis. Lebih dari itu, dalam suratnya St. Yakobus melukiskan kebijaksanaan sebagai “hikmat yang murni, selanjutnya pendamai, peramah lemah-lembut, penurut, penuh kasih, penuh belas-kasihan dan buah-buah baik, tidak ragu dan tidak munafik” (Yak 3:17).
Inilah cara pandang yang dijiwai Roh Kudus di dalam pikiran dan perasaan mereka yang peka terhadap penderitaan saudari-saudarnya dan yang dapat memandang di dalam diri mereka gambar Allah. Untuk itu, marilah kita daraskan doa Pemazmur: “ Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mzm 90:12). “Kebijaksanaan hati” yang merupakan karunia Allah ini adalah rangkuman dari buah-buah hari Orang Sakit Sedunia.
Kebijaksanaan hati berarti melayani saudari dan saudara kita. Kata-kata Ayub: “Aku menjadi mata bagi orang buta , dan kaki bagi orang lumpuh,” menunjukkan pelayanan orang saleh ini, yang menikmati kekuasaan tertentu dan memiliki posisi penting di antara orang-orang tua di kotanya, memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Keagungan moralnya menemukan ungkapan tepat dalam pertolongan yang ia berikan kepada penderita yang berteriak minta tolong serta dalam kepeduliannya kepada anak yatim piatu dan janda-janda (Ayb 29:12-13)
Dewasa ini betapa banyak orang Kristiani yang menunjukkan, bukan dengan kata-kata tetapi dengan hidup yang berakar dalam iman sejati, bahwa mereka adalah “mata bagi orang buta, dan “kaki bagi orang lumpuh!” Mereka dekat dengan orang-orang sakit yang memerlukan perhatian dan bantuan terus menerus untuk membersihkan diri, memakaikan pakaian dan menyuapkan makanan.
Pelayanan seperti ini, khususnya bila berlarut-larut, bisa menjadi sesuatu yang melelahkan dan membebani. Relatif lebih mudah membantu orang selama beberapa hari saja, tetapi sulit merawat orang selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun., apalagi dalam beberapa kasus khusus, bila tidak ada ungkapan terima kasih. Namun, sebenarnya betapa agung jalan pengudusan ini.! Dalam saat-saat yang sulit itu secara khusus kita dapat mengandalkan kedekatan Tuhan, dan kita menjadi sarana istimewa bagi perutusan Gereja.
Kebijaksanaan hati berarti berada bersama dengan saudari-saudara kita. Waktu yang dilalui bersama dengan orang sakit adalah waktu yang suci. Ini adalah cara memuji Tuhan yang menyelaraskan kita dengan gambar Putera-Nya yang “datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28). Yesus sendiri mengatakan: “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27).
Dengan iman yang hidup, marilah kita mohon kepada Roh Kudus supaya berkenan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita untuk memahami kesiapsediaan diri yang seringkali tidak terkatakan untuk meluangkan waktu bersama saudari-saudara yang, dengan rasa terima kasih atas kedekatan dan kasih sayang kita, merasa lebih dicintai dan dikuatkan.
Di sisi lain, tersembunyi suatu kebohongan besar di balik ungkapan tertentu yang menekankan pentingnya “kualitas hidup”, sehingga membuat orang-orang berpikir bahwa hidup yang dijangkit penyakit berat bukanlah hidup yang berharga!
Kebijaksanaan hati berarti keluar dari diri sendiri menuju saudari-saudara kita. Adakalanya kita mengabaikan nilai istimewa dari waktu yang dilewatkan bersama dengan orang yang sakit di pembaringannya karena kita begitu terburu-buru; terjebak dalam kesibukan untuk melakukan sesuatu, untuk menghasilkan sesuatu, sehingga kita abai untuk memberikan diri sendiri secara bebas, untuk peduli kepada orang lain, dan bertanggung jawab terhadap orang lain.
Di balik sikap seperti itu seringkali iman yang suam-suam kuku melupakan Firman Tuhan: “kamu telah melakukannya untuk aku” (Mat 25:40).
Oleh karena itu, saya akan menekankan kembali “prioritas mutlak “ keluar dari diri sendiri untuk masuk ke dalam kehidupan saudari-saudara kita’ sebagai satu dari dua perintah utama yang mendasari setiap norma moral dan sebagai tanda paling jelas untuk menilai pertumbuhan rohani dalam menanggapi anugerah yang diberikan Allah dengan cuma-cuma” (Evangelii Gaudium, 170). Sifat missioner Gereja menjadi sumber dari amal kasih yang berdaya guna dan bela-rasa yang memahami, membantu dan memajukan (ibid).
Kebijaksanaan berarti menunjukkan solidaritas dengan saudari-saudara kita tanpa menghakimi mereka. Beramal kasih membutuhkan waktu. Waktu untuk merawat orang-orang sakit dan mengunjungi mereka. Waktu untuk berada di samping mereka seperti teman-teman Ayub : “Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorang pun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat bahwa sangat berat penderitaannya” (Ayb 2:13). Tetapi, teman-teman Ayub memendam penghakiman terhadapnya : bahwa kemalangan Ayub adalah hukuman Tuhan atas dosa-dosanya.
Padahal, amal kasih yang benar adalah berbagi tanpa menghakimi, tanpa menuntut perubahan dari orang lain; bebas dari kepalsuan yang jauh di lubuk hati, dari mencari pujian dan kepuasaan diri akan segala kebaikan yang dilakukannya.
Pengalaman penderitaan Ayub menemukan tanggapan tulus hanya di dalam salib Yesus, tindakan kesetiakawanan Allah yang tertinggi kepada kita, sepenuhnya cuma-cuma, berlimpah belas-kasih.
Tanggapan kasih terhadap drama penderitan manusia khususnya penderitaan orang-orang yang tidak bersalah, tetap membekaskan kesan pada tubuh Kristus yang bangkit; luka mulia-Nya adalah skandal bagi iman, tetapi sekaligus juga bukti iman (bdk. Homili untuk kanonisasi Yohanes XXIII dan Yohanes pulus II, 27 April 2014).
Bahkan ketika penyakit, kesepian dan ketidakmampuan membuat kita sulit menjangkau orang-orang lain, pengalaman penderitaan dapat menjadi jalan istimewa untuk menyalurkan berkat dan menjadi sumber untuk memperoleh dan bertumbuh dalam kebijaksanaan hati. Kita menjadi mengerti bagaimana Ayub, di akhir pengalamannya dapat berkata kepada Tuhan : “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5).
Orang-orang yang tenggelam dalam rasa sakit dan penderitaan ketika menerima hal ini dalam iman, dimampukan menjadi saks-saksi hidup dari iman yang mampu merangkul penderitaan, bahkan meski tanpa mampu mengerti maknanya yang penuh.
Saya mempercayakan Hari Orang Sakit Sedunia ini pada perlindungan keibaan Maria, yang mengandung dan melahirkan Sang Kebijaksanaan: Yesus Kristus, Tuhan Kita.
O Maria, Tahta Kebijaksanaan, jadilah perantara, sebagai Bunda kami bagi semua orang sakit dan mereka yang merawatnya! Anugerahkanlah itu, melalui pelayanan kami bagi sesama yang menderita, dan melalui pengalaman penderitaan itu sendiri, semoga kami menerima dan memupuk kebijaksanaan hati yang benar.
C.
PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS
UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA KE-25 (World Day of the Sick, 11 FEBR 2017)

Ketakjuban pada apa yang telah Tuhan kerjakan:
“Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar untukku...”
(Luk 1:49)

Saudara-saudari terkasih,
Pada 11 Februari, Hari Orang Sakit Sedunia ke-25 dirayakan di seluruh Gereja dan secara khusus di Lourdes.
Tema perayaan tahun ini adalah “Ketakjuban pada apa yang telah Tuhan kerjakan: ‘Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar untukku...’” (Luk 1:49).
Hari Orang Sakit Sedunia ini, yang ditetapkan oleh pendahulu saya Santo Yohanes Paulus II pada tahun 1992 dan dirayakan pertama kali di Lourdes pada 11 Februari 1993, merupakan kesempatan untuk merenungkan kebutuhan-kebutuhan orang sakit pada khususnya dan semua orang yang menderita pada umumnya.
Hari ini juga merupakan kesempatan bagi mereka yang dengan murah hati menolong orang sakit, mulai dari anggota keluarga, para pekerja dan relawan kesehatan, untuk bersyukur atas panggilan Tuhan menemani saudara-saudari kita yang sedang sakit.
Perayaan ini juga memberi kekuatan spiritual yang diperbarui kepada Gereja untuk lebih penuh mengamalkan bagian fundamental dari misinya termasuk melayani kaum miskin, lemah, menderita, terbuang dan tersingkirkan (bdk. Yohanes Paulus II, Motu Proprio Dolentium Hominum, 11 Februari 1985, 1).
Tentu saja, kesempatan doa, perayaan ekaristi dan perminyakan orang sakit, berbagi dengan orang sakit dan aneka lokakarya pastoral bioetik dan teologis yang akan diselenggarakan di Lourdes pada hari-hari itu akan memberi kontribusi-kontribusi yang baru dan bernilai pada pelayanan itu.
Bahkan saat ini, secara spiritual saya hadir di goa Massabielle, di hadapan patung Perawan Maria Imaculata, seorang pribadi yang telah dipakai oleh Yang Mahakuasa untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan besar bagi penebusan umat manusia.
Saya ungkapkan kedekatan saya kepada Anda semua, saudara-saudari kita yang sedang menderita, dan kepada keluarga-keluarga Anda, begitu juga penghargaan saya untuk semua yang dalam pelbagai peran pelayanan yang berbeda dan dalam lembaga-lembaga pelayanan kesehatan di seluruh dunia yang bekerja dengan profesional, penuh tanggung jawab dan pengabdian untuk kepedulian, perawatan dan kesejahteraan sehari-hari.
Saya mendorong Anda semua yang sakit dan menderita, para dokter, perawat, anggota keluarga dan para relawan untuk memandang di dalam Maria, Kesehatan orang Sakit, tanda pasti kasih Allah bagi setiap umat manusia dan teladan penyerahan kepada kehendak-Nya.
Semoga Anda selalu menemukan dalam iman, yang dipupuk oleh Sabda dan sakramen-sakramen, kekuatan yang dibutuhkan untuk mencintai Tuhan, bahkan dalam pengalaman sakit.
Seperti St. Bernadet, kita berdiri di bawah tatapan Maria yang penuh perhatian. Gadis Lourdes yang sederhana itu menceritakan kepada kita bahwa Sang Perawan, yang disebutnya “Bunda Penyayang”, memandangnya seperti seorang pribadi memandang pribadi yang lain.
Kata-kata sederhana itu melukiskan kepenuhan sebuah relasi. Bernadet, yang miskin, buta huruf dan sakit, merasakan bahwa Maria sedang memandanginya sebagai seorang pribadi. Sang Bunda Penyayang berbicara kepadanya dengan penuh penghargaan dan tanpa sikap merendahkan.
Hal ini mengingatkan kita bahwa setiap orang harus diperlakukan sebagai manusia. Yang sakit dan mereka yang berkebutuhan khusus, bahkan yang sakit dan cacat berat pun, memiliki martabat dan misi mereka sendiri yang tidak dapat diganggu-gugat dalam kehidupan. Mereka tidak pernah menjadi sekedar objek. Jika kadangkala mereka tampak pasif saja, dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Setelah kunjungannya ke goa, berkat doanya, Bernadet telah mengubah kerapuhannya menjadi dukungan bagi yang lain. Syukurlah berkat cintanya, dia telah mampu memperkaya kehidupan batin tetangga-tetangganya dan, di atas semuanya itu, memberikan hidupnya bagi keselamatan kemanusiaan.
Kenyataan bahwa Sang Bunda Penyayang memintanya untuk berdoa bagi para pendosa mengingatkan kita bahwa yang sakit dan yang menderita menginginkan bukan hanya disembuhkan, tetapi juga menjalani hidup Kristiani dengan sungguh-sungguh, bahkan ingin mempersembahkan hidup sebagai murid-murid Kristus yang misioner sejati.
Maria menganugerahi Bernadet panggilan untuk melayani orang sakit dan memanggilnya untuk menjadi Biarawati Belaskasih, sebuah misi perutusan yang dia laksanakan dengan cara yang membuatnya pantas dianggap sebagai teladan bagi setiap pekerja pelayanan kesehatan. Marilah kita memohon rahmat kepada Maria Imaculata untuk selalu berelasi dengan orang sakit sebagai pribadi-pribadi yang sungguh memerlukan pertolongan, bahkan kadangkala dalam bentuk yang paling sederhana, tetapi yang memiliki anugerah untuk saling berbagi dengan sesama manusia.
Tatapan Maria, Penghiburan bagi yang menderita, menerangi wajah Gereja dalam komitmen hariannya bagi yang menderita dan mereka yang membutuhkan. Buah-buah berharga dari kepedulian kepada dunia penderitaan dan orang sakit merupakan alasan untuk bersyukur kepada Tuhan Yesus, yang taat berserah kepada kehendak Bapa-Nya menjadi manusia, sama seperti kita, bahkan mengalami kematian di salib bagi penebusan umat manusia.
Solidaritas yang ditunjukkan Kristus, Putera Allah yang lahir dari Maria, adalah ungkapan belaskasih Allah Yang Mahakuasa, yang nyata dalam hidup kita – terutama ketika hidup itu rapuh, penuh penderitaan, direndahkan, dan tersingkir – dan Dia memenuhinya dengan kekuatan pengharapan yang dapat menopang kita dan memampukan kita untuk bangkit kembali.
Kekayaan iman dan kemanusiaan yang agung ini jangan sampai disia-siakan. Sebaliknya, hal itu harus menginspirasi kita untuk berbicara secara terbuka tentang kelemahan manusiawi kita dan untuk mengungkapkan tantangan-tantangan masa kini dalam pemeliharaan kesehatan dan teknologi.
Pada Hari Orang Sakit Sedunia ini, semoga kita menemukan dorongan baru untuk bekerja demi perkembangan budaya yang menghargai kehidupan, kesehatan dan lingkungan hidup. Semoga perayaan hari ini juga menginspirasi upaya-upaya yang diperbarui untuk mempertahankan integritas dan martabat manusia sebagai pribadi, dengan mempertimbangkan pendekatan yang benar untuk masalah-masalah bioetika, perlindungan bagi yang lemah dan perlindungan bagi lingkungan hidup.
Pada Hari Orang Sakit Sedunia ke-25 ini, saya sekali lagi menyampaikan dukungan doa dan dorongan kepada para dokter, perawat, relawan serta semua pria dan wanita yang membaktikan dirinya untuk melayani orang sakit dan mereka yang berkekurangan.
Saya juga merangkul lembaga-lembaga gerejawi dan kemasyarakatan yang bekerja untuk mencapai tujuan ini, dan keluarga-keluarga yang merawat penuh cinta anggota keluarga mereka yang sakit. Saya berdoa semoga semua itu menjadi tanda-tanda sukacita kehadiran cinta Allah dan meneladani kesaksian yang memberi pencerahan dari begitu banyak sahabat Allah, termasuk Santo Yohanes de Deo dan Santo Kamilus de’Lellis, pelindung rumah sakit dan para pekerja pelayanan kesehatan, dan Santa Bunda Teresa dari Kalkuta, misionaris cinta Allah.
Saudara-saudari terkasih – yang sakit, para pekerja dan relawan pelayanan kesehatan – saya memohon Anda untuk bersama saya dalam doa kepada Maria. Semoga kepengantaraan keibuannya menopang dan menyertai iman kita, dan memperoleh pengharapan dari Kristus bagi kita di sepanjang perjalanan penyembuhan dan kesehatan kita, rasa persaudaraan dan tanggung jawab, sebuah komitmen pada perkembangan kemanusiaan yang utuh dan sukacita rasa syukur pada saat Allah menakjubkan hati kita dengan kesetiaan dan belaskasih-Nya.
Maria, Bunda kami, dalam Kristus engkau menyambut kami masing-masing sebagai putera-puterimu. Topanglah harapan yang penuh keyakinan hati kami, bantulah kami dalam banyak kelemahan dan penderitaan, dan bimbinglah kami kepada Kristus, Puteramu dan saudara kami.
Tolonglah kami untuk mempercayakan diri kami kepada Bapa yang melakukan perbuatan-perbuatan besar.
Dengan jaminan bahwa saya akan mengingat Anda terus menerus dalam doa-doa saya, saya dengan setulus hati menyampaikan berkat apostolik saya kepada Anda semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar