Ads 468x60px

Cap-Go-Meh": Riwayat dan Hikayat



HIK : HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
"Cap-Go-Meh": Riwayat dan Hikayat
Prolog
"Cap-Go-Meh" (Hokkien: 十五暝) melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Istilah ini berasal dari dialek Tio Ciu dan Hokkien, yang secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Sedangkan lafal dialek Hakka adalah “Cang Njiat Pan”, artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok, "Cap-Go-Meh" dinamakan元宵节【”yuánxiāojié”】 dalam bahasa Mandarinnya, yang berarti "Festival tanggal 15 bulan Satu Kalendar Tionghoa".
Perayaan "Cap-Go-Meh" ini sendiri kerap dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan kultus dan kultural. Di China, "Cap-Go-Meh" disebut Festival Yuanxiao atau Festival Shangyuan untuk memberi penghormatan terhadap Dewa Thai Yi, dewa tertinggi di langit pada zaman Dinasti Han (206 SM- 221 M). Di Taiwan, "Cap-Go-Meh" dirayakan sebagai “Festival Lampion”. Di Asia Tenggara, "Cap-Go-Meh" kadang dikenal sebagai “Hari Valentine Tionghoa”, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut - suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia.
Sedangkan di Indonesia, saat "Cap-Go-Meh", kita bisa mencari jodoh di Pulau Kemaro, Palembang; atau di “Kota Seribu Kelenteng”, yakni Singkawang, kita bisa merayakan "Cap-Go-Meh" dengan melihat pawai tatung untuk mengusir roh jahat dan penampilan para penari yang membawakan tarian Tionghoa, Dayak dan Melayu. Di Makassar, perayaan "Cap-Go-Meh" diadakan secara rutin setiap setahun sekali dimana daerah pecinan di kota Makassar akan ditutup untuk kendaraan sejak pagi karena diadakannya prosesi perarakan "Cap-Go-Meh" atau yang biasa disebut Karnaval Budaya Nusantara dengan dilepaskannya puluhan ekor burung oleh Walikota Makassar. Di Manado, ketika "Cap-Go-Meh" maka diadakan arak-arakan kio yang dinaiki oleh tangsin (wadah roh suci), dimana setiap klenteng akan mengarak dewa atau dewi tertentu berdasarkan klenteng masing-masing.
"Cap-Go-Meh" : Sebuah Historiografi Mini
Dulunya, "Cap-Go-Meh"memang dilakukan secara tertutup untuk kalangan istana dan sekitarnya. Festival tersebut dilakukan pada malam hari, sehingga harus menyediakan banyak lampion dan aneka lampu warna-warni. Lampion dalah pertanda kesejahteraan hidup bagi seluruh anggota keluarga, sehingga "Cap-Go-Meh" kerap disebut Festival Lampion.
Bicara soal "Cap-Go-Meh" lebih lanjut, ada banyak cerita bahkan dikatakan bahwa semasa Dinasti Han, pada malam "Cap-Go-Meh", raja sendiri khusus keluar dari istana untuk turut merayakan momentum kultural ini bersama dengan rakyatnya. Ketika pemerintahan Dinasti Han berakhir, "Cap-Go-Meh" semakin dikenal oleh masyarakat, karena ketika "Cap-Go-Meh", semua rakyat bisa bersenang-senang sambil menikmati pemandangan lampion yang telah diberi banyak hiasan.
Adapun salah satu versi asal muasalnya "Cap-Go-Meh" dikisahkan berasal dari saat dinasti Zhou (770 – 256 SM): Setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek (kalendar China), para petani memasang aneka-ria lampion yang dinamakan “Chau Tian Can” di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. Selain itu, pelbagai lampion ini juga untuk menciptakan pemandangan yang indah di malam hari tanggal 15 bulan satu tersebut. Untuk menakuti dan mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka juga menambah bunyi-bunyian serta barongsai, agar lebih ramai dan dipercaya membawa berkat bagi petani.
“Kelenteng”
Kepercayaan dan tradisi budaya "Cap-Go-Meh" ini berlanjut turun menurun, baik di daratan Tiongkok maupun di tanah perantauan di seantero dunia. "Cap-Go-Meh" ini sendiri dinilai sebagai pesta karnaval etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari “Kelenteng” (Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah “Tri Dharma”, yakni: Buddhism, Taoism dan Confuciusm).
Nama Kelenteng sekarang ini kerap diubah dan disebut sebagai "Vihara" yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah umat Buddha. Hal ini terjadi dikarenakan pemerintah pernah tidak mengakui keberadaan agama “Kong Hu Chu” sebagai agama resmi.
Sedangkan sebutan nama “Kelenteng” itu sendiri, bukan berasal dari bahasa China, melainkan malahan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan “kelintingan” – lonceng kecil, karena bunyi-bunyian inilah yang sering keluar dari tempat ibadah itu, sehingga mereka menamakannya "Kelenteng".
Orang Tionghoa sendiri menamakan “Kelenteng” sebagai “Bio”, Mandarinnya 庙(miào). “Wen Miao” adalah “bio” untuk menghormati Confucius dan “Wu Miao” adalah “bio” untuk menghormati Guan Gong.
“Toapekong”
Dalam tradisi pawai "Cap-Go-Meh", juga adanya acara menggotong “Toapekong” untuk diarak keluar dari “Kelenteng”.
Toapekong (Hakka = “Taipakkung”, Mandarin = “Da Bo Gong”) yang berarti secara harafiah adalah “eyang buyut”, sebuah makna kiasan bagi para dewa yang pada umumnya digambarkan sebagai seorang kakek tua. “Da Bo Gong” ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa di Indonesia. Jadi istilah “Da Bo Gong” itu sendiri tidak dikenal di dataran Tiongkok.
Tarian Barongsai "Cap-Go-Meh"
"Cap-Go-Meh" tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsai "Cap-Go-Meh" biasanya disebut “Nong Shi”. Sedangkan nama “barongsai” adalah gabungan dari kata "Barong" dalam bahasa Jawa dan "Sai" yang berarti "singa" dalam bahasa dialek Hokian. Singa menurut kepercayaan orang Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.
Ada dua macam jenis tarian Barongsai. Yang satu lebih dikenal sebagai “Singa Utara” yang penampilannya lebih natural tanpa tanduk, sedangkan “Singa Selatan” memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda naga yang bertanduk).
Seperti layaknya binatang-binatang lain, Barongsai juga harus diberi makan berupa Angpao yang ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut “Lay See”. Untuk melakukan tarian memakan “Lay See” (Chai Qing) ini para pemain harus mampu melakukan loncatan tinggi.
Itu sebabnya, dahulu, Barongsai hanya dimainkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan silat – “Hokian = kun tao” yang berasal dari bahasa Mandarin “Quan Dao” (kepala kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata “Wu Shu”, padahal arti Wu Shu sendiri itu adalah "seni untuk menghentikan kekerasan".
Di depan Barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang memakai topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut “Shi Zi Lang” dan penari inilah yang mengarahkan Barongsai untuk melakukan atraksi. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut “Xiao Mian Fo”.
Pada awalnya tarian Barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa Barongsai itu dapat mengusir hawa-hawa buruk dan roh-roh jahat sehingga kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dipakai bersinergi dengan ritual keagamaan.
Pada jaman sekarang ini, aliran modern tidak mengaitkan tarian Barongsai dengan upacara keagamaan sama sekali, karena dinilai Barongsai hanya sekedar bentuk seni tari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.
Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) tahun 220 – 280 M. Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah-nya Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi, panglimanya yang bernama Zhing Que mempunyai ide jenius untuk membuat boneka-boneka singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil, sehingga sejak saat itulah dikenalnya tarian Barongsai.
Tarian Naga "Cap-Go-Meh"
Tarian naga "Cap-Go-Meh" (liong) disebut “Nong Long”. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk menjangan.
Naga di China dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di China merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air.
Semua kaisar di China menggunakan lambang naga, mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang China akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di Tahun Naga.
Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan seekor naga yang panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi ketika mereka menyambut tahun baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.
Naga sendiri tidak selalu dihormati, sebab apabila ada musim kemarau berkepanjangan, maka para petani mengadakan upacara “menjemur naga” yang dibuat dari tanah liat untuk "membalas dendam" atau "mendemo" sang Naga yang tidak mau menurunkan hujan.
"Tanjidor"
Pawai "Cap-Go-Meh"ini juga kurang lengkap jika tanpa diiringi oleh para pemain musik "Tanjidor" yang menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (bedug).
Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes Tanjidor yang terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak-budak, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai "Sklaven Orkest“.
Lontong "Cap-Go-Meh" , Onde-Onde dan Kue Keranjang
Ketika "Cap-Go-Meh", orang-orang membawa persembahan berupa kue keranjang dan melakukan sembahyang kue keranjang untuk mengucap syukur dan memohon keselamatan. Karena orang zaman dulu sangat percaya kalau anak kecil tidak memakan kue keranjang, matanya bisa belekan, sehingga, masih banyak orang yang membawa persembahan kue keranjang ketika "Cap-Go-Meh". Setelah itu, pastinya ada acara makan kue keranjang yang bisa dimakan langsung atau digoreng. Kue keranjang juga boleh dibagi-bagikan secara gratis untuk warga sekitar.
Kebiasaan yang lain dalam merayakan Cap Go Meh dewasa ini adalah makanan yang khas dan joss rasanya, seperti: "Lontong Cap Go Meh." Ada juga kue Onde-onde yang dimakan ketika "Cap-Go-Meh" dan biasanya dibuat ramai-ramai oleh seluruh anggota keluarga, terutama wanita dan anak-anak.
=========
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Asal Usul Cap Go Meh (Hari Raya Yuan Xiao Jie)
Di Indonesia, Hari Raya Yuan Xiao lebih dikenal dengan sebutan Hari Raya “ Cap Go Meh ” yang artinya adalah malam ke-15 Tahun Baru Imlek. Bulan Pertama (Zhen Yue [正月]) dalam penanggalan Imlek disebut juga dengan istilah “Yuan Yue [元月]”.
Dalam bahasa Mandarin, Malam disebut juga dengan istilah “Xiao [宵]”. Jadi Yuan Xiao artinya adalah Malam dengan Bulan Purnama pertama dalam Tahun yang baru. Festival “Yuan Xiao” disebut juga dengan Festival “Shang Yuan [上元节]”.
Perayaan Festival Yuan Xiao atau perayaan Cap Go Meh sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu saat Dinasti Han. Pada saat itu, sebagian besar rakyat dan bangsawan serta kaisar adalah beragama Buddha yang kemudian mengetahui bahwa setiap Bulan Pertama Tanggal 15 Imlek para Bhikkhu akan melakukan penyalaan pelita untuk menghormati Buddha, maka Kaisar “Han Ming Di [汉明帝]” yang berkuasa saat itu memerintahkan untuk menyalakan Pelita di Istana dan juga semua Vihara untuk menghormati Buddha. Kaisar kemudian juga memerintahkan rakyatnya untuk menggantungkan Lentera atau Lampion atau menyalakan Pelita di rumah masing-masing untuk menghormati Buddha.
Dalam Agama Buddha, Bulan Pertama tanggal 15 Imlek juga diperingati sebagai hari suci “Magha Puja” yaitu hari berkumpulnya 1250 arahat pada waktu yang bersamaan tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu untuk mendengarkan pembabaran Dhama dari Sang Buddha Sakyamuni, semua Arahat adalah Ehi Bhikku yang artinya adalah ditabhiskan oleh Buddha Sakyamuni sendiri.
Dalam Agama Tao [道教], terdapat istilah San Yuan Shuo [三元说] yang terdiri dari Festival “Shang Yuan Jie [上元节]” yakni jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Imlek, Festival “Zhong Yuan Jie [中元节]” yang jatuh pada tanggal 15 bulan 7 Imlek dan “Xia Yuan Jie [下元节]” yang jatuh pada tanggal 15 bulan 10 Imlek. Mereka masing-masing bertanggung jawab atas Langit, Bumi dan Manusia. Tanggal 15 bulan Pertama adalah Shang Yuan Jie yang juga bertanggung jawab atas Langit, memiliki makna sukacita. Pada hari tersebut juga harus menyalakan Lampu Pelita.
Dalam perkembangannya, penyalaan lampu pelita di Dinasti Han hanya satu hari, sampai pada Dinasti Tang menjadi 3 hari, Dinasti Song menjadi 5 hari, Bahkan saat Dinasti Ming, perayaan penyalaan Lampu Pelita ini dimulai pada hari ke-8 sampai hari ke-17 bulan pertama Imlek (tepat 10 hari). Pada Dinasti Qing, Perayaan Festival Yuan Xiao dipersingkat menjadi 4~5 hari, tetapi bentuk perayaan diperbanyak seperti adanya kegiatan barongsai dan tarian Naga.
Terdapat beberapa cerita dan dongeng mengenai asal usulnya Festival Yuan Xiao (Cap Go Meh), diantaranya adalah Cerita tentang penyalaan Lampu dan Pemberantasan pemberontrakan keluarga Lv di Dinasti Han.
A.
Cerita tentang Penyalaan Lampu
Pada zaman dulu, banyak terdapat raksasa dan binatang buas yang sering menganggu umat Manusia. Oleh Karena itu, masyarakat saat itu membentuk pasukan untuk mengusir raksasa dan binatang buas tersebut.
Suatu hari, seekor burung dewa tersesat dan jatuh ke bumi sehingga tidak sengaja dibunuh oleh para pemburu binatang buas tersebut. Kaisar Langit mengetahuinya dan sangat marah sekali yang kemudian memerintahkan para tentara langit untuk menghukum umat manusia dengan cara membakar bumi pada tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek.
Seorang Putri dari Kaisar Langit yang sangat berbaik hati sangat sedih dan tidak tega melihat umat manusia yang tidak bersalah mengalami penderitaan tersebut. Putri tersebut secara diam-diam turun ke bumi untuk memberitahukan perintah kaisar langit tersebut kepada umat manusia.
Orang-orang yang mendengarkannya sangat panik dan takut sekali, beberapa saat kemudian seorang penatua mengeluarkan suatu ide agar setiap rumah menyalakan lampu, petasan dan kembang api pada hari ke 14, 15 dan 16 bulan pertama penanggalan Imlek untuk mengelabui Kaisar langit. Dengan demikian, Kaisar Langit akan mengira bahwa bumi sedang mengalami kebakaran dan ledakan.
Semua orang menyetujui ide tersebut dan melakukan persiapan masing-masing. Pada malam ke 15 bulan pertama saat Kaisar langit melihat ke bumi, Kaisar Langit melihat bumi terang benderang seperti benar-benar terjadi kebakaran dan juga terdengar suara ledakan selama 3 hari berturut-turut. Dengan demikian, masyarakat saat itu dapat selamat dari musibah kebakaran tersebut dan dapat melindungi harta benda mereka dari bencana.
Untuk memperingati keberhasilan tersebut, pada tanggal 15 bulan pertama Imlek, setiap keluarga menyalakan lampu dan memasang lentera dirumahnya serta membunyikan petasan dan kembang api.
B.
Keberhasilan Pemberantasan Pemberontakan Keluarga Lv [吕].
Pada Dinasti Han, setelah wafatnya Kaisar Han Gao Zu [汉高祖] (kaisar pertama Dinasti Han, Liu Bang), putra dari Permaisuri Lv [吕后] yang bernama Liu Ying [刘盈] naik tahta menjadi kaisar dengan gelar Kaisar Han Hui Di [汉惠帝]. Tetapi Kaisar Han Hui Di sangat lemah dan sifatnya yang pengecut dan ragu-ragu menyebabkan kekuasaannya jatuh ke tangan Permaisuri Lv [吕后].
Setelah Kaisar Han Hui Di wafat, kekuasaan sepenuhnya diambil alih oleh Permaisuri Lv, banyak jabatan tinggi diduduki oleh keluarga Lv. Para menteri dan pejabat tinggi Dinasti Han sangat marah, sedih dan kuatir akan Dinasti Han yang semestinya adalah milik keluarga Liu, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Permaisuri Lv.
Setelah wafatnya Permaisuri Lv, Pejabat-pejabat keluarga Lv yang dulunya mendapat dukungan penuh dari Permaisuri Lv merasa kuatir dan terancam. Mereka yang dipimpin oleh Jenderal Lv Lu [吕禄] merencanakan untuk merebut kekuasaan kerajaan Dinasti Han.
Perencanaan rahasia tersebut akhirnya terdengar oleh Liu Nang yang saat itu menjabat sebagai Raja Qi. Untuk melindungi Dinasti Han dari pemberontakan tersebut, Liu Nang memutuskan untuk melakukan penyerangan terhadap keluarga Lv dan kelompoknya.
Setelah berhasil memberantas pemberontakan ini, anak kedua dari Kaisar Han Gao Zu yang bernama Liú héng [刘恒] naik tahta menjadi Kaisar Dinasti Han dengan gelar Han Wen Di [汉文帝].
Untuk memperingati keberhasilan ini, Kaisar Han Wen Di memerintahkan untuk melakukan perayaan pada tanggal 15 bulan pertama Imlek, Setiap keluarga di Ibukota diharuskan untuk menggantungkan Lentera, menyalakan lampu dan melakukan pesta yang meriah di seluruh sudut Ibukota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar