IN MEMORIAM "ROMO MANGUN"
IN MEMORIAM "ROMO MANGUN"
"......Pendidikan berfungsi, antara lain, mengurangi dan menyingkirkan halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan inteligensi sederhana saja dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas apapun yang dilakukannya...."
Hari Senin Wage 22 Juli 1963, Monseigneur Albertus Soegijapranata wafat dalam pelukan sang murid kesayangannya: Romo Mangunwijaya.
Sang Pahlawan Nasional itu wafat di Susteran Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Heerlen negeri Belanda. Sang guru seolah-olah menunggu untuk berpamitan dari sang murid yang sekitar satu jam sebelumnya datang dari Jerman.
Berselang hampir 36 tahun kemudian, hari Rabu Legi 10 Februari 1999, Mangunwijaya wafat di pelukan Mohamad Sobary, salah seorang sahabat baiknya. Dia wafat sebagaimana keinginannya “sebagai guru sekolah dasar, ketika sedang dalam tugas, di antara orang-orang yang menyayanginya, di antara manusia lintas suku agama ras dan antar golongan, dan tidak terlebih dulu merepotkan orang lain.”
Soegijapranata adalah sosok berpengaruh besar bagi Mangunwijaya. Dia merupakan figur pembeda kedua yang ikut mengubah perjalanan sejarah hidup Mangunwijaya.
“Soegijapranata paling berkesan bagi saya. Beliau guru saya. Kalau harus menyebut guru-guru saya yang berpengaruh, nama pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara lain, juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.”
Uskup Soegijapranata yang mentahbiskan Mangunwijaya menjadi romo tahun 1959. Tahun itu juga dia memberi tugas kepada Mangunwijaya untuk belajar arsitektur. Kala itu Vikariat Semarang sedang membangun banyak gereja, dan memerlukan seorang imam yang juga ahli dalam pembangunan.
Sebagai persiapan, Romo Mangun mulai memasuki Institut Teknologi Bandung (ITB). Berada satu tahun di Bandung, dia kemudian bertolak ke Aachen Jerman pada tahun 1960.
Tugas belajar arsitektur di Jerman menghadirkan bukan sekedar ilmu arsitek yang menjadi ‘kesaktiannya’ dalam berkarya. Namun menghadirkan ‘momen berlian’ yang kelak berpengaruh signifikan dalam jejak pengabdiannya. Karena di sini dia bersua dengan dua sosok yang kelak menjadi bagian pengambil kebijakan di Republik Indonesia tercinta: B. J. Habibie (Presiden Republik Indonesia ke 3) dan Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat Romo Mangun mulai mengeksplorasi konsep pendidikannya).
Kedua orang ini menjadi sahabat dekatnya. Saking dekatnya, kepada B. J. Habibie Romo Mangun menyapa Mas Rudy. Sebuah sapaan yang menandakan kedekatan. Sementara Wardiman pernah berkunjung ke SD Eksperimental Kanisius Mangunan, ini sekolah yang didirikan Romo Mangun berada di desa, padahal sekolah di kota saja jarang punya kesempatan mendapat kunjungan dari seorang menteri.
Mayor Isman, komandannya ketika menjadi anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) merupakan sosok lain yang mengubah sejarah hidup Mangunwijaya.
Tatkala selesai berperang dan keluar dari hutan, Mangunwijaya mendengar pidato Mayor Isman yang justru di telinganya terdengar jauh lebih berdentam bertalu-talu dibanding suara dentuman meriam tentara Belanda. Gaung pidato itu dia bawa sampai ke rumah, ke bilik tidurnya, membuatnya tidak bisa tidur, memaksanya mengubah haluan hidup, dan memproklamasikan keinginannya untuk total mengabdi bagi nusa bangsa tercinta. Terutama menemani rakyat kecil dan mereka yang terpinggirkan.
Gaung pidato sang komandan memicu gelora di nuraninya dan tekad bulat di jiwanya. Gaung itu tidak hanya bergema di bilik tidurnya, tidak berhenti dalam satu dua hari lalu menguap, tetapi terus mengalir.
Mengalir deras membahana merobohkan semua cita-cita dan cintanya yang tumbuh terdahulu di benaknya. Itu terus mengalir semasa hidupnya dan terus bahkan sampai ketika dia masih mengemban tugas menyumbangkan pikiran dalam seminar perbukuan “Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru” tanggal 10 Februari 1999, hari Sang Burung Manyar wafat. Sejak mendengar pidato itu, Mangunwijaya bukan lagi orang yang sama dibanding sebelum mendengar pidato.
Mayor Isman dan Monseigneur Soegeijapranata, dua sosok hebat yang berkontribusi membentuk komitmen hebat Romo Mangun dan membangun kualitas dirinya menjadi, sebagaimana ucapan Gus Dur, “Romo Mangun itu salah seorang Bapak Bangsa Indonesia. Dia patut mendapat kehormatan semestinya.”
Cerita Ado Bintoro salah seorang muridnya mereaktualisasi kenangan tentang Romo Mangun. Ado Bintoro pernah tinggal bersama Romo Mangun di rumahnya yang artistik di Gang Kuwera 14, Mrican Sleman Yogyakarta. Ado mengisahkan,
“Kalau mau mengenang Romo Mangun, tak pernah ada habisnya, selalu ada saja cerita-cerita yang menarik atau kadang lucu, ada pula yang merenyuhkan, semuanya patut dijadikan contoh teladan. Semisal, suatu ketika, pada hari Minggu sehabis makan pagi, saya melihat Romo merenung, duduk di lincak bambu, beliau memandangi anak asuhnya yang belum lama kehilangan bapaknya yang meninggal karena sakit. Nama anak itu Yani. Romo Mangun memperhatikan Yani yang sedang bermain tanah yang dibikin gundukan menyerupai makam. Entah apa yang sedang Romo pikirkan.”
Ado Bintoro memberanikan diri mendekat.
“Permisi Romo.”
“Eh… ada apa?” Romo sedikit terkejut.
“Romo sakit ya?” tanya Ado Bintoro, basa-basi.
“Ah.. tidak kok.” Lalu Romo mengajak Bintoro memperhatikan. “Itu lo sedang memperhatikan Yani. Anak itu mungkin ingat bapaknya, atau masih merasa kehilangan, sepertinya belum percaya kalau bapaknya tiada.”
“Diajak masuk sekolah lagi, gimana, Mo?”
“Sudah, tadi malem saya bujuk dia sekolah. Cuma geleng-geleng, jadi saya tak tega untuk memaksa, wong namanya anak seusia dia masih labil. Toh, dia baru kelas satu SD. Biarkan dulu saja, ditunggu saja sampai dia betul-betul tenang dan bahagia dengan sendirinya. Tapi yang saya herankan, kok belum ada salah satu pun guru yang nanyakan keadaan-nya.” Ujar Romo, menyesali.
Romo Mangun adalah sebuah kenangan. Namun bukan kenangan yang gersang dan menggersangkan. Dia inspirasi subur dan menyuburkan yang melintasi sekat-sekat, menembus tembok-tembok pembeda. Seperti kata-kata Gus Dur, “Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbiolisme. Dia sentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya. Inilah yang menyebabkan Romo Mangun mampu hadir dalam hati setiap manusia.”
NB:
Buku "XXI" (RJK, KANISIUS).
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, adalah splendor veritatis – yang penuh dengan warna-warni pelangi kemanusiaan.
Pergulatan hidupnya tercermin dalam beragam karya monumental. Novel "Burung Burung Manyar" (1979) menyabet penghargaan The South-East Asian Award (1986).
Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Belum lagi, kepeduliannya terhadap karya pendidikan dasar dan orang-orang miskin. Ia jugalah yang mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED). Untuk itulah, bagi saya sendiri, Romo Mangun itu “Hari”, :hadir untuk memberi."
A.
Sebuah Sketsa Profil.
‘’Rumah saya seperti rumah dukun. Banyak orang berdatangan, untuk mengeluh atau minta saran,’’ kata Romo Mangun. Mereka yang berdatangan adalah para mahasiswa, dosen, atau para tetangga, apa pun agamanya.
Kediamannya berupa sebuah rumah panggung, berdinding gedek, terletak di lembah yang berhimpitan dengan jembatan Gondolayu, Yogyakarta. Berdekatan dengan rumahnya terdapat sederetan rumah serupa, yang dihuni tuna wisma, pemungut sampah, tukang becak, dan anak-anak penyemir sepatu.
Tempat tinggal “orang buangan’’ yang tertata rapi itu adalah hasil rancangan Romo Mangun - arsitek lulusan Rheinisch - Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman Barat.
Ia adalah putra sulung dari 12 bersaudara, anak dari pasangan Julianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdiyah. Ia lahir di Ambarawa pada tanggal 6 Mei 1929. Kedua orang tuanya adalah guru, sedangkan kakeknya adalah petani tembakau.
Sekolah formalnya dimulai di Muntilan, tetapi ia terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut karena sekolah tersebut bubar ketika Jepang memasuki Indonesia. Semasa remaja, ia sempat bergabung dengan Tentara Pelajar. Saat itu Romo Mangun tergabung dalam Batalyon X yang dipimpin Mayor Soeharto, mantan Presiden Indonesia.
Dalam seluruh hidup Romo Mangun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah pilihan keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum miskin, lemah, miskin, dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan hidupnya. Pilihan keberpihakan ini diawali dengan pengalamannya di kota Malang.
Waktu itu, ada perayaan penyambutan Tentara Indonesia. Semua mengelu-elukan tentara sebagai pahlawan. Lalu Mayor Isman mendapat giliran berpidato. Mayor Isman mengatakan,
“Kami bukan pahlawan. Kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam ... Sebetulnya kami ini bukan
pahlawan. Yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami. Jika Belanda datang, kami lari. Memang
bukan karena pengecut, melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban, diperkosa, dibakar rumahnya, ditembak. Mereka yang
berkorban, tetapi yang menjadi pahlawan bukan rakyat.”2
Pengalaman ini membuat Romo Mangun tergugah untuk membalas budi kepada rakyat. Usaha pembalasan budi kepada rakyat itu ditempuhnya dengan menjadi imam praja (baca: diosesan). Ia lebih memilih menjadi imam praja karena ia ingin bekerja langsung di tengah rakyat.
Bagi Mangun, menjadi imam adalah sebuah cara untuk berusaha menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan. Pada tanggal 8 September 1959, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Soegijapranata, SJ.
Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun mengakui bahwa status imamat memang memberi banyak kemudahan baginya, tapi ia ingin menjadi manusia biasa saja. “Yang berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia biasa. Sebab pastor itu ‘kan seolah-olah kasta tersendiri. Mudah membuat orang menjadi sombong. Karena itulah orang seperti kami harus selalu aware jangan sombong.”3
Tadinya, ia memang hanya ingin menjadi pastor desa, tetapi uskupnya menginginkan agar ia melanjutkan studi. Ia lalu masuk Institut Teknologi Bandung dan Sekolah Tinggi Teknik di Aachen, Jerman. Gelar insinyur sipil diraihnya pada tahun 1966. Selain menjadi arsitek dan pastor, ia juga menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Seiring perjalanan waktu, orang-orang mengenalnya sebagai novelis, kolumnis berbagai surat kabar dan majalah, pekerja sosial, budayawan, dan tokoh besar yang mencintai orang miskin.
Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup masyarakat yang lebih baik. Pengalaman hidupnya di Code (Yogyakarta), Gigrak (Gunungkidul), Kedungombo (Boyolali) mengungkapkan betapa ia peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.
Hasratnya untuk terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia membuatnya juga tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, dia pun berpolitik. Komentar dalam buku Politik Hati Nurani mengatakan demikian: “Romo Mangun memang berpolitik, tapi bukan politik dalam arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara. Ia menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikannya. Politik harus menggunakan hati nurani dan hati nurani sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadian bagi seluruh lapisan.”4
Romo Mangun sendiri menghabiskan sisa hidupnya di Gang Kuwera, Jalan Gejayan, Yogyakarta. Saat ini bekas rumah tinggal sekaligus kantornya ini digunakan sebagai kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, sebuah yayasan yang didirikannya.
Akhirnya, ia menghembuskan nafas akhirnya pada hari Rabu Legi, 10 Februari 1999, ketika ia diminta menyampaikan gagasan dalam seminar perbukuan dengan tema Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien, Jakarta. Banyak kalangan yang merasa kehilangan atas kepergiannya.
Berbagai komentar dari tokoh masyarakat, termasuk Mantan Presiden BJ Habibie, menunjukkan bahwa bangsa ini telah kehilangan seorang tokoh yang menjadi suri teladan. Jenazahnya dimakamkan di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Meskipun ia telah pergi, namun nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkannya tidak akan pernah hilang, bukan?
B
Refleksi Teologis
1.
Sugi, Suka Berbagi.
Tindakan politik Romo Mangun sungguh didasari pengalaman mistiknya dengan Allah. Ia sungguh-sungguh berpolitik. Ia membangun negara yang demokratis. Ia ingin betul-betul
tidak ada orang yang disingkirkan dalam pembangunan negara. Apa yang dilakukan Romo Mangun adalah tanggapan kenabian terhadap kenyataan yang bobrok.5
Kiranya tidak berlebihan, kalau Jennifer Lindsey menilai bahwa Romo Mangun adalah hati nurani bangsa. “Orang agung yang bijak di dunia ini memang jarang dan Romo Mangun adalah salah satu di antaranya.
Beliau adalah salah seorang cendekiawan Indonesia terbesar, seorang yang amat mencintai negaranya dan dari rasa cinta tersebut berani bicara sebagai hati nurani bangsa.”6
Saya pribadi kalau mengingat Rm Mangun, jadi teringat seorang supir bernama Sugi (kebetulan Romo Mangun juga pernah menjadi supir ketika ikut dalam Tentara Pelajar). Saya mengenal Mas Sugi ketika bertugas pastoral di Kolese Gonzaga Jakarta, sekitar tahun 2002. Bagi saya, “Sugi” bisa berarti suka berbagi. Saya juga melihat bahwasannya Rm Mangun juga suka berbagi.
Dalam bagian refleksi teologis ini, saya membaginya dalam tiga bidang besar sebagai berikut.
a. Romo Mangun sebagai Guru:
Romo Mangun bukan hanya seorang rohaniawan, tapi ia juga adalah seorang tokoh yang mencoba membagikan pemahaman betapa pentingnya pendidikan dasar bagi masyarakat, terutama pendidikan bagi rakyat kelas bawah. “Anak-anak miskin yang tanpa sepengetahuan mereka terlempar lahir di kalangan kumuh itu, itulah yang sebetulnya lebih memerlukan pertolongan dan
dari pengalaman itu saya mengambil kesimpulan bahwa prioritas selanjutnya yang ingin saya kerjakan adalah mengabdi kepada pendidikan dasar anak-anak miskin,” kata Romo Mangun.
Di sinilah, Rm. Mangun mencoba untuk keluar dari lingkaran setan: dampak kekuasaan yang termanifestasi melalui kurikulum yang sarat dengan pengetahuan namun miskin dalam pemaknaan. Karena itu, dengan memanfaatkan sebuah SD Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati, pada tahun 1994, Rm. Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking)
dengan tiga sasaran.
Pertama, Rm. Mangun menciptakan kurikulum yang khas. Kepedulian dan kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya untuk mengangkat kemiskinan sebagai laboratorium eksperimental untuk mengentaskan anak miskin.
Kedua, sebagai partner kerja dari SDKEM, Rm. Mangun juga mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan sebagai think tank untuk mendukung dari program-program pembelajaran di SDKEM. Di DED inilah berbagai persoalan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara bersama, disikapi secara kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya.
Ketiga, Rm. Mangun juga tidak enggan menggandeng berbagai rekan, mengembangkan jaringan, dan menyebarkan temuan-temuan dalam berbagai eksperimen tersebut ke berbagai forum.
Sebagai seorang pendidik, ia juga pernah berpendapat bahwa beberapa daya yang harus dikembangkan, yaitu: daya kognitif (daya nalar), cita rasa dan kemampuan afektif (rasa, intuisi dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan), kemampuan untuk saling berkomunikasi (bergaul, bekerja sama, teratur, tenggang rasa), kesehatan raga, dan hati nurani (sikap atau semangat tolong menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih).7
Pendidikan daya yang terakhir inilah, “pendidikan hati nurani”, dapat dilakukan melalui komunikasi iman (bukan melulu agama) dalam kehidupan, dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka terhadap segala yang baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau lambat belajar misalnya.8
Di sinilah, saya mengangkat pernyataan Ignatius Haryanto, dalam kata pengantar buku Politik Hati Nurani. Ia menulis: “Sosok Mangunwijaya yang pasti bukanlah seorang politikus dalam arti seorang yang memimpin partai, memimpin sekelompok massa, dan memperjuangkan suatu kepentingan bersama. Romo Mangun mengerti soal politik, dan dalam arti luas ia juga berpolitik, namun ia mendasari politiknya lewat pengabdian pada kemanusiaan. Profesinya sebagai seorang rohaniwan mau tidak mau mempengaruhi option yang dipilihnya tersebut. Dengan seluruh karya sosialnya, Mangun menunjukkan bahwa ia bergerak atas dasar panggilan nurani kemanusiaan ... Hati nurani bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan politik, bahkan justru
kegiatan politik harus memiliki Hati Nurani jika perpolitikan hendak berlangsung abadi dan mendapatkan simpati dari rakyat.”9
Secara imani, Romo Mangun mengajak kita melihat bahwa berbagai pengalaman hidup yang dijumpai dalam hidup keseharian dapat diangkat dan dimaknai dengan adanya kepekaan hati nurani. Barang-barang bekas bisa dibawa ke kelas untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna kreativitas, perlunya konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama.
Bagi Rm. Mangun, kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis, gagal, dan tidak berprestasi. Bukankah Tuhan juga datang sebagai orang miskin di sebuah kandang Betlehem? Romo Mangun bahkan pernah juga mengatakan, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil dan solider terhadap yang menderita ... demi perdamaian dunia, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.”
Menurutnya, iman adalah tindakan, ya tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih punya hati nurani.10
b. Romo Mangun sebagai Sastrawan:
Dalam khasanah sastra Indonesia Romo Mangun dikenal sebagai seorang penulis novel yang produktif. Sampai di akhir hidupnya ia telah menulis puluhan novel. Beberapa karya satranya antara lain: Romo Rahadi (1981), Burung-burung Manyar (1981), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1986), Balada Becak (1985), Burung-burung Rantau (1992), Balada Dara-dara Mendut (1993), Durga Umayi (1994), Tak Ada Jalan Lain (1999), Pohon-pohon Sesawi (1999).
Membaca novel Romo Mangun berarti juga membaca humanisme. Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel Romo Mangun menunjukkan sosok multidimensionalitas pribadinya.
Melalui novelnya, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat jelas dan memakainya sesuai kebutuhan. Kadang seorang Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada cucunya, misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan riang, walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.
Trilogi roman sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa dibilang merupakan novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan.
Tidak berbeda dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisjahbana, Mangunwijaya di hampir semua karyanya juga bercerita tentang keindonesiaan, tentang terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis melalui pemikirannya yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari kebanyakan kisah-kisah sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, meski kini bangsa Indonesia sudah lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan fisik, tetapi cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru, modernitas, dan kapitalisme global kini yang memperkosa Indonesia.
Dalam novel “Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa”, sikap Mangunwijaya terhadap penjajahan jelas terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses makan dan dimakan. Ikan besar (hiu) memakan ikan kecil (ido), ikan kecil (ido) memakan ikan lebih kecil (homa).
Bagi saya, membaca karya Romo Mangun juga mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci dunia melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan identitas yang kini menjadi pemecah belah manusia. Tampak jelas, bahwa Romo Mangun mengomunikasikan imannya lewat pelbagai tulisan yang dia hasilkan bukan?
c. Romo Mangun sebagai Arsitek:
Sebagai seorang arsitek, Romo Mangun mempunyai keistimewaan dalam dunia arsitektur Indonesia.
Hasil karya Mangunwijaya dapat menjadi contoh hasil ekspresi yang jujur dan kreatif dari jiwa dengan semangat option for the
poor: keberpihakan kepada kelompok lemah dan terpinggirkan.
Erwinthon P. Napitupulu, arsitek muda yang tengah mendokumentasikan karya-karya Mangunwijaya mengatakan di tengah diskusi yang digelar Dewan Kesenian Jakarta dalam rangka memperingati 80 tahun kelahiran Romo
Mangun di Goethe Institute, Jakarta, “seperti juga pada banyak aktivitasnya di bidang politik, pendidikan dan sastra, karya Mangunwijaya di bidang arsitektur bukanlah menjadi tujuannya.
Baginya, arsitektur menjadi media perjuangan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan.” Mangunwijaya sebagai arsitek, misalnya, terlibat langsung dalam konflik sosial di Lembah Code ketika muncul rencana penggusuran.
Dia menggunakan arsitektur untuk membantu meredam konflik tersebut. Dia juga sempat mendesain perahu dan perpustakaan terapung untuk menjawab persoalan ketika terjadi ketidakadilan di Kedungombo (1989-1993).
Sejauh ini, tercatat 82 karya Mangunwijaya. Karya arsitektur Mangunwijaya menekankan kesederhanaan dalam penggunaan bahan bangunan. Dalam pembangunan, digunakan material dan tenaga kerja setempat. Bangunan menjadi kontekstual sehingga sesuai dengan kondisi Indonesia.
Contoh lain, dalam desain-desain rumah ibadah seperti Gereja, ciri yang menonjol ialah keterbukaan bangunan sehingga Gereja menjadi bagian dari komunitas setempat. Romo Mangun sendiri telah berhasil meraih dua kali IAI Award dan Aga Khan Award untuk ketiga buah karyanya, yakni: Perkampungan
Kali Code, tempat ziarah Sendang Sono, serta Biara Trapis Gedono.
Buah karyanya sarat dengan pesan, baik dari segi konsep maupun teknik, dan kerap disebut sebagai “Arsitektur Nusantara” karena tidak harus mengacu ke gaya-gaya arsitektur tertentu. Mangunwijaya (1985) selalu mengingatkan lewat bukunya “Wastu Citra”, bahwa ternyata bangunan punya citra tersendiri, mewartakan mental, dan jiwa pembuatnya. Ternyata pula bila sang arsitek hendak berarsitektur sebaiknya ada kecenderungan lebih mendalami yang berhubungan dengan mental, kejiwaan, serta kebudayaan setempat.
Di tengah kiprahnya berkarya, beliau masih prihatin terhadap bidang arsitektur yang lebih banyak berpihak pada orang mampu daripada orang tidak mampu sehingga hal ini mendorong beliau dengan sadar melepaskan atribut keprofesian atau melepas embel-embel IAI di belakang namanya.
Kepedulian beliau ini dapat kita lihat dari hasil karyanya sebuah perumahan untuk kaum papa di Kali Code, Yogyakarta. Jelasnya, lewat pelbagai karyanya inilah, Romo Mangun sungguh membagikan imannya yang mau bersolider dengan masyarakat sekitarnya.
C.
Epilog
Sebagai penutup, saya kutipkan sepenggal sajak indah dari nenek moyang kita, yang dituliskan kembali oleh Mangunwijaya dalam bukunya Wastu Citra (hal 2):
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadag lan batine, pepindhane wadhah lan isine ...” (Yang disebut hidup sejati tak lain adalah leburnya tubuh jasmani
dengan batinnya).
Gereja pun diajaknya mencapai hidup sejati, maka Mangunwijaya pun dengan lantang menyerukan hati nurani kemanusiaan kepada seluruh warga Gereja.
“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah, miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka yang kaya dan berkuasa ... Hukum rimba: siapa kuat, dia
menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”11
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %. Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”12
Tampak jelas, keberpihakan Romo Mangun kepada kaum miskin adalah sesuatu yang digulat-geliati seumur hidupnya terus-menerus. Hidup Romo Mangun seakan-akan menjadi sebuah usaha yang tiada henti untuk memperjuangkan kaum miskin, lemah, kecil, dan tersingkir ini.
Jelaslah dia benar-benar mencari hidup yang sejatinya, dan bisa jadi bagi banyak orang, Romo Mangun memang “hadir untuk memberi”.
======
“Memanglah ada dua paradigma dan pengertian dan pengartian dasar politik.
Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek kekuasaan; penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status quo kekuasaan, dan seterusnya; pendek kata, segala yang menyangkut power atau kekuasaan; termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang lemah.
Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam arti pertama ini sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: “politik itu kotor”.
Namun bagi orang terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis, ataupun sesuai kodrat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer), yakni politik dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum; jasmani dan rohani.
Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia, atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, luas; misalnya, sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab), sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat).
Juga demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dan sebagainya demi tata hidup bersama yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dan sebagainya, dan seterusnya. Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral dan iman." (YB. Mangunwijaya).”13
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Catatan-catatan:
1. Biografi Romo Mangun ini disusun dari data yang ada, terutama dari Y.B.
Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999.
2. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 59-60.
3. “Saya Tak Mau Jadi Godfather” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin
Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 28.
4. YB. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Halaman sampul bagian belakang.
5. “Bukan Sekadar Politik Rohaniwan Biasa” dalam Y.B. Priyanahadi et all.
Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
318-319.
6. Jennifer Lindsey. “Y.B. Mangunwijaya Hati Nurani Bangsa” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 111.
7. A. Supratiknya dan A. Atmadi. “Romo Mangun sebagai Guru” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 161.
8. Bdk. A. Supratiknya dan A. Atmadi. Ibid. Hal. 171-172.
9. Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Hal. xi-xii.
10. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 61.
11. “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
17-18.
12. “Anawim” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat
Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 30.
13. “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” dalam Y.B. Mangunwijaya. Politik
Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997. Hal. 90-91.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar