Ads 468x60px

IMLEK 2018



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
DIA.LO.GUE
Bagi yang merayakan IMLEK, Jumat tanggal 16/2/2018 dengan makan berdaging bersama keluarga, jangan merasa menjadi sangat berdosa, puasa & pantangnya diganti hari lain?
Mt 9: 14-15.
恭喜發財 | Gong Xi Fa Cai
Semoga banyak rejeki
新年快樂 |Xin Nian Kuai Le
Selamat tahun baru
Dari Rawa Buaya ke Pattaya
Selamat menjadi "kaya", berdaya & bercahaya
Gong xi fa chai - Selamat menjadi “kaya” /" be happy - go lucky".
KAYA: KAsihi Tuhan - YAkini iman
HARTA BENDA:
HAR apan
cin TA
ke BEN aran
ke DA damaian
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Gong xi fa cai
Selamat menjadi “kaya”/"be happy - go lucky".
Adalah tugas kita untuk mendoakan semua orang, supaya Allah mengaruniakan damai dan sukacita bagi semuanya. Imlek bukan murni hari keagamaan. Seperti halnya acara New Year, Thanksgiving Day dan Hari Valentine.
Itu bagian sejarah budaya — seperti sekaten di Yogyakarta dan Surakarta.
A.
REPOST:
Karakter "Fu" (福)
Karakter "Fu" (福) yang berarti HOKI, Lucky, atau keberuntungan dapat kita jumpai di mana-mana dalam semarak perayaan Tahun Baru Imlek.
Karakter inilah yang menjadi simbol harapan kita bersama. Karakter ini pula yang tersirat pada patung/gambar Bunda Maria dari Sheshan.
Bunda dari Sheshan (佘山聖母), yang juga dikenal sebagai Bunda dari Zosé (Zosé mula-mula merupakan pelafalan latin dari pengucapan aksen Shanghai dari Sheshan), adalah sebuah gelar Maria yang diberikan oleh umat Katolik Roma di Tiongkok.
Sebagai salah satu devosi yang cukup populer, patung tersebut terkadang dikenal sebagai Bunda Keberuntungan atau Bunda Nasib Baik karena simbolisasi dari karakter "Fu" (福) yang dikaitkan dengan gaya khas dari penggambaran patung ini.
Patung aslinya sekarang dihormati di pusat peziarahan nasional Basilika Minor Bunda Maria Penolong Umat Kristiani di Shanghai, Tiongkok.
Dengan perantaraan Bunda Maria, mari kita berdoa memohon HOKI. Bunda Maria telah memberi kita teladan sikap kerendahan hati, taat, dan setia pada kehendak Bapa. Dengan sikap yang sama, kita pun dapat memperoleh HOKI sepanjangan hidup kita.
Akhirnya, bersama Maria mari kita junjung Yesus tinggi-tinggi, agar kita mampu mengalahkan kuasa iblis, segala kutuk, sakit penyakit dan nasib sial.
Menjunjung tinggi-tinggi Yesus dengan kerendahan hati Maria yang taat dan setia, mengajak kita untuk mencari terlebih dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Bdk. Mat 6 : 33). Itulah HOKI yang kita mohonkan di Tahun Baru Imlek ini. Gong xi fa cai....
B.
Karakter Imlek dan Maria.
Menyitir filsuf Prancis, Ernst Cassier, homo est animal symbolicum (manusia adalah makhluk yang penuh tanda), seperti tradisi Katolik yang penuh dengan “tanda” (lilin, warna liturgi, patung, dupa-wiruk, abu, lonceng, gong, goa natal, jalan salib dsbnya), budaya Tionghoa juga mempunyai banyak “tanda”.
Sebagai contohnya, apakah kita tahu bahwa ikan louhan itu simbol murid sang Budha? Apakah kita juga mafhum bahwa dalam tradisi Tionghoa ada 100-an nama yang menandakan para dewa? Ada dewa To Pe Kong-dewa penguasa dapur, Ada juga dewi Kwan Im, sang dewi belas kasih-yang membebaskan kera sakti ‘Sun Go Kong’ dari hukuman terjepit dua gunung, dsbnya.
Mengacu pada bingkai historiografi, sejak tumbangnya Orde Baru, terutama mulai dengan duet Gus Dur-Megawati yang kala itu duduk di kursi kepresidenan, pelbagai hal yang menjadi tanda orang Tionghoa, yang selama sekian waktu (di)hilang(kan), mulai muncul lagi ke permukaan.
Pada hari Selasa, 18 Januari 2000 persisnya, pemerintah mengumumkan Keputusan Presiden (Keppres) no. 6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) no. 14/1967. Sejak hari itu, masyarakat Tionghoa di Indonesia dinyatakan bebas kembali menjalankan acara-acara agama, kepercayaan, dan adat-istiadat mereka. Bahkan, Tahun Baru mereka yang biasa disebut dengan istilah Imlek secara resmi dinyatakan sebagai hari libur nasional. Walahualam!
Dan, medio Februari lima tahunan lalu, saya diminta untuk memberikan retret tahunan bagi para biarawati kontemplatif Claris di Singkawang sekaligus berkesempatan merayakan Imlek dan Cap Go Meh disana. Imlek pastinya semarak dengan banyaknya samsie, hung bao (angpau), pertunjukan liong-barongsai, aneka kue keranjang-kue mangkok, tebaran hio, buah jeruk, kwaci, kembang api, lampion kertas.
Ada juga chiongsam merah; thau-cang (kuncir panjang yang seperti sering kita lihat dalam film-film kungfu ala Jet Lee, yang sebenarnya merupakan gaya rambut orang Manchu yang dipaksakan kepada setiap lelaki Cina pada saat Manchu menguasai Cina pada abad 17-18), atau aneka hiasan bermotif burung hong dan liong, serta masih banyak lagi tanda yang lainnya.
Yang pasti dengan dirayakannya Imlek dan Cap Go Meh yang penuh dengan aneka tanda tersebut, kita bukan sibuk pada soal peruntungan atau aneka-ria ramalannya, tapi Imlek yang kita ikut kenangkan bersama segenap umat Tionghoa terlebih yang beriman kristiani ini, juga bisa memiliki arti dasar, yakni: “Ikuti Maria Lewat Ekaristi Kudus.”
Mengapa?
1.
Pertama, Maria yang bersyukur (Luk 1:46-47), “Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukacita karena Allah penyelamatku”. Kitapun diajak bersyukur. Bagaimana tidak, dalam satu bulan di tahun yang sama, kita bisa merayakan tahun baru dalam ekaristi. Pertama: Tahun Baru Matahari (1 Januari) dan kedua, Tahun Baru Bulan (16 Februari).
Ya, di bulan pertama, kita merayakan “tahun baru matahari” dan di bulan kedua, kita merayakan “tahun baru bulan. Bicara soal rasa syukur, saya juga teringat sebuah sms dari seorang umat setiap kali perayaan Imlek datang: “Ada rayap makan bakpao - mohon maaf ‘nggak ada angpau. Kucing bengek makan bakpia - biar bokek yang penting sincia. Daun waru daun kucai - met taun baru gong xi fa cai”. Bukankah sms sederhana ini juga sebuah undangan untuk bersyukur?
Seperti Maria yang bersyukur dalam kidung Magnificat-nya, bukankah Ekaristi (eucharistia) arti dasarnya juga adalah beryukur? Bukankah Ekaristi juga bisa berarti “Elok KArena kRIStus ada di haTI”. Semper Gaude-Bersyukurlah senantiasa!
2.
Kedua, Maria yang berbagi.
Ia bagikan kehadiran dan peneguhannya dengan mengunjungi sanak saudaranya yang sedang “sakit” karena hamil tua, yakni Elisabeth (Luk 1:39), “Berangkatlah Maria dan bergegas menuju sebuah kota di pegunungan Yehuda”.
Mengacu pada kultur Tiongkok, Imlek kadang juga diartikan sebagai tanda hiperbolis untuk menghasut To Pe Kong, sang dewa dapur (seorang dewa sakti yang berasal dari seekor kecoa suci, berpakaian merah, megah dan menawan), supaya memberi laporan yang baik kepada ‘Tuhan’, (Khing Tie Kong-Kaisar langit, Dewa Langit-Thian), dengan cara membagi/mengolesi madu pada bibir dewa To Pe Kong dan membagikan aneka makanan yang lezat-lezat.
Ya, pada prakteknya:
Imlek yang biasanya berlangsung 15 hari, memungkinkan setiap keluarga untuk berkumpul kembali dan saling berbagi. Dalam konteks kristiani, terlebih pada ekaristi syukur, bahkan antar keluarga setelah misa bisa lebih saling berbagi. Kalau saya mengamati setelah perayaan ekaristi, kita bisa saja saling berbagi sapaan dan hadiah kue manis, ‘nian gao’, kue keranjang, jeruk, sambil bersama keluarga yang lain melihat aktraksi seni di pelataran gereja.
Menjadi jelas bahwa sukacita Imlek itu ada untuk dibagikan. Ini soal berbagi sukacita, berbagi rahmat. Ibarat cermin, tugas setiap dari kita, yakni memantulkan cahaya ilahi yang kita terima ke sudut-sudut yang paling gelap sekalipun. Kita semua diajak untuk mau saling berbagi sinar yang kita terima untuk menerangi juga saat-saat sedih pedih dari pengalaman hidup kita. Donato ergo sum-Aku berbagi maka aku ada!”
3.
Ketiga, Maria yang berpeduli (Yoh 2:3), “Yesus, mereka kehabisan anggur”.
Dalam ekaristi, kita bisa belajar untuk lebih berpeduli: mendoakan agar orangtua panjang umur dan keluarga rukun, bisa saling memberi salam, “hung bao/angpau” dsbnya. Bahkan kadang dimunculkan sebuah tradisi, adanya penyalaan petasan untuk mengusir roh jahat dalam keluarga. Bukankah itu sebuah usaha kepedulian terhadap orang lain, terlebih terhadap keluarga kita masing-masing? “Caritas in fraternitas-cintakasih dalam semangat persaudaraan!”
4.
Keempat, Maria yang berharap (Yoh 2:5), “Apa yang dikatakanNya kepadamu, buatlah itu”.
Dalam setiap Ekaristi syukur, dalam rangka Tahun Baru Imlek kita sebagai satu keluarga, bersama dengan para leluhur/arwah orang beriman yang sudah meninggal, yang juga kita doakan, kita diundang juga untuk mempunyai niat baru, impian baru, semangat baru, dan aneka resolusi baru. Intinya: kita diajak terus berharap, bukankah harapan berarti mimpi dan bukankah setiap mimpi berarti pekerjaan? “Dum spiro, spero-Selama masih bernafas, aku tetap berharap!”
Sebagai epilog, dahulu hiduplah seorang bijak, bernama Lao Tze, usianya dua ratusan tahun, ia suka menulis dan membaca, dan ia juga sangat suka naik kerbau. Salah satu karyanya yang termashyur, adalah kitab Tao Te Cing. Dalam Tao Te Cing (Tao: alami, Te: wisdom/kebajikan, Ching: buku), dikatakan: “negara yang baik tersusun atas masyarakat yang baik, masyarakat yang baik tersusun atas keluarga yang baik…”
Jelasnya, bahwa kunci perubahan itu ada dalam setiap keluarga sebagai gereja mini (basic eccelesia). Analog dengan ucapan Bunda Teresa dari Calcutta, jika ingin mengubah dunia-mulailah semuanya dari keluarga kita masing-masing.
Disinilah satu pemaknaan yang baik untuk dikenangkan bahwasannya Imlek (Im= bulan, lek: penanggalan) bukan hanya berhenti dimaknai secara lahiriah, yakni pergantian dari musim dingin ke semi, dari musim yang penuh salju ke musim yang penuh bunga yang bersemi (dalam kacamata Konghucu: musim yang serba putih: dingin/"air" menjadi musim yang serba merah: hangat/"anggur").
Tapi, Imlek (Im= bulan, lek: penanggalan) seharusnya juga dimaknai secara batiniah dan bahkan imaniah, bahwasannya: kita tidak cuma wajib memakai baju baru, memakan kue baru, mendapat angpau, rumah dibersihkan, kumpul bersama keluarga, mendapat hoki, chie yang bagus, tapi terlebih seperti Maria, “sang pendoa-perantara dan pembela” (yang selalu menjadi jembatan ulung bagi Tuhan untuk menjumpai manusia, dan bagi manusia untuk lebih mudah menjumpai Tuhan), kita juga diajak untuk mau mengganti hati yang beku, iri, dingin dan kaku menjadi hati yang hangat, penuh cinta yang bersemi dan bersahabat dengan empat sila imannya, “bersyukur, berbagi, berpeduli dan berharap” yang bisa dimulai dari keluarga kita sendiri, karena bukankah benar bahwa Imlek juga bisa berarti “Ikuti Maria Lewat Ekaristi Kudus?” Gong Xi Fa Cai !
C.
SEDIKIT ULASAN KE-IMLEK-AN
“Gong Xi Fa Cai – Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang” - "Semoga sukses selama-lamanya dan selalu dalam keadaan sehat."
Im = bulan; lek = kalender, penanggalan
1.
Pada zaman Ahala Oet Tee/Huang Ti 2692 – 2598 SM : Tahun baru Imlek masih diwarnai budaya petani. Ini adalah perayaan musim semi; budaya kosmis menjadi warna tebal hidup umat. Kegembiraan para petani biasa menggarap lahan pertanian yang akan menghasilkan panenan.
Kue Ranjam : “nian gao”, yang dimaksudkan makanan penyumpal dewa dapur “Cao Wang Ye” ( Ciao Ong Ya ) yang pada tahun baru itu mau liburan, Nah supaya Dewa Dapur tidak berceritera tentang kejelekan-kejelekan keluarga, maka muncul "budaya cincai" (sogok), mulut dewa dapur diseseli kue ranjam.
“Angpauw” (Hong Bao) di samping diyakini memberi keberuntungan, tetapi juga merupakan penangkal roh jahat. Angpauw biasa diletakkan di bawah bantal tempat tidur anak dengan keyakinan untuk mengusir roh jahat mengganggu anak kecil. Kebiasaan menyulut kembang api, adalah tindakan mengusir roh jahat, supaya di tahun baru hanya ada roh baik.
2.
Pada Zaman Kong Hu Cu 551 SM-525 SM Tahun Baru Imlek sudah diwarnai tokoh moral. Tahun baru Imlek diwarnai laku wawas hidup atas perilaku manusia untuk hidup lebih luhur.
Sikap keutamaan yang dipentingkan : kerendahan hati, solidaritas dan diskresi juga adat taapee, sembah bakti pada orang tua. Tahun baru Imlek di Indonesia lebih diwarnai ke–Kong Hu Cu-an, yang berpeduli pada moral kehidupan : pengaruh Budha-Konghucu-Tao. Misalnya tentang nama tahun yang bersangkutan dengan kepedulian lingkungan yang dihubungkan dengan sikap Budhisme; tahun-tahun diacu pada binatang-binatang : tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, babi.
3.
Pada zaman Qin (baca Chin – asal kata Cina) tahun baru Imlek diwarnai ideologi anti penganut paham Kong Hu Cu. Maka para penganut Kong Hu Cu dianiaya dan ada 500 Kong Hucu-is dibunuh secara kejam. Imlek tertuju pada penghormatan Qin.
4.
Pada zaman Tang 618 M -907 M: Zaman keemasan; ideologi anti Konghucu ditinggalkan. Muncul istilah “Tionghoa” dari “Zhonghoa” atau “Chengguo” = “Kerajaan Tengah”, begitu populer. Marganya lalu menyebut diri mereka marga Tangren – Tenglang (Jawa Barat). Tidak aneh bahwa ada kota Tangerang, di mana marga Tang ini banyak yang bertempat tinggal.
5.
Pada zaman Qing (baca Ching) 1644-1911. Muncullah budaya Mandarin dari kata Portugis “Mandarim”, yang berasal dari kata Sansekerta “mantrin”, yang berarti pejabat tinggi. Jadi bahasa Mandarin itu bahasa bangsawan “pejabat tinggi”. Kosa kata ini lebih dipopulerkan oleh orang Barat. Muncullah Imlek “ke-Mandarin-an”, budaya kebangsawanan Cina.
Kata “Imlek” sendiri berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berarti "penanggalan bulan" atau “yinli” dalam bahasa Mandarin. Tahun Baru Imlek di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan “Chunjie” (perayaan musim semi).
Kegiatan perayaan itu disebut “Guo nian” (memasuki tahun baru), sedang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “konyan”.
Di Indonesia, mereka merayakan Tahun Baru Imlek sebagai perayaan hari lahirnya Kong Hu Chu yang lahir di tahun 551 SM, sehingga dengan demikian penanggalan Imlek dan penanggalan masehi itu berselisih 551 tahun. Jika tahun Masehi saat ini 2018 maka tahun Imleknya menjadi 2018 + 551 = 2569
Bersama merayakan Hari Raya Imlek adalah sama halnya dengan bersama merayakan Hari Raya Tahun Baru, bersama merayakan Hari Lebaran, bersama Ber-Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian kita tidak ber-'icak-icak'. Berpura-pura dan menipu diri sendiri!
***
Sejauh ingatan ke 'tempo dulu', ketika orang Belanda masih menjadi penguasa negeri terindah di dunia, yang sekarang kita kenal dengan nama IMLEK, dulu namanya, menurut logat Betawi, disebut 'Taon baru Ciné'. Sedangkan yang sudah sejak lama juga kita rayakan sebagai Hari Raya Tahun Baru, dulunya di kampung-kampung di Jakarta dikenal sebagai 'Taon Baru Belandé'.
Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang sangkakalanya bergema dari Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, oleh proklamator Sukarno dan Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945, telah membuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Bangsa kita telah merdeka.
Berbagai suku bangsa kita seperti suku bangsa Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Madura, Aceh, Makasar, Bugis, Minahasa, Maluku, Timor, Flores, Bali, Papua,dan banyak lainnya, ---- kemudian yang berasal etnis Tionghoa, etnis asal Arab, etnis asal Belanda, etnis asal India, Pakistan, dll telah sama-sama menyingsingkan lengan baju, berjuang bersama, mengalirkan keringat, mengujurkan darah, berkorban demi Indonesia Baru yang menurut kemampuan dan situasinya.
Masing-masing telah memberikan sumbangannya. Kita juga mengenal nama-nama asal etnis Tionghoa seperti a.l. Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sek Ien, Tan Po Goan, Tan Ling Dji, Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hin, John Lie, dll yang telah memberikan seluruh hidupnya demi usaha kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang tidak bisa dihapuskan namanya dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Belum lagi para atlet yang mengharumkan nama Indonesia seperti Rudy Hartono, Liem Swi King, Christian Hadinata, "duet medali emas olimpiade" : Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti juga beberapa aktivis seperti pendiri KOMPAS, PK.Ojong dkk.
***
Sejak 1965, Jenderal Suharto dengan rezim Orbanya, telah memutar kembali jarum sejarah kemajuan bangsa kita. Politik dan kebijakan Orba telah sangat merusak persatuan bangsa yang telah digalang dan dikembangkan dengan susah payah, oleh para 'founding fathers' bangsa.
Politik anti-Tionghoa yang sudah lama dikonsep oleh golongan kanan AD TNI, berkembang subur, merajalela sejadi-jadinya, begitu ia menjadi kebijakan dan politik resmi pemerintah Orba.
Politik anti-Tionghoa tsb terus berlangsung, sampai jatuhnya Presiden Suharto. Masih segar di dalam ingatan masyarakat, betapa media dan pers, nama-nama jalan serta toko-toko tidak boleh menggunakan bahasa dan kata Tionghoa. Masih teringat betapa semua sekolah Tionghoa ditutup, dan bahasa Tionghoa dilarang, - - - - sampai-sampai nama-nama Tionghoa pun, - -- - sesuatu yang bersifat amat pribadi dan merupakan hak azasi manusia yang paling elementer, itupun, dengan berbagai cara dipaksakan supaya diganti dengan nama 'pribumi', nama Indonesia 'asli'.
Politik penindasan dan pembelengguan terhadap kebiasaan, adat istiadat serta tradisi budaya Tionghoa, bertujuan a.l untuk mengakhiri pengaruh budaya Tionghoa terhadap yang mereka namakan 'bangsa pribumi' Indonesia.
Anéh kedengarannya, bagaimana mungkin, bahwa, pada masa ketika ide-ide pencerahan dan demokrasi berkumandang di mancanegara, namun, di negeri kita bisa terjadi penindasan terhadap adat istiadat, tradisi dan budaya etnis tertentu bangsa sendiri, kongkritnya bangsa Indonesia asal etnis-Tionghoa.
***
Sejak jatuhnya rezim reperesif Orba, meski masih begitu banyaknya kekurangan dan kendala yang memperlambat bahkan berusaha merintangi pelaksanaan tuntutan reformasi dan demokratisasi, namun, - - - hati kita menjadi lega, semakin optimis melihat hari depan bangsa ini.
Sebab utamanya ialah, sedikit banyak bangsa kita telah menarik pelajaran dari pengalamannya sendiri. Memilih jalan reformasi dan demokratisasi ketimbang jalan otokrasi, rasialisme dan diskriminasi terhadap warga bangsa sendiri. Optimisme tersebut beralasan, karena rezim laknat yang dalam sejarah bangsa kita menjalankan politik anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok yang paling biadab, formalnya telah berakhir pada medio Mei 1998.
***
Ada beberapa hal yang perlu dicatat, peristiwa-peristiwa bersejarah yang patut disambut dan didukung sejak jatuhnya Presiden Suharto dan mulai diusahakannya reformasi dan demokratisasi dalam kehidupan bernegara hukum.
Pertama, peranan GUS DUR, yang sejak beliau menjabat Presiden RI, Hari Raya Imlek dilepaskan dari belenggu yang memasung hidup dan berkembanganya budaya etnis-Tionghoa Indonesia. Sehingga mulai berkiprahlah semangat dan langgam demokrasi dan saling menghormati di antara pelbagai suku dan etnis, khususnya etnis-Tionghoa.
Kedua, keputusan Presiden Megawati Sukarnoputri ketika beliau masih menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang secara resmi dan tegas menyatakan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi HARI RAYA NASIONAL INDONESIA.
Ketiga, adalah disahkannya oleh DPR UU No. 12/2006 mengenai Kewarganegaraan Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa UU No12/2006 tersebut sebagai sebuah karya monumental yang mengubah paradigma perilaku.
Yang dimaksudkan ialah bahwa kewarganegaraan seorang Indonesia tidak lagi ditandai oleh ciri-ciri fisiknya, tetapi oleh status hukumnya. Mungkin agak berlebihan apa yang dikatakan oleh Menteri Hukum dan HAM bahwa dengan UU yang baru tersebut telah dinihilkan diskriminasi atas ras-etnik. Menteri Hukum dan HAM dengan tegas mengatakan, UU 12/2006 menjadikan orang Tionghoa Indonesia menjadi suku Tionghoa Indonesia.
Keempat, ialah pernyataan pihak Kepolisian Kalimantan Timur, yangmengundang warga negara Indonesia asal etnis-Tionghoa untuk ambil bagian dalam seleksi untuk menjadi calon perwira kepolisian (Berita Xinhua/Antara). Kepala Kepolisian Inspektur Jendral Indarto menyatakan bahwa semua orang Indonesia, termasuk etnis-Tionghoa punya hak sama untuk menjadi perwira Kepolisian.
Kelima, dikeluarkannya oleh Jawatan Pos Indonesia, perangko-perangko 12 Shio Tiongkok. Yakni 12 macam binatang yang mewakili 12 cabang bumi, yang digunakan sebagai lambang tahun kelahiran seseorang.
Dalam pemberitaannya KB Xinhua menyatakan bahwa penerbitan seri perangko Indonesia itu, telah menambah suasana gembira kegiatan perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia. Indonesia kali ini menerbitkan 200.000 helai perangko Shio, dan lebih dari 200.000 album edisi khusus, sampul hari pertama dan carik kenangan.
Juga terdapat keterangan rinci mengenai asal usul almanak Imlek, tahun baru Imlek serta Shio dalam bahasa-bahasa Mandarin, Indonesia dan Inggris. Diperkenalkan pula sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan harapan agar berbagai etnis di Indonesia dapat bersama-sama membangun sebuah negara yang indah.
***
Perkembangan sekitar masalah etnis-Tionghoa dewasa ini, --- ditinjau dengan latar belakang betapa lebih dari 32 tahunan rezim Orba, ketika politik diskriminasi anti-etnik Tionghoa berlangsung, -- bolehlah dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup besar dan mendalam.
Meskipun, seperti diingatkan Gus Dur baru-baru ini, dalam praktek politik diskriminasi Orba terhadap etnis-Tionhoa, di sana sini masih dengan keras kepala terus dilaksanakan oleh sementara pejabat.
Dalam hal seperti itu, maka pemerintah tidak ada jalan lain, harus menindak para pejabat yang masih bersikeras hendak mempertahankan kebijakan dan politik Orba terhadap para warganegara Indonesia asal etnis-Tionghoa. Yang melakukannya banyak dengan motif untuk memperoleh keuntungan materil dan finansil.
***
Hari Raya Imlek Tahun ini, bisalah dikatakan telah berlangsung dalam suasana yang lebih baik dan lebih meriah, lebih mendalam artinya dihubungkan dengan kesatuan dan persatuan bangsa. Ini semua adalah hasil perjuangan yang lama dan susah payah, baik dari golongan etnis-Tionghoa sendiri, maupun dari seluruh kekuatan reformasi dan demokratisasi negeri ini.
Akhirulkalam marilah: KITA RAYAKAN BERSAMA, HARI RAYA DAN HARI LIBUR NASIONAL IMLEK. Gong xi fa cai !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar