Ads 468x60px

TOER BERSAUDARA



TOER BERSAUDARA:
RIWAYATMU DULU KINI DAN NANTI
Toer benar-benar “bisa dihancurkan, tapi tak bisa dikalahkan....."
Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab dipanggil Pram menjadi bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia. Itu bukan hanya dibangun oleh karya-karya sastranya, namun juga melalui kisah hidupnya.
Pram menggambarkan embrio kebangsaan Indonesia melalui karya sastra yang ia tulis. Novel Arok Dedes menggambarkan pergulatan bangsa ini di-abad 12-13, Arus Balik di abad 16, Mangir di abad 17, dan Tetralogi Buru akhir abad-19 & awal abad-20.
Novel Pram adalah sejarah yang difiksikan. Ia mendobrak cara pandang mistis dan tradisional dengan realisme sastra sejarah. Novel-novel tetralogi buru membentuk sebuah cerita epik revolusioner dengan keindahan estetika yang unik, memberi kontribusi intelektual dan politik dengan analisa kelas sosial.
Dalam 2.000 lembar novel tetralogi buru, tidak ada satu kata pun yang menyebut “Indonesia”, padahal novel tersebut adalah tentang jejak langkah Indonesia sebagai bangsa.
Ironisnya, "pembersihan" PKI tahun 65 memangkas hampir 1 generasi yang berisi banyak intelektual generasi pertama republik ini, termasuk di dalamnya Pram yang dengan pelbagai tulisannya hampir menghantarkannya meraih penghargaan Nobel dalam bidang sastra, yang merupakan satu satunya orang Indonesia yang memperoleh nominasi Nobel.
Dan, tragisnya sampai hari ini keluarga Pram yang tersisa seperti Soesilo Toer walaupun memiliki gelar bergengsi doktor ekonomi politik dan memiliki kemampuan menulis juga, hidupnya konon harus dilalui menjadi pemulung karena diskriminasi politik, hal ini karena seperti kakaknya Soesilo Toer juga di cap simpatisan PKI, walapun sampai sekarang, tidak ada yang bisa membuktikan di pengadilan bahwa Pram dan keluarganya itu anggota PKI atau terlibat pemberontakan 65.
Dan kali ini, saya mengutip ulang "trilogi" dari KOMPAS yang membedah sosok adik kandung Pram, yang bernama: Soesilo Toer.
Soesilo Toer yang akrab dipanggil Soes ini sekarang menjadi Direktur Perpustakaan PATABA sekaligus tetap aktif menjadi sastrawan.
Pria asli dari Blora, Jawa Tengah tersebut kini memasuki usia 81 tahun tepat pada tanggal 17 Februari 2018 lalu. Soesilo Toer juga bercerita bahwa awal mula ia menulis sejak berusia 13 tahun. Tulisan pertamanya yakni sebuah artikel berjudul “Aku Ingin Jadi Jenderal” yang dimuat di salah satu koran pada masa itu. Pada usia 15 tahun, ia menjadi korektor di sebuah koran dan menulis artikel tentang banyak hal.
Soesilo Toer bercerita bahwa ia memiliki watak yang sangat berbeda dengan kakaknya, Pramoedya Ananta Toer. Tapi mereka sama-sama memiliki sifat individualis dan berminat menjadi seorang penulis.
Kemudian ia juga sempat kuliah di UI namun kemudian pindah ke Akademi Keuangan di Bogor dan melanjutkan pendidikan S2 di Rusia (Uni Soviet), namun sebelum berangkat untuk melanjutkan pendidikannya, ia menikah terlebih dahulu.
Selain itu ia juga menjelaskan perbedaan tulisannya dengan Pramoedya Ananta Toer, ia mengatakan bahwa bukunya tidak ada hubungannya dengan politik: “Saya adalah seorang liberal, yang dibesarkan oleh pengalaman manis getir pahit madu. Tapi yang paling utama saya adalah seorang liberal yang berkiblat pada hedonisme. Saya hidup untuk mencari kenikmatan walaupun pada kenyataan penuh dengan penderitaan”, ucap Soesilo Toer.
Hal yang paling mengejutkan dalam kehidupan Soesilo Toer selain sebagai seorang penulis sastra ia juga bekerja sebagai pemulung.
Ia begitu bangga menjadi seorang pemulung, alasan beliau menjadi seorang pemulung karena ia bersekolah tidak pernah membayar tapi dibayar oleh karena itu ia ingin membalas budi kepada masyarakat dengan membuka perpustakaan untuk mencerdaskan bangsa melalui menulis dan membaca.
Semua fasilitas di perpustakaan tersebut gratis dari mulai menginap, makan, belajar menulis dengan Soesilo Toer bahkan menulis skripsipun diperbolehkan. Perpustakaan PATABA konon sudah terkenal hingga ke mancanegara, hanya saja karena minat membaca indonesia masih terbilang rendah perpustakaan tersebut menjadi kurang peminat.
1.
Kisah Soesilo Toer, Adik Pramoedya Ananta Toer yang Bergelar Doktor dan Kini Jadi Pemulung (1)
Soesilo Toer setiap malam sehabis maghrib hingga dini hari memulung di wilayah perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan mengendarai motor butut berkeranjang.
Di usia senja memasuki 81 tahun, dia masih bersemangat berkutat mencari rezeki memunguti barang-barang bekas bernilai jual di kampung kelahirannya itu.‎

Tak banyak yang tahu bahwa pria kelahiran‎ 17 Februari 1937 itu adalah adik kandung almarhum Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis yang kiprahnya diperhitungkan dunia.‎

Di luar perkiraan juga, ternyata Soes, sapaan karibnya, adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet. Keduanya berada di Rusia. ‎

‎Dokumentasi akademis miliknya itu masih tersimpan rapi. Nyaris tanpa cacat, baik itu ijazah doktor ekonomi politik yang diabsahkan oleh The Council of Moscow Institute of National Economy maupun sertifikat lain yang diperoleh selama menempuh studi di Rusia sejak tahun 1962-1973. ‎

Semua catatan penting yang membuktikan ia pernah berhasil di Rusia itu terbungkus plastik di dalam koper dan terkunci rapat di lemari pakaian.
Kamis (31/5/2018) sore, Kompas.com berkesempatan berbincang dengan Soes di rumah yang kini ditempatinya di Jalan ‎Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Blora.
Senyum ramah terpancar dari guratan wajahnya yang telah menua saat kami mulai bertatap muka.
Rambutnya putih, matanya sipit. Bulu uban dibiarkan tumbuh menutupi sebagian wajahnya.
Tak disangka, ingatan Soes masih tajam menyerupai respons lelaki sehat paruh baya. Tutur bicaranya lugas, mengalir deras menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
Itulah Soes dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Terkadang dia bercanda mencairkan suasana, namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya.‎
Soes fasih berbahasa Inggris, Rusia, Jerman, dan Belanda. Entah itu secara lisan maupun tulisan. Bahkan, dia menyebut dirinya diglosia, kemampuan menguasai variasi bahasa dalam masyarakat.
"Mas ingin wawancara pakai bahasa apa? Gini-gini saya menguasai beberapa bahasa lho," kata Soes tersenyum mengawali pembicaraan.‎
Soes menempuh pendidikan dasar di Blora dan pendidikan menengah di Jakarta.‎ Di Jakarta, awalnya dia ikut kakak sulungnya, Pramoedya Ananta Toer, sebab saat itu, bapaknya, Mastoer, guru di Blora itu, sudah tiada.‎
Sebelum hijrah ke Rusia, Soes sempat menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia‎ (UI). Sus juga mahasiswa BI jurusan ekonomi yang beralih menjadi IKIP di Jakarta Selatan.‎
Dia lolos tanpa tes di bangku kuliah itu karena tertolong dengan predikat nilainya yang memuaskan hasil menempa pendidikan menengah atas di Jakarta. Nilai semua mata pelajaran di atas rata-rata. Nilai ekonominya 10.
Namun, perjalanan di kedua kampus itu terhenti di tengah jalan karena biaya kuliah terlalu ‎tinggi baginya.
Soes pun akhirnya menyelesaikan pendidikan diplomanya di‎ ‎Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK). ‎
Saat menjadi mahasiswa, untuk menunjang hidup Soes bekerja di sebuah perusahaan penerbitan.‎ Gaji Soes tidak besar, status pekerjaannya pun tidak tetap.‎
Sejatinya, pekerjaan itu hanya sampingan. Tiang utamanya adalah dana keluarga. Uang keluarga diputarnya di sejumlah pedagang kecil yang membutuhkan modal dadakan. Dari pinjaman itu, bunga yang didapatkan digunakan untuk menyokong biaya sekolah dan hidup sehari-hari.‎
"Hidup waktu itu demikian susah dan keras. Uang saku dari Mas Pram sangat minim. Sampai kini, kalau teringat terkadang miris sendiri. Kasihan terhadap kemiskinan bangsa sendiri. Mengapa aku harus begitu kejam mencari sesuap nasi. Aku tahu itu tidak halal, tapi kalau sok-sokan berperikemanusiaan, hadiahnya lapar dan bencana bagiku," ungkap anak ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Mastoer dan Siti Saidah itu.‎
Lulus kuliah, Soe diterima bekerja sebagai clerk atau pegawai asuransi di sebuah kantor dagang, bekas milik Belanda yang dinasionalisasi atas tuntutan buruh. Posisinya strategis. Tentunya dengan gaji besar. Kehidupan perekonomian Soes mulai meningkat‎ signifikan. Makan enak, tak lagi melarat.
"Namun, sungguh aku tidak suka. Kerjanya membosankan, setiap hari hanya dipenuhi angka-angka. Kantornya berisik oleh suara mesin hitung, mesin bagi, mesin tulis, mesin bagi, dan mesin kali‎," ujar Soes.
Pada saat Soes berada di atas angin, Indonesia mendadak dilanda kegoncangan ekonomi dan politik.‎ Pemerintah membentuk Batalyon Serbaguna Trikora.
‎Karier suksesnya selama lebih dari setahun itu perlahan berubah karena situasi negara waktu itu.‎ Soes mengikuti pelatihan wajib militer yang menguras fisik saat itu.
"Aku tak tahu apa penyebabnya. Pemerintah bertekad membebaskan Irian Barat. Saat itu militer memegang kuasa termasuk di kantorku, hingga akhirnya aku ikut latihan menjadi sukarelawan ke Irian Barat. Jabatanku kabag distribusi dan pangkatku letnan waktu itu, tapi kenyataannya aku jenderal bintang tujuh alias pusing dengan nasib ke depannya," tutur Soes terkekeh.
Setelah Perundingan Den Haag, Irian Barat masuk ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi.‎ Indonesia berhasil membebaskan Irian Barat. Soes lalu mendulang kesempatan terbang ke luar negeri setelah lolos penjaringan beasiswa otoritas Rusia.
Dari sekitar 9.000 pendaftar, hanya 30 orang yang lolos, termasuk Soes. Dia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Politik dan Ekonomi University Patrice Lulumba.‎
"Aku tidak jadi berangkat ke Irian Barat, namun aku bebas dari pakaian hijau yang enam bulan membungkusku.‎ Aku berangkat ke Rusia sekitar tahun 1962. Di situlah kisah hidup baruku dimulai," tutur Soes.
Singkat cerita, menempuh pendidikan di sana tidaklah mudah. Soes diharuskan mengabdi selama dua tahun di Rusia karena tidak lulus dengan predikat cum laude.
Dia kemudian melanjutkan program pascasarjana di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Gelar PhD yang lazimnya ditempuh 2 tahun disabetnya hanya dalam tempo 1,5 tahun.
‎Selama 11 tahun di Rusia, Soes bekerja apa saja, mulai dari penulis, penerjemah, peneliti dan pekerja kasar. Karena latar belakang pendidikannya, Soes berpendapatan tinggi.
Dia hidup bergelimang harta di Rusia. ‎Sepekan sekali, dia bersantap di restoran berkelas di Rusia. Berpindah-pindah lokasi tergantung seleranya.‎ Soes mengaku sering mentraktir teman-temannya dan menggelar pesta kecil-kecilan.
"Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam. Selama saya bekerja di Rusia, duit saya banyak. Seminggu sekali makan di restoran berkelas. Saat itu, biaya hidup 1 rubel sehari di Rusia. Padahal sebulan saya kantongi 400 rubel," kenangnya sambil tersenyum.‎
2.
Kisah Soesilo Toer Dituding PKI, Jadi Pemulung Lalu Bangun Perpustakaan untuk Sang Kakak (2)
Soesilo Toer (81) terus bersemangat memunguti barang-barang bekas yang masih bernilai jual di kampung kelahirannya di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.‎

Adik kandung almarhum Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis Indonesia, itu tak ingin meratapi nasib menjadi pemulung meski menyandang gelar doktor dari Rusia.
Soes, begitu dia kerap dipanggil, adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet.

Dia meraih beasiswa otoritas Rusia, bekerja selama 11 tahun di sana dan hidup bergelimang harta hingga nasib tak berpihak ketika dia pulang ke Tanah Air.
A.
Dituding PKI.
Pada tahun 1973, Soes pulang ke Tanah Air tercinta. Saat menginjakkan kaki di bandara di Jakarta, dia tiba-tiba ditangkap polisi dan dijebloskan di penjara selama 6 tahun.
Bukannya mengabdi kepada negara selama 10 tahun sesuai janji pemerintah sebelum dia pergi studi, Soes kini justru harus melewati masa suram di balik dinginnya jeruji besi.‎
Tanpa dasar hukum yang jelas, karut-marut situasi politik peralihan Orde Lama ke Orde Baru menyasar Soes pula. ‎Dia dituding antek komunis hanya karena dia lulus dari jurusan politik dan ekonomi di Rusia. ‎
Jurusan yang ditekuni Soes disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara. Apalagi, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.
Sebelumnya, karya-karya Pramoedya merupakan tamparan bagi Belanda. Naskahnya yang nasionalis dianggap memelopori masyarakat Indonesia menjegal Belanda. Karena dinilai membangkang Belanda, Pramoedya sudah lebih dulu ditangkap.
Sementara itu, pada masa Orde Baru, sentilan-sentilan Pramoedya dalam tulisannya dianggap condong berpihak kepada PKI. Banyak tokoh yang merasa tersudutkan dengan peran Pramoedya pada saat itu.
Pramoedya mendekam penjara 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain.‎ Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas‎ Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu ‎Marxisme-Leninisme‎, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes.
Soes masih ingat betul, beberapa saat sebelum dia kembali ke Indonesia, Kedutaan Indonesia di Moskow menggelar pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI.
Soes tidak hadir kala itu karena dia merasa tak mendapatkan undangan. Namun, dia menduga, akibatnya dia dinilai terlibat PKI.‎
"Saya heran, kan tidak diundang jadi saya tidak tahu jika ada tahlilan. Malah dituding PKI. Saya wajib lapor di Rusia. Saya itu tidak suka politik. Saya hanya ingin belajar, kerja, dan kaya," ungkap Soes.‎
Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Soes lantas menetap di Jakarta.
B.
Status Eks-Tapol Membawa Sengsara.
Berpredikat eks tahanan politik Orde Baru sungguh menyengsarakan Soes. Di mana-mana dia dituding PKI, dicurigai dan diawasi. Susah mendapat pekerjaan layak, apalagi bisa diterima dengan baik di lingkungan.
Bahkan, Soes sering dimaki-maki hingga diarak karena dituding PKI. Beruntung saja tak sampai dianiaya hingga masuk rumah sakit.
Soes bercerita, dia terpaksa melakoni pekerjaan serabutan untuk bisa menyambung hidup, mulai dari berdagang kain‎ hingga menulis‎.
Karena jasa teman baiknya, Soes sempat menjadi dosen hampir 6 tahun di salah satu universitas swasta di Jakarta. Namun, kariernya sebagai dosen ekonomi hancur setelah karibnya itu meninggal dunia. Soes kembali merasa dipersulit mencari pekerjaan yang layak.
Tidak hanya Soes, Toer bersaudara lainnya juga terkena imbasnya.‎ Dia memperkirakan hal itu terjadi setelah peristiwa 1965 meletus.‎
Kakak-kakak Soes, seperti Prawito Toer dan Koesalah Soebagyo Toer, juga dituding antek PKI. Mereka sama-sama dijebloskan ke penjara. Sementara itu, adik Soes, Soesetyo Toer, memilih kabur ke Papua dan berganti identitas, termasuk nama.
"Adik saya lari ke Papua dan namanya diganti baru supaya aman. Tapi, sampai sekarang kami tak tahu bagaimana kabarnya," tutur Soes.‎
Pramoedya Ananta Toer memiliki adik Prawito Toer yang kemudian berubah nama menjadi Walujadi Toer. Berikutnya Koenmarjatoen Toer yang kemudian menjadi Ny Djajoesman dan Oemi Sjafaatoen Toer yang menjadi Ny Mashoedi.
Setelah itu ada Koesaisah atau Ny Hermanoe Maulana, Koesalah Soesbagyo Toer, Soesilo Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti Toer.
Saat ini, lanjut Soes, Toer bersaudara hanya tersisa ‎dirinya dan sang kakak, Koesaisah Toer. Koesaisah Toer menetap di Jakarta.
C.
Perpustakaan untuk Sang Kakak.
‎Merasa tak berhasil di Jakarta, pada tahun 2004 Soes bersama istrinya, Suratiyem, pulang ke kampung halamannya di Blora. Apalagi, rumah semipermanen miliknya yang berdiri di atas lahan seluas 320 meter persegi di Jakarta terkena penggusuran proyek Tol Jakarta-Cikampek.
"Saya dapat ganti untung ratusan juta. Uang itu saya pakai modal hidup di Blora termasuk renovasi rumah," kata Soes.‎
Rumah di Blora adalah warisan keluarga besar Toer. Rumah sederhana yang sudah rapuh termakan usia dengan segala macam kenangannya. Rumah yang menyimpan memorinya bersama kakaknya, Pramoedya Ananta Toer.
Kini, rumah bersejarah berdinding kayu usang dan tembok retak itu tidak terawat. Bahkan, pagar masuk menuju rumah itu reyot memprihatinkan.‎
Pagar bersusun kayu setinggi 70 meter‎ itu sudah tak kuat berdiri karena konstruksinya hancur di mana-mana, diganjal kayu dan tali.‎ Di sekitar rumah, terdapat berbagai jenis tanaman. Ada pohon pisang, srikaya, dan pepaya.
Di rumah itu dibangun sebuah perpustakaan kecil yang diberi nama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba).
Selain untuk mengenang sang kakak, perpustakaan mini itu juga diwujudkan untuk mendorong generasi muda setempat gemar membaca.‎
Soes sendiri mewarisi bakat kakaknya dalam menulis. Hingga saat ini Sus sudah menerbitkan sekitar 20 buku hasil karyanya.
"Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah‎. Tapi belum tahu kapan," kata Soes.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Soes memulung, juga bercocok tanam, beternak ayam dan kambing bersama istrinya.
Ada sekitar 50 ekor ayam dan 16 ekor kambing. Hewan-hewan ternaknya itu dibiarkan saja berkeliaran. Bahkan terkadang kambing dan ayam itu masuk ke dalam rumah.‎
Soes bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis maghrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora. Tak menentu juga durasinya, bergantung banyak tidaknya barang bekas yang menumpuk di keranjang yang ditumpang di atas jok motor bututnya.‎
Hasil memulungnya itu tidak hanya untuk diuangkan, tetapi juga dimanfaatkan untuk makan ternak.‎ Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah.‎
Bagi Soes yang bergelar doktor politik dan ekonomi di Rusia, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina. Soes malah bangga karena selain halal, dia secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
Apalagi, Soes sudah tidak menanggung beban berat karena anak semata wayangnya, Benee Santoso, telah dewasa dan bekerja di luar kota.
"Saya menikmati apa pun itu proses kehidupan. Saya tidak menyesal, malu, dan menangis. Ini sudah suratan takdir Tuhan.‎ Memulung itu pekerjaan mulia dan halal. Apa yang salah. Biarkan mereka ngomong apa. Dari hasil memulung, kami bisa hidup‎. Seminggu sekali bisa kantongi Rp 150.000," pungkasnya.
3.
Kisah Soesilo Toer Mengenang Pramoedya Ananta Toer, Cinta Tanah Air dan Islam Tulen (3)
Senyum ramah Soesilo Toer (81) terpancar dari guratan wajahnya yang telah menua saat bertatap muka.
Rambutnya putih, matanya sipit. Bulu uban dibiarkan tumbuh menutupi sebagian wajahnya. Ingatan adik dari penulis dan sastrawan tersohor, Pramoedya Ananta Toer, itu masih tajam.
Tutur bicaranya lugas, mengalir deras menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
Sesekali dia bercanda mencairkan suasana, namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya.‎
Meski bergelar doktor dari universitas di Rusia, hidupnya kini seadanya. Semua berawal saat dia ditangkap karena dituding antek komunis sesaat setelah pulang dari Rusia.
Bertahun-tahun berusaha sekuat tenaga bertahan hidup, tetapi stigma terlibat PKI membuat hidupnya hancur. Dia akhirnya memutuskan bahagia dengan hidup sebagai pemulung barang bekas yang masih bernilai jual.
Soes, begitu dia kerap disapa, memutuskan pulang kampung di Blora, Jawa Tengah, dan tinggal di rumah warisan keluarga besar Toer. Rumah yang menyimpan memorinya bersama kakaknya, Pramoedya Ananta Toer.
Di rumah itu pula Soes membangun perpustakaan kecil yang diberi nama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) untuk mengenang sang kakak sekaligus mendorong generasi muda setempat gemar membaca.‎
A.
Toer bersaudara.
Pramoedya terlahir sebagai sulung dalam keluarga Toer. Pramoedya memiliki adik Prawito Toer, Koenmarjatoen Toer, Oemi Sjafaatoen Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soesbagyo Toer, Soesilo Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti Toer.
Soes mengatakan, saat ini, Toer bersaudara hanya tersisa ‎dirinya dan sang kakak, Koesaisah Toer, yang menetap di Jakarta.
Soes yang besar di Blora ikut tinggal bersama Pramoedya saat pertama kali ke Jakarta. Dia lalu berkuliah dengan sokongan dana dari Pram.
Setelah sempat putus kuliah di dua kampus lain karena alasan biaya, Soes akhirnya menyelesaikan pendidikan diplomanya di‎ ‎Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK). ‎
Saat menjadi mahasiswa, untuk menunjang hidup Soes bekerja di sebuah perusahaan penerbitan.‎ Gaji Soes tidak besar, status pekerjaannya pun tidak tetap.‎
Sejatinya, pekerjaan itu hanya sampingan. Tiang utamanya adalah dana keluarga. Uang keluarga diputarnya di sejumlah pedagang kecil yang membutuhkan modal dadakan.
Dari pinjaman itu, bunga yang didapatkan digunakan untuk menyokong biaya sekolah dan hidup sehari-hari.‎
"Hidup waktu itu demikian susah dan keras. Uang saku dari Mas Pram sangat minim. Sampai kini, kalau teringat terkadang miris sendiri. Kasihan terhadap kemiskinan bangsa sendiri. Mengapa aku harus begitu kejam mencari sesuap nasi. Aku tahu itu tidak halal, tapi kalau sok-sokan berperikemanusiaan, hadiahnya lapar dan bencana bagiku," ungkap anak ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Mastoer dan Siti Saidah itu.
B.
Patron.
Bagi Soes, Pramoedya adalah patron. Soes mengenang Pram sebagai ‎sosok yang idealis dan pemberani. Pram, lanjut dia, adalah sosok pejuang Indonesia yang bercita-cita tinggi untuk kejayaan nusa dan bangsanya.
"Apa yang dilakukan Pram ‎membuktikan betapa besar cintanya kepada Tanah Air dan bangsanya. Betapa tinggi rasa solidaritasnya kepada sesama umat yang tertindas. Hati nuraninya terpanggil demi kebenaran, keadilan, dan kemerdekaan. Kondisi Indonesia saat itu bagi Pram merupakan kenyataan hidup yang pahit dan menyakitkan.‎ Bangsa besar yang kacau dengan kekayaan alam yang besar, namun impor," kata Soes.
Melalui tulisan, lanjut Soes, Pram bertarung melawan pusaran sejarah karena dia tidak mau dilindas sejarah. Pram berjuang melawan ketidakadilan.

"‎Pram tidak mau menjadi gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takluk terempas menjadi sampah di pantai. P‎ram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dibuat negara," katanya.‎
Soes juga menyebut Pramoedya sebagai sosok yang perfeksionis dalam menelurkan karya tulis.‎ Menurut Soes, sang kakak kerap melakukan riset dan kajian mendalam untuk menghasilkan karya-karyanya, termasuk novel "Bumi Manusia‎".‎
"Bumi Manusia‎ adalah sejarah. Kisah nasionalis di masa kolonial belanda. Jadi jangan sembrono menginterpretasikan novel karya Mas Pram ini. Harus dikaji lebih dalam. Jangan asal membaca, perlu dipahami," ungkap Soes.
Sebagai saudara tertua, Pram menjadi pengganti orangtua yang sangat berjasa‎ besar bagi perjalanan hidup Soes. Soes ditinggalkan ibundanya sejak berumur 4 tahun. Menyusul kemudian ayahnya juga berpulang.
Sejak SMP, Soes ikut Pram ke Jakarta. Dari situlah banyak kenangan yang sulit terlupakan bagi Soes.
Pram, lanjut Soes, berwatak keras seperti ayahnya yang seorang guru itu. Berkali-kali Soes sering mendapat perlakuan kasar dari Pram karena ulahnya yang bandel. Meski demikian, Pram sangat mencintai Soes.
"Saya waktu kecil pernah naik sepeda di gang sempit. Saat itu saya tak sengaja menabrak anak kecil‎ hingga ia jatuh ke parit. Kejadian itu sampai ke telinga Pram hingga Pram mengajak saya bertemu orangtua anak kecil itu. Pram memukul saya berkali-kali di‎ hadapan orang tua anak itu. Saat itu saya terpaksa meminta maaf, padahal saya tidak salah," kata Soes.
Sesampai di rumah, Soes diinterogasi oleh Pram. Karena melihat Soes yang berkali-kali mengakui bahwa dirinya tidak bersalah, Pram luluh mendengar pengakuan itu.‎
Meski demikian‎, Pram tidak meminta maaf. Namun, dia mempunyai cara lain untuk menghibur adik kesayangannya itu.
"Mengetahui saya tak bersalah, Pram kemudian memeluk saya berkali-kali. Dia mengajak saya jajan, nonton bioskop dan mengelus-ngelus kepala saya di atas becak," kata Soes.
Soes sendiri mewarisi bakat dan semangat kakaknya dalam menulis. Hingga saat ini, Soes sudah menerbitkan sekitar 20 buku hasil karyanya, contohnya yang berjudul Kompromi dan Komponis Kecil.
Kegemaran menulis diawali keluarga ini dengan kegilaan membaca buku. Saat sekolah dan tinggal di Rusia adalah surga baginya.
"Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam," tuturnya.
C.
Bersama dituding komunis.
Namun, terkait dengan nama Pram pula maka kakak beradik Toer juga harus merasakan dinginnya jeruji besi bertahun-tahun karena dituding antek komunis. Untuk kasus Soes, dua alasan sekaligus.
Jurusan yang ditekuni Soes di fakultas politik dan ekonomi di Rusia disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara. Selain itu, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.
Sebelumnya, karya-karya Pramoedya merupakan tamparan bagi Belanda. Naskahnya yang nasionalis dianggap memelopori masyarakat Indonesia menjegal Belanda. Karena dinilai membangkang Belanda, Pramoedya sudah lebih dulu ditangkap.
Sementara itu, pada masa Orde Baru, sentilan-sentilan Pramoedya dalam tulisannya dianggap condong berpihak kepada PKI. Banyak tokoh yang merasa tersudutkan dengan peran Pramoedya pada saat itu. Pramoedya mendekam penjara 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain.‎ Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas‎ Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu ‎Marxisme-Leninisme‎, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes.
Padahal, lanjut Soes, dia dan Pram bukanlah komunis, apalagi ateis.‎ Baginya, persoalan keyakinan itu tergantung penafsiran orang.
"A‎gama adalah hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Sifatnya intim. ‎Pram itu Islam tulen. Aku juga Islam," ungkapnya.
D.
Menunggu Janji.
Soes yang pulang ke Blora memutuskan untuk tinggal di rumah warisan orangtuanya dan hidup sebagai pemulung barang bekas yang masih bernilai jual.
Meski demikian, jiwa perjuangan melalui buku dan tulisan milik Toer bersaudara tak lekang begitu saja.
Pada hari sang kakak meninggal dunia, 30 April 2006, dia memutuskan untuk mendirikan perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa atau Pataba di rumah yang beralamat di Jalan Sumbawa 40, Jetis, tersebut.
Di ruangan seluas 5x4 meter di dalam rumah, terdapat sekitar 5.000 buku. Selain buku-buku hasil karya dan koleksi pribadi Pram, perpustakaan ini juga menyimpan buku-buku lain, antara lain buku sastra, keagamaan, dan sosial politik.
Perpustakaan pribadi ini kerap dikunjungi oleh pencinta sastra Indonesia dan dunia. Sebagian besar dari mereka adalah pengagum Pramoedya.
Soes mengatakan, pemerintah setempat sempat menjanjikan perbaikan rumah dan perpustakaan.
"Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah‎. Tapi belum tahu kapan," kata Soes.
Namun demikian, Soes tak ingin terlalu berharap. Dia tetap berupaya menghidupi perawatan rumahnya dengan hasil keringatnya sendiri menjadi pemulung.
Dia biasanya bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis maghrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora. Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah.‎
Bagi Soes yang bergelar doktor politik dan ekonomi di Rusia, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina. Soes malah bangga karena selain halal, dia secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
Menurut Soes, Pram yang sangat menyayangi keluarganya memang sempat berkeinginan memperbaiki rumah keluarganya di Blora dan mempercantik pusara orangtuanya.
"Sayang keinginan itu tidak kesampaian karena perbedaan pendapat di keluarga. Pram mudah marah," pungkas Soes.‎
NB:
IN MEMORIAM:
Pramoedya Ananta Toer
“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer)
Pengantar
Bila membuka laman mesin pencari Google pada 6/2/2017, kita akan menemukan ilustrasi seorang pria berambut putih, berkacamata, dan berkaus. Pria itu digambarkan sedang mengetik di mesin tik manual.
Pria itu adalah Pramoedya Ananta Toer yang dilahirkan di tanggal itu, pada tahun 1925 silam. Ya, Google Doodle membuat sebuah perayaan ulang tahun ke-93 baginya. Meski, sastrawan ini telah tutup usia akibat komplikasi diabetes serta penyakit jantung pada 31 April 2006 lalu.
Semasa hidupnya, Pram, demikian dia disapa, menulis berbagai novel, cerita, jurnal, dan kronik sejarah. Dia kerap mengkritik pemerintah melalui karya-karyanya, sehingga kerap bersinggungan dengan penguasa di masanya.
Pemerintah Belanda, di masa masih menjajah Indonesia, pernah memenjarakan Pram. Rezim Soekarno pun tak akur dengan Pramoedya Ananta Toer. Begitu pula rezim Soeharto yang menyensor berbagai tulisannya, menudingnya sebagai komunis, hingga memenjarakannya di Pulau Buru selama 30 tahun.
Di antara banyak karya tulis Pramoedya, satu yang paling terkenal, bahkan hingga ke mancanegara, adalah Tetralogi Buru.
Tetralogi Buru sendiri merupakan novel yang terdiri dari empat judul, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Ceritanya berkutat pada kehidupan Minke, nama lain dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang dianggap sebagai tokoh pers dan kebangkitan nasional Indonesia.
Proses penulisannya menyisakan sebuah cerita yang menarik. Pasalnya, Pram menulis Tetralogi Buru semasa dia ditahan dan diasingkan di Pulau Buru, Maluku. Bahkan, kala itu Pram sama sekali tidak diberi akses untuk mendapatkan pena, kertas atau alat tulis lain.
Semasa pembatasan akses tersebut, Pram menceritakan garis besar naskah Tetralogi Buru secara lisan pada kawan-kawannya sesama tahanan. Detil-detil Tetralogi Buru baru ditulis oleh Pram saat dia diperbolehkan menulis di tahanan dan mendapatkan akses alat tulis. Saa itu, Pramoedya merupakan satu-satunya tahanan yang mendapat pinjaman mesin tulis.
Pada 1979, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan dari tahanan dan dinyatakan tidak bersalah serta tidak terlibat Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Meski bebas, naskah Tetralogi Buru tidak dengan mudah ikut bebas keluar dari Pulau Buru. Pasalnya setiap tahanan yang dipulangkan selalu mengalami penggeledahan.
Naskah tersebut berhasil sampai ke Jakarta dengan selamat atas bantuan kawan-kawan Pram di tahanan. Mereka membantu menyelundupkan dan menyembunyikan naskah tersebut agar terhindar dari penggeledahan tersebut.
Hingga saat ini, empat judul dari Tetralogi Buru itu seluruhnya masih beredar dan bisa dibaca. Begitu juga beberapa karya lainnya, seperti Arok Dedes, Mangir, Bukan Pasar Malam, dan Gadis Pantai.
A.
Selayang Pandang.
Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Pramoedya yang dilahirkan di Blora pada tahun 1925 di jantung Pulau Jawa adalah anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi.
Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul "Cerita Dari Blora". Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya.
Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
B.
Pasca 17 Agustus 1945.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949.
Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara Pramoedya dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.
Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa.
Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
C.
Penahanan dan Setelahnya.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan (13 Oktober1965 – Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang).
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul "Bumi Manusia", serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia.
Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Edisi lengkap "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul "The Mute's Soliloquy: A Memoir".
D.
Kontroversi.
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay.
Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya pada tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan – apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.
E.
Masa Tua.
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini.
Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri.
Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995.
Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya, ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
F.
Berpulang.
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup.
Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya.
Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur.
Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.
Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
=====
PRAMOEDYA Ananta Toer merupakan seorang penulis Indonesia satu-satunya yang pernah diusulkan untuk mendapat Nobel Sastra.
Novel-novel Tetralogi Buru yang ditulisnya di Pulau buru, mengantarkannya masuk nominasi tersebut. Tetralogi Buru terdiri dari empat buah novel yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Pram, sapaan akrab Pramoedya, menerbitkan 4 novel tersebut secara bertahap pada 1980-1988. Namun penerbitan tidak berjalan mulus karena larangan dari Kejaksaan Agung karena novel itu dianggap mengandung pesan Marxisme-Leninisme. Sebelum diterbitkan, cerita tersebut terlebih dahulu disingkapkan secara lisan pada rekan-rekannya selama berada di tahanan saat diasingkan di Pulau Buru pada 1965-1979.
Dengan alat yang terbatas ia mulai menceritakan jilid pertamanya yaitu Bumi Manusia kepada para tahanan. Dan 2 tahun kemudian baru ia dapat melanjutkan menulis ketika beberapa tahanan memberikan mesin tik tua kepadanya.
Dalam berkarya, Pram sendiri menaruh harapan untuk Nobel. Pram sempat bergurau pada adiknya, Koesalah Soebagyo Toer mengenai bahwa ia akan mendapatkan Nobel di tahun 2004. Kejadian tersebut diceritakan Koesalah dalam buku "Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer."
Tahun berikutnya, 2005 Pram juga disebut-sebut kembali masuk kandidat penerima Nobel Sastra. Namun ternyata penghargaan tersebut gagal lagi digenggamnya. Sejumlah isu pun muncul menanggapi kegagalan Pram. Diantaranya adalah penerjemahan karya Pram ke bahasa Inggris yang buru sehingga nilai kesusastraannya berkurang.
Meski demikian, karya Pram abadi sampai saat ini. Buku-buku kini dibanderol ratusan ribu rupiah per eksemplar di tangan pedagang buku bekas. Tetralogi Buru bahkan memiliki nama internasional, "The Buru Quartet".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar