TOUR DE MARIA @ PULAU GALANG - BATAM.
TOUR DE MARIA
@ PULAU GALANG - BATAM.
"MAKE LOVE" NOT WAR.
Inilah penggalan salah satu kata khas tipikal John Lennon dan para penggiat gerakan damai "non violence". Inilah juga yang terngiang ketika pada tahun awal tahun 1970an di Vietnam terjadi perang saudara. Rakyat yang sejatinya sebangsa dan setanah air itu menjadi korban.
Di saat itulah muncul fenomena “boat people” atau manusia perahu. Dengan perahu sederhana, mereka meninggalkan negaranya yang porak poranda bagaikan neraka itu.
Dengan alat transportasi laut sederhana, mereka mengarungi samudera luas dan ganas, untuk mencari tempat yang aman dan damai. Salah satu tempat yang disinggahi adalah Pulau Galang, Kepulauan Riau, Indonesia. Dalam matra wilayah gerejani, lokasi Pulau Galang ini termasuk dalam bagian teritorial Keuskupan Pangkalpinang, dengan Mgr A. Sunarko OFM sebagai uskup-nya sekarang.
Tak kurang dari 250.000 pengungsi menetap di sana. Pulau yang berada 50 km dari Pulau Batam ini menjadi saksi dan teman sejarah yang tertulis bukan dengan tinta, tapi dengan air mata, keringat, darah dan aneka derita.
Secara khusus, saksi bisu lainnya di Pulau Galang ini adalah Gereja/Kapel St. Maria Immakulata (Nhà Thờ Đức Mẹ Vô Nhiễm) yang terletak di pulau Galang yang kadang dijuluki "Kampung Vietnam" ini, yang merupakan sebuah camp pengungsian seluas 80an hektar yang di bangun saat terjadinya perang saudara di Vietnam pada tahun 1975.
Meski hampir seluruh bangunan gereja itu berbahan kayu, dan sepertinya terlihat sudah sangat tua, namun masih berdiri tegak di tengah sunyi sepinya Pulau Galang.
Di atas bangunan tersebut, tampak sebuah salib kayu yang menjulang tinggi, sebagai bentuk penghormatan tertinggi pada kebesaran dan pengorbanan Tuhan. Di bawah salib tadi tampak gambar Bunda Maria, yang diukir dengan nuansa estetika.
Satu hal yang menarik di lingkungan sekitar gereja adalah keberadaan Patung Bunda Maria. Di bagian depan gereja, para pengungsi juga membangun sejumlah patung, di antaranya patung Bunda Maria yang menggendong seorang anak dan berada di atas perahu serta seorang bapak merangkul kedua anak.
Patung Ibunda Yesus ini dibuat, selain karena kecintaan mereka pada Bunda Suci itu, juga konon karena sebagian dari pengungsi Vietnam tadi sempat menyaksikan penampakan Bunda Maria.
Mereka percaya bahwa penampakan Bunda Maria ini sangat meneguhkan hati para pengungsi di pulau itu. Mereka juga percaya Bunda Maria telah dan tanpa lelah setia menyertai mereka dalam perjalanan menuju tanah pengungsian ini: "“Ketika aku seorang asing, engkau memberiku tumpangan”.
Menyitir pengalaman beberapa peziarah, sejak awal memasuki kompleks sekitaran Gereja di Pulau Galang ini, aura Marial terasa:
Mulai dari sebelum "route" Jalan Salib, disana ada Patung Hati Maria Tak Bercela. Dkl: Sebelum memulai Jalan Salib, kita diajak "berlari" kepada Maria yang sudah mengalami Jalan Salib Yesus, kita mohon kepadanya agar membimbing kita, mendoakan kita dan bersama kita menjalani karakter murid Kristus.
Setelah itu, menuju kompleks Gereja yang lagi lagi lekat dengan nuansa Marial.
Nama Gerejanya adalah: Gereja Maria Immaculata (Immaculate Conception).
Dkl: Setelah Maria membimbing kita dalam Jalan Salib, kini kita diajak untuk memetik buah buah salib dan mengalami bersama kebangkitan Kristus yang dirayakan dalam Ekaristi di Gereja yang berlindung pada nama Maria ini.
Nuansa Marial semakin kental memasuki kompleks Gereja Maria Immaculata. Di dalam gereja; ada patung Maria berukuran lumayan besar berdiri diatas sebuah kapal.
Bagi para "serdadu Maria", terlebih para pembimbing rohani atau perwira dan anggota aktif Legio Mariae, bisa jadi tersentak ketika mendekati patung ini.
Patung ini dijaga oleh sebuah tanda yang bagi semua Legioner pasti tidak asing lagi, di sisi kiri terdapat sebuah tugu kecil dengan bentuk menyerupai gambar Tessera.
Rupanya benar ketika semakin mendekat nampaklah Vandel dengan tulisan “Legio Mariae” dan dibawahnya diukir salah satu seruan dalam Tessera dengan bahasa Vietnam, pada sisi kanan diukir doa Salam Maria dalam bahasa Inggris, agak masuk ke dalam pada posisi di tengah kedua tugu tersebut terdapat sebuah “tungku” persis seperti yang dipakai untuk membakar "bunga-bunga rohani' dalam rapat presidium khusus dan dalam Perayaan Ekaristi; disana juga ada tulisan kecil Legio Mariae dan beberapa kata gerejani dalam bahasa Vietnam.
Bisa jadi, para Legioner Vietnam yang adalah juga para pengungsi ini dulunya setia larut hanyut khusyuk dalam Ekaristi dan untaian doa Rosario Suci menguatkan pahit getir hidup merek di "tanah rantau".
Dan, tepat di atas kapal, Patung Maria ada dalam posisi hormat menyembah dan setia berdoa (tangan terkatup di dada) dan tepat di depannya sebuah Altar untuk Ekaristi.
Indahnya kaki Altar untuk Perayaan Ekaristi adalah huruf “M” yang pasti bermakna “Maria”! Sungguh menggambarkan peran Maria dalam sejarah keselamatan umat manusia, secara khusus di tempat para pengungsi ini yanf dikenal dengan julukan “Boat People”.
Adapun, arus pengungsi ini mulai mengalir sejak menjelang jatuhnya Vietnam Selatan ke tangan Komunis (1975) dan di saat itu tentara Amerika Serikat mulai meninggalkan Vietnam Selatan.
Pihak Gereja Katolik Indonesia yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk menangani pengungsi-pengungsi pertama yang terdampar dan semakin hari semakin membanjir di pulau-pulau yang tersebar di Kep. Riau bagian utara.
Diantara pengungsi ini, banyak juga yang beragama Katolik, bahkan ada juga sejumlah imam, frater, suster bruder dari Vietnam yang ikut melarikan diri dari negerinya, maka terbentuklah suatu komunitas umat Katolik Vietnam di Pulau Galang.
Pada waktu itu, keuskupan setempat yakni Keuskupan Pangkalpinang bekerjasama dengan MAWI (sekarang KWI) dan LPPS ikut ambil bagian dalam pelayanan kepada para pengungsi di Pulau Galang.
Terbentuklah paroki khusus pengungsi di Pulau Galang dan MAWI waktu itu meminta Provinsial SJ untuk mengirim imam yang khusus melayani pengungsi ini dan menjadi pastor paroki di P. Galang.
Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto selaku Sekjen MAWI waktu itu berkenan datang ke P. Galang untuk kemudian juga memberkati gereja paroki St. Yosef yang dibangun sendiri oleh pengungsi Vietnam.
Sampai Camp pengungsi P. Galang ditutup tahun 1992, ada ratusan ribu pengungsi Vietnam yang pernah tinggal dan menjadi umat paroki khusus pengungsi di Pulau Galang ini. Sekarang mereka sudah tersebar pencar dan menetap di berbagai negara, antara lain: Amerika Serikat, Canada, Australia dsb.
Sekarang di Pulau Galang masih tersisa sedikit peninggalan para pengungsi Vietnam antara lain barak-barak dan juga seperti yang saya kupas diatas yakni Gereja St. Maria dan Patung Bunda Maria diatas perahu yang konon dibuat oleh para pengungsi Vietnam sendiri.
Mengacu pada bingkai historis, sewaktu jumlah pengungsi sudah mencapai ribuan orang, barulah pemerintah Indonesia di era Soeharto turun tangan juga badan-badan internasional lainnya seperti Palang Merah Internasional, PBB - UNHCR dan lain-lain. Maka pada tahun 1978 oleh pemerintah RI dibukalah tempat penampungan khusus pengungsi Vietnam di Pulau Galang-Riau.
Di pulau itu, dengan bantuan PBB dibangun prasarana sehingga menjadi Camp Pengungsi yang memadai, tempat persinggahan pengungsi Vietnam sebelum disalurkan ke negara lain yang bersedia menerima mereka.
Ya, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)-lah yang membangun camp untuk pengungsi di pulau Galang ini. Camp pengungsi tersebut mencakup wilayah 16 km2 atau 20% dari seluruh wilayah pulau. Pulau Galang sendiri merupakan bagian dari Kepulauan Riau.
Camp pengungsi ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap, ada kantor administrasi, Rumah Sakit Palang Merah, sekolah, gedung gereja Katolik, vihara, pekuburan dan Youth Center yang dikelola oleh para pengungsi sendiri.
Camp pengungsi ini terdiri dari tiga bagian (Blok IA, IB dan blok II. Ada sekitar 250.000 manusia perahu dari Vietnam (juga Kamboja dan Laos) yang ditampung di sini dari tahun 1975 hingga 1990an.
Sekarang, bekas Camp pengungsi itu dikelola sebagai tempat wisata oleh Batam Industrial Development Authority (BIDA). Dari Batam ke Pulau Galang, dapat ditempuh dalam waktu 1 jam dengan mobil, melintasi 6 jembatan yang dikenal dengan jembatan Barelang, singkatan dari nama tiga pulau Batam, Rempang dan Galang. Jembatan pertama sepanjang 642 km yang bernama jembatan Tengku Fisabililah menjadi daya tarik tersendiri untuk para wisatawan.
NB:
REPOST:
Kisah Perjalanan.
1.
Pada tahun 1970an, PBB via UNHCR mengamanatkan kepada Indonesia untuk menjadikan Pulau Galang sebagai tempat penampungan para pengungsi perang dari Vietnam, apalagi pada masa itu Pulau Galang masih kosong tak berpenghuni.
Kemudian didirikanlah camp pengungsian lengkap dengan berbagai fasilitas seperti barak-barak, rumah sakit, tempat ibadah, sekolah bahkan penjara.
Memasuki kawasan Wisata "Kampung Vietnam" di Pulau Galang ini, kita merasakan suasana "silentium" alias sunyi - sepi, tapi sepanjang jalan terlihat pipa air yang baik instalasinya menuju kampung Vietnam.
Ada beberapa wilayah di kampung ini. Ada kuil Dewi Kuan Im dengan memorabilia foto-foto para biksu dan kegiatan di kuil tanpa ada banyak keterangan sebagai saksi bisu sejarah.
Ada juga patung Bunda Maria dan gerejanya juga beraksentuasi kayu, cukup unik dan artistik. Ada juga kompleks pemakaman orang-orang Vietnam yang mengungsi kemari.
Selain kuil, gereja dan patung Maria, kawasan ini juga dilengkapi dengan rumah sakit, museum, barak-barak bagi pengungsi, kandang rusa, sekolah, penjara, youth center dan fasilitas sosial lainnya yang tampak terbengkalai.
Di museum, ada 1000 wajah penghuni kampung Vietnam ini. Dimana pada masa itu, mereka terisolir karena mereka membawa wabah dari negeri mereka sendiri yang dinamakan "Vietnam Rose".
Mereka mengarungi Laut Cina Selatan selama berbulan-bulan hingga 10 bulan lamanya dengan kapal kayu kecil yang padat sarat muatan hingga sanggup mengangkut 100 orang. Terlihat penderitaan mereka selama pelayaran melalui lukisan-lukisan mereka yang dipajang di museum.
Kapal-kapal itu diangkut dari laut menggunakan tower craine dan dinaikkan ke fuso oleh pemerintah Indonesia dari laut dan dipajang di kawasan Kampung Vietnam ini sehingga bisa dibayangkan penuh sesaknya kapal kayu kecil ini pada masa itu.
Kawasan ini kosong semenjak mereka dikembalikan ke Vietnam pada tahun 1996. Terlihat tempat ini menjadi saksi sejarah kehidupan pengungsi Vietnam masa itu yang menyelamatkan diri dari ancaman komunis.
Kadang, ada kunjungan kembali ke pulau Galang dari orang-orang Vietnam yang mengunjungi makam para leluhurnya. Kawasan makam terlihat baik dan terawat dengan tanda salib dan juga buddha. Ada warung penjual kopi dan makanan ringan dan habitat monyet pada kawasan ini.
Ada rasa sedih di lokasi ini membayangkan situasi saat harus meninggalkan negara yang kacau balau karena perang demi menyelamatkan diri hidup terasing belasan hingga puluhan tahun di pulau terisolir ini tanpa bisa berinteraksi dengan dunia luar bahkan dengan penduduk Indonesia sendiri.
2.
Pulau Galang di sekitar tahun 1980-an cukup dikenal dunia karena menjadi tempat pengungsian bagi warga Vietnam yang mencari perlindungan pasca terjadinya konflik internal antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Para pengungsi Vietnam telah mempertaruhkan sepotong nyawa mereka, mengambil resiko tinggi dengan menjadi manusia perahu. Mereka berlayar meninggalkan negara mereka, mengarungi samudra dengan hanya berbekalkan perahu kecil seadanya yang dijejali penumpang yang jauh melebihi kapasitasnya.
Terapung-apung berbulan-bulan lamanya mengarungi Laut China Selatan. Sebagian harus merelakan nyawanya di tengah lautan dan sebagian lainnya berhasil meraih daratan, termasuk berlabuh di wilayah Indonesia.
Mereka terpaksa melakukan itu untuk lari dari perang saudara yang melanda mereka di tahun 1979. Sebenarnya, para manusia perahu tidak secara langsung berlabuh di Pulau Galang.
Awalnya, gelombang manusia perahu mendarat di Kepulauan Natuna bagian Utara, Kepulauan Anambas, dan Pulau Bintan. Para pengungsi diterima oleh masyarakat setempat. Namun, karena gelombang pengungsi terus berdatangan, tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri.
Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dan Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempatkan para pengungsi di Pulau Galang. Selain alasan kemudahan penyaluran pengungsi ke negara ketiga, juga karena Pulau Galang masih cukup luas dan dapat menampung para pengungsi.
Para pengungsi ditempatkan di Desa Sijantung, sebagai tempat penampungan sementara. Para pengungsi Vietnam menjalani hidup dan kehidupannya di Pulau Galang hingga tahun 1995. Ada sebagian di antara mereka yang kembali ke negara asalnya dan sebagian lainnya mendapatkan suaka dari negara-negara maju.
Kehidupan di camp pengungsi dibuat terisolasi dari lingkungan sekitar maupun dari penduduk setempat. Waktu itu dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan keamanan. Juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal dengan "Vietnam Rose".
Sekarang, jika kita berkunjung ke Pulau Galang, tidak terlalu sulit, karena antara Pulau Batam-Pulau Rempang-Pulau Galang telah tersambung dengan jembatan yang dikenal dengan nama Jembatan Barelang (Batam-Rempang-Galang). Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam berkendara mobil dari pusat Kota Batam ke Pulau Galang.
Terdapat 6 jembatan yang menghubungkan pulau-pulau kecil di sana. Jika kita berada di jembatan tersebut, terpampang lukisan alam yang sangat indah. Selaksa lukisan pemandangan alam yang sering dilukis oleh para pelukis. Pandangan mata seakan dimanjakan oleh paparan lukisan alam nan indah, perpaduan antara laut biru dan hutan mangrove di sepanjang pantai yang sebagian besar masih asri.
Perjalanan menuju Camp Vietnam harus melewati jalan yang berkelok-kelok, membelah hutan Pulau Galang. Untuk memasuki Camp Vietnam, tidak ada gerbang mencolok, hanya berupa gapura bentuk perahu. Di perjalanan kita masih dapat menemui sekumpulan monyet yang berkeliaran, turun dari hutan yang ada di kanan kiri jalan, bermain di tengah jalanan.
Di Pulau Galang inilah, jejak-jejak peninggalan para manusia perahu, para pengungsi Vietnam, masih dapat kita telusuri. Dalam kawasan yang dikenal dengan Kampung Vietnam seluas sekitar 80 Ha. kita seolah diajak untuk turut membayangkan kehidupan mereka pada waktu itu.
Di kawasan bekas pengungsi Vietnam, tersebar bangunan-bangunan maupun benda-benda peninggalan yang dapat membantu kita untuk mewujudkan gambaran kehidupan para pengungsi yang cukup memilukan.
Suasana Camp Vietnam ketika kami kunjungi sangat sepi, seolah hanya kami pengunjungnya. Berkeliling sendiri, mencoba menggalang puing-puing sejarah peninggalan para pengungsi yang masih tertinggal di Pulau Galang.
Suasana sunyi, pepohonan yang rimbun, cuaca yang tidak begitu panas, bangunan-bangunan yang minim perawatan, terbengkalai dan merana, seolah memperkuat suasana yang ingin dibangun. Seakan turut memberikan gambaran tentang kehidupan mereka dulu. Ingin meneriakkan pilu, menyebarkan duka yang mereka alami.
Terdapat banyak bangunan yang membawa kita pada kenangan para pengungsi Vietnam. Berawal dari Humanity Statue (monumen kemanusiaan) yang terletak tidak jauh dari gerbang.
Monumen ini berbentuk patung seorang wanita. Humanity Statue seakan berupaya untuk mengingatkan kita akan salah satu peristiwa atau lebih tepatnya tragedi kemanusiaan yang menimpa salah satu pengungsi wanita di sana. Tinh Han Loai, seorang wanita pengungsi yang mati bunuh diri karena harus menanggung malu akibat diperkosa oleh sesama pengungsi.
Memang banyak peristiwa kriminal yang terjadi antar sesama pengungsi sehingga pemerintah dan UNHCR merasa perlu untuk membangun sebuah penjara di Camp Vietnam. Fungsinya selain untuk memberikan pelajaran bagi para pelaku kejahatan, juga untuk menahan para pengungsi yang mencoba untuk melarikan diri. Mungkin kondisi stres dan depresi yang menimpa mereka turut mempengaruhi.
Di Camp Vietnam, kita juga dapat menemukan perahu-perahu yang konon katanya sebagian merupakan perahu asli yang digunakan oleh para pengungsi dalam mengarungi Laut Cina Selatan. Terbayang sudah bagaimana mereka hidup berhimpitan selama berbulan-bulan dalam perahu yang relatif kecil yang katanya dijejali oleh sekitar 40-100 orang.
Terdapat pula museum di kawasan wisata sejarah Camp Vietnam. Di dalamnya terpampang foto-foto para pengungsi plus foto-foto kegiatan yang mereka lakukan.
Beberapa bangunan yang ada di sana tidak terawat. Beberapa benda peninggalan dibiarkan berkarat tanpa pemeliharaan yang berarti. Padahal, benda-benda dan bangunan-bangunan tersebut merupakan bagian dari sejarah yang sayang jika dilupakan begitu saja.
3.
Pulau Galang kini tak banyak berpenghuni tapi pulau di wilayah gerejani Keuskupan Pangkalpinang ini kini menjadi tempat peziarahan. Ia juga menyimpan jejak sejarah yang "mengharumkan" nama Indonesia di dunia internasional.
Pulau Galang sendiri terletak di bagian selatan Pulau Batam. Saat jalan semakin ke selatan, pemandangan terhampar luas. Jalan lurus bergelombang di depan mata. Di sisi kiri dan kanan jalan, bukit-bukit berbaris dengan beragam pepohonan hijau. Sesekali, tatkala bukit terlewati, biru laut terpapar ke bola mata. Pulau-pulau kecil menampakkan batang hidungnya di tengah laut biru tak bertepi itu. Satu dua perahu kecil melintas di kejauhan, menambah keelokan sore itu.
Untuk mencapai Pulau Galang, kita harus melewati lima jembatan yang menghubungkan lima pulau (Batam, Tonton, Nipah, Rempang, dan Galang). Pulau Galang adalah pulau ke lima yang bisa dicapai setelah melewati jembatan-jembatan ini.
Setelah Pulau Galang, masih ada satu pulau lagi yang bernama Galang Baru. Ia adalah pulau terakhir yang dihubungkan juga dengan jembatan. Semuanya ada enam jembatan.
Sekitar dua jam perjalanan, tibalah kita di Pulau Galang. Gapura bertuliskan “Batam Pulau Galang” terpampang menyambut. Jalannya beraspal. Di sisi kiri dan kanan, pohon-pohon tinggi berjejer. Rumput hijau menjalar di sepanjang sisi jalan. Monyet-monyet berlari-larian, tak peduli pada mobil yang semakin mendekat. Tak ada rumah.
GALANG SITE I.
Sekitar lima menit setelah melewati pos jaga, kita bisa berbelok ke kanan. Jalanan sedikit menanjak. Di sebelah kirinya itu ada "Via Dolorosa", perhentian-perhentian Jalan Salib. Umat biasanya mengadakan Jalan Salib di sini. Ini disebut Galang Site I.
Ketika tanjakan itu usai, Patung Bunda Maria berdiri tegak di hadapan kita. Patung setinggi sekitar satu meter itu di bangun dengan latar belakang layar perahu. Di bagian kiri patung, terdapat lantai cukup luas yang merupakan bekas bangunan gereja, yang pernah menjadi pusat pelayanan pastoral bagi para pengungsi yang saat itu sudah mencapai 70.000 orang.
Tak jauh dari situ, ada sebuah rumah tua tak berpenghuni. Atapnya sudah lapuk dan berlubang. Cat putih pada tembok yang terbuat dari papan itu pun tampak pudar. Patung Bunda Maria dan rumah tua itu dikelilingi pohon-pohon tinggi, sehingga tak mungkin terlihat dari kejauhan.
Dari jejak-jejak bangunan di Galang Site I ini tampak bahwa bekas hunian ini tidak tertata rapi. Pasalnya, Galang Site I menjadi tempat transit. Pengungsi yang ditempatkan di sini adalah mereka yang diproses untuk mendapatkan suaka politik di negara lain seperti Australia, Amerika, Kanada, dan negara-negara maju lainnya.
GALANG SITE II.
Lalu, kita bisa melanjutkan perjalanan ke Galang Site II. Ini merupakan tempat hunian yang lebih tertata rapi karena para pengungsi tinggal dalam waktu relatif lebih lama. Dulunya, di sini terdiri dari barak-barak atau rumah panjang yang di pakai untuk menampung pengungsi, bahkan ada yang dua lantai.
Namun sayang, sebagian besar barak-barak itu sudah roboh, bahkan tak berbekas. Hanya tertinggal dua rumah reyot. Itu pun sudah lapuk, tak terurus. Atapnya sudah tak kelihatan lagi karena tertutup pohon-pohon tinggi.
Ada dua perahu besar bercat biru yang dipajang di sisi kanan jalan ke Galang II ini. Kedua perahu itu diberi atap sehingga terlindung dari hujan dan terkesan baru. Dua perahu itu menjadi replika perahu yang dipakai para pengungsi Vietnam Selatan saat mereka lari ke Indonesia.
Tak jauh dari kedua perahu ini terdapat sebuah museum. Di dalamnya, terdapat beragam jenis barang dan ada juga sejumlah ukiran patung Buddha berukuran kecil memenuhi sebuah meja panjang. Hasil lukisan para pengungsi juga menghiasi dinding ruangan itu. Ada gambar perahu dengan orang berjubel di atasnya terombang-ambing oleh gelombang laut.
Ada pula potongan-potongan batu putih persegi bertuliskan “Ta On Duk Me”, yang mengandung arti "Syukur kepada Allah" atau "Terima kasih kepada Yang Mahakuasa.”
Adapun pelbagai patung dan gambar-gambar ini adalah peninggalan para pengungsi. Mereka memiliki rasa seni yang sangat tinggi. Selama mereka di sini, selain mendapat bantuan dari PBB, mereka juga mendapat uang dari hasil penjualan gambar dan ukiran ini sebagai salah satu usaha bertahan hidup dalam situasi pelarian.
Hingga saat ini, setiap satu atau dua tahun sekali para mantan pengungsi Vietnam Selatan atau anak cucunya mengunjungi Galang. Mereka sekadar bernostalgia atas derita yang mereka alami, nyekar ke makam serta ingin mengunjungi rumah yang dulu pernah mereka tinggali. Ada yang menangis ketika melihat rumahnya sudah lapuk, bahkan tak ada lagi. Terkadang mereka juga tidak lagi tahu persis letak rumahnya.
Di Galang Site II ini, juga terdapat Gereja St Maria. Gereja itu berdinding kayu dengan salib menjulang tinggi di bubungannya. Di sisi kiri gereja itu, ada sebuah replika perahu yang dibuat dari semen. Replika perahu ini juga merupakan karya seni para pengungsi.
Di atas perahu terdapat sebuah patung Maria dengan tinggi lebih dari satu meter. Di sebelahnya lagi terdapat patung Santo Johanes Don Bosco.
Pada masa itu, baik di Galang Site I maupun Site II, Gereja terlibat penuh melayani para pengungsi. Ada beragam kegiatan pastoral di lakukan bagi para pengungsi, mulai dari Misa, pelayanan orang sakit, pembinaan umat, pembinaan iman anak-anak, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar