Ads 468x60px

Sabtu,25 Mei 2013

Deus lucet omnibus.”

Pekan Biasa VII
Sir 17:1-15; Mrk 10:13-16

“Deus lucet omnibus - Tuhan menyinari semua orang.” Inilah sebuah tanda bahwa Tuhan sungguh mencintai semua umatnya, terlebih yang kecil dan sederhana, yang tampak jelas lewat kehadiran anak-anak kecil yang berpola “TTS - Tulus Terbuka dan Sederhana.” Anak (“children”) sendiri tentulah berbeda dengan sikap yang kekanak-kanakan (“childish”). 

Dalam buku “XXX-Family Way” (Kanisius), anak yang tidak kekanak-kanakan bisa berarti “anugerah ter-enak”. Mengapa anugerah ter-enak? Saya mengamati kerap anak menjadi jembatan iman buat orangtuanya untuk mau dibaptis dan tertarik memeluk agama Katolik, membuat orangtuanya memutuskan untuk tidak jadi bercerai dan mementingkan ego-nya sendiri, membuat orangtuanya lebih mawas diri dan bersabar ketika ada konflik dengan pasangan atau dengan tempat kerjanya. Jelaslah, anak-anak sungguh-sungguh hadir sebagai anugerah terenak dalam sebuah keluarga: Ia menjadi pembawa damai, pembawa semangat hidup dan pertobatan, sekaligus menjadi seperti pelumas dan pelemas konflik, yang kadang terjadi dalam sebuah keluarga. 

Dkl: anak jelas-jelas adalah dari surga. Ia merupakan kombinasi baru dari dua kehidupan, seyogyanya (as it should be) kombinasi yang menghasilkan ‘produk’ yang lebih baik. Dalam diri seorang anak, hidup dan tumbuh karakter ayah dan ibunya sekaligus. Anak adalah kombinasi terbaik dari sifat-sifat (gen) terbaik ayah dan ibunya. Anak juga adalah penghuni masa depan. Sebab itu amat penting melakukan perlindungan anak tanpa harus menciptakan belenggu, aturan, dan ikatan-ikatan yang mengganggu kesuburan kreativitasnya: “Anakmu adalah putra-putri Sang Hidup, lewat engkau mereka lahir tapi tidak dari engkau.”

Adapun tiga sikap dasar seorang anak yang bisa kita ingat dan buat dalam hidup sehari-hari, yakni: 

1. Keterbukaan: 
Dulu, Kaisar Barbarosa (Kaisar Jerman: Friedrich, si janggut merah, 1152-1190) pernah bermaklumat agar setelah lahir, para bayi langsung dirawat oleh para perawat. Instruksi mutlaknya: Bayi-bayi itu harus “diasingkan” agar jangan sampai mendengar suara atau bahasa manusia. Kaisar berharap agar para bayi berbincang dengan bahasa ilahi, bahasa yang seasli-aslinya: “yang asli lengket di hati,” mungkin begitu gumamnya dulu. Perkiraan kaisar, bahasa yang akan muncul dari para bayi itu datang langsung dari ilham Tuhan sendiri. Survey membuktikan:…..”gatot” alias gagal total! Bayi-bayi itu malahan berbicara tak keruan, bahkan ada yang sakit. Jelaslah bahwa setiap anak itu polos, terbuka dan tidak punya banyak kepentingan yang tersembunyi (hidden agenda). Hatinya tulus dan tuturnya halus. Bahkan, kalau sudah merasa kenal dan nyaman, ia senang memeluk dan dipeluk: Tangan dan hatinya mudah terbuka bagi tangan dan hati yang lain. 

Tapi sebaliknya, akibat ketertutupan banyak orang dewasa yang kekanak-kanakan, banyak anak yang terbuka dan yang polos serta tulus ini menjadi terlantar, miskin, cacat, rapuh, sakit, dan tak jelas asalnya. Seperti tulisan harian Anne Frank, seorang anak gadis Yahudi, korban holocaust Nazi diantara 1.500.000 anak lainnya: “Suatu hari, perang gila ini kan usai, waktunya akan tiba bagi kami tuk menjadi manusia kembali.” Karena ketertutupan hati inilah, banyak anak-anak di sekitar kita yang ada dalam ketidakpastian dan penantian. Mereka terpisah dari afeksi pun harta benda. Terpinggir oleh ganasnya arus modern. Terceraikan dari kerabat dan sahabat. Tersingkirkan dari orangtua. Mereka saling merindukan, saling ingin menghadirkan dan menghibur.

2. Kepasrahan: 
Banyak anak yang “berpasrah” karena memang membutuhkan kehadiran orangtuanya yang diyakini sangat mengasihinya. Selain memang karena mereka belum matang secara fisik dan psikis, lebih daripada itu mereka adalah orang yang mudah percaya dan berserah kepada banyak orang karena sikapnya yang jujur dan apa adanya. Disinilah, mereka mengajak kita juga belajar memiliki kepasrahan sekaligus keyakinan total kepada Tuhan yang sangat mengasihi kita. Masalahnya,kita kadang malahan memiliki banyak keterikatan dan kelekatan pada hal-hal yang duniawi sehingga enggan untuk bisa benar-benar berpasrah. Kita mudah curiga dan berpikir buruk tentang orang lain, bahkan kadang kita meragukan belas kasihan dan cinta Tuhan., padahal amat dicintai seseorang itu bisa memberi kita kekuatan dan amat mencintai seseorang memberi kita keberanian, dan bisa jadi seseorang itu adalah Tuhan kita sendiri bukan? 

3. Kekudusan: 
Saya sendiri meyakini bahwa wajah dan hati anak adalah wajah dan hati tanpa dosa. Setiap anak lahir dalam keadaan suci (fitrah), maka wajarlah Yesus juga berujar hari ini: “Biarlah anak-anak datang padaKu. Barangsiapa tidak bisa menjadi seperti anak-anak, tidak bisa masuk ke dalam Kerajaan surga.” Yah, mereka adalah anak yang diperkenankan bertingkah polah nakal tanpa harus dihukum: Mulutnya bersih dan manis, kadang ceriwis. Bening dan klasik garis wajah manjanya. Matanya cerdas seperti burung gelatik zaman Adam Hawa. Segar canda tawanya, pecicilan dan lincah penuh improve. Inilah gambaran tentang anak kecil yang kudus, yang belum banyak tercemar. Ya, bukankah banyak orang yang senang melihat anak-anak kecil karena matanya yang jernih dan kata-katanya yang lembut? Wajarlah jika ada orangtua yang mengatakan kepada anak-anaknya: "You are my sunshine, my only sunshine, you make me happy when skies are grey...."

“Mari berenang di dekat sawah –Kita senang jadi anak-anaknya Allah.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar