Orang Katolik di Indonesia memang bukan bagian yang lebih besar (pars major),
tetapi orang Katolik di Indonesia harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior).
Johann Baptist Metz, salah satu pencetus konsep teologi politik, memberi-jelaskan sebuah definisi tersingkat tentang agama. Menurutnya, agama adalah interupsi (Unterbrechung). Bagi saya, merupakan sebuah kepastian bahwa setiap orang Katolik diajak menjadi seorang beriman yang berani melakukan interupsi: terlibat-tentunya tanpa terlipat dalam suka duka hidup bermasyarakat. Keterlibatan orang Katolik bukan melulu milik Romo Mangun, Para Jesuit, Opus Dei, Frans Seda, Benny Moerdani, alumni Kasebol atau Kelompok Kompas Gramedia, bukan?
tetapi orang Katolik di Indonesia harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior).
Johann Baptist Metz, salah satu pencetus konsep teologi politik, memberi-jelaskan sebuah definisi tersingkat tentang agama. Menurutnya, agama adalah interupsi (Unterbrechung). Bagi saya, merupakan sebuah kepastian bahwa setiap orang Katolik diajak menjadi seorang beriman yang berani melakukan interupsi: terlibat-tentunya tanpa terlipat dalam suka duka hidup bermasyarakat. Keterlibatan orang Katolik bukan melulu milik Romo Mangun, Para Jesuit, Opus Dei, Frans Seda, Benny Moerdani, alumni Kasebol atau Kelompok Kompas Gramedia, bukan?
Sebuah informasi:
Sejak dulu, Gereja sudah menyumbang-kembang beberapa anak terbaiknya bagi Bangsa bernama Indonesia ini: Agustinus Adisucipto di Angkatan Udara, Yos Sudarso di Angkatan Laut, juga Ignatius Slamet Riyadi di Angkatan Darat. Tapi, sekarang? Disinilah, saya terkenang renang sepenggal semboyan populer, “100% Katolik, 100% Indonesia” dari Mgr. Soegijapranata, yang kerap dijuluki: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia”. Dalam bahasa Latin, semboyan ini juga dikenal dengan nama, Pro Patria et Ecclesia, yang berarti, “Demi Tanah Air dan Gereja”.
Siapa itu pribadi yang akrab disebut Mgr.Soegija ini? Dalam sebuah wawancara, “Si Burung Manyar” Romo Mangunwijaya -yang juga banyak membuat interupsi- pernah menyebut-ungkapkan dalam wawancara dengan Tuti Indra Malaon dan Drigo L. Tobing dari Majalah MATRA bahwa Soegijapranata adalah gurunya. Ia mengungkap-singkapkan, “Kalau harus menyebut guru-guru saya yang berpengaruh, nama pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara lain juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.”
Soegijapranata sendiri adalah seorang imam Jesuit, yang hidup dalam masa revolusi kemerdekaan. Beliau diangkat sebagai Uskup Agung Pribumi yang pertama, secara khusus untuk wilayah Semarang. Situasi negara yang sedang bergolak-gelak saat itu menuntutnya untuk tidak hanya melakukan kegiatan “altar”, tetapi juga berani melakukan interupsi bagi kehidupan di “pasar” dengan segala carut-marutnya. Tahun 1955, Mgr. Soegija pernah mengungkap-kembangkan sebuah interupsi kepada peserta KUKSI (Kongres Umat Katolik Indonesia): “Apakah umat Katolik sungguh mempunyai manfaat bagi masyarakat Indonesia?” Setelah 55 tahun berlangsung, interupsi itu kini diajukan lagi kepada orang Katolik Indonesia di tahun ini. Apakah yang akan menjadi jawabannya?
Mengacu pada Surat Gembala 12 Februari 1952, Mgr. Soegija mengatakan ada dua prima causa, semacam alasan dasarnya.
Pertama, kewajiban kerasulan berasal dari keadaan hidup kita:
“Sedjak kita dipermandikan, berkat kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia, sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan sendirinja kita merasa terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan itu.”
Kedua, kewajiban kerasulan berasal dari sifat sosial kita:
“Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”
Mencandra pelbagai interupsi Mgr Soegija di atas, wajarlah jika seorang Romo Mangun memandang Mgr. Soegija sebagai seorang Gerejawan besar dalam Gereja dan Bangsa Indonesia: “Saya tidak dapat menggambarkan bagaimana akan jadinya Gereja Katolik Indonesia seandainya dulu Mgr. Soegijapranata tidak ada.”
Maka, disinilah juga saya tampilkan beberapa kalimat nasehat yang keluar dari mulut Mgr Soegijapranata:
“Keputusanku untuk menjadi imam itu karena didorong untuk mengabdi bangsa. Saya telah mencari beberapa kemungkinan profesi, tetapi tidak ada yang lebih memungkinkan untuk memuliakan Tuhan dan sekaligus untuk mengabdi bangsa selain menjadi imam”
“Jika kita benar-benar Katolik sejati sekaligus kita juga patriot sejati. Karenanya kita adalah 100% patriot, karena kita adalah 100% katolik.”
“Ini adalah tempat yang disucikan. Penggal dulu kepala saya, baru tuan boleh memakainya.”
“Kemanusiaan itu satu, bangsa manusia itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar (umat manusia); demikian juga kendati tampak dalam kodrat laki-laki dan perempuan. Malahan, menurut kehidupan di dunia ini, seluruh umat manusia dan bangsa-bangsa saling membutuhkan satu sama lain; kalau tidak saling bekerja sama dan saling menolong pasti tak akan lepas dari bahaya, tidak akan terjelam kesejahteraan, tak akan ada kemajuan, tak akan ada tata susila, tak ada ketentraman dan keselamatan. (Surat Kegembalaan September 1940)”
“Anak-anakku laki-laki dan perempuan, yang disebut kusuma bangsa dan yang menjadi harapan Gereja, pandanglah kanan kirimu dengan hati dan pikiran yang jernih dan terbuka”
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, didiklah anak-anakmu secara Katolik dan Nasional agar tetap lestari, berkembang dalam hal rohani dan jasmani, dengan memperhatikan agama dan kebangsaannya agar tetap teratur siap melaksanakan tugas rohani dan tugas umum lainya sebagaimana mestinya. Gemblenglah mereka dengan teladan perkataan dan tindakan kalian agar mereka memiliki watak dan kepribadian yang kokoh, dan teguh sehingga mampu menghadapi dan menanggung segala kesulitan dan tipu daya mana pun yang akan menghancurkan warisan bangsa dan leluhur kita. Juga agar mereka berani melawan segala usaha yang akan merusak sopan santun dan tata susilal juga membongkar berbagai fitnah yang menyepelekan watak satria, tulus dan sederhana (Surat Kegembalaan Februari 1956)”
“Semoga dari rumah tangga katolik, yang betul-betul merupakan sumber hidup, sumber pendidikan, sumber kebahagiaan dan penghibur, menyumbangkan anak-anaknya sebagai pemimpin-pemimpin dan tenaga putera-puteri yang mampu membimbing golongannya menjadi golongan yang boleh dibanggakan oleh bangsa Indonesia (Pembukaan Kongres Pemuda Katolik)”
“Belajarlah dengan rajin, dengan sabar hati dan berbudi sesuai dengan kedudukanmu, supaya cukuplah kecerdasan, kepandaian, dan pengetahuan…perihal Tuhan dan wahyunya, perihal manusia, perihal semesta alam dengan segala isinya : perihal hubungan Tuhan dengan manusia, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, pun pula perihal Gereja dengan bentuk, tugas, dan sejarahnya demikian pula perihal bangsamu, tanahmu,dengan sejarahnya”
“Jiwa kita adalah merdeka, jika kita selalu menuntut apapun juga yang bersifat sungguh benar, sungguh baik, sungguh indah dengan leluasa”
“…yang diperhatikan oleh masyarakat kita adalah apakah Gereja Katolik beserta umatnya itu ada gunanya, berdaya guna untuk negar dan Rakyat Indonesia? Apakah umat katolik Indonesia memiliki keberanian yang tangguh untuk turut mengisi kemerdekaan – yang telah berhasil dijangkau – dengan tata tentrem, kertaraharja dan kemakmuran baik jasmani maupun rohani?”
“Memang, tidak sedikit jumlahnya orang yang kemudian menjadi luntur, menjadi sama seperti kanan kirinya, hilang kekhasannya sebagai Katolik. Sebagian malah enggan kalau ketahuan bahwa dirinya katolik; bangga bahwa dapat menyatu dengan cara menyamar, berkulit bunglon. Betapa kasihan.
…Swara -Tama tidak bermaksud membujuk orang berkalung rosario, menjajar medali-medali, dan mendaras doa sepanjang jalan. Yang dituju (oleh Swara-Tama) adalah agar dapat memberi tuntunan dan melatih cara hidup katolik lahir-batin, tidak memandang tempat, derajat kedudukan mapupun asal-usul. Segala pengalaman hidup akan dibeber dan dibahas dalam kacamata Katolik, agar para pembaca senantiasa memegang tekad serta keyakinannya baik di gereja, di jalan, di tempat perjamuan, pekerjaan dan tempat hiburan, atau dimanapun tanpa perduli kanan-kirinya, agar jelas memperlihatkan bahwa kehidupannya telah dilandasi keyakinan akan kehidupan yang luhur”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar