Ads 468x60px

Perayaan Sakramen Tobat (Ibadat Lingkungan)

I. PENGANTAR : IDE DASAR

Setiap manusia mendambakan agar hidupnya damai dan bahagia. Pertanyaannya : mengapa? Karena manusia mengalami dalam hidupnya, dari ligkungannya adanya ancaman terhadap kerinduan dasar manusia itu, yakni adanya situasi kehancuran, perpecahan, konflik, penderitaan, dll. Memang, situasi itu dapat dianalisa dengan berbagai disiplin ilmu, namun dalam kacamata religius, penyebab dari situasi perpecahan dan kekacauan itu adalah dosa. St. Paulus mengatakan bahwa upah yang dihasilkan adalah maut dan juga segala penderitaan di dunia ini. Dosa, pada umumnya dipandang sebagai keterpisahan manusia dengan Allah. Keterpisahan ini yang membuat manusia tidak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang baik, karena manusia terlepas dari sumber kedamaian sejati. Dari dirinya sendiri tidak ada kedamaian sehingga relasi dengan sesamanyapun juga terganggu.
Situasi yang demikian perlu untuk diperbaiki. Relasi denganAllah yang terputus karena dosa perlu dipulihkan. Syukurlah, Allah, melalui Tuhan Yesus Kristus menunjukkan kasih-Nya yang besar. Yesus sebagai Sakramen Hidup Allah menjadi satu-satunya pemulih relasi Allah dan manusia. Melalui Gereja-Nya (Gereja sebagai Sakramen Kebersamaan dengan Yesus Kristus), Tuhan Yesus berkenan mengumpulkan kembali manusia berdosa ke dalam pangkuan Allah. Dengan demikian sakramen rekonsiliasi sungguh menjadi karunia Allah yang diberikan kepada manusia agar manusia selalu berada dalam Kesatuan dengan Komunitas Kasih Bapa, Putera dan Roh Kudus.



II. DASAR TEOLOGIS, LITURGIS, DAN PASTORAL

A. Dasar Teologis

1. Dalam Kitab Suci
a. Kitab Suci Perjanjian Lama
Umat Perjanjian lama memandang Bahwa adanya bencana dan penderitaan adalah karena manusia berdosa kepada Allah. Situasi kedosaan itu selalu mempunyai konteks umat, yakni dosa seluruh bangsa, dan bukan dosa pribadi (Yer. 2:13.19) Untuk itu, mereka harus bertobat, yang ditandai dengan berbagai cara, yakni : berkumpul bersama dan mengadakan upacara-upacara kultis dan mengaku dosa (Ezr.9:13 ; Yeh 9:30-37), puasa (Neh. 19:1), dll. Pertobatan dipandang sebagai karunia Allah, karena Allah yang menganugerahkan hati yang murni dan semangat baru untuk bertobat (bdk. Mzm 51:12, Yer 31:33). Dalam Tradisi para nabi, yang terpenting dalam sikap tobat adalah pertobatan batin, pertobatan hati dan sikap hidup. Pertobatan batin inilah yang menggerakkan orang untuk mengubah hidup yang lama dan menjadi baru. Pertobatan perlu dinampakkan dalam sikap hidup yang baik dengan sesama, karena pada dasarnya dosa juga berdampak sosial. Seperti yang diwartakan oleh Yoel, “berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya” (Yoel 2: 12-14).

b. Kitab Suci Perjanjian Baru
Sejak awal, Tuhan Yesus selalu menyerukan pertobatan demi Kerajaan Allah. Dalam Mrk 1:15 dikatakan, “ Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Injil mencatat bahwa sikap tobat menjadi bagian integral dari seluruh pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah. Seluruh hidup, karya, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus merupakan peristiwa pendamaian, yakni kehendak Allah untuk merajai hati manusia sehingga manusia selalu hidup dalam kasih karunia Allah. Yesus Kristus adalah sakramen pengampunan dari Allah.
Sikap tobat tidak hanya merupakan suatu sikap yang hanya ada di dalam hati manusia. Pertobatan harus muncul dalam suatu perwujudan hidup yang dilandasi oleh iman akan belas kasih Allah kepada manusia berdosa. Sikap Tobat harus muncul dari iman yang mendalam akan Allah yang penuh kasih dan merupakan perwujudan dari iman. Dari Kis 26:20 nampak bahwa seluruh proses pertobatan tidak hanya berarti meninggalkan hidup lama, melainkan juga ada suatu pembaharuan hidup. Hidup manusia diubah oleh Kasih Allah. Pertobatan menghasilkan pengampunan, yang berdampak pada pemulihan relasi vertika dengan Allah dan berdampak horizontal atau sosial, yakni pulihnya relasi manusia-manusi dan alam sekitarnya. Gereja diberi kuasa untuk menyalurkan Rahmat pengampunan ini karena Gereja adalah Sakramen kebersamaan dengan Yesus Kristus, dan karena kuasa yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya (Mat 18;15-17).

2. Dalam Tradisi
Ada perkembangan paham tentang pertobatan dari waktu ke waktu. Pada zaman Patristik, berkembang pengakuan dosa publik. Pemahaman akan pertobatan dipandang sebagai usaha manusia untuk bebas dari pengadilan dan penghakiman Allah. Manusia bertobat karena didasari ketakutan akan neraka dan hukuman dosa.
Pemahaman tentang pertobatan ini mulai berubah dalam Konsili Trente (1551). Menurut Trente pertobatan atau rekonsiliasi adalah karunia pembenaran yang datang dari Allah. Dalam paham tentang pembenaran ini, tetap dituntut usaha dari manusia, yakni berupa keterbukaan hati untuk menerima rahmat Allah itu. Rumusan itu dikemukakan sebagai upaya melawan aliran Reformis yang berpandangan bahwa pertobatan itu semata-mata hanya karena rahmat pembenaran dari Allah dan bukan usaha manusia. Bahkan para reformator memandang keadaan manusia sebagai ‘’simul iustius et peccator’’ .
Praktek pertobatan itu juga mengalami perkembangan. Abad-abad pertama Gereja perdana, praktek pertobatan dilakukan secara publik untuk dosa berat seperti: murtad, zinah dan pembunuhan. Pendosa diampuni dosanya bila telah menjalani masa pertobatan yang panjang. Pengampunan hanya diberikan satu kali. Sedangkan pada abad III-IV, saat agama Kristen diakui sebagai agama resmi, sejumlah sinode lokal menghasilkan kanon-kanon mengenai praktek tobat yang kemudian disebut tobat kanonik. Tobat ini terdiri dari 3 tahap yaitu pengakuan, tobat dan absolusi. Dalam hal ini suasana yuridis mewarnai praktek tobat. Uskup mempunyai kedudukan yang istimewa, yakni sebagai hakim.
Pada abad VI-XI, praktek tobat juga berkembang. Ada 2 periode perkembangan praktek tobat. Pada periode I (sampai dengan abad VI), berkembang tobat kanonik yang hanya boleh diterima satu kali dan bersifat publik. Sedangkan pada periode periode II berkembang praktek yang bersifat privat dan boleh diterima berulang-ulang. Praktek ini berasal dari kebiasaan para rahib Irlandia dan berkembang menjadi sesuatu hal yang biasa sejak abad VI-XII.
Konsili Lateran IV terjadi pergeseran pemahaman mengenai semangat tobat dan makna tobat. Penerimaan Allah atas pendosa yang menjadi jiwa pertobatan dalam Gereja perdana disempitkan maknanya menjadi penyesalan dan absolusi. Kedua unsur ini dipahami sebagai yang esensial bagi pengampunan yang berdaya guna. Trente meratifikasi dan mengesahkan paham dan praktek sakramen tobat secara pribadi. Sakramen tobat diwarnai paham legalisme, sebagai pengadilan pribadi.
Konsili Vatikan II mengadakan pembaharuan atas ritus sakramental dan paham teologi sakramen tobat dengan jiwa dari kisah “anak yang hilang” (Luk 15;11-32). Allah digambarkan sebagai Bapak yang baik hati. Ia tidak mengadili dan menhghukum anaknya yang berdosa, tetapi merangkul dan memeluknya. Pertobatan lebih bertitik tolak dari kesadaran akan sikap dan tindakan Bapa terhadap kita, anaknya yang berdosa. Maka, sakramen tobat harus merupakan pengalaman akan belas kasih Allah kepada kita. Pemahaman yang baru ini menjadi motivasi umat dalam praktek pertobatan.
Teologi Konsili Vatikan II lebih menekankan pertobatan sebagai inisiatif Allah sendiri untuk merangkul manusia berdosa agar manusia kembali kepadanya. Allah ingin memulihkan relasi yang telah rusak akibat ketidaksetiaan manusia. Motivasi manusia bertobat adalah rasa cinta Allah kepada manusia, dan kesadaran bahwa Cinta Allah sendiri yang menggerakkan manusia untuk berdamai dengan-Nya.

B. Dasar Liturgis
Ada perkembangan yang mencolok dalam sejarah perkembangan sakramen tobat, yakni: model tobat publik menjadi tobat privat/pribadi yang masih dipraktekkan oleh Gereja sekarang. Namun, kuasa imam yang menerimakan sakramen tobat ini masih menjadi perdebatan dalam Gereja. Pada awalnya pengakuan dosa dilakukan di hadapan jemaat yang dipimpin oleh uskup dan diadakan pengakuan dosa publik . Pengakuan dosa publik itu memiliki masa tobat tertentu sesuai rekomendasi uskup sebagai wujud pertobatan (denda atas dosa: misalnya dengan puasa, amal kegiatan sosial lainnya, latihan rohani, doa, tidak melakukan hubungan suami-istri dsb). Masa tobat itu berakhir dengan upacara rekonsiliasi (biasanya pada hari Kamis Putih) sebagai tanda bahwa orang tersebut diterima kembali ke dalam pangkuan Gereja. Rekonsiliasi kembali dengan jemaat berarti juga rekonsiliasi dengan Tuhan sendiri.
Pada abad VI, pengakuan dosa publik berubah menjadi pengakuan dosa pribadi .Karena tobat publik hanya boleh dilakukan sekali saja seumur hidup, orang cenderung menggeser pelaksanaan tobat publik ini pada masa tua atau mendekati kematian. Lama kelamaan, praktek tobat publik menghilang dari kehidupan Gereja, karena hanya sedikit saja orang yang bersedia melaksanakannya. Praktik tobat pribadi mulai berkembang yang berasal dari para rahib mulai berkembang di Gereja barat. Praktek tobat itu cepat diterima oleh umat. Secara teologis-liturgis, ada pergeseran. Bila pada tobat publik, peran seluruh umat beriman begitu ditonjolkan, maka pada tobat pribadi peran imam sebagai bapa pengakuan menjadi lebih penting sementara peran seluruh umat beriman menghilang. Pada tahun 800, tobat pribadi sudah dipraktekkan di seluruh Gereja Barat, dan pada abad XIII tobat pribadi diterima dan diajarkan dengan resmi oleh Gereja melalui Konsili Lateran IV (1215).
Dari perkembangan praktek tobat publik menjadi tobat pribadi, memunculkan dampak yang sangat penting diperhatikan, yakni : Pertama, dari sisi unsur-unsurnya terdapat perbedaan antara tobat publik dan tobat pribadi. Pada tobat publik, unsur pentingnya adalah pelaksanaan wujud tobat dalam perbuatan denda dosa selama masa tobat. Sedangkan tobat pribadi unsur pentingnya adalah pengakuan dosanya. Kedua, kuasa imam dalam sakramen tobat menjadi masalah penting dalam Gereja masa kini. Para teolog Skolastik awal memikirkan bahwa absolusi imam dalam sakramen tobat bersifat deklaratif. Artinya rahmat Allah sendiri yang mengampuni dosa orang. Sementara absolusi imam hanya bersifat menyatakan secara eksplisit apa yang telah dikerjakan oleh Allah itu dan menyatakan bahwa orang itu seudah bersih dari dosa. Pendapat ini didukung oleh Yohanes Don Scotus. Menurutnya, yang terpenting dalam sakramen tobat adalah absolusi imam, sedangkan pengakuan dosa, penyesalan, dan penitensi hanyalah pengandaian saja bahwa orang sungguh sudah dibebaskan oleh Allah dari dosa dan hubungan itu telah didamaikan kembali.
Pada tanggal 2 Desember 1973, Konsili Vatikan II mengadakan suatu pembaharuan liturgi sakramen tobat yang sesuai semangat Konsili, dengan diterbitkannya dekrit “Reconciliationi Inter Deum” oleh Kongregasi Suci untuk Ibadat Ilahi. Dekrit itu berisi ritus baru sakramen tobat. Tatacara tobat yang baru mensyaratkan tiga tahap, yakni : Pertama, pewartaan sabda. Peran Kitab Suci sebagai sabda Allah dirasakan sangat penting untuk mengundang umat beriman kepada pertobatan. Kedua, peran aktif segenap umat beriman dalam merayakannya. Dalam hal ini, pemahaman umat mengenai sakramen tobat perlu diperdalam, khususnya pemahaman mengenai sesal,pengakuan,penitensi serta hakikat tobat. Ketiga, hakikat komunal dari sakramen tobat. Perlu ditekankan dimensi sakramen tobat sebagai perayaan bersama karena sakramen tobat hanya terlaksana karena dan dalam Gereja, paguyuban umat beriman. Sedangkan pola perayaan liturgi tobat yang disyaratkan menurut ritus baru, adalah 1) tatacara individual, 2) tatacara komunal dengan absolusi privat dan 3) tatacara komunal dengan absolusi umum. Kelompok mengambil pola yang kedua, yaitu tatacara komunal dengan absolusi privat.

C. Dasar Pastoral
Saat ini muncul suatu fenomena dimana umat mulai kurang menyambut baik penerimaan sakramen pengampunan dosa ini. Kenyataan makin sepinya kamar pengakuan dosa saat ini merupakan hal yang mulai dirasakan di Gereja Indonesia. Antrian panjang di depan pintu kamar pengakuan sudah tidak ada lagi. Hanya saat menjelang hari Natal atau Paskah, umat masih masuk ke dalam kamar pengakuan dosa. Secara umum, perayaan sakramen tobat makin berkurang peminatnya. Dalam sebuah penelitian yang dituliskannya dalam sebuah skripsi, Dwi Harsanto menyebut beberapa sebab munculnya gejala itu, diantaranya: Pertama, hilangnya kepekaan terhadap dosa. Kedua, pandangan baru mengenai manusia oleh perkembangan ilmu psikologi yang membuat manusia modern belajar untuk tidak mengkhawatirkan motivasi-motivasi kelemahan manusiawi. Sebaliknya mereka diajak untuk memanfaatkan dorongan-dorongan potensial yang dinamis itu bagi kebaikan. Ketiga, masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan hidup mendesak menjadi lebih penting dalam kesadaran manusia dewasa ini daripada masalah dosa pribadi. Faktor penyebab lainnya adalah semakin berkembangnya sekularisme, sikap imam yang kurang menghargai sakramen tobat, serta berkembangnya alternatif-alternatif baru dalam pembinaan rohani.
Konsili Vatikan II mengadakan pembaharuan sebagaimana termaktub dalam Ordo Paenitentia. Sakramen tobat dengan keempat unsur pembentuknya yakni sesal, pengakuan, silih dan absolusi adalah ungkapan kasih Bapa kepada pribadi anak yang hilang. Sakramen tobat tidak dipahami sebagai pengadilan dan hukuman yuridis.
Untuk semakin menyadarkan umat akan pentingnya sakramen tobat sekaligus membaharui motivasi umat perlu disadarkan kembali roh dari sakramen tobat sebagaimana yang menjadi semangat Konsili vatikan II, perlu diusahakan metode pastoral yang kreatif dan inovatif sehingga perayaan sakramen tobat menjadi relevan dan “kena” di hati umat masa kini. Perlu membuat katekese yang meluas dan menyeluruh mengenai dosa, pengakuan dan rekonsiliasi, disiplin tobat dan silih, hubungan sakramen tobat dengan sakramen baptis dan ekaristi,serta katekese mengenai liturgi sakramen tobat. Para gembala umat harus berani berinisiatif menyadarkan pentingnya sakramen rekonsiliasi ini bagi hidup beriman mereka. Dengan kata lain, usaha katekese dan pastoral bermuara pada pelaksanaan liturgi sakramen tobat yang harus direncanakan secara baru sesuai dengan semangat Ordo Paenitentiae.

III. STRUKTUR DASAR

A. Struktur Dasar Ibadat Tobat
Secara umum, struktur dasar dari Ibadat Tobat ini mempunyai empat unsur pokok, yakni Ritus Pembuka, Pewartaan Sabda, Tobat, dan Ritus Penutup.

1. Ritus Pembuka
Ritus pembuka berfungsi untuk mempersiapkan hati umat agar menyatu dengan misteri yang akan dirayakan. Ritus ini menghantar dan membantu umat dari peristiwa hidup sehari-hari ke dalam liturgy. Dengan demikian, umat diajak untuk sungguh mempersatukan hidupnya sehari-hari kepoada Tuhan dalam liturgi. Ritus Pembuka ini terdiri dari :

a. Lagu Pembukaan
Ada beberapa fungsi dari lagu pembukaan, diantaranya : Menandai bahwa perayaan akan segera dimulai, untuk mengiringi pemimpin ibadat, menghantar umat dari kehidupan sehari-hari masuk ke dalam suasana ibadat.

b. Tanda Salib
Tanda salib melambangkan kesatuan kita dengan Allah Tritunggal. Kita menyadari bahwa dalam ibadat yang kita rayakan, kita merayakan misteri keselamatan Allah yang memuncak dalam diri Yesus kristus. Dalam ibadat tobat digambarkan betapa Allah sungguh mengasihi dan merangkul kita orang berdosa agar kita mendapatkan keselamatan.

c.Salam
Salam selalu diungkapkan secara deklaratif, yakni suatu penegasan bahwa Allah senantiasa mengasihi dan menyertai kita. Syaloom dan kesatuan hidup umat terjadi karena peran serta Allah dalam hidup kita.

d.Pengantar
Pengantar yang diucapkan oleh pemimpin mau menyatakan mengapa kita sebagai umat beriman berkumpul di tempat itu. Juga diungkapkan tujuan dari peribadatan yang dilakukan. Hal ini penting agar umat mempunyai Kesatuan intentio, antar pemimpin dan umat yang hadir.

e.Doa Pembukaan
Doa pembuka secara bagus mempersipakan hati umat untuk memasuki bagian yang penting dalam ibadat itu, yakni mendengarkan sabda dan Tobat. Biasanya doa pembuka ini berciri Trinitaris.

2. Pewartaan Sabda
Sabda dari kata ‘dabar’ sabda yang penuh daya. Pewartaan sabda selalu memiliki tempat yang sentral, karena dalam Sabda diimani bahwa Allah hadir dan menyapa umatnya. Untuk itu, umat perlu mendengarkan Sabda.

a. Pembacaan sabda Allah
Pembacan Sabda mau melambangkan bahwa Allah sendirilah yang berfirman kepada umatnya. Untuk itu Lektor atau pemimpin ibadat harus mempersiapka diri dalam membacakan sabda karena yang dibaca sungguh-sungguh Sabda Allah. Pembacaan sabda ini berciri katabatis, dimana allah hadir dan menyatakan kehendak-Nya kepada manusia.

b. Homili
Homili merupakan kesempatan yang bagus bagi pemimpin untuk “ngonceki” sabda dan mengajarkannya kepada umat. Pemimpin perlu menggali sabda itu dengan mempersiapkan sungguh-sungguh. Hal terpenting yang dilakukan penghomili adalah mengyuraikan sabda sehingga umat sungguh mendapatkan kekuatan dari sabda itu. Adalah rugi jika penghomili tidak menyiapkannya secara baik dan sekedar sharing pribadi saja.

3. Tobat
Bagian Tobat diletakkan sesudah pewartaan sabda sebagai suatu tanggapan umat atas sabda Allah. Sabda Allah menyadarkan umat akan kebaikan allah, sehingga memunculkan sikap tobat dalam diri umat.

a. Pemeriksaan Batin
Bagian ini mengajak umat untuk menyadari secara sungguh betapa Allah tetap setia, namun manusia seringkali tidak setia. Dengan pemeriksaan batin, pemimpin mengajak umat untuk menyadari segala kesalahan dan dosa dengan bercermin pada Cinta kasih dan kesetiaan Allah. Maka dalam pemeriksaan batin diungkapkan juga kehendak Allah dalam Kitab Suci.

b.Peryataan Tobat
Pernyataan tobat merupakan sikap atau kesadaran umat bahwa selama ini mereka memutuskan hubungan dengan Allah dan hidup menurut kehendaknya sendiri. Umat mengungkapkan tobat itu dengan menyerukan doa tobat seraya memohon agar Allah berkenan mengasihi umat-Nya. Di samping itu, umat memohon agar diberi kemampuan untuk setia kepada Allah dan mencintai-Nya.

4. Ritus Penutup
Ritus penutup menjadi suatu ajakan dari umat untuk membawa penyesalan dan tobat itu menjadi nyata dalam hidup sehari-hari (tobat sempurna). Dengan demikian ritus penutup menjadi penghubung antara liturgi dengan hidup sehari-hari.

a. Doa Penutup
Doa penutup berfungsi mengantar umat dan sekaligus memberi kekuatan kepada umat untuk mampu mewujudkan pertobatan itu secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari.

b. Berkat Penutup
Berkat penutup diberikan sebagai kekuatan dan penyertaan Allah dalam diri umat agar mereka mamopu hidup dalam kasih dan relasi yang lebih mendalam dengan Allah dan sesama.

c. Lagu Penutup
Lagu penutup dinyanyikan untuk menandai berakhirnya ibadat sekaligus menhantar umat kembali ke dalam kehidupan sehari-hari.

(Setelah lagu selesai, umat dipersilakan untuk mengaku dosa secara pribadi kepada Imam di Kamar pengakuan)

B. Beberapa Unsur yang Diperhatikan Dalam Ibadat Tobat dan Dimensi Teologis yang terkandung di dalamnya.

1. Persiapan:
a. Disposisi Batin
Disposisi hati seseorang dalam ibadat berbeda-beda. Ada yang memang sudah siap dan berdidposisi baik, namun banyak juga orang yang mengikuti perayaan sakramen pengampunan dosa dengan disposisi atau sikap batin yang tidak siap. Orang kurang mempersiapkan diri dengan doa pribadi yang cukup atau dengan merenungkan Sabda Tuhan dalam Kitab Suci. Hal ini juga nampak dalam kedatangan mereka di Kapel, ada orang yang datang ngepas saat pengakuan dosa dimulai dan orang belum sempat berdoa.
Persiapan sebenarnya dilakukan sebelum ibadat tobat, dimana di rumah sudah ada intentio dan menyiapkan diri dengan doa. Banyak orang berangkat ke tempat ibadat tobat setelah sebelumnya sibuk mengikuti acara lain, misalnya sehabis pulang dari kantor, atau dari sekolah, dll. Biasanya orang yang demikian, hati dan pikirannya tidak tenang. Orang yang tidak mempersiapkan diri dan hati secara memadai, tidak mungkin dapat merayakan sakramen pengampunan dosa secara pantas dan mengalami pertobatan yang sempurna . Walaupun ibadat tobat dikemas dengan baik dan dipersiapkan dengan sungguh, namun apabila hati orang tidak siap, maka tidak akan menimbulkan pertobatan yang mendalam.
Ada beberapa motivasi orang datang dalam ibadat tobat, yakni :
Orang datang dengan motivasi kewajiban
Motivasi ini sangat dangkal. Orang dating karena merasa sebagai suatu kewajiban bagi oraang berima.paling dangkal. Kewajiban dipicu karenba takut dicap kurang aktif di Gereja atau karena disuruh oleh orang lain, misalnya, anak harus mengaku dosa karena disuruh orangtuanya; seorang ibu pergi mengaku dosa karena tidak enak terhadap umat lain. Kewajiban juga bisa muncul karena sikap takut akan hukuman dari Allah: Aku mengaku dosa karena tidak mau dihukum dan dimasukkan ke neraka.

Orang datang karena kebutuhan/kesadaran
Dalam tahap ini, orang mengaku dosa dan dating dalam ibadat tobat karena ia membutuhkan Tuhan. Untuk itu, ia perlu mengaku dosa dan menjalin relasi yang baik dengan Allah. Apalagi kalau orang tersebut sedang mempunyai masalah, maka ia kan mohon kekuatan dari Allah. Motivasi seperti ini bersifat egois, karena aku dating agar aku mendapatkan sesuatu.

Orang datang karena kerinduan
Kerinduan merupakan suatu motivasi yang lebih bernuansa religius yang dalam. Orang mempunyai kerinduan pada Allah sebagai sumber hidupnya, dan selalu ingin agar relasi dengan Tuhan itu tetap baik. Di samping itu, relasi dengan Allah mendasari relasi yang baik dengan sesama (bdk. Mzm 63:2,9). Kerinduan memiliki tujuan akhir pada persekutuan dan persatuan yang terjadi dalam perjumpaan. Kerinduan hanya menginginkan perjumpaan. Betapa hebatnya kalau orang berbondong-bondong mengaku dosa karena rindu pada Tuhan dan rindu pada kebersamaan umat beriman!

b. Persiapan Perayaan
Disposisi batin lebih menyangkut persiapan pribadi. Namun hal itu belum cukup. Karena liturgy merupakan perayaan bersama, maka persiapan perayaan menyangkut urusan bersama itu perlu juga dilakukan. Meskipun motivasi yang mendalam adalah kerinduan yang meluap pada Tuhan, tetapi kalau liturginya tidak dipersiapkan dengan baik, maka juga tidak akan mengesan dui hati umat.
Persiapan Para Petugas
Persipan dilakukan oleh semua orang yang terlibat, yakni :imam yang memimpin, para prodiakon, lektor, misdinar, koor, pemazmur, petugas doa umat, komentator (kalau ada), dan sebagainya. Mereka semua harus mengadakan persiapan yang memadai dan membangun kerjasama serta koordinasi yang baik. Perayaan sakramen pengampunan dosa dan ibadat tobat adalah perayaan iman bersama, maka kebersamaan itu harus diwujudkan juga di dalam persiapan dan kerjasama antar petugas.

Persiapan Tata Perayaan
Sebagai perayaan bersama, tim liturgi harus bekerjasama dengan pastor dan pemimpin ibadat untuk mengemas tata perayaan yang baik dan mengesan. Adalah salah kalau mempunyai anggapan bahwa tata perayaan dalam ibadat tobat adalah tanggungjawab pastor. Namun pandangan seperti ini masih banyak berkembang di antara umat.

Persiapan Sarana
Sarana-sarana harus dipersiapkan dengan baik oleh petugas, meliputi segala peralatan dan sarana yang digunakan dalam rangka perayaan tersebut. Urusan sarana adalah urusan tim dan tidak hanya urusan koster. Sarana tersebut harus dipersiapkan dengan lengkap, pantas dan indah. Lengkap dalam arti semua sarana yang akan digunakan ada. Pantas dalam arti alat-alat ang ada itu dalam keadaan baik dan pantas menurut fungsinya untuk dibawa ke hadapan Allah.

2. Gerak Menuju Pesta Perdamaian
a. Liturgi Sebagai Ruang Gerak Karya Roh Kudus (berciri Epiklesis)
Seluruh peristiwa perjumpaan antara Allah dan manusia yang berlangsung dalam liturgi terjadi dan terlaksana dalam Roh Kudus. Roh Kudus lah yang memampukan kita bertemu dengan Tuhan secara personal. Roh Kudus memampukan kita memasuki dan mengalami misteri dan tindakan penyelamatan Tuhan secara sakramental. Karena dan dalam Roh Kudus itulah, Gereja dapat mengambil bagian dalam penyerahan diri Kristus kepada Bapa. Dengan berpartisipasi dalam liturgi Trinitias itu, kita dimasukkan ke dalam komunitas kasih Trinitaris. Dalam arti inilah liturgi bersifat epiklesis.
Sifat epiklesis menjamin liturgi dari bahaya magis. Paham magis melihat pengudusan atau kekudusan datang dan berasal dari benda/barang atau rumusan doa itu sendiri. Liturgi Kristiani memandang pengudusan atau kekudusan orang/barang bukan berasal dari rumusan doa tertentu tetapi melulu berasal dari Allah. Buktinya, Roh Kuduslah yang dipanggil dan dimohon agar menguduskan orang atau barang itu.

b. Liturgi Sebagai Medan Partisipasi Umat Secara Sadar dan Aktif
Lama dalam sejarah liturgi Barat, umat beriman hanya menjadi penonton liturgi dan bukan sebagai subyek liturgi. Pelaku sentral dari liturgi adalah pastor. Umat teralienasi dari liturgi karena bahasa maupun paham teologis yang melatarbelakanginya. Tentu saja ini berlawanan dari pemahaman liturgi sebagai perayaan iman bersama, dimana umat sungguh-sungguh mengambil bagian dalam perayaan iman bersama itu.
Konsili Vatikan II mencoba untuk mengembalikan paham dasar tentang liturgi itu. Dalam dekrit Sacrosantum Consilium artikel 14, Konsili menegaskan kembali agar umat terlibat secara sadar dan aktif. Keterlibatan secara aktif menunjuk partisipasi umat yang sungguh-sungguh sebagai subyek liturgi dan bukan penonton saja. Mereka adalah bagian Gereja yang kini sedang berliturgi. Istilah aktif menunjuk makna keterlibatan umat yang total dalam liturgi. Partisipasi secara sadar menunjuk peran serta yang dlakukan dengan penuh pengertian dan pemahaman. Umat terlibat dengan tahu yang sedang dijalaninya. Umat memang harus dididik untuk mengerti liturgi secara benar dan baik Pembinaan liturgi bagi kaum beriman harus dilakukan dengan tekun dan sabar. Umat perlu memahami liturgi secara teologis, historis, tradisi, segi hidup rohani, pastoral, dan hukum, dll.

3. Puncak Pesta Perdamaian

a. Isi Perayaan
i. Liturgi Sebagai Perayaan Misteri Paskah Yesus Kristus
Inti dari setiap perayaan liturgi adalah mengenangkan misteri Paskah . Dengan liturgi, kita diajak berpartisipasi di dalam misteri tersebut dan mengalami persekutuan dengan Allah. Bersatu dengan Allah adalah kata lain dari keselamatan itu sendiri. Berperan serta dalam keselamatan Allah berarti mengalami kesatuan dengan Allah. Sejarah keselamatan Allah yang berlangsung dalam sejarah bertujuan agar manusia boleh mengalami persahabatan, persekutuan, dan kebersamaan dengan Allah. Puncak peristiwa keselamatan Allah itu terlaksana dalam Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Misteri Paskah menjadi isi pokok perayaan liturgi. Konsili tidak hanya hendak mengatakan bahwa puncak karya keselamatan Allah terjadi dalam Misteri Paskah Kristus, melainkan Misteri Paskah menjadi pusat seluruh liturgi Gereja. Tujuan karya keselamatan Allah adalah persahabatan dan kebersamaan yang tak terpisahkan dengan Allah. Dengan misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, manusia didamaikan kembali dengan Allah.

ii. Liturgi Sebagai Perayaan Seluruh Misteri Kristus
Di dalam liturgi, peristiwa dan pengalaman hidup keseharian kita mendapat tempat dan maknanya yang mendalam. Peristiwa hidup Yesus, justru mendapat maknanya dalam terang Paskah. Seluruh dinamika kehidupan Yesus itu mengalami puncaknya dalam peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus menjadi kunci untuk membaca dan menafsirkan seluruh hidup Yesus. Dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, seluruh hidup Yesus juga dihadirkan dan dirangkum.
Seluruh misteri hidup Yesus mengalami kepenuhan identitasnya justru dalam peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, hidup Yesus di masa lampau diteguhkan dan dibenarkan. Di satu pihak kita perlu melihat hidup Yesus sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, di lain pihak, kita harus mengakui bahwa dinamika hidup Yesus mengalami puncak ekspresi dan pelaksanaannya dalam peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Hidup kitapun juga bermakna jika menggabungkan dan menafsirkan hidup kita dalam kesatuan dengan misteri dalam liturgi yang kita rayakan.

b. Bentuk Perayaan
i. Liturgi Berciri Dialogis: Katabatis dan Anabatis
Liturgi memiliki ciri dialogis. Pertama-tama, Allah dalam Kristus memanggil, mengumpulkan dan memilih jemaat untuk menjadi Umat Allah dan memuliakan Allah. Inilah yang disebut dimensi katabatis. Segi katabatis ialah segi menurun (dari Alah ke manusia) atau segi pengudusan yang selalu terjadi sebagai karunia yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Jadi, isi dimensi katabatis ialah tawaran pengudusan atau penyelamatan Allah kepada manusia.
Terhadap tawaran pengudusan dan penyelamatan Allah itu manusia dalam kebersamaan sebagai jemaat ditantang untuk menanggapi dan menjawab. Tanggapan jemaat yang beribadah merupakan dimensi anabatis. Dimensi anabatis ialah segi menaik (dari manusia ke Allah) yang berupa penyembahan dan pemuliaan. Dalam segi anabatis ini manusia menghunjukkan sembah bakti dan pujian kepada Allah.
Ciri dialogis pertama, tama menunjuk pada dialog keselamatan antara Allah dan manusia. Pada tataran kedua, ciri dialogis dalam liturgi juga merangkum komunikasi antar jemaat. Namun, tidak tepat kalau pemahaman akan cirri dialogis ini hanya disempitkan dalam tuntutan doa dalam teks ibadat yang dibuat dan didoakan secara bergantian. Ciri dialogis dalam liturgi pertama-tama bersifat teologis, yakni dialog antara Allah dan manusia.

ii. Liturgi Berciri Anamnesis
Liturgi yang dirayakan juga berciri anamnesis. Kata “Anamnesis/anamnese” berasal dari kata Yunani yang berarti kenangan. Ide pokok anamnesis berakar pada tradisi biblis dari lingkungan ibadat Yahudi. Tradisi Yahudi memahami bahwa karya dan tindakan penyelamatan Allah di masa lampau kini dihadirkan secara nyata sekarang ini dan di sini (hic et nunc). Melalui penghadiran tindakan karya penyelamatan Allah dari masa lampau ke masa kini itu, tindakan Allah itu menjadi nyata dan hadir hic et nunc dan hadir dalam peryaan yang dirayakan jemaat. Tindakan Allah dan karya keselamatan Allah itu terus hadir dan bergerak menuju ke pemenuhan eskatologisnya. Anamnese selalu mencakup tiga dimensi waktu: lampau, kini dan masa depan.
Pemahaman akan Anamnese bukanlah suatu tindakan intelektual belaka, memoria, melainkan penghadiran secara subyektif, artinya real dan benar, hioc et nunc. Hal itu terjadi karena : pertama, tindakan Allah yang selalu berlaku ; kedua, iman jemaat, dan ketiga, Roh Kudus yang menghubungkan peristiwa keselamatan itu dengan jemaat
Dalam liturgi, misteri, sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus yang terjadi 2000 tahun yang lalu kini dihadirkan ‘hic et nunc’. Penghadiran kembali secara aktual dan nyata misteri itu bagi kita berkat kuasa Roh Kudus (lih. ciri epiklesis). Roh Kudus mempertemukan kita, umat beriman dengan Kristus dan seluruh tindakan penebusan-Nya. Di satu pihak, melalui pengenangan itu, peristiwa penebusan Kristus kini hadir bagi kita dan berdaya guna atau efektif kena pada kita. Misteri penebusan itu diterapkan pada kita. Di lain pihak, kita yang hidup pada zaman ini dimasukkan oleh daya Roh Kudus dalam peristiwa penebusan Kristus 2000 tahun yang lalu. Penghadiran peristiwa salib Kristus itu kini terlaksana secara sakramental, artinya dalam bentuk tanda.

iii. Liturgi Berciri Simbolis dan Anthropologis
Dialog perjumpaan Allah dan manusia yang berlangsung melalui Kristus dalam Roh Kudus itu dilaksanakan dalam rangka sejarah, dalam dimensi ruang dan waktu. Maka liturgi berstruktur antropologis dan simbolis. Perjumpaan kita dengan Allah dalam liturgi bukanlah perjumpaan dalam bentuk ilusi atau impian kosong, tetapi dalam bentuk simbol. Simbol mempunyai arti menandakan realitas di baliknya. Perjumpaan itu harus berlangsung dalam bentuk simbol karena realitas keselamatan yang kita rayakan itu masih terjadi “dalam cermin” dan belum dalam keadaan sebagaimana Allah sendiri mengalami dan juga karena semua tindakan manusia selalu terjadi dalam simbol.
Struktur simbolis liturgi terwujud dan tampak dalam aneka unsur liturgi. Aneka unsur liturgi merangkum hampir semua bentuk simbolisasi dalam kehidupan manusia. Kita memahami bahwa perjumpaan Allah dan manusia selalu berlangsung melalui dan di dalam pengalaman konkret sehari-hari. Itulah sebabnya liturgi merangkum dan menggunakan seluruh pengalaman konkret dalam kehidupan manusia sehari-hari, baik menyangkut diri manusia sendiri maupun segala sesuatu di luar dirinya. Liturgi bukanlah suatu peristiwa di luar kehidupan sehari-hari, tetapi menjadi bagian dalam kehidupan manusia sekaligus mengangkat dan memberi “arti imani” terhadap kehidupan kita sehari-hari.

c. Subyek Liturgi
i. Liturgi Sebagai Tindakan Bersama Antara Kristus dan Gereja
Liturgi dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus, yakni Kristus, Sang Kepala dan Gereja, Tubuh-Nya. Liturgi adalah tindakan Kristus sekaligus tindakan Gereja. Liturgi mencakup kristologi sekaligus eklesiologi. Dalam liturgi, Kristus bertindak melalui dan bersama Gereja, sekaligus dalam liturgi yang satu dan sama Gereja bertindak melalui dan bersama Kristus.

ii. Liturgi Sebagai Tindakan Kristus
Liturgi merupakan tindakan Kristus karena Kristuslah yang menjadi Imam Agung dan Pengantara kita. Namun dalam liturgi kita ini, Kristus bertindak melalui dan bersama Gereja. Kristus memimpin liturgi Gereja melalui kehadiran-Nya, baik melalui pribadi pelayan. Dalam liturgi, Kristus sebagai pemimpin utama bertindak dalam dan bersama Gereja.

iii. Liturgi Sebagai Tindakan Gereja
Gereja adalah subyek liturgi yang sungguh-sungguh. Gereja bukan bertindak sebagai wakil atau subyek tiruan dari Kristus. Dalam liturgi, Gereja mempersembahkan Kristus, Tuhan dan Kepalanya, kepada Allah dalam persatuan dengan Roh Kudus, sekaligus Gereja juga mempersembahkan dirinya sendiri bersama Kristus. pertama-tama Gereja mempersembahkan Yesus Kristus sebagai kurban persembahan sejati. Gereja itu meliputi semua orang beriman, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

d. Hasil Perayaan
i. Liturgi Sebagai Medan Karunia Penyelamatan Allah
Dengan liturgi umat beriman merayakan peristiwa penyelamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Umat beriman merayakan kelahiran baru sebagai manusia baru Dalam liturgi, kita merayakan yang telah ditentukan bagi kita. Maka liturgi merupakan medan dan saat, dalam mana kita merayakan identitas kita sebagai anak-anak Allah yang telah ditebus dengan darah Kristus. Dengan merayakan liturgi, umat beriman memperoleh dan menikmati karunia penyelamatan Allah itu. Karya penebusan yang terlaksana dalam Kristus itu kini dihadirkan dan diwujudkan ”melalui kurban dan sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup liturgis”. Baik dimensi katabatis (pengudusan manusia) maupun anabatis (segi pemuliaan Allah) akhirnya menghasilkan karunia penyelamatan kepada umat beriman.

ii. Liturgi Sebagai Medan Terbentuknya Communio
Dalam liturgi manusia dimasukkan ke dalam komunitas Allah sendiri. Manusia dimasukkan ke dalam hidup Allah yang berupa hubungan kasih antara Bapa, Putra dan Roh Kudus. Itulah keselamatan dan penebusan kita. Liturgi membangun koinonia atau communio yakni persekutuan.

4. Gerak Kembali ke dalam Hidup Sehari-hari
a. Liturgi Sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Kristiani
Liturgi sebagai medan perjumpaan Allah dan manusia. Dalam hidup sehari-hari dan dalam kegiatan hidup kita, sehari-hari kita selalu berjumpa dengan Allah. Allah selalu hadir dan menyertai kita dalam setiap kegiatan. Namun penyertaan dan kerhadiran Allah tidaklah begitu kita sadari dan akui dengan eksplisit. Baru dalam liturgi, penyertaan dan kehadiran Allah itu kita katakan, akui, nyatakan dan ungkapkan secara eksplisit. Liturgi bukan hanya menjadi medan pengungkapan iman, melainkan juga medan perjumpaan kita dengan Allah yang menganugerahkan keselamatan dan kekuatan bagi hidup kita sehari-hari.

b. Liturgi Sebagai Sebuah Perayaan Kehidupan
Manusia selalu bergantung kepada Allahh. Dapat dikatakan bahwa hidup berarti kebersamaan dengan Allah. Kebersamaan kita dengan Allah terlaksana dalam hidup sehari-hari. Dalam melaksanakan segala aktivitas kehidupan itu kita selalu berada dalam situasi kebersamaan dengan Allah. kebersamaan itu merangkum makna perjumpaan dan komunikasi. Dalam pemahaman seperti ini, yakni kebersamaan dengan Allah itu, perayaan liturgi menjadi perayaan kehidupan. Suka duka kehidupan yang kita alami sehari-hari dirayakan dan dimasukkan dalam perayaan liturgi sendiri. Liturgi bukan hal yang terpisah dari kehidupan itu sendiri. Ungkapan kebersamaan dengan Allah ini mesti berdaya transformasi dalam kehidupan keseharian sebagai medan perwujudan iman.

IV. LITURGI IBADAT TOBAT (ADVENT)

PEMBUKAAN

(Sesudah umat berkumpul, Pemimpin Ibadat memasuki ruangan dan menuju altar).

01. Lagu Pembukaan: Hanya Pada-Mu Tuhan (MB. 317)
(Sementara itu dinyanyikan lagu pembukaan. Setibanya di altar, Pemimpin Ibadat duduk menghadap umat).

02. Tanda Salib
(Sesudah lagu pembukaan selesai, membuat tanda salib, sementara Pemimpin Ibadat mengucapkan):
P : Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus
U : Amin

03.Salam
(Sesudah itu, Pemimpin Ibadat memberi salam lazim dalam Tradisi Gereja/Kitab Suci. Sambil membuka tangan, ia mengucapkan salam di bawah ini)

P : Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan dari PuteraNya Yesus Kristus beserta kita.
U : Sekarang dan selama-lamanya.

04. Pengantar
(Dengan singkat Pemimpin Ibadat memberi pengantar)
P : Bapak-ibu, saudara-saudari yang terkasih,
Allah Bapa kita senantiasa melimpahkan sesuatu yang baik kepada kita. Ia selalu setia terhadap janji-Nya. Kasih dan pendampingan-Nya setiap hari selalu kita rasakan. Allah Bapa kita akan sedih jika mendapati kita tidak setia dan jauh dari-Nya. Sungguh, kita semua sangat berharga di hadapan-Nya. Ia tidak ingin kita semua jatuh binasa karena dosa. Karena kebaikan dan cintaNya kepada kita orang berdosa ini, Ia berkenan mengutus Putera Tunggal-Nya ke dunia agar kita selamat dan kembali kepada-Nya.
Bapak-ibu dan saudara-saudari terkasih,
Kita berkumpul di sini (di kapel Rumah Sakit Elisabeth ) karena Allah sendiri berkenan menggerakkan hati kita masing-masing agar kita semakin menyadari segala kebaikan Tuhan itu. Kesadaran akan Cinta Kasih Allah inilah yang akhirnya membuat kita merasa tidak layak di hadapanNya. Namun, kita berani datang ke hadirat-Nya untuk mengakui segala kesalahan dan dosa kita serta ketidaksetiaan kita. Kita ingin memulihkan kembali relasi kita dengan Bapa.

05.Doa Pembukaan
(Pemimpin Ibadat dengan tangan terkatup berkata):

P : Marilah berdoa…
(Pemimpin Ibadat dan seluruh umat berdoa sejenak dalam hati, kemudian Pemimpin Ibadat merentangkan tangan dan mengucapkan doa pembukaan)

P: Allah Bapa kami,
Engkaulah pencipta surga dan bumi.
Bumi keuberikan kepada kami sebagai lingkungan hidup.
Surga kau-janjikan lewat kedatangan Putera-Mu di tengah-tengah kami.
Ampunilah segala kesalahan dan dosa kami, bila di dalam hidup keseharian kami
kami melupakan Dikau dan melanggar perintah-Mu.
Semoga karena rahmat-Mu, kami berpaling dari segala dosa, dan
dengan tulus menantikan kedatangan Yesus Kristus, Putera-Mu dan Pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dan dalam persekutuan dengan Roh Kudus
kini dan sepanjang segala masa.

SABDA

(Petugas berkata dalam hati):

P : Bimbinglah aku, ya Allah Yang Mahakuasa, supaya dapat mewartakan Injil suci dengan baik.

06. Bacaan Injil Lukas 19:1-10
(Pembacaan Injil diawali dengan seruan)
P : Tuhan sertamu.
U: Dan sertamu juga
P : Inilah Injil Yesus Kristus menurut Santo Lukas
U: Dimuliakanlah Tuhan

(Sementara itu Petugas membuat tanda salib pada Injil yang akan dibacakan; juga pada dahi, mulut dan dadanya; umat pun membuat tanda salib pada dahi, mulut dan dadanya).

Yesus masuk ke kota Yerikho__ dan berjalan terus melintasi kota itu.__Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya.__Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek.__Ia pun berlari mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang akan lewat di situ.__Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata kepadanya, "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu."___Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita.__Melihat hal itu, semua orang mulai bersungut-sungut, katanya, "Ia menumpang di rumah orang berdosa."__Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan, "Tuhan, lihatlah, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat."__Kata Yesus kepadanya, "Hari ini telah terjadi keselamatan kepada seisi rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham.___Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang."

(Sesudah pembacaan Injil selesai, Petugas menyerukan)
P : Demikianlah sabda Tuhan.
U : Terpujilah Kristus

07. Homili
(Kemudian diberikan homili)

Bapak/Ibu, saudara/i yang terkasih
Kalau melihat kecenderungan siaran TV saat ini, banyak diisi acara-acara yang bersifat infotainment seputar selebritis, seperti Hot Shot, Insert (Info Selebritis), Kiss (Kisah seputar selebritis), dll. Juga ditampilkan berbagai acara yang pada gilirannya mencetak public figur, seperti pada tayangan AFI (Akademi Fantasi Indosiar), KDI (Kontes dangdut TPI, dan juga Indonesian Idol. Semuanya menawarkan berbagai figur yang nantinya bisa dijadikan idola bagi pemirsanya. Banyak orang yang kemudian ingin meniru idola yang disukainya, bahkan ada yang sampai mengoleksi gambar atau barang-barang yang dikenakan oleh tokoh idola tersebut. Lebih bahagia lagi kalau bisa bertemu dan bisa berelasi dengan tokoh idolanya, betapa senangnya. Hidup sepertinya digerakkan oleh kecintaan pada orang yanag dikaguminya.

Bapak /ibu dan saudara/i yang terkasih,
Apa yang dialami dan dirasakan oleh banyak orang muda tadi, sepertinya sama dengan apa yang dialami oleh Zakheus. Zakheus begitu terpesona dengan Yesus, sehingga ia sungguh ingin tahu siapa Yesus itu ? Seperti apa dia itu ? Ketika bertemu dengan Dia, hidupnya sungguh berubah. Pribadi Yesus sungguh mengenai dan memasuki hati Zakheus yang terbuka sehingga muncul pertobatan sejati. Pertobatan Zakheus ini didorong oleh Pribadi Yesus yang hadir sebagai sahabat, tamu yang penuh kasih, pribadi istimewa yang memperhatikan dia yang oleh orang banyak dicap sebagai orang berdosa. Bahkan perjumpaan dengan Yesus menumbuhkan pertobatan yang nyata dalam hidupnya, yakni berani mengembalikan kepada orang yang pernah dirugikannya dua kali lipat dan empat kali lipat.
Bapak/ibu dan saudara/i yang terkasih,
Kitapun di masa Advent ini diajak untuk dengan rindu menyongsong Yesus sebagaimana yang dilakukan oleh Zakeus. Agar kita layak untuk menyambut dia, perlu keterbukaan hati untuk bertobat dan menyesali dosa-dosa kita. Kerinduan kita akan Allah yang mengasihi dan mengubah hati kita akan memampukan kita untuk hidup secara lebih layak bagi kedatangan-Nya. Semoga dengan pertobatan hati yang sejati, kitapun semakin layak untuk merayakan Natal nanti.
Semoga Roh Allah memampukan kita untuk menyesali dosa-dosa kita secara tulus hati, bukan karena ketakutan kita namun melulu karena menyadari betapa Kasih Allah sungguh besar dilimpahkan kepada kita. Terpujilah Allah selama-lamanya. Amin.

PERNYATAAN TOBAT

08. Pemeriksaan Batin (iringanmusik dari tape recorder dengan iringan kaset “kitaro”)
(Sementara Pemimpin Ibadat memutarkan kaset “Kitaro “, umat duduk dengan tenang dan rileks)

P : Bapak-ibu, saudara-saudari,
Marilah kita hening sejenak__ memeriksa batin kita dan menyadari kehadiran Allah.
Kita pejamkan mata sebentar. Sadarilah Bahwa saat ini, kita hadir di hadapan Allah.
Allah mencintai kita apa adanya. Ia menerima diri kita seutuhnya, kelebihan dan juga kekurangan kita.
Ia tidak memperhitungkan keadaan kita : apakah kita pandai atau bodoh, kaya atau miskin; bahkan yang berdosa di hadapanNya dipeluk dan dirangkul oleh-Nya.
Namun, kita sering tidak merasakan kasihNya itu karena kita terlalu sibuk dengan diri kita dan menutup mata terhadap karya dan kebaikan-Nya.
Mata hati kita buta, telinga kita tuli dan mulut kita bisu, sehingga kita tidak pernah mengucap syukur dan berterimakasih atas kehadiran-Nya.
Namun, Allah tidak berhenti mengasihi kita. Ia membuka hati kita dan menggerakkan kita sehingga kita semua berada di tempat ini dan berlutut di hadapanNya. Maka marilah sekarang kita hening sejenak dan meneliti batin kita:

P : Saudara-saudara sekalian,
Marilah kita menyadari segala kesalahan dan dosa kita
dengan bertolak dari Sabda Tuhan dalam Kitab Suci

A. Tuhan Bersabda : “Kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hati” (Mat 22:37)
1.Bagaimana sikapku terhadap Allah. Apakah aku mengarahkan hatiku kepada Allah, serta berusaha mencari kehendak Allah dan bukan menuruti kehendakku sendiri ? Apakah aku mencintai Allah dengan terus menerus setia kepadanya dalam hidup doaku, ketekunanku mendengarkan Sabda dan kesadaran serta keaktifanku merayakan perayaan sakramen ?
( hening sejenak… )

B. Tuhan bersabda, “Hendaklah kamu saling mengasihi” (Yoh 15:12)
1.Apakah aku sudah menerima diriku, menyadari kelebihan dan kekuranganku. Apakah aku menghormati orang lain sebagai pribadi yang juga dikasihi oleh Allah dan membangun sikap keterbukaan dengan sesama. Apakah aku juga dengan rela hati membantu orang lain dan memandang dia sebagai saudara dan sahabat dalam mengemban karya perutusan Allah di dunia ini?
(hening sejenak…… )

2.Bagaimana keterlibatanku terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarku. Apakah aku peduli dengan mereka yang lemah dan menderita, atau aku malah mengacuhkannya. Apakah aku berani bersaksi di tengah masyarakat dengan keaktifnku di lingkungan, kampung, lingkungan kerja, dll ? Apakah aku bisa menjadi garam dan terang di masyarakat? Apakah hidupku sudah mencerminkan kasih Allah sendiri, seperti Allah yang selalu mengasihi aku?
(hening sejenak…… )

Bapak-ibu, saudara-saudari yang terkasih,
Kita tahu bahwa diri kita ini lemah dan mudah jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu marilah dengan rendah hati kita mengakui segala kekurangan dan dosa di hadapan Allah dan sesama, agar kita layak menerima kasih dan pengampunan dari-Nya .

09.Peryataan Tobat (MB.98)
(Hening sejenak. Kemudian seluruh umat menyatakan pengakuannya)

P : Allah maharahim,
U: Aku menyesal atas dosa-dosaku ___ sebab patut aku Engkau hukum, __ terutama sebab aku telah menghina Engkau __ yang mahamurah dan mahabaik bagiku. __ Aku benci akan segala dosaku __ dan berjanji dengan pertolongan rahmatMu __ hendak memperbaiki hidupku __ dan tidak berbuat dosa lagi. __ Allah, ampunilah aku, orang berdosa.
P : Semoga Allah yang mahakuasa mengasihani kita,__ mengampuni dosa kita,__ dan mengantar kita ke hidup yang kekal.
U : Amin

PENUTUP

10. Doa Penutup
(Pemimpin Ibadat berkata sambil mengatupkan tangan)

P : Marilah berdoa…
(Pemimpin Ibadat merentangkan tangan dan mengucapkan doa penutup)
Allah Bapa kami, __
Terima kasih atas kehadiranMu yang telah menyadarkan kami,
betapa kami selama ini kurang setia dengan-Mu.
Engkau telah menciptakan terang untuk mengusir gelap gulita
yang menutupi hati kami.
Semoga keteladanan Zakheus mendorong kami
untuk selalu mencari kehendak-Mu di dalam hidup kami,
agar kami semakin setia kepada-Mu
dan semakin hari semakin siap menyongsong Putera-Mu, Cahaya dunia,
yakni Yesus Kristus Tuhan dan Pengantara kami,
U : Amin.

(Dengan tangan terkatup Pemimpin Ibadat mengajak umat menyanyikan Bapa Kami)
P : Atas petunjuk Penyelamat kita, dan menurut ajaran ilahi,
Maka beranilah kita berdoa :
P+U : Bapa kami …… (MB. 143)
(Pemimpin Ibadat merentangkan tangan dan bersama umat menyanyikan Bapa Kami)

11. Berkat Penutup
(Pemimpin Ibadat dengan tangan terentang menyapa umat)

P : Tuhan sertamu
U : Dan sertamu juga

(Lalu Pemimpin Ibadat mohon berkat Allah bagi seluruh umat)
P : Kita sekalian dituntun, dilindungi dan diberkati oleh Allah Yang Mahakuasa † Bapa, Putera dan Roh Kudus.
U : Amin

12. Lagu Penutup : Ya Tuhan (MB 321)
(Setelah lagu selesai, Komentator memberikan penutup berupa ajakan kepada umat untuk mengaku dosa)




SAKRAMEN REKONSILIASI ATAU TOBAT

Pendahuluan

Sebelum Konsili Vatikan II, umat sering mengaku dosa. Akan tetapi dewasa ini, ada gejala bahwa umat jarang pergi mengaku dosa. Seorang pastor pernah berkomentar begini, “Dewasa ini sedikit umat yang mengaku dosa, tetapi banyak yang menyambut komuni”. Komentar ini tentu mengandung nada keprihatinan. Kita tahu bahwa untuk menyambut komuni, umat beriman harus bersih dari dosa berat. Untuk bersih dari dosa berat, umat harus mengaku dosa. Agaknya umat merasa tidak berdosa, sehingga terus menyambut komuni. Pastor M. Scanlan berkata, “Dewasa ini kita lihat Sakramen Tobat telah jatuh ke dalam kesia-siaan yang semakin besar. Pentingnya sakramen ini secara umum tidak dilihat lagi, baik oleh imam maupun oleh umat”. Kita tahu bahwa Sakramen Tobat sebenarnya merupakan suatu kesempatan baik bagi umat untuk membicarakan masalah-masalah emosional dan rohani mereka pada seorang imam. Dalam Sakramen Tobat pun mereka dapat mengalami penyembuhan. Ironisnya, ketika sakramen ini dapat menjadi suatu bantuan besar bagi umat, sakramen ini diabaikan orang banyak.
Mengapa dewasa ini umat kurang menghargai Sakramen Tobat? Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebabnya:
1. Umat tidak lagi mengerti tentang konsep dosa.
2. Hilangnya pengakuan diri sebagai orang berdosa.
3. Karena tidak adanya penyembuhan sesudah pengakuan dosa. Banyak umat merasa tidak berguna mengaku dosa, karena Sakramen Tobat tidak membuat mereka bertobat sungguh dan tidak mengubah tingkah laku mereka. Mereka tetap saja jatuh dalam dosa.

1. Bagaimana Sakramen Ini Dinamakan?

Ada banyak nama yang disematkan kepada Sakramen Tobat. Dalam Katekismus Gereja Katolik tercantum beberapa nama untuk Sakramen Tobat, antara lain:
Sakramen Tobat, karena umat beriman melaksanakan secara sakramental panggilanYesus untuk bertobat (bdk. Mrk 1:15), untuk bangkit dan kembali kepada Bapa (bdk. Luk 15:18).
Sakramen Pemulihan, karena umat beriman menyatakan langkah pribadi dan gerejani demi pertobatan, penyesalan dan pemulihan warga Kristen yang berdosa.
Sakramen Pengakuan, karena penyampaian pengakuan dosa-dosa di depan imam merupakan unsur hakiki dari sakramen ini.
Sakramen Pengampunan, karena oleh absolusi imam, Kristus menganugerahkan secara sakramental kepada orang yang mengakukan dosanya ‘pengampunan dan kedamaian”.
Sakramen Perdamaian, karena Kristus memberikan cinta Allah yang mendamaikan: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor 5:20).

Dewasa ini, istilah ‘rekonsiliasi’ menjadi kata kunci untuk Sakramen Tobat. Sejak pembaharuan yang dilakukan oleh Konsili Vatikan II, nama ‘rekonsiliasi’ lebih sering dipakai, walaupun nama ‘Sakramen Tobat’ dan “Pengakuan Dosa’ masih tetap dipakai. Dokumen resmi Gereja sendiri biasa menyebut Sakramen Rekonsiliasi dengan ‘Sakramen Tobat” (SC 72).
Istilah rekonsiliasi menunjukkan arti rujuknya dua orang atau dua jemaat dengan menghilangan apa saja yang telah memisahkan mereka (bdk. Mat 5:23). Dalam Ef 2:14-18, Yesus disebut ‘damai’ yang tekah merobohkan tembok pemisah antara Yahudi dan bukan Yahudi dengan darah-Nya di salib. Ia telah membasmi perseteruan, sehingga kedua kelompok memiliki satu Roh, dan dalam Roh itu mereka mendekat kepada Bapa. Tetapi agar semua itu sungguh terjadi, umat beriman harus menanggapi sabda Allah, yang memang mengambil inisiatif, yakni memanggil kita dan yang dengan rahmat-Nya membuat pertobatan kita sungguh menjadi kenyataan. Kenyataan ini mengungkapkan bahwa rekonsiliasi menekankan pendekatan ganda, yaitu pendekatan ilahi dan pendekatan manusiawi. Pendekatan ilahi nampak bahwa Allah yang berinisiatif lebih dahulu menawarkan perdamaian kepada umat-Nya. Pendekatan manusiawi adalah tanggapan manusia terhadap tawaran Allah itu dengan sesal sungguh, berdamai dengan sesama dan berdamai dengan alam semesta.

2. Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat dalam Kitab Suci

a. Kitab Suci Perjanjian Lama

Kitab Suci Perjanjian Lama mengenal praktik pertobatan menurut segi ritual kultis maupun menurut aspek batiniah dan sikap hidup atau perbuatannya. Perjanjian Lama biasanya menghubungkan bencana dan penderitaan sebagai akibat dari dosa. Konteks dosa dan kesalahan itu pertama-tama adalah seluruh umat, bukan satu-persatu orang. “Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri.....Kejahatanmu akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau” (Yer 2:13.19). Kalau seluruh bangsa ingin kembali memiliki damai dan sejahtera, mereka harus bertobat. Pertobatan itu dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk tanda dan upacara kultis, seperti berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 9:13; Neh 9:36-37), berpuasa (Neh 9: 1; Yl 1:14), mengenakan kain kabung (Neh 9:1; Yl 1:13), duduk di atas abu atau menabur abu di atas kepala (Yer 6:26; Yun 3:6), menyampaikan korban bakaran (Im 16: 1-19), dan sebagainya. Namun dalam perwartaan para nabi yang ditekankan adalah tobat batin, pertobatan hati dan sikap hidup yang nampak dalam dimensi sosial. “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya ..... supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi yang lapar ........” (Yes 58:6-7; lihat juga Yun 2:12 Za 1:1-14).


b. Paham tobat dalam Perjanjian Baru

diungkapkan dengan tiga kata yaitu: 1. menyesal (Yunani: metamelomai), 2. membalik (epistrefo), 3. bertobat (metanoeo).
4. Menyesal dipakai hanya lima kali dalam Perjanjian Baru: Mat 21:30.32, 27:3; 2Kor 7:8; Ibr 7:21. Menyesal selalu berhubungan dengan perbuatan yang lampau. Orang merasa gagal, frustrasi, merasa kecewa dengan perbuatannya sendiri. Maka isi dari kata menyesal sebenarnya adalah negatif. Dan supaya sungguh menjadi tobat, maka perlu disusul oleh:
5. Membalik. Kata ini lebih sering dipakai, sebanyak 36 kali., dan sering mempunyai arti yang biasa, misalnya Mat 12: 44 (bdk. Luk 11:24), “Aku akan kembali ke rumah”. Sebab dasar kata itu berarti berputar, mengubah haluan. Tetapi kalau dihubungkan dengan Tuhan berarti sebagai arah hidup. Misalnya Mrk 4:12, “Supaya mereka jangan berbalik dan mendapat ampun”.
6. Kata bertobat seolah-olah merupakan tujuan dan puncak dari seluruh proses ini sebagaimana dengan paling jelas dikatakan dalam Mrk 1:15, “Bertobatlah dan percayalah pada Injil”. Kata ini paling umum dalam Perjanjian Baru, sebanyak 34 kali, ditambah 22 kata bendanya: metanoia).

Sejak awal karya publik-Nya, Yesus mewartakan perlunya pertobatan untuk menyambut kedatangan Kerajaan Allah. “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu” (Mrk 1:4). Dengan pertobatan itu, orang akan memperoleh pengampunan. Perjanjina Baru menghubungkan pengampunan dosa dengan soal penyembuhan. Hal ini nampak misalnya, dalam Mrk 2:1-12. Teks ini pertama-tama menceritakan tentang orang lumpuh yang mengalami kesembuhan dari Yesus. Yesus juga menganugerahkan pengampunan dosa. Dengan demikian penyembuhan bagi Yesus adalah penyembuhan secara keseluruhan, termasuk penyembuhan terhadap dosa yakni pengampunan dosa. Kedua, teks ini berbicara mengenai kuasa pengampunan yang dimiliki oleh Yesus. “Tetapi supaya kamu tahu bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” (Mrk 2:10).
Menurut Perjanjian Baru, kuasa untuk mengampuni dosa yang dimiliki oleh Yesus itu kini diberikan kepada Gereja. Yesus memberikan kuasa itu dalam diri Petrus (Mat 16:19) dan Gereja (Mat 18:18). Dalam Yoh 20: 22-23, Yesus memberikan kuasa untuk pengampunan dosa secara eskatologis kepada Gereja: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada”.
Proses pertobatan dalam jemaat tampak dalam Mat 18:15-18 dan teks Paulus (1Kor 5:1-13; bdk. 2Kor 2:5-11). Matius mengenal tahap-tahap bagaimana memperlakukan warga jemaat yang berdosa, hingga pada akhirnya: apakah dosanya dilepaskan (diampuni) atau ia dikucilkan dari jemaat karena dosanya tidak diampuni. Paulus menasihati agar jemaat mengasihani dan mengampuni warga jemaat yang berdosa agar ia diselamatkan (2Kor 2:5-11). Namun bila orang tetap bertahan dalam dosa, maka Paulus menyarankan untuk membuat eks-komunikasi: “Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu” (1Kor 5:13). Masalah pokok bagi Paulus di sini adalah masalah kekudusan seluruh Gereja yang dilukai oleh dosa warganya.

3. Sakramen Rekonsiliasi dalam Sejarah dan Ajaran Praksis Gereja

3.1. Rekonsiliasi Menurut Kebiasaan Patristik

Dalam kesaksian dari surat Klemens pada tahun 93-97 pertama kali diungkapkan model pertobatan dengan pengakuan dosa. Pada akhir abad II, dalam kesaksian Tertulianus disebutkan suatu pertobatan yang disebut pertobatan publik. Tobat publik ini dilakukan di hadapat uskup atau imam yang ditunjuk secara khusus untuk itu. Tobat hanya bisa dilaksanakan sekali saja seumur hidup. Kalau orang yang bersangkutan jatuh lagi ke dalam dosa berat, maka orang tersebut harus dikucilkan untuk selama-lamanya. Tobat publik mempunyai tahap sebagai berikut:
Pengakuan dosa publik dihadapan seorang uskup atau imam yang ditunjuk untuk pengakuan. Yang dimaksud dengan dosa publik adalah dosa yang dilakukan berhubungan dengan publik, diketahui oleh publik dan menjadi batu sandungan. Dosa-dosa publik itu antara lain: pembunuhan, penganiayaan, murtad (semasa penganiayaan), berzinah, mencuri dan laian-lain. Lewat kotbah-kotbah tentang tobat, pendosa diundang ke pertobatan, dan kalau ia sungguh bertobat berarti ia rela menyerahkan diri kepada pertobatan publik. Sesudah pengakuan uskup menumpangkan tangan pada orang yang bertobat itu. Sesudah itu orang yang bertobat itu mendapat tempat khusus dan diberikan pakaian khusus (kulit kambing). Pemberian tempat dan pakaian khusus ini memperlihatkan bahwa ia terpisah dari jemaat Kristus.
Setelah mengakukan dosa, pentobat masuk ke masa tobat. Masa tobat ini berlangsung selama beberapa tahun sesuai dengan denda dosa yang diberikan oleh uskup atau imam. Selama masa pertobatan ini, orang tersebut:
Tidak boleh ikut dalam ibadat umat, khususnya dalam perayaan ekaristi. Ia diperlakukan sama dengan calon permandian (katekumen).
Ia wajib melakukan wujud pertobatan (semacam denda dosa), seperti berpuasa, beramal, banyak latihan rohani dan berdoa, memberikan sedekah kepada fakir miskin, tidak melakukan hubungan suami-isteri, dan lain sebagainya.
Upacara rekonsiliasi, diadakan setelah masa tobat itu selesai dan denda dosanya telah dilaksanakan. Upacara rekonsiliasi atau penerimaan kembali pentobat ke dalam Gereja biasanya dilaksanakan pada hari Kamis Putih. Upacara itu ditandai dengan penumpangan tangan oleh uskup yang memohon pengampunan dosa berkat karunia Roh Kudus atas diri orang yang berdosa tersebut. Rekonsiliasi kembali dengan jemaat berarti juga rekonsiliasi dengan Tuhan.

a. Dari Tobat Publik ke Tobat Pribadi

Mulai akhir abad VI, rahib-rahib dari Irlandia dan Skotlandia, datang sebagai misionaris ke Eropa. Mereka membawa suatu perayaan tobat yang lain sama sekali. Praktik ini dengan cepat berkembang dan diterima oleh umat. Alasannya adalah praktik tobat terasa lebih ringan dan mudah, yakni dapat dilakukan berulang-ulang dan dilakukan secara pribadi di hadapan seorang imam. Secara teologis-liturgis, ada pengeseran. Pada tobat publik peran umat beriman begitu jelas, sedangkan dalam pengakuan pribadi peran imam sebagai bapa pengakuan menjadi lebih penting. Dari unsur-unsurnya, pada tobat publik unsur penting adalah pelaksanaan wujud tobat dalam perbuatan-perbuatan denda dosa selama masa tobat. Dalam tobat pribadi, unsur penting adalah pengakuan dosa. Dalam rangka tobat pribadi ini, pada abad pertengahan muncul suatu daftar atau tarif denda dosa dalam sebuah buku.
Pada mulanya susunan susunan tobat pribadi masih menggunakan tahap-tahap seperti tobat publik, meskipun sudah berbeda, yakni dilakukan di hadapan seorang imam saja. Mula-mula susunan tobat pribadi itu sebagai berikut: pengakuan dosa di hadapan imam, lalu masa tobat untuk menjalankan denda dosa, dan akhirnya absolusi dari imam menandakan rekonsiliasi. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perubahan, yakni absolusi diberikan langsung setelah pengakuan. Perubahan ini terjadi karena banyak umat setelah mengaku tidak datang lagi untuk menerima absolusi.
Tobat pribadi pada mulanya ditentang secara resmi oleh Gereja, misalnya oleh sinode di Toledo pada tahun 589. Pada pembaharuan Karol Agung abad VIII ada usaha kompromi, yakni tobat pribadi untuk dosa pribadi dan tobat publik untuk dosa-dosa publik. Akhirnya pada akhir abad XIII, tobat pribadi diterima dan diajarkan secara resmi oleh Gereja melalui Konsili Lateran IV (1215).

3.3. Teologi Skolastik Mengenai Sakramen Tobat

Sakramen Tobat pada zaman Skolastik masuk sebagai salah satu ketujuh sakramen. Petrus Lombardus adalah salah satu tokoh Skolastik awal yang merefleksikan secara teologis praksis tobat pribadi. Tekanan teologi Skolastik mengenai Sakramen Tobat adalah ciri pengadilan dari Sakramen Tobat. Maka saol pokok yang didiskusikan adalah masalah kuasa imam untuk memberikan absolusi atau pelepasan dari dosa. Persoalan mengenai kuasa imam untuk memberikan absolusi ini berkaitan dengan masalah kapan dan bagaimana Allah mengampuni dosa, lalu di mana kedudukan pernyataan absolusi imam itu. Teolog awal menyatakan bahwa absolusi imam itu bersifat deklaratif. Artinya, Allah sendirilah yang mengampuni dosa. Menurut Thomas Aquinas, absolusi bersifat kausatif, yaitu ikut menyebabkan turunnya rahmat pengampunan. Menurut Thomas Aquinas pengampunan dari Allah itu berdaya dan efektif karena interaksi antara pertobatan orang berdosa dan absolusi yang dinyatakan oleh imam.

b. Ajaran Resmi Gereja Pada Abad Pertengahan Mengenai Sakramen Tobat
Konsili Lateran IV (1215) mewajibkan semua umat beriman untuk mengaku dosa di hadapan imam sedikitnya sekali setahun dan berusaha melaksanakan penitensi. Konsili Forenz memandang tindakan peniten (penyesalan, pengakuan, dan melaksanakan penitensi) sebagai semacam materia Sakramen Tobat, sedangkan formanya adalah kata-kata absolusi dari imam. Konsili Trente (1551) menegaskan ajaran Gereja menghadapi gerakan Gereja Reformasi. Luther menolak tobat sebagai sebuah sakramen.

Beberapa pokok ajaran Trente:
Sakramen Tobat ditetapkan oleh Yesus sendiri dan dapat diulang.
Gereja mempunyai kuasa untuk melepaskan dan mengampuni dosa.
Pengakuan sakramental di hadapan imam sesuai dengan perintah Kristus dan ditetapkan oleh hukum ilahi.
Menurut hukum ilahi, pengakuan pribadi atas dosa berat adalah keharusan.
Semua orang Kristiani wajib mengaku dosa setahun sekali.
Absolusi sakramental imam merupakan tindakan penghakiman yang berdaya guna dan bukan sekadar pernyataan yang bersifat nasihat.
Hanya imam, juga kalau ia berdosa berat, yang mempunyai kuasa untuk mengikat dan melepaskan dosa.

3.5. Pembaharuan Konsili Vatikan II

Pada pertengahan pertama abad XX terjadi gerakan pembaharuan teologi dan liturgi. Perubahan ini juga berdampak pada Sakramen Tobat, di mana Sakramen Tobat direnungkan kembali. Konsili Vatikan II meninjau kembali Sakramen Tobat. Pertama-tama konsili memakai kembali istilah ‘Sakramen Tobat’ (SC 72). Sebab yang terpenting memang tobat dan “orang berimann yang bertobat” (LG 28). Hubungan dengan Gereja atau ciri ekklesial ditekankan. “Mereka yang menerima Sakramen Tobat memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja” (LG 11). Pada buku Pedoman Tata Perayaan Tobat (Ordo Paenitentiae tahun 1973) ciri eklesial itu ditampakan dalam kata-kata absolusi: “Melalui pelayanan Gereja, Ia menganugerahkan kepada Saudara pengampunan dan damai”.
Ordo Paenitentia menyarankan adanya suatu perayaan atau ibadat tobat yang dibedakan dengan perayaan Sakramen Tobat yang dilakukan dalam pengakuan pribadi. Ada tiga kemungkinan perayaan Sakramen Tobat/Rekonsiliasi yang disampaikan oleh Ordo Paenitentia:
Tata Perayaan Rekonsiliasi Pribadi/Perorangan
Tata Perayaan Rekonsiliasi beberapa orang dan dilanjutkan pengakuan dan absolusi pribadi (ibadat tobat dan dilanjutkan pengakuan pribadi)
Tata Perayaan Rekonsiliasi jemaat dengan pengakuan dan absolusi umum. Untuk memberikan absolusi umum, imam harus mendapat izin dari uskup. Absolusi umum dapat diberikan pada saat:
Dalam bahaya maut, misalnya kapal mau karam
Jumlah peniten banyak dan tidak cukup banyak bapa pengakuan







7. Dasar Teologis Sakramen Rekonsliasi atau Tobat

4.1. Rekonsiliasi dengan Allah

Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat pertama-tama mendamaikan manusia dengan Allah. Perdamaian dengan Allah berarti terjalinnya kembali hubungan kita manusia dengan Allah. Di sini dosa pertama-tama harus dipahami secara relasional. Dosa itu mengakibatkan renggang atau terputusnya hubungan manusia dengan Allah. Perdamaian ini adalah tawar rahmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Melalui Yesus, Allah telah mendamaikan kita umat-Nya (Rom 5:6.8-10). Hanya Tuhan Yesus yang dapat mengampuni dosa. (bdk. Mrk 2:7). “.......Bahwa di dunia Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa” (Mrk 2:10). Ia melaksanakan kuasa ilahi ini: “Dosamu sudah diampunni” (Mrk 2:5). Berkat otoritas ilahi-Nya, Kristus memberikan kuasa ini kepada Gereja (Bdk. Yoh 20:21-23), supaya Gereja pun melaksanakannya atas nama-Nya. Kristus menghendaki bahwa Gereja secara keseluruhan dalam doanya, dalam kehidupannya dan dalam kegiatannya menjadi tanda dan alat pengampunan serta perdamaian yang telah Ia peroleh dengan harga darah-Nya.

4.2. Rekonsiliasi dengan Gereja

Dosa yang dilakukan oleh umat beriman tidak hanya merusak hubungannya dengan Allah tetapi juga merusak hubungannya dengan Gereja. Oleh sebab itu Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat juga berdaya mendamaikan kembali hubungan umat beriman dengan Gereja. Paulus memberikan gambaran yang baik mengenai Gereja, yaitu Gereja sebagai satu tubuh (1Kor 12:12-31). Jika salah satu anggota tubuh itu sakit maka seluruh tubuh merasakannya. Demikian pula dosa yang dilakukan oleh seorang dapat merusak seluruh jalinan kehidupan Gereja.
Selama hidup-Nya di muka umum , Yesus tidak hanya mengampuni dosa, tetapi menunjukkan juga akibat dari pengampunan. Ia menggabungkan lagi para pendosa yang telah diampuni-Nya ke dalam persekutuan Umat Allah. Satu tanda yang sangat terkenal untuk itu ialah Yesus mengundang para pendosa ke meja-Nya, malahan Ia sendiri duduk di meja mereka. Suatu tindakan yang mengesankan dan sekaligus menyatakan pengampunan oleh Allah (bdk. Luk 15) dan pengembalian ke dalam pangkuan Umat Allah (bdk. Lus 19:9).
Yesus sendiri memberikan kepada para Rasul kuasa-Nya untuk mengampuni dosa. Ia juga memberi kepada mereka otoritas untuk mendamaikan para pendosa dengan Gereja. Aspek gerejani dari tugas ini terutama kelihatan dalam perkataan meriah Kristus kepada Simon Petrus: “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan surga; apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga, dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (Mat 16:19). Jelaslah, bahwa “tugas mengikat dan melepaskan, yang diserahkan kepada Petrus, ternyata diberikan juga kepada Dewan para Rasul dalam persekutuan dengan kepalanya” (LG 22). Oleh sebab itu uskup atau imam (yang mengambil bagian dari kuasa uskup) yang mendengarkan dan memberikan absolusi sungguh mewakili seluruh Gereja untuk menerima para pendosa.

4.3. Rekonsiliasi dengan Mahkluk dan Alam Lingkungan

Dosa juga merusak tata hubungan kita dengan semua mahkluk dan seluruh alam lingkungan. Paulus menunjukan bahwa kita sebenarnya bersekutu dengan semua mahkluk (Rm 8:19-22). Pada zaman ini semua mahkluk “sama-sama mengeluh dan sama-sama sakit bersalin” (Rom 8:22). Semua mahkluk dan lingkungan saat ini mengeluh karena keserakahan manusia yang menguras dan mengeksploitasi sumber-sumber alam lingkungan. Alam yang rusak mengakibatkan terganggungnya ekosistem yang ada dan menghancurkan juga mahkluk yang ada dalam ekosistem tersebut. Alam lingkungan rusak karena dosa manusia. Oleh karena itu pertobatan manusia mestinya berdampak juga kepada pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup serta pemeliharaan habitat mahkluk hidup yang ada. Ada baiknya pertobatan itu diwujudkan dengan sikap ramah pada lingkungan dan sayang pada mahkluk hidup di sekitar lingkungan kita.

4.4. Pengampunan Dosa dan Pembaharuan Hidup

Kristus telah mengadakan Sakramen Tobat untuk anggota-anggota Gereja-Nya yang berdosa, terutama bagi mereka yang jatuh ke dalam dosa berat. Sakramen Tobat memberi kepada mereka kemungkinan baru, supaya pendosa bertobat dan mendapat kembali rahmat pembenaran. Sakramen ini menganugerahkan Roh Kudus sebagai pengampunan dosa dan kekuatan untuk pembaharuan hidup. Maka dalam rumusan absolusi dikatakan: “Allah Bapa.......telah mengutus Roh Kudus bagi pengampunan dosa”. Roh Kudus memberikan daya bagi orang yang bertobat untuk membaharui hidupnya. Tujuan pembaharuan hidup setelah pertobatan adalah menjadi serupa dengan Kristus dalam seluruh hidup, sabda dan nasib-Nya (bdk. Rom 8:29). Roh Kudus menjadi daya kekuatan bagi kita untuk membangun kehidupan baru, di mana kita dari hari ke hari semakin bisa sepikiran dan seperasaan dengan Yesus Kristus (Flp 2:5-11).

8. Unsur-unsur Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat

Sesal
Sikap yang paling penting dari seorang pentobat adalah sesal, yakni penyesalan yang tulus dan berpaling dari dosa yang telah dilakukan, disertai niat untuk tidak berdosa lagi. Surat Paulus VI memperluas dan memperdalam makna sesal. Perspektif yang lebih luas ini ada dalam kerangka hidup Kristen sebagai keseluruhan. “Kita hanya dapat menghampiri Kerajaan Kristus lewat metanoia, yakni lewat perubahan mendalam di dalam pribadi manusiawi kita secara utuh (totius hominis mutatione), dan dalam pertobatan itu kita mulai meneliti serta memeriksa hidup kita, lalu berusaha menatanya kembali”. Kesungguhan tobat ini tergantung pada sesal yang tulus itu. Karena pertobatan itu harus mempengaruhi orang dari dalam, sehingga dapat sungguh menerangi dia dan membuatnya sedikit demi sedikit makin serupa dengan Kristus.

Pengakuan
Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat mencakup pengakuan atas dosa-dosa sebagai kelanjutan dari pemeriksaan batin secara jujur di hadapan Allah dan dari penyesalan atas dosa-dosa. Pada masa Tertulianus pengakuan kesalahan dikenal sebagai exomologesis yang berarti lebih merupakan pengakuan umum dari pada rincian dosa-dosa. Kata itu mencakup tindakan ibadat, pengakuan akan kekudusan Allah dan apa yang Dia minta dari kita. Perayaan tobat agaknya melihat kembali tradisi ini, “pemeriksaan batin dan pengakuan verbal harus dilakukan dalam terang kerahiman Allah yang pengasih dan penyayang”. Pengakuan merupakan ungkapan dari keadaan kita seperti apa adanya di hadapan Allah, juga ungkapan sesal yang terkandung di dalam hati kita.
Pengakuan adalah bagian dari tanda-sakramental dan bukan sekadar pernyataan teologis. Pengakuan mengungkapkan kebutuhan manusia yang mendalam. Kita dapat dan sungguh menyesal dalam hati atas dosa-dosa kita, tetapi kita juga merasa perlu mengungkapkannya melalui kata-kata atau melalui tindakan lahiriah lain. Suatu permintaan maaf yang tidak diungkapkan secara lahiriah bukanlah permintaan maaf yang tulus.

Penitensi
Pertobatan sejati digenapi dengan pelaksanaan penitensi atau denda atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Banyak dosa menyebabkan kerugian bagi sesama. Orang harus sedapat mungkin mengganti rugi, umpamanya mengembalikan barang yang dicuri, memperbaiki nama baik orang yang difitnah, memberi silih untuk penghinaan dan lain-lain. Keadilan sendiri sudah menuntut ini. Tetapi di samping itu dosa melukai dan melemahkan pendosa sendiri, demikian pula hubungannya dengan Allah dan dengan sesama. Absolusi menghapuskan dosa, namun tidak mengatasi semua ketidakadilan yang disebabkan oleh dosa. Setelah pendosa mengangkat diri dari dosa, ia harus mendapat kesehatan rohani yang penuh. Ia harus “membuat silih” untuk dosa-dosanya, harus memperbaiki kesalahan atas suatu cara yang cocok.
Dalam pandangan ini, ‘penitensi’ merupakan jembatan antara sakramen dan kehidupan sehari-hari. Pandangan ini sepenuhnya sesuai dengan ajaran Paulus VI dalan suratnya Paenitemini:

“Mengikuti Sang Guru, setiap orang kristen harus menyangkal diri, memanggul salibnya, dan ambil bagian dalam penderitaan Kristus. Dengan demikian ia diubah menjadi mirip dengan Kristus yang wafat, dan ia dapat merenungkan kemuliaan kebangkitan. Dengan mengikuti Sang Guru, ia dapat hidup bukan lagi untuk dirinya sendiri tetapi bagi Dia yang mencintai dia dan telah menyerahkan diri untuk dia. Ia akan hidup bagi saudara-saudaranya......”.

Hal ini meliputi pertama-tama pengalaman tugas sehari-hari dengan setia dan menerima segala kesulitan dalam pekerjaan serta hidup sehari-hari. ‘Hidup untuk saudara’ berarti melayani sesama dan dalam cakrawala ini, penitensi memiliki dimensi baru. Inilah yang disebut dengan ‘dimensi sosial Sakramen Tobat’.
Penitensi yang diberikan bapa pengakuan harus memperhatikan keadaan pribadi peniten dan melayani kepentingan rohaninya. Sejauh mungkin harus sesuai dengan berat dan kodrat dosa yang dilakukannya. Penitensi bukan semacam hukumam sehingga membuat umat beriman takut terhadap sakramen ini. Penitensi dapat berupa doa, derma, karya amal, pelayanan terhadap sesama, pantang secara sukarela, berkorban, dan terutama dalam menerima salib dengan sabar.

Absolusi
Absolusi adalah tanda kesediaan Allah dan Gereja mengampuni dosa peniten yang menyatakan pertobatan kepada pelayana Gereja, dan dengan demikian sakramen digenapkan. Di satu sisi absolusi adalah tanda jawaban Allah atas permohonan peniten yang mendambakan pengampunan dosa-dosanya. Di sisi lain absolusi merupakan tanda kesediaan Gereja untuk memohonkan rahmat pengampunan dari Allah.
Kata-kata absolusi imam terutama mengungkapkan pelayanan hierarki, yang ambil bagian dalam kuasa pengampunan Allah yang dilimpahkan kepada Gereja, sedangkan pengampunan datang dari Allah sendiri.

9. Pelaku Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat

Pemimpin Ibadat
Pemimpin ibadat adalah pelayan yang mempersiapkan penerimaan Sakramen Tobat dalam ibadat tobat. Pemimpin ibadat ini dapat imam, diakon atau awam (prodiakon).

Bapa Pengakuan
Bapa pengakuan adalah uskup dan imam yang diberi wewenang untuk mendengarkan pengakuan peniten dan menerimakan absolusi dari Allah. Ia menjadi saksi dan pendukung pertobatan peniten, dan telah disumpah untuk memegang rahasia pengakuan. Bapa pengakuan tidak hanya mendengarkan pengakuan dan ‘menilai’ keadaan si pentobat dalam cara yang serba manusiawi. Bapa pengakuan adalah pelayan pertobatan. Ia melaksanakan ini tidak hanya dalam sakramen, ia harus mewartakan dan memanggil umat beriman untuk bertobat.
Seorang bapa pengakuan haruslah mempunyai pengetahuan yang cukup yang diperoleh melalui studi. Pengetahuan ini digunakan dengan bijaksana di bawah bimbingan Gereja dan Roh Kudus. Hendaknya ia senantiasa berdoa mohon penerangan Roh Kudus agar ia dapat membeda-bedakan roh dan dapat memberikan obat yang baik bagi peniten. Lebih dari itu, bapa pengakuan yang disebut seorang ‘bapa’ menunjukan atau mengambarkan Kristus sendiri. Setiap peniten yang datang kepadanya ia harus mengungkapkan ‘hati Bapa’ yang siap mengampuni. Bapa pengakuan adalah tanda kasih Bapa yang ditunjukkan dalam diri Putera yang dalam kerahiman-Nya menghadirkan karya penebusan, dan dengan kuasa-Nya hadir dalam sakramen-sakramen.

Peniten
Peniten adalah umat beriman yang telah melakukan dosa, namun menyesali dosa-dosanya, bertobat, dan mohon pengampunan. Yang penting dari peniten adalah tobat sungguh dan mau merubah hidupnya agar semakin serupa dengan Kristus. Lewat tindakannya peniten memainkan perannya dalam Sakramen Tobat. Bersama imam, peniten merayakan liturgi Gereja dan terus menerus membaharui dirinya. Pembaharuan peniten ini adalah bagian dari pembaharuan tanpa henti dari Gereja sendiri.

10. Masalah Pastoral dan Solusinya

Pada bagian pendahuluan penulis telah menuliskan bahwa dewasa ini Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat sudah kehilangan daya tariknya. Banyak umat yang tidak mengakuan dosa-dosanya. Hal ini disebab oleh:
Umat tidak lagi mengerti tentang konsep dosa. Hal ini disebabkan dalam homili/kotbah dan ajaran Gereja, terlalu menekankan sikap kasih dan kurang memberikan penekanan pada rasa bersalah dan berdosa. Maka dalam pengajaran dan homili/kotbah hendaknya ada keseimbangan penekanan antara sikap kasih dan rasa berdosa.
Hilangnya pengakuan diri sebagai orang berdosa. Hal ini disebabkan oleh kemajuan cara berpikir dan pendidikan yang tinggi. Orang semakin menjadi rasional dan dalam arti tertentu mudah kehilangan rasa berdosa, sebab orang dapat membuat rasionalisasi perbuatannya.
Karena tidak adanya penyembuhan sesudah pengakuan dosa. Banyak umat merasa tidak berguna mengaku dosa, karena Sakramen Tobat tidak membuat mereka bertobat sungguh dan tidak mengubah tingkah laku mereka. Mereka tetap saja jatuh ke dalam dosa. Oleh sebab itu dalam katekese hendaknya ditekankan bahwa sakramen ini sebenarnya mempunyai daya penyembuhan. Bahwa Allah mau umat-Nya sembuh jiwa dan raganya. Maka baik dalam tata perayaan Sakramen Tobat di tambah semacam doa penyembuhan.
Bagi beberapa umat, bentuk Sakramen Tobat yang pribadi dan berhadap-hadap dengan imam dapat menjadi masalah. Mereka malu untuk mengakukan dosa pribadi kepada imamnya. Dewasa ini ada pembaruan dalam cara pengakuan. Model tersebut semacam konseling/bimbingan atau sharing rohani. Melalui konseling/bimbingan atau sharing rohani ini, orang diajak untuk menceritakan pengalaman hidup dan kesukarannya atau kesalahannya, bukan semacam laporan atau ‘pengakuan’ telah berbuat dosa. Dengan cara ini orang tidak merasa diadili.


11. 8. Struktur Perayaan Ibadat Tobat dengan Pengakuan dan Absolusi Perorangan

1. Ritus Pembuka
1.1. Lagu Pembuka
1.2. Salam
1.3. Pengantar/Tema
1.4. Doa Pembuka

2. Liturgi Sabda
2.1. Bacaan (-Bacaan)
2.2. Mazmur tanggapan/lagu lain
2.3. Homili
a. Pemeriksaan Batin

3. Liturgi Tobat
3.1. Nyanyian Pengantar
3.2. Pengakuan Umum
3.21. Doa Tobat/Doa Pengakuan
3.22. Litani Tobat
3.23. Doa Bapa Kami
3.24. Doa Penutup
3.3. Pengakuan Pribadi dengan absolusi perorangan
3.4. Puji Syukur
3.41. Pengantar (Penitensi Umum)
3.42. Lagu Puji Syukur
3.43. Doa Syukur

4. Ritus Penutup
4.1. Kata Penutup
4.2. Berkat Meriah
4.3. Pengutusan

TATA PERAYAAN TOBAT
DENGAN PENGAKUAN DAN ABSOLUSI PRIBADI
MASA PRAPASKAH UNTUK BIARAWAN-BIARAWATI
YANG SEDANG RETRET

RITUS PEMBUKA

LAGU PEMBUKA: “Karna Belas Kasih” MB 365
Ketika lagu pembuka dinyanyikan, imam berjalan menuju ke altar, lalu imam menghormati Tuhan yang hadir di tengah-tengah umat-Nya dengan berlutut. Setelah itu imam menuju altar dan menciumnya sebagai tanda hormat. Kemudian imam pergi ke mimbar.

TANDA SALIB
Setelah lagu pembuka selesai, imam dan semua yang hadir membuat tanda salib dengan mengucapkan:

I : Dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus
U: Amin

SALAM
Sesudah itu sambil membuka tangan atau dengan cara lain menurut kebiasaan setempat, imam menyampaikan SALAM kepada yang hadir dengan mengucapkan:

I : Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus besertamu.
U: Dan sertamu juga.

PENGANTAR/TEMA
Imam mengarahkan para peserta retret kepada inti misteri perayaan dengan beberapa patah kata.

I : Para suster, frater dan bruder terkasih, Masa Prapaskah adalah masa bertobat, masa membaharui dan menyiapkan diri untuk perayaan penebusan kita yaitu Hari Raya Paskah. Masa ini diliputi ulah tapa dan mati raga: kita berpuasa dan berpantang. Ingatlah, bahwa puasa dan pantang hanyalah sikap lahiriah yang mudah kita laksanakan, tetapi percuma jika tidak disertai dengan hati yang bertobat sungguh. Apa gunanya kita berpuasa kalau hati masih diliputi keserakahan dan iri terhadap sesama? Apa gunanya berpantang jika itu untuk mengelabui mata pembesar dan menyembunyikan kecongkakan? Ibadat tobat yang berkenan di hati Allah bukanlah puasa atau pantang, melainkan hasrat untuk mengubah sikap hati, semakin terbuka bagi sabda dan kehendak Allah, dan semakin terbuka bagi kepentingan sesama. Sekarang marilah kita hening sejenak untuk memohon kerahiman Roh Kudus agar memampukan kita memeriksa batin dengan jujur dan pada akhirnya kita dapat mengakukan dosa-dosa kita dengan jujur dan ihklas.

DOA PEMBUKA
Setelah hening sejak dengan membuka tangannya sedikit lalu mengatupkannya kembali imam mengucapkan/menyanyikan:

I : Marilah berdoa
Lalu imam sambil merentangkan tangan, menyanyikan/mengucapkan DOA PEMBUKA sbb:

I : Ya Allah, kami bersyukur kepada-Mu, karena Engkau menganugerahkan masa tobat ini. Kami ingin mempergunakan kesempatan ini dengan baik. Kami ingin bertobat dari segala dosa kami: keserakahan, iri hati, benci, kecongkakan dan egoeisme kami. Berkatilah dan teguhkanlah niat kami ini sehingga Masa Prapaskah ini sungguh mengubah hati kami menjadi semakin berkenan pada-Mu dan pada sesama. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putera-Mu, Tuhan kami, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
U: Amin.

LITURGI SABDA

BACAAN I : Why 2:1-5

“Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Efesus: Inilah firman dari Dia, yang memegang ketujuh bintang itu di tangan kanan-Nya dan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas itu. Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta. Dan engkau tetap sabar dan menderita oleh nama-Ku; dan engkau tidak mengenal lelah. Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula. Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau kamu tidak bertobat.”

LAGU ANTAR BACAAN: “Mohon Ampun” (MB 371)

BACAAN INJIl : Luk 13:1-9

Pada waktu itu datang kepada Yesus beberapa orang yang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang yang mati ketimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya, dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.”
Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah di sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak tebanglah dia!”.

HOMILI
1. Dalam bacaan I, Rasul Yohanes menegur umat di Efesus karena telah meninggalkan jalan yang baik. Kita pun sering seperti umat di Efesus itu. Secara tak sadar kita diayunkan ke sana ke mari oleh kesenangan. Sewaktu sadar, kita sudah begitu jauh menyimpang. Maka sekarang Yohanes menegur kita juga, dan mengajak kita bertobat serta kembali ke jalan yang semula kita gariskan.
2. Dikatakan dalam Injil bahwa hal dari penolakkan bertobat adalah ‘penyiksaan di akhir hidup’ (Luk 13:2-5). Apa maksudnya? Apakah benar bahwa mereka yang tidak mau bertobat akan dibantai beramai-ramai? Tentu bukan demikian. Gambaran di atas hanya mau mengatakan bahwa orang yang tidak mau bertobat akan kehilangan kegembiraan dalam hidupnya, sebab tidak punya ketenangan. Hidupnya akan selalu dikejar-kejar rasa bersalah, rasa diawasi ke mana pun mereka pergi. Misalnya: ekonom rumah tangga yang tidak jujur dalam keuangan. Menjelang akhir bulan ia akan gelisah dan mencari-cari peluang untuk membuat laporan yang tidak benar. Orang ini sudah tahu bahwa ia bersalah. Ia sudah melanggar kaul ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Jika ia tidak mau bertobat, ia pasti mengalami kegelisahan dalam dirinya. Jika kebiasaan ini sudah melekat dalam dirinya, ia pasti akan mengalami kegelisahan yang terus menerus. Lalu pertobatan yang bagaimana yang harus kita lakukan?
Berani memulai menyusun kembali hidup baru, meskipun dasarnya hidup lama. Contoh pohon ara baik sekali. Oleh tukang kebun, pohon tersebut diberi kesempatan untuk berbuah agar tidak jadi ditebang (Luk 13:6-9).
Pohon ara adalah simbol diri kita masing-masing. Tukang kebun adalah gambaran bahwa hanya dengan pertolongan orang lain yang tahu bidangnya, kita dapat memperbaiki hidup kita. Tukang kebun akan merawat pohon ara dengan pupuk. Pupuk ini merupakan simbol sakramen khususnya Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat.
Tinggal masalahnya? Maukah kita menerima Sakramen Tobat? Pada umumnya orang malas mengaku atau menerima sakramen ini. Hal ini bisa disebabkan karena kita merasa malu, tidak bermanfaat untuk mengubah kebiasaan kita. Marilah dalam kesempatan yang baik, kita selaku orang yang terpanggil kembali kepada-Nya. Berani memperbaharui hidup kita kembali. Itulah pertobatan sejati. Bertobat berarti berbalik kepada Allah dan menemukan kembali kekuatan Allah dalam hidup kita. Beranikah kita bertobat?

PEMERIKSAAN BATIN
Imam dapat membantu kaum beriman dengan renungan-renungan singkat. Kalau dirasa cocok, pemeriksaan batin bersama dapat menggantikan homili.

Bagaimana sikapku pada umumnya: mencari kehendak Tuhan atau mencari kehendak sendiri?
Terbukakah aku untuk berunding dan berdialog dengan sesama biarawan/wati? Dengan rekan sejawat (sekomunitas) dan warga masyarakat?
Apakah aku telah setia melaksanakan kaul-kaul yang telah kuucapkan?
Apakah aku berdoa, membaca Kitab Suci dan beribadat dengan baik?
Berusahakah aku menerima sesamaku dengan segala kelebihan dan kekurangannya? Ataukah aku selalu penuh kritik, mencela, iri dan membenci mereka? Dapatkah aku mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain?
Terbukakah aku untuk perkembangan dan pembaharuan Gereja?

LITURGI REKONSILIASI/TOBAT

LAGU PENGANTAR : “Sudilah Tuhan Ampuni Kami: (MB 369)

PENGAKUAN BERSAMA
a. DOA TOBAT
I : Para Suster, bruder, dan frater terkasih, kita camkan sabda Kitab Suci ini: “Nasib orang berdosa sengsara belaka, tetapi orang yang percaya kepada Tuhan dilimpahi kasih setia.” Marilah kita menyerahkan seluruh diri kita kepada kerahiman Tuhan dengan mengaku segala kesalahan kita dan mengharapkan dari pada-Nya pengampunan atas segala dosa.
I+U: Allah Bapa yang maharahim, bersama anak yang hilang aku berkata: “Aku telah berdosa terhadap Engkau, tak layak lagi aku disebut anak-Mu.” Yesus Kristus, penyelamat dunia, bersama penyamun di salib, aku berdoa: “Ingatlah akan daku, ya Tuhan apabila Engkau datang sebagai raja”. Roh Kudus, sumber cinta kasih, dengan penuh harapan aku mohon: “Sucikanlah aku, supaya dapat hidup tanpa cela.” Amin.

b. LITANI TOBAT
Setelah doa tobat dilanjutkan dengan LITANI TOBAT. Seluruh doa ini dapat juga dinyanyikan atau hanya aklamasinya saja yang dinyanyikan sedang bait-baitnya dibacakan. Imam sebaiknya mengumumkan lebih dahulu aklamasi yang harus diserukan oleh umat.

I : Berbahagialah orang, bila dosanya diampuni, dan kesalahannya dihapus oleh Tuhan. Berbahagialah orang, bila kejahatannya tidak diperhitungkan Tuhan, dan tulus ikhlas hatinya. Tuhan, kasihanilah kami.
U: Tuhan, kasihanilah kami.
I : Selama kusembunyikan dosaku, batinku tertekan, dan aku mengeluh sepanjang hari. Tuhan kasihanilah kami.
U: Tuhan, kasihanilah kami.
I : Siang malam aku sangat tertekan, tenagaku lenyap, bagaikan diisap udara panas.
Tuhan Kasihanilah kami.
U: Tuhan, kasihanilah kami.
I : Maka kuakui dosaku di hadapan Tuhan, dan kesalahanku tidak kusembunyikan.
Tuhan, kasihanilah kami.
U: Tuhan, kasihanilah kami.
I : Ya Tuhan, kuakui segala dosaku di hadapan-Mu, maka segala kesalahanku Kau ampuni. Engkaulah pelindungku dalam kesesakan, Engkau membebaskan dan menggembirakan daku.
Tuhan, kasihanilah kami.
U: Tuhan, kasihanilah kami.
I : Nasib orang berdosa sengsara belaka, tetapi orang yang percaya kepada Tuhan, dilimpahi kasih setia.
Tuhan kasihanilah kami.
U: Tuhan, kasihanilah kami.

c. DOA BAPA KAMI
Dengan tangan terkatup, imam mengucapkan/menyanyikan doa BAPA KAMI:

I : Kalau kita mengharapkan pengampunan dari Allah, kitapun harus bersedia saling memaafkan. Itulah yang diajarkan Yesus dalam doa Bapa Kami. Oleh sebab itu, marilah kita berdoa kepada-Nya dengan doa yang telah diajarkan oleh Yesus sendiri:
Imam merentangkan tangan dan bersama dengan peserta retret mendoakan doa Bapa Kami:

I+U: Bapa kami.....................

d. DOA PENUTUP
Selanjutnya imam dengan membuka tangannya sedikit lalu mengatupkannya kembali mengucapkan/menyanyikan:

I : Marilah berdoa
Lalu imam sambil merentangkan tangan, menyanyikan/mengucapkan DOA PENUTUP sbb

I : Bapa yang mahabaik, kami bersyukur kepada-Mu, sebab dengan semua teguran yang Kausampaikan dalam ibadat ini kami telah menyadari kekurangan kami. Semoga kesadaran ini kami nyatakan dalam pengakuan yang ikhlas. Semoga dengan semangat baru kami kembali ke jalan yang lurus. Dampingilah kami selalu supaya semangat yang berkobar-kobar tetap menyemangati kami untuk selalu tekun mengikuti jalan yang telah Kaugariskan. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan kami, sepanjang segala masa.
U: Amin.

PENGAKUAN PRIBADI
Imam menuju ke tempat pengakuan yang telah disediakan. Di situ peniten mengakukan dosa-dosanya. Lalu imam mengusulkan penitensi yang berguna dan memberikan absolusi. Selama pengakuan ini hendaknya tetap diusahakan suasana yang khidmat.
Sambil menumpangkan tangan kepada peniten, imam berkata:
I : Semoga Allah menerangi hati saudara/i supaya dapat mengaku dosa dengan tulus ikhlas.
U: Amin

Kemudian imam berkata:
I : Silahkan sekarang mengaku dosa.
U: Bapa, pengakuan saya yang terakhir ......... yang lalu. Dosa-dosa saya ialah ....................... Saya menyesal atas semua dosa saya, dan dengan hormat saya mohon pengampunan dan penitensi yang berguna bagi saya.

Sesudah mendengarkan nasihat dari imam serta diberitahu tentang apa yang harus dibuat sebagai penitensi, peniten mengucapkan DOA TOBAT sbb:

U: Allah yang maharahim, aku menyesal atas dosa-dosaku. Sebab patut aku Engkau hukum, terutama sebab aku telah menghina Engkau yang mahamurah dan mahabaik bagiku. Aku benci akan segala dosaku dan berjanji dengan pertolongan rahmat-Mu hendak memperbaiki hidupku dan tidak akan berbuat dosa lagi. Allah ampunilah aku, orang berdosa.

Setelah peniten mengucapkan Doa Tobat, imam sambil menumpangkan tangan kepada peniten, memberikan ABSOLUSI:

I : Allah Bapa yang mahamurah telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya, dalam wafat dan kebangkitan Putera-Nya. Ia telah mencurahkan Roh Kudus demi pengampunan dosa. Dan berkat pelayanan Gereja, Ia melimpahkan pengampunan dan damai kepada orang yang bertobat. Maka, saya melepaskan saudara/i dari segala dosa saudara/i, dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.
U: Amin.
I : Tuhan telah mengampuni segala dosa saudara/i. Pulanglah dengan damai.
U: Syukur kepada Allah.

PUJIAN SYUKUR
a. PENGANTAR (PENITENSI UMUM)
Setelah pengakuan selesai, Imam dapat menganjurkan para retretan (biarawan/wati) melakukan usaha konkrit untuk mengungkapkan tobat mereka, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga komunitas dan masyarakat.

I : Para suster, bruder dan frater terkasih, kita semua sudah menerima rahmat pengampunan dari Allah. Supaya rahmat itu sungguh meresap dan berdaya bagi kita, marilah kita melaksanakan kehendak Allah. Hendaklah Anda sekalian melaksanakan kebaikan dalam diri sendiri, teman sekomunitas, dan dalam masyarakat. Dengan demikian rahmat pengampunan itu sungguh berdaya guna bagi keselamatan kita semua.

b. LAGU PUJI SYUKUR : “Tuhan Sumber Bahagia” (MB 376)

c. DOA SYUKUR
Imam membuka tangannya sedikit lalu mengatupkannya kembali sambil mengucapkan/menyanyikan:

I : Marilah berdoa
Lalu imam sambil merentangkan tangan, menyanyikan/mengucapkan DOA SYUKUR sbb:

I : Allah yang mahabaik, hari ini kami semua merasa berbahagia sebab dosa kami telah Kauampuni. Pada hari ini juga menjadi nyata bahwa Engkau selalu memperhatikan kami. Engkau selalu dekat pada kami, mengikuti segala langkah kami. Bila kami menyimpang dari jalan yang benar, dengan berbagai cara Engkau menegur kami dan kemudian membimbing kami kembali ke jalan semula. Itu semua membuktikan cinta-Mu kepada kami; Engkau tidak rela kami tersesat dan celaka. Sebaliknya Engkau menginginkan supaya kami selamat dalam perjalanan hidup ini dan akhirnya berbahagia bersama Engkau. Oleh karena itu, ya Bapa, bersama seluruh Gereja kudus kami memuji dan bersyukur kepada-Mu. Semua ini kami panjatkan dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan kami, sepanjang segala masa.
U: Amin.

RITUS PENUTUP

KATA PENUTUP
I : Para suster, bruder dan frater terkasih, kita semua bersama-sama telah menerima berkat pengampunan dari Allah Bapa yang mahabaik. Allah senantiasa mencinntai kita walaupun kita sering menyakiti-Nya. Sebagai orang yang telah menerima pengampunan dari-Nya kita harus menjaga kesucian kita dengan bertindak baik dan benar seturut kehendak-Nya. Mari kita hidup dengan penuh kebahagiaan dan sukacita karena kebaikan Tuhan. Sekarang marilah kita mempersiapkan diri untuk memohon dan menerima berkat Tuhan. Kita hening sejenak.

BERKAT MERIAH
Imam membuka tangan sambil berseru:
I : Tuhan besertamu
U: Dan bersama rohmu

Kemudian sambil menumpangkan/mengarahkan kedua tangan ke arah umat, imam mengucapkan/menyanyikan BERKAT sbb:

I : Semoga Allah, sumber kasih dan kesejahteraan, menyertai saudara/i.
U: Amin.
I : Semoga Allah melimpahkan kegembiraan kepada saudara/i dalam melaksanakan usaha untuk pembaharuan diri.
U: Amin.
I : Semoga saudara/i bersedia mempertimbangkan segala nasihat dan bersatu padu dalam diri hidup yang rukun dan damai.
U: Amin.
I : Dan semoga saudara/i sekalian diberkati oleh Allah yang mahakuasa Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.
U: Amin.

PENGUTUSAN
I : Allah menyayangi kita, dan telah sudi mengampuni segala dosa kita. Oleh karena itu patutlah kita bergembira, dan menyatakan rasa terima kasih kita dengan hidup yang layak. Dan perayaan Sakramen Rekonsiliasi/Tobat sudah selesai.
U: Syukur kepada Allah
I : Pulanglah! Kita diutus.
U: Amin.

LAGU PENUTUP : “Tuhan Dikau Naungan Hidupku” (MB 378)
Sementara Lagu Penutup dinyanyikan, imam memberikan hormat kepada altar dan meninggalkan ruang altar.


SARANA YANG DIPERLUKAN
1. Lilin
2. Mimbar atau altar (jika tidak ada mimbar)
3. Alba dan Stola warna ungu
4. Kamar/tempat untuk pengakuan

PETUGAS
1. Imam, diakon atau prodiakon
2. Lektor
3. Solis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar